Namun, sistem federasi ini menghadapi banyak tantangan, terutama dari berbagai negara bagian yang tidak stabil dan keinginan yang kuat dari banyak kalangan di Indonesia untuk kembali ke bentuk negara kesatuan. Negara-negara bagian dalam RIS mengalami tekanan internal dan eksternal, dengan beberapa di antaranya melakukan penggabungan kembali dengan Republik Indonesia yang berbasis di Yogyakarta. Keinginan untuk mengakhiri federasi ini semakin kuat seiring dengan ketidakpuasan terhadap Belanda yang dianggap masih memiliki pengaruh besar melalui sistem federal ini.
Pada akhirnya, tekanan dari berbagai pihak di Indonesia menyebabkan bubarnya RIS. Pada tanggal 17 Agustus 1950, tepat pada ulang tahun kelima kemerdekaan Indonesia, RIS secara resmi dibubarkan, dan Indonesia kembali menjadi negara kesatuan dengan nama Republik Indonesia. Pembubaran RIS ini menandai berakhirnya masa transisi dari penjajahan Belanda menuju kedaulatan penuh sebagai negara kesatuan yang diakui secara internasional.
Sejarah
Pada Januari 1942, Jepang menduduki bekas wilayah Hindia Belanda, menggusur pemerintah kolonial Belanda.[1] Pada 17 Agustus 1945, dua hari setelah Jepang menyerah, pemimpin kalangan nasionalis Republik Indonesia, Ir. Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.[2] Pemerintah Belanda, melihat Soekarno, Belanda mampu menegaskan kembali kendali atas sebagian besar wilayah yang sebelumnya ditempati oleh Angkatan Laut Jepang, termasuk Kalimantan dan Indonesia bagian timur.
Diskusi antara Inggris dan Belanda menghasilkan Penjabat Gubernur Jenderal Hindia Belanda Hubertus van Mook yang pada akhirnya mengusulkan penentuan nasib sendiri untuk persemakmuran Indonesia.[3][4] Pada Juli 1946, Belanda menyelenggarakan Konferensi Malino di Sulawesi di mana perwakilan dari Kalimantan dan Indonesia bagian timur mendukung proposal untuk berdirinya Republik Indonesia Serikat yang berbentuk federal, yang memiliki hubungan dengan Belanda. Republik ini akan terdiri dari tiga elemen, Republik Indonesia, negara bagian di Kalimantan dan sebuah negara bagian untuk Indonesia Timur.[5][6] Selanjutnya pada tanggal 15 November dengan Perjanjian Linggarjati, di mana Republik Indonesia menyatakan secara sepihak menyetujui prinsip Indonesia federal.[7][8] Belanda kemudian menyelenggarakan Konferensi Denpasar pada 7–24 Desember 1946 (walau dimulai dari 18 Desember 1946), yang mengarah pada pembentukan Negara Indonesia Timur, diikuti oleh sebuah negara di Kalimantan Barat pada tahun 1947.[9] Pada konferensi ini perwakilan dari Papua ditiadakan dikarenakan, Frans Kaisiepo menggunakan Konferensi Malino untuk mempopularkan nama 'Irian'. Pada 12 Desember 1946, Nicolaas Jouwe, Marthen Indey dan Corinus Krey mengirimkan surat kepada van Mook di Denpasar yang menolak pembentukan Negara Indonesia Timur jika tidak meliputi wilayah Papua. Pada akhirnya wilayah Papua tidak termasuk NIT karena tekanan dari Partai Katolik Belanda, walau van Mook mengatakan alasan finansial dan etnis.[10][11][12][13]
