Pada tingkat kedua, Indonesia terbagi atas beberapa kabupaten dan kota. Setiap kabupaten dikepalai oleh seorang bupati, sedangkan setiap kota dikepalai oleh seorang wali kota.[1] Hingga saat ini, Indonesia memiliki sejumlah 416 kabupaten dan 98 kota, termasuk satu kabupaten yang berstatus sebagai "kabupaten administrasi" dan lima kota yang bersatus sebagai "kota administrasi".
Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.
Daerah kabupaten dan kota, menurut UUD 1945, merupakan daerah otonom yang pemerintahannya terdiri atas kepala daerah yang disebut "bupati" (untuk kabupaten) atau "wali kota" (untuk kota), serta lembaga legislatif daerah berupa Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota.[2] Pemerintah daerah berwewenang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, serta menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.[2]
Kemudian menurut UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, daerah kabupaten/kota, selain berstatus sebagai daerah otonom, juga merupakan wilayah administratif yang menjadi wilayah kerja bagi bupati/wali kota dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan umum di wilayah daerah kabupaten/kota masing-masing.[3] Bupati/wali kota, dalam melaksanakan urusan pemerintahan umum masing-masing kabupaten/kota, bertanggungjawab kepada Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia melalui gubernur, yang berkapasitas sebagai "wakil Pemerintah Pusat".[3]
UUD 1945 juga menyebutkan bahwa Negara Indonesia mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.[2]
Kata kabupaten merupakan serapan dari kata dalam bahasa Jawa, yakni ꦏꦧꦸꦥꦠꦺꦤ꧀ (kabupatèn), yang berasal dari kata ꦧꦸꦥꦠꦶ (bupati) yang diberi konfikska-an dan setara dengan kata "kebupatian" (ke- + bupati + -an) dalam morfologibahasa Indonesia.[4] Kata bupati sendiri berasal dari kata dalam bahasa Sanskerta, yaitu भूपति (bhūpati), yang berarti "tuan tanah" atau "raja".
Kata kabupaten dan bupati digunakan terutama sebagai terjemahan kata regentschap atau ken (県) pada masa Hindia Belanda. Kata tersebut kemudian resmi digunakan sebagai istilah daerah administratif di Indonesia setelah merdeka.
Kata kota merupakan turunan dari kata yang sama dalam bahasa Melayu, yang mungkin merupakan serapan dari kata कोट्ट (koṭṭa) dalam bahasa Sanskerta atau dari kata கோட்டம் (kōṭṭam).[5]
Istilah ini secara umum digunakan untuk merujuk pada wilayah perkotaan, yaitu kawasan pemukiman dengan jumlah penduduk yang besar. Setelah proklamasi kemerdekaan, Indonesia telah beberapa kali menggunakan istilah "kota" dan beberapa variannya, sepert kota otonom, kota raya, kota madya, kota praja, dan kota administratif, dalam pembagian administratif, terutama untuk menggantikan istilah stadgemeente atau si (市) pada zaman yang digunakan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Memasuki era reformasi hingga sekarang, istilah "kota" ditetapkan sebagai daerah administratif tingkat kedua.[6]
Penggunaan istilah "kota" dalam pembagian administratif Indonesia saat ini belum tentu sama dengan kawasan yang secara umum dijuluki "kota" di Indonesia. Banyak ibu kota kabupaten dengan status daerah seperti kecamatan, desa, atau kelurahan, atau kumpulan beberapa daerah administratif di bawah kabupaten yang juga sering disebut sebagai "kota" meskipun daerah tersebut tidak termasuk dalam pembagian administrasi resmi. Kebiasaan tersebut kemungkinan dipengaruhi oleh keberadaan "kota praja" dan "kota administratif" dalam sistem pembagian wilayah administratif masa lampau yang saat ini telah dihapuskan. Jakarta juga sering dianggap sebagai "kota" meskipun secara administratif merupakan provinsi, karena pada masa lampau Jakarta dianggap sebagai "kota raya".
Perbedaan kabupaten dan kota
Berikut merupakan perbedaan antara kabupaten dan kota dalam lingkup daerah administratif Indonesia.[7][8]
Perbedaan yang paling jelas ialah kabupaten dipimpin oleh bupati, sedangkan kota dipimpin oleh wali kota. Struktur pemerintahan vertikal di bawah bupati pun relatif lebih sederhana dibandingkan dengan struktur pemerintahan di bawah wali kota.
