Kecamatan Teluk Dalam terletak di ujung selatan Pulau Nias dan berbatasan langsung dengan Kecamatan Amandraya dan Kecamatan Lahusa. Untuk mencapai kecamatan Teluk Dalam dapat ditempuh dengan perjalanan laut dari Kota Sibolga selama 10-12 jam, kemudian dengan perjalanan udara dari Kota Medan selama 1 jam dengan pesawat udara ke bandara Binaka, di Gido, kabupaten Nias dan dilanjutkan dengan perjalanan darat selama 3 jam.
Iklim
Kecamatan Teluk Dalam memiliki iklim hutan hujan tropis (Af) dengan curah hujan lebat hingga sangat lebat sepanjang tahun.
Kata Teluk Dalam diambil dari nama Teluk di bagian selatan Pulau Nias yang kemudian juga menjadi nama Kota, nama Kecamatan dan sekaligus menjadi ibu kota Kabupaten Nias Selatan. Dalam bahasa Nias Selatan, kota Teluk Dalam juga sering disebut sebagai "Luahaziwara-wara" yang artinya adalah tempat pertemuan seluruh penduduk Kecamatan Teluk Dalam setiap hari pekan dulunya.[butuh rujukan]
Sejarah
Nenek moyang penduduk Teluk Dalam dipercaya datang dari Gomo di bagian tengah pulau Nias. Sejak dahulu dikenal ada 4 Ori/negeri yang merupakan kesatuan kecil dari beberapa kampung atau banua. Ori ini dapat dibedakan dari kedekatan wilayah, asal usul keturunan, persamaan marga, kesamaan lafal atau logat bahasa dan pembentukan kampung baru dari kampung asal. Nama-nama ori tersebut adalah:
Di Kecamatan Teluk Dalam terdapat marga-marga yang khas dan tidak ada di kecamatan lain di pulau Nias seperti: Bago, Fau/Wau, Dakhi, Sarumaha, Hondro, Duha, Zamili, Harita, Gaho, Ziraluo, Bazikho, Nehe, Manao, Zagoto, Waoma, Sihura, Maduwu, Zagoto, Nakhe, Bali, Haria, Bohalima, Harimao, Lature, Moho, Loi, Luahambowo, Gowasa, Gaurifa, Gohae, Gumano, Ganumba, Zalogo, Bawaulu, Saota, Gari, Ge'e, Hawa dan lain lain.
Pada 28 Maret2005, Teluk Dalam dilanda gempa bumi besar yang menyebabkan korban jiwa dan rusaknya beberapa situs-situs kuno di sana.
Demografi
Suku
Penduduk asli atau suku yang mendiami pulau Nias, termasuk Kabupaten Nias Selatan adalah suku Nias Selatan, demikian juga di kecamatan Teluk Dalam. Meski demikian, penduduk dari suku lain juga ada yang tinggal di kecamatan ini, termasuk suku Batak, khususnya Toba. Penduduk dari suku lainnya seperti Jawa, Minang, Aceh juga beberapa yang tinggal di sini.[3]
Bahasa
Bahasa yang digunakan umumnya adalah Nias,selain dari bahasa resmi nasional yakni Indonesia. Masyarakat dari suku lain juga menggunakan bahasa mereka, seperti bahasa Batak Toba, Jawa atau Minangkabau, dan lainnya.[4]
Bahasa Nias, atau Li Niha dalam bahasa aslinya, adalah bahasa yang dapat dikategorikan sebagai bahasa yang unik di dunia karena setiap akhiran katanya berakhiran huruf vokal. Bahasa Nias mengenal enam huruf vokal, yaitu a, e, i, u, o dan ditambah dengan ö (dibaca dengan “e” seperti dalam penyebutan “enam” dan “pepaya”).[3] Abjad Bahasa Nias, dalam huruf besar dan huruf kecil, tertera sebagai berikut:
Tahun 2024, jumlah penduduk kecamatan Teluk Dalam sebanyak 26.642 jiwa, dengan kepadatan 622 jiwa/km². Kemudian, persentasi penduduk kecamatan Teluk Dalam berdasarkan agama yang dianut yakni Kekristenan 91,46%, dimana Protestan 68,16% dan Katolik 23,30%. Sebagian lagi beragama Islam yakni 8,49% dan Buddha sebanyak 0,05%.[1]
Mata pencaharian penduduk Teluk Dalam adalah Petani, Nelayan,Tukang, Pedagang,PNS dan lain-lain. Produk pertanian yang dihasilkan: Beras, Kelapa(Kopra), Karet, Kokoa (Coklat) dan buah-buhan. Mangga Kweni atau yang lebih dikenal Kweni Teluk Dalam adalah salah satu produk andalan dimana kweni Teluk Dalam terkenal enak, harum dan tidak busuk.[6] Hasil Laut, yaitu Ikan, Udang, Kepiting, Lobster dan lain-lain.
Tempat wisata
Teluk Dalam mempunyai beberapa tempat yang menjadi objek wisata, di antaranya pantai Sorake, pantai Lagundri dan Desa Bawömataluo yang mempunyai banyak rumah-rumah adat tradisional Nias berusia ratusan tahun.
Peninggalan budaya masa lalu masih tetap dipertahankan di Kecamatan Teluk dalam. Hal ini dibuktikan dengan masih banyaknya rumah-rumah tradisional di setiap desa. Omo Sebua (rumah raja) masih terdapat di beberapa desa seperti: Bawomatalou, Hilinawalo Fau, Onohondro dan Hilinawalo Mazino.Di desa-desa lain tidak ada lagi rumah raja karena terjadi kebakaran yang menghanguskan semua rumah. Tradisi lompat batu, Fataele dan Maluaya (tari perang), Ho Ho, Mogaele dan lain-lain masih tetap dipertahankan dan dilestarikan.