Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia
Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (disingkat DPD RI atau DPD), sebelum 2004 disebut Fraksi Utusan Daerah, adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, beranggotakan wakil independen dari setiap provinsi yang dipilih melalui pemilihan umum. Sebutan untuk anggota DPD RI ialah senator.[2] Dewan Perwakilan Daerah (DPD RI) sebagai majelis tinggi dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) sebagai majelis rendah, keduanya membentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR RI) dalam sistem legislatif bikameral atau sistem dua kamar. Adapun wewenang senator di Indonesia—memberikan pertimbangan, usul, atau saran kepada DPR—masih terbatas jika dilihat sebagai fungsi pada majelis tinggi.[3][4] SejarahDewan Perwakilan Daerah merupakan bentuk perwujudan lembaga perwakilan daerah di Indonesia. Lembaga perwakilan daerah, atau biasa disebut majelis tinggi (upper house) secara internasional, telah ada sejak lama di Indonesia. Sebelum DPD dibentuk, telah terdapat lembaga Senat RIS, yang mewakili 16 negara bagian RIS. Pada saat yang bersamaan, di Negara Indonesia Timur, terdapat pula Senat Sementara NIT yang mewakili 13 provinsi dalam NIT. Setelah RIS dan NIT dibubarkan, Senat pun ditiadakan, sehingga tidak ada lagi majelis tinggi/lembaga yang merepresentasikan kepentingan daerah di Indonesia. Kemudian, pada tahun 1959, setelah diberlakukannya dekrit presiden dan kembalinya Indonesia pada UUD 1945, Presiden Soekarno membentuk lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, yang didalamnya terdapat kelompok Utusan Daerah. Kelompok ini terdiri dari wakil-wakil provinsi yang dipilih oleh DPRD Provinsi. Kelompok Utusan Daerah akan tetap bertahan hingga tahun 2004.[butuh rujukan] Utusan Daerah baru digantikan oleh Dewan Perwakilan Daerah setelah berlangsungnya Pemilihan umum legislatif Indonesia 2004. Penggantian ini telah digagas sebelum Pemilihan umum legislatif Indonesia 1999 sebagai upaya untuk meningkatkan fungsi Utusan Daerah sebagai bagian dari Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.[5] Senat RIS (1950)Senat Republik Indonesia Serikat merupakan majelis tinggi yang terdapat pada sistem parlemen Republik Indonesia Serikat. Senat RIS dibentuk pada tanggal 15 Februari 1950 dengan dasar hukum Konstitusi RIS. Senat RIS terdiri dari 32 anggota, dengan 2 anggota yang mewakili tiap negara bagian RIS. Anggota senat ditunjuk oleh tiap negara bagian dalam RIS. Calon-calon anggota senat dari tiap negara bagian diajukan oleh parlemen dari negara bagian yang bersangkutan (Pasal 81 Konstitusi RIS). Calon diterima sebagai anggota senat apabila surat-surat kepercayaannya dari negara bagian yang bersangkutan telah diverifikasi (Pasal 7 Tata Tertib Senat RIS). Sidang pertama Senat RIS dilaksanakan pada tanggal 17 Februari 1950. Sidang ini dilaksanakan untuk membahas mengenai posisi ketua dan wakil ketua Senat RIS. Sidang ini berhasil memilih Pellaupessy (NIT) sebagai Ketua dan Teuku Mohammad Hasan sebagai Wakil Ketua.[6] Tata Tertib Senat RIS, yang dibuat dan disahkan oleh Panitia Tata Tertib Senat RIS pada tanggal 22 Februari 1950, berisi mengenai pemeriksaan surat-surat kepercayaan, pemeriksaan persiapan, usul dan saran kepada Senat. Berdasarkan tata tertib tersebut, terdapat lima badan khusus yang berfungsi untuk membantu Senat dalam melaksanakan tugas-tugasnya: Panitia Pemeriksa Surat-Surat Kepercayaan, Panitia Permusyawaratan, Panitia Rumah Tangga, Panitia Permohonan, dan Majelis Persiapan.[7] Selama masa hidupnya yang singkat (15 Februari 1950 − 16 Agustus 1950), hanya ada satu dari 7 undang-undang federal dan 30 undang-undang darurat yang disahkan pemerintah dengan persetujuan Senat RIS, yakni UU No.7 Tahun 1950 mengenai perubahan UUD RIS menjadi UUD Sementara. Adapun dari 30 undang-undang darurat, terdapat 12 undang-undang darurat yang disahkan dengan mendengarkan pertimbangan dari Senat RIS.