Aksi militer yang dilancarkan Belanda pada tanggal 20 Juli 1947 terhadap wilayah yang dikuasai Republik Indonesia, yang disebut sebagai Agresi Militer Belanda I mengakibatkan Belanda memperoleh kembali kendali atas Jawa Barat dan Jawa Timur, juga wilayah sekitar Medan, Palembang dan Padang di Sumatra. PBB kemudian menyerukan gencatan senjata, dan negosiasi antara kedua belah pihak mengarah pada Perjanjian Renville bulan Januari 1948, dengan gencatan senjata di sepanjang Garis Van Mook yang menghubungkan antara titik-titik terdepan daerah yang diduduki Belanda. Belanda kemudian mendirikan negara-negara bagian di wilayah-wilayah yang mereka duduki, antara lain Sumatra Timur (Desember 1947); Madura dan Jawa Barat (Februari 1948); Sumatera Selatan (September 1948; dan Jawa Timur (November 1948). Para pemimpin di wilayah ini kemudian membentuk apa yang disebut sebagai Majelis Permusyawaratan Federal / Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO).[14]
Aksi Agresi Militer Belanda II, yang ditujukan untuk menghancurkan pihak Republik Indonesia, diluncurkan pada tanggal 18 Desember 1948. Meskipun Belanda berhasil merebut kembali kota-kota besar di Jawa, termasuk ibu kota Republik Indonesia di Yogyakarta, dan seluruh Sumatra kecuali Aceh, hal itu memicu protes pengunduran diri Kabinet Negara Indonesia Timur dan Pasundan (Jawa Barat), serta Sultan Yogyakarta dari jabatannya sebagai Kepala Daerah. Belanda juga mendapat tekanan dari Amerika Serikat dan Perserikatan Bangsa-Bangsa, khususnya dalam bentuk resolusi Dewan Keamanan. Belanda setuju untuk bernegosiasi dengan Republik Indonesia untuk mengatur pengalihan kedaulatan. Konferensi Meja Bundar antara Belanda dan Indonesia berlangsung di Den Haag dari Agustus hingga November 1949, dan menghasilkan kesepakatan yang menyatakan bahwa Belanda setuju untuk menyerahkan kedaulatan Hindia Belanda kepada Indonesia, kecuali Nugini Barat. Akan tetapi, banyak kaum nasionalis Indonesia yang percaya bahwa Belanda telah memaksakan sebuah negara federal dalam upayanya untuk melemahkan atau bahkan memecah bangsa Indonesia, sebagai bagian dari strateginya untuk kembali menaklukkan wilayah kepulauan Nusantara. Namun pada 27 Desember 1949, kedaulatan resmi dilimpahkan kepada Republik Indonesia Serikat.[15][16][17][18]
Politik
Pembagian administratif
Negara bagian
Republik Indonesia Serikat (RIS) terdiri dari tujuh negara bagian, yaitu:
Republik Indonesia Serikat memiliki satu distrik federal, yakni Distrik Federal Jakarta (sebelumnya bernama Distrik Federal Batavia). Pembentukan Daerah/Distrik Federal Batavia ditetapkan dengan dasar hukum Staatsblad No. 63 on June 1948. Distrik federal tersebut diberikan otonomi di dalam lingkup Negara Pasundan. Distrik Federal Batavia berubah nama menjadi Distrik Federal Jakarta pada tanggal 30 Desember 1949 dan dikelola langsung oleh pemerintah federal RIS.[32]
Daerah swapraja adalah salah satu bentuk yang diakui di dalam RIS. Daerah-daerah ini diberikan status semacam "negara" dalam RIS dan diberikan otonomi khusus oleh pemerintah federal. Wilayahnya meliputi:
Republik Indonesia Serikat memiliki badan legislatifbikameral. Dewan Perwakilan Rakyat RIS terdiri dari 50 orang perwakilan dari Republik Indonesia dan 100 orang dari negara-negara bagian menurut jumlah penduduknya. Senat RIS memiliki dua anggota dari setiap negara bagian RIS, sehingga totalnya terdapat 32 anggota.
Pemerintahan
Republik Indonesia Serikat merupakan sebuah negara republik federal dengan sistem parlementer. Kepala negara RIS adalah seorang Presiden yang merupakan jabatan seremonial sebagai simbol negara dan memiliki kewenangan terbatas, sedangkan kepala pemerintahan RIS adalah seorang Perdana Menteri yang memegang kekuasaan pemerintahan federal beserta Kabinet RIS. Jabatan Presiden RIS diemban oleh Soekarno, sedangkan jabatan Perdana Menteri RIS diemban oleh Mohammad Hatta dengan Kabinet RIS yang beranggotakan 16 orang.