Kabupaten memiliki kepadatan penduduk yang relatif lebih renggang, populasi yang relatif lebih sepi, dan wilayah geografis yang relatif lebih luas. Sebaliknya, kota umumnya memiliki kepadatan penduduk yang relatif lebih rapat, populasi yang relatif lebih ramai, dan wilayah geografis yang relatif lebih sempit.
Kabupaten umumnya dibentuk di kawasan pedesaan, sehingga umum dijumpai satuan-satuan pemerintahan desa. Sementara itu, kota umumnya dibentuk di kawasan perkotaan, sehingga umum dijumpai perwakilan administrasi kelurahan.
Karena wilayahnya yang relatif luas, kabupaten memiliki pusat pemerintahan dan administrasi yang disebut "ibu kota kabupaten". Konsep pusat pemerintahan tersebut umumnya tidak ada pada daerah kota.
Tolok ukur di atas tidak selalu tepat, karena pada kenyataan di lapangan, banyak pengecualian yang umum dijumpai. Misalnya adalah adanya satuan-satuan desa yang berada di kota, seperti Kota Ambon, Kota Gunungsitoli, Kota Sawahlunto, dan lain-lain.
Bagian ini berisi artikel tentang daftar kabupaten dan kota secara alfabetis. Untuk daftar kabupaten dan/atau kota menurut kriteria lainnya, lihat Daftar kabupaten dan kota di Indonesia.
Kata "Bupati" diperkirakan pertama kali digunakan di tanah Jawa untuk merujuk pada penguasa lokal yang tunduk pada kerajaan prakolonial, seperti yang disebutkan dalam Prasasti Telaga Batu, yang dibuat pada masa Sriwijaya.[10] Kata tersebut digunakan kembali pada masa kolonial Hindia Belanda untuk menerjemahkan kata regent, yakni wali penguasa dari golongan priayi (bangsawanpribumi), sementara wilayah kekuasaan seorang regent yang disebut regentschap diterjemahkan menjadi kabupaten ("kebupatian") dalam bahasa setempat.[11]
Selain itu, terdapat pula jenis daerah yang tingkatannya setara dengan regentschap/kabupaten pada saat itu, yaitu stadgemeente/guminta ("Kotamadya" atau "Munisipalitas") yang bersifat otonom, yang dipimpin oleh burgemeester ("Wali kota" atau "kepala munisipalitas") yang berkebangsaan Belanda. Wilayah stadgemeente tersebut tumpang tindih dengan wilayah regentschap yang lebih luas, sehingga pada wilayah tertentu, burgemeester dan regent secara bersama-sama dan de jure menguasai wilayah yang sama, meskipun pada kenyataannya burgemeester memiliki kuasa yang lebih tinggi.[12]
Susunan regentschap dan stadgemeente lengkap yang terbentuk sebelum pendudukan Jepang adalah sebagai berikut. Nama daerah yang dicetak tebal adalah stadgemeente.
Pada saat Hindia Belanda diduduki oleh Jepang, pemerintah militer Jepang mengubah penamaan regentschap menjadi "ken" (Jepang: 県) dan stadgemeente menjadi "si" (市, shi) atau "tokubetu si" (特別市, tokubetsu shi). Ken diperintah oleh "kentyoo" (県長, kenchō), si diperintah oleh "sityoo" (市長, shichō), dan tokubetu si dipimpin oleh "tokubetu sityoo" (特別市長, tokubetsu shichō). Susunan daerah dan posisinya sama seperti susunan daerah pada masa kolonial Belanda, kecuali Batavia (diubah menjadi "Jakarta" oleh pemerintah militer) yang mendapat status tokubetu si, yaitu si yang dikendalikan langsung di bawah pemerintah militer alih-alih di bawah syuu (bekas keresidenan).[13]
Periode kemerdekaan Indonesia
Setelah proklamasi kemerdekaan, Indonesia mengadopsi UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus1945, tetapi UUD tersebut tidak menyebutkan secara jelas bentuk pembagian administatifnya dan menyerahkan penentuan tersebut pada undang-undang (UU).[14] Untuk memudahkan administrasi, ndonesia untuk sementara waktu mengadopsi susunan pembagian wilayah yang ditetapkan pada masa Hindia Belanda, termasuk daerah kabupaten dan kota yang berada di antara keresidenan dan kewedanaan. Kedudukan kabupaten dan kota sebagai daerah administratif Indonesia diperkuat dengan UU No. 1 Tahun 1945, yang menyebutkan bahwa daerah keresidenan, kabupaten, dan kota (berotonomi) diberikan kekuasaan otonomi berupa adanya "Komite Nasional Daerah", yaitu semacam Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sementara.[15]
UU No. 22 Tahun 1948 diundangkan pada tanggal 10 Juli1948. Undang-undang tersebut merampingkan tingkatan pembagian wilayah menjadi tiga, yang jika diurutkan dari terbesar: provinsi, kabupaten/Kota Besar, dan Desa/Kota Kecil/negeri/marga, serta sekali lagi mengukuhkan kedudukan kabupaten dan kota (besar) dalam administrasi wilayah Indonesia. Dalam undang-undang ini juga, daerah kabupaten/kota besar dipimpin oleh masing-masing Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (legislatif) serta masing-masing Dewan Pemerintah Daerah (eksekutif) yang diketuai oleh "Kepala Daerah Kabupaten/Kota Besar".[16]
Kemudian dalam UU No. 1 Tahun 1957, istilah daerah kabupaten/kota diubah menjadi "Daerah Swatantra/Istimewa Tingkat II", yang dipimpin oleh "Kepala Daerah (Istimewa) Tingkat II".[18] Lalu dalam UU No. 18 Tahun 1965, istilah tersebut disederhanakan menjadi hanya "Daerah Tingkat II", yang dipimpin oleh "Kepala Daerah Tingkat II" dan dianggap sebagai penunjukan daerah administratif, sementara istilah "Kabupaten" dan "Kota (madya)" hanya berimplikasi sebagai jenis daerah belaka.[19]
UU No. 5 Tahun 1974 yang kemudian menggantikan undang-undang pemerintahan daerah sebelumnya tersebut menggunakan kedua istilah "Daerah Tingkat II" dan "Kabupaten/Kota (madya)" untuk merujuk pada daerah yang sama, tetapi dalam fungsi kerja yang berbeda. Istilah "Daerah Tingkat II" dengan kepala yang bergelar "Kepala Daerah Tingkat II" digunakan dalam fungsi kerja sebagai daerah otonom yang menjalankan tugas desentralisasi, sementara istilah "Kabupaten/Kotamadya" dengan kepala yang bergelar "Bupati/Wali Kotamadya" digunakan dalam fungsi kerja sebagai wilayah administratif yang menjalankan tugas dekonsentrasi.[20]
Memasuki Era Reformasi, istilah "Daerah Tingkat II" dihapuskan dan istilah "Kabupaten" dan "Kota" sama-sama memegang peranan sebagai daerah otonom yang berasaskan desentralisasi dan wilayah administratif yang berasaskan dekonsentrasi. Akhirnya melalui perubahan kedua, UUD 1945 akhirnya memperinci dan mengokohkan pembagian tingkat kedua atas wilayah Indonesia sebagai "kabupaten" dan "kota".[21]
^atau sebutan-sebutan khusus lain yang ditetapkan oleh pemerintah daerah setempat seperti distrik, kapanewon, dan kemantren.
^Umumnya landasan hukum pembentukan daerah di Indonesia menggunakan undang-undang (UU), kecuali jika diatur lain oleh UU terkait. Peraturan pembentukan kabupaten dan kota berikut yang tidak menggunakan UU akan dicetak miring.
^Casparis, J.G., (1956), Prasasti Indonesia II: Selected Inscriptions from the 7th to the 9th Century A.D., Dinas Purbakala Republik Indonesia, Bandung: Masa Baru.
^"Penetapan Aturan-Aturan Pokok Mengenai Pemerintahan Sendiri Didaerah-Daerah yang Berhak Mengatur dan Mengurus Rumah Tangganya Sendiri". Undang-Undang No. 22 Tahun 1948.