[8] Senat Sementara Negara Indonesia TimurSenat Sementara Negara Indonesia Timur (NIT) merupakan majelis tinggi yang terdapat pada parlemen NIT. Senat Sementara dibentuk dengan dasar hukum UUD Sementara NIT dan UU Senat Sementara NIT tahun 1948. Senat ini terdiri dari 13 anggota, dengan tiap anggota mewakili 13 wilayah yang terdapat di Indonesia Timur. Anggota Senat Sementara NIT dilantik pada tanggal 28 Mei 1949 oleh Presiden NIT, Soekawati.[9] Berdasarkan undang-undang ini, Senat Sementara NIT memiliki kewenangan untuk mengesahkan rancangan UUD yang diajukan oleh Badan Perwakilan Sementara (setingkat DPR) di NIT. Setelah UUD disahkan, UUD akan diberlakukan, kemudian senat sementara akan dibubarkan dan digantikan oleh Senat yang bersifat tetap. Senat yang tetap ini akan diberikan wewenang yang lebih luas dibandingkan dengan Senat Sementara.[9] Pada pelaksanaannya, rancangan UUD tidak pernah disahkan, dikarenakan NIT yang bubar sekitar 1½ tahun setelah pembentukan senat sementara. Senat yang tetap tidak pernah terbentuk, sehingga tugas-tugas pokok dan fungsi majelis tinggi dalam Parlemen NIT hanya bersifat de jure saja.[9] Fraksi Utusan Daerah (F-UD) di Majelis Permusyawaratan RakyatSetelah pembubaran Senat RIS, maka secara praktis tidak ada lagi organisasi/fraksi yang mewakili kepentingan daerah di dalam parlemen Indonesia, kecuali fraksi Kesatuan yang mewakili Papua. Kepentingan daerah baru kembali terakomodasi melalui fraksi Utusan Daerah dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara yang dibentuk melalui Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 dan anggotanya dilantik pada tanggal 15 September 1960. Susunan MPRS — sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Presiden No. 12 tahun 1959 — terdiri atas anggota DPR Gotong Royong (DPR-GR), utusan daerah, dan golongan karya (Pasal 1). Komposisi keanggotaan tiap provinsi dalam fraksi Utusan Daerah (F-UD) diambil berdasarkan jumlah penduduk dari tiap provinsi. Untuk provinsi yang berpenduduk lebih dari 3 juta akan memperoleh 5 orang wakil dalam F-UD, untuk provinsi yang memiliki penduduk antara 1 sampai 3 juta orang akan memperoleh 4 orang wakil dalam F-UD, sedangkan untuk provinsi yang memiliki penduduk kurang dari 1 juta orang akan memperoleh 3 orang wakil dalam F-UD (Pasal 2 Penjelasan Perpres). Calon wakil untuk F-UD dicalonkan oleh DPRD provinsi yang bersangkutan, dengan jumlah calon maksimal dua kali jatah yang telah ditetapkan oleh Perpres. Presiden kemudian akan memilih wakil untuk F-UD dari tiap provinsi.[10] Dari peraturan tersebut maka diperoleh jumlah keseluruhan anggota F-UD sebanyak 94 orang anggota. Jumlah ini jauh lebih sedikit dibandingan dengan golongan karya yang memiliki 200 orang anggota, ataupun DPR-GR yang memiliki 257 orang anggota.[11] Setelah Soekarno digantikan oleh Soeharto, undang-undang baru dibuat untuk mengubah susunan parlemen Indonesia. Susunan MPR yang sebelumnya ditetapkan oleh Perpres No. 12 Tahun 1959 digantikan oleh UU No. 16 Tahun 1969. Berdasarkan UU ini, jumlah anggota F-UD memperoleh kenaikan dari 94 menjadi 110 anggota. Penambahan anggota ini diakibatkan oleh peningkatan jumlah wakil-wakil dari setiap provinsi (Pasal 8 Ayat 1), dan penunjukan gubernur (Pasal 8 Ayat 2), Panglima Kodam, dan Komandan Korem (Keppres No. 83/M Tahun 1972), sebagai anggota ex officio dari F-UD. Akibatnya, jumlah anggota utusan daerah meningkat lagi menjadi 130 orang pada MPR periode 1972-1977, dan pada periode-periode selanjutnya tidak ada peningkatan yang signifikan dalam jumlah anggota.