Hukum
Negara bagian diperintah menurut Konstitusi Republik Indonesia Serikat (Konstitusi RIS) yang dibentuk tahun 1949. Piagam Konstitusi RIS ditandatangani oleh para Pimpinan Negara/Daerah dari 16 Negara/Daerah Bagian RIS, yaitu:
Sejak awal, mayoritas orang Indonesia menentang sistem federal yang dihasilkan dari Konferensi Meja Bundar. Alasan utamanya adalah bahwa sistem ini dikaitkan dengan warisan kolonialisme. Alasan lain adalah termasuk perasaan bahwa negara federal tidak memiliki kohesi dan berpotensi menyebabkan pemisahan negara, serta pihak Indonesia yang menerimanya sebagai taktik jangka pendek. Selain itu, sebagian besar wilayah negara-negara bagian dikuasai oleh penguasa tradisional, yang dianggap terlalu pro-Belanda. Akhirnya, ada ikatan etnis atau budaya yang tidak memadai antara orang-orang di masing-masing negara untuk mengatasi dominasi Jawa. Misalnya, walaupun penduduk Negara Madura seluruhnya adalah etnis Madura, mereka dipisahkan dari jutaan orang Madura yang tinggal di Negara Jawa Timur, yang mengartikan bahwa negara tidak homogen.[35][36][37]
Bahkan pihak yang mendukung gagasan negara federal menginginkan bentuknya diputuskan oleh rakyat Indonesia sendiri melalui suatu Majelis Konstitusi terpilih, bukan oleh bekas kekuasaan kolonial. Belanda juga mencoba meyakinkan orang Indonesia bahwa negara kesatuan berarti merupakan dominasi Jawa, meskipun hal ini tidak berhasil.[35] Adanya berbagai perbedaan pandangan di dalam negeri RIS, termasuk yang dikemukakan oleh Mohammad Natsir dengan mosi integralnya, semakin membuka jalan kembalinya Republik Indonesia Serikat menjadi negara kesatuan.
Pada bulan Maret dan April 1950, semua negara bagian dan daerah otonom RIS (kecuali Negara Sumatra Timur dan Negara Indonesia Timur) membubarkan diri untuk bergabung dengan Negara Republik Indonesia di Yogyakarta.[22] Dari tanggal 3–5 Mei, konferensi antara Negara Indonesia Timur; Negara Sumatra Timur; dan Negara Republik Indonesia berakhir dengan keputusan untuk menggabungkan ketiga negara tersebut menjadi satu kesatuan.[38] Pada tanggal 19 Mei, sebuah pengumuman telah dikeluarkan oleh pemerintah federal Republik Indonesia Serikat (mewakili dua negara bagian yang tersisa dan Negara Republik Indonesia), yang menyatakan bahwa semua pihak, "... telah mencapai kesepakatan untuk bersama-sama membentuk kesatuan negara sebagai Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 ”.[39] Pengumuman itu juga menandai dibubarkannya Negara Republik Indonesia sebagai negara bagian RIS. Republik Indonesia Serikat secara resmi dibubarkan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1950 – bertepatan dengan peringatan hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia ke-5 – dan digantikan oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia.[40]
Galeri
Perangko era Republik Indonesia Serikat dengan nominal 25 sen.
^ Dikelola pemerintah federal RIS tetapi masuk dalam lingkup Negara Pasundan.
^ Meskipun Negara Pasundan dibubarkan pada tanggal 11 Maret 1950, Distrik Federal Jakarta tetap bertahan hingga pelantikan Suwiryo sebagai Wali Kota Jakarta pada 30 Maret 1950.
^Ide Anak Agung Gde Agung (1996) [1995]. From the Formation of the State of East Indonesia Towards the Establishment of the United States of Indonesia. Diterjemahkan oleh Owens, Linda. Yayasan Obor. hlm. 95. ISBN979-461-216-2.
^Gunawan, Restu; Leirissa, R.Z.; Haryono, P. Suryo; Lumintang, Onnie; Nurhajirini, Dwi Ratna (1997). Biografi Pahlawan Nasional: Marthin Indey dan Silas Papare. Jakarta: Departmen Pendidikan dan Kebudayaan RI Jakarta. hlm. 42. Diakses tanggal 24 October 2020.