[12] Pada praktiknya, utusan daerah selama masa Soekarno dan Soeharto tidak banyak memainkan peranan penting dalam menyalurkan aspirasi daerah. Hal ini dikarenakan pemilihannya oleh DPRD yang bersangkutan, sehingga lebih didominasi oleh para pejabat setempat. Selain itu, dipilihnya anggota F-UD oleh presiden membuat F-UD (dan MPR secara keseluruhan) hanya sebagai rubber-stamp parliament, di mana tugas dan fungsinya secara de facto hanyalah menyetujui segala keputusan presiden, baik secara formal maupun informal. Kelemahan lainnya adalah bahwa tidak ada keharusan bagi anggota F-UD untuk berasal dari atau bertempat tinggal di daerah yang diwakilinya. Hanya ada peraturan mengenai usia (maksimal 21 tahun), kewarganegaraan, dan tidak terlibat G30S/PKI, serta syarat normatif lainnya bagi anggota F-UD.[13] Reformasi yang menggulingkan Presiden Soeharto membawa dampak besar bagi lembaga legislatif, tidak terkecuali bagi F-UD. Pada MPR periode 1999-2004, jumlah anggota F-UD dipotong menjadi 130 anggota[14] dari jumlah pada MPR periode 1997-1999 sebanyak 149 anggota.[15] Berbeda dengan periode sebelumnya, di mana jumlah anggota F-UD dari setiap provinsi disesuaikan dengan jumlah penduduknya, jumlah wakil F-UD dari setiap provinsi disamaratakan sebanyak 5 orang. Meskipun sistem keanggotaan ini sudah mulai menyerupai DPD seperti sekarang, menurut peraturan Tatib MPR, fraksi-fraksi dalam MPR hanya dibagi berdasarkan parpol, TNI/Polri, dan utusan golongan. F-UD dibubarkan dan anggota F-UD masuk ke dalam fraksi parpol menurut partai asal yang mencalonkan mereka dalam pemilihan di DPRD Provinsi.[16] Hal ini mengakibatkan F-UD tidak lain hanyalah wakil partai politik dalam parlemen, bukan merupakan wakil daerah. Para anggota F-UD yang tidak setuju dengan keputusan ini kemudian membuat secara informal Forum Utusan Daerah,[17] dan fraksi Utusan Daerah kembali disahkan sebagai kelompok dalam MPR pada Sidang Tahunan MPR pada tanggal 1-9 November 2001.[18] Meskipun begitu, tidak semua anggota MPR dari utusan daerah kembali masuk ke dalam fraksi ini. Dari 130 anggota utusan daerah di MPR, hanya 55 yang kembali masuk ke dalam F-UD. Sisanya tetap bertahan di fraksi partai masing-masing.[19] Sebagai Dewan Perwakilan DaerahSetelah reformasi bergulir, perubahan-perubahan dasar ketatanegaraan pun dilangsungkan. Dalam kurun waktu 1999 hingga 2002, telah terjadi empat kali amandemen terhadap UUD 1945. Salah satu bagian yang diamandemen adalah mengenai susunan lembaga legislatif di Indonesia. MPR yang sebelumnya bersifat unikameral, berubah menjadi bikameral dengan keberadaan DPD.[20] Tidak seperti F-UD, DPD dipilih langsung oleh masyarakat sehingga DPD bersifat lebih demokratis dalam mewakili aspirasi daerah dibandingkan dengan F-UD. Selain itu, posisi ex officio di dalam DPD pun dihapuskan, sehingga anggota DPD dipilih oleh rakyat secara keseluruhan. Yang terakhir, anggota DPD diharuskan untuk bersikap independen dalam mewakili aspirasi daerahnya, tidak seperti F-UD yang lebih cenderung berpihak ke suatu parpol.[21] Pembahasan mengenai pembentukan DPD dilaksanakan pada Sidang Tahunan MPR 2001 dan pada Rapat Paripurna ke-5, hari Minggu, 4 November 2001. Pada rapat ini, hampir seluruh fraksi dalam MPR menyetujui pembentukan DPD, terkecuali F-PDU (Persatuan Daulat Ummah) yang tidak memberikan tanggapan apapun mengenai pembentukan DPD.[22] Pembentukan DPD akhirnya disahkan pada tanggal 9 November 2001 dan menjadi bagian dari amandemen ketiga UUD 1945.[23] Meskipun begitu, F-UD tidak serta merta hilang: F-UD tetap bertahan hingga akhir periode 1999-2004.[19] MPR, DPR, dan DPD dengan susunan yang baru terbentuk pada tanggal 1 Oktober 2004, dengan ketua DPD pertama Ginandjar Kartasasmita dan wakil ketua Irman Gusman dan La Ode Ida.[24] Persyaratan anggotaSyarat Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia menurut UU No 7 tahun 2017 tentang Pemilu Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai berikut:
FungsiBerdasarkan Pasal 248 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014, fungsi DPD adalah:
PimpinanPimpinan SementaraSebelum pimpinan tetap dilantik, DPD mengangkat pimpinan sementara untuk memimpin sidang paripurna DPD dan pemilihan ketua dan wakil ketua DPD. Pimpinan sementara terdiri dari ketua dan wakil ketua sementara DPD, di mana ketua sementara merupakan anggota DPD tertua, sedangkan wakil ketua sementara merupakan anggota DPD termuda. Jika anggota tertua atau termuda berhalangan untuk hadir, maka posisi tersebut bisa digantikan oleh anggota tertua atau termuda berikutnya. Pimpinan TetapPimpinan tetap DPD terdiri dari seorang ketua dan beberapa wakil ketua. AnggotaKekebalan hukumSenator atau anggota DPD tidak dapat dituntut di hadapan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan/pendapat yang dikemukakan secara lisan ataupun tertulis dalam rapat-rapat DPD, sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Tata Tertib dan kode etik masing-masing lembaga. Ketentuan tersebut tidak berlaku jika anggota yang bersangkutan mengumumkan materi yang telah disepakati dalam rapat tertutup untuk dirahasiakan atau hal-hal mengenai pengumuman rahasia negara. Alat kelengkapanAlat kelengkapan DPD terdiri atas: Komite, Badan Kehormatan dan Panitia-panitia lain yang diperlukan. Komite ITugasKomite I DPD RI merupakan alat kelengkapan DPD RI yang bersifat tetap, yang mempunyai lingkup tugas pada otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; serta pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah.[25] Lingkup tugas Komite I sebagaimana dimaksud dilaksanakan dengan memperhatikan urusan daerah dan masyarakat, sebagai berikut:[25]
Komite IITugasKomite II DPD RI merupakan alat kelengkapan DPD RI yang bersifat tetap, yang mempunyai lingkup tugas pada pengelolaan sumber daya alam; dan pengelolaan sumber daya ekonomi lainnya.[26] Lingkup tugas Komite II sebagaimana dimaksud dilaksanakan dengan memperhatikan urusan daerah dan masyarakat, sebagai berikut:[26]
Komite IIITugasKomite III DPD RI merupakan alat kelengkapan DPD RI yang bersifat tetap, yang mempunyai lingkup tugas pada pendidikan dan agama.[27] Lingkup tugas Komite III sebagaimana dimaksud dilaksanakan dengan memperhatikan urusan daerah dan masyarakat, sebagai berikut:[27]
Komite IVTugasKomite IV DPD RI merupakan alat kelengkapan DPD RI yang bersifat tetap, yang mempunyai lingkup tugas pada rancangan undang-undang yang berkaitan dengan APBN; perimbangan keuangan pusat dan daerah; memberikan pertimbangan hasil pemeriksaan keuangan negara dan pemilihan Anggota BPK; pajak; dan usaha mikro, kecil dan menengah.[28] Lingkup tugas Komite IV sebagaimana dimaksud dilaksanakan dengan memperhatikan urusan daerah dan masyarakat, sebagai berikut:[28]
Panitia Perancang Undang-undangTugasPanitia Perancang Undang-Undang (PPUU) dibentuk oleh DPD dan merupakan alat kelengkapan DPD yang bersifat tetap dan mempunyai tugas:[29]
Selain tugas sebagaimana dimaksud di atas Panitia Perancang Undang-Undang mempunyai tugas:
Panitia Urusan Rumah TanggaTugasPimpinan Panitia Urusan Rumah Tangga (PURT) merupakan Alat Kelengkapan DPD RI yang bersifat tetap dan mempunyai tugas:[30]
Badan KehormatanTugasBadan Kehormatan (BK) merupakan Alat Kelengkapan DPD yang bersifat tetap dan mempunyai tugas:[31]
Badan Kerjasama ParlemenTugasBadan Kerjasama Parlemen dibentuk oleh DPD dan merupakan alat kelengkapan DPD yang bersifat tetap dan mempunyai tugas:[32]
Badan Pengembangan Kapasitas KelembagaanTugasBadan Pengembangan Kapasitas Kelembagaan Dewan Perwakilan Daerah(BPKK DPD) bertugas antara lain mengkaji sistem ketatanegaraan guna mewajudkan lembaga perwakilan daerah yang mengejawantahkan nilai demokrasi. Dalam melaksanakan tugasnya, Kelompok DPD dibantu anggota/pimpinan BPKK DPD.[33] Badan Akuntabilitas PublikTugasPanitia Akuntabilitas Publik (PAP) dibentuk oleh DPD dan merupakan alat kelengkapan DPD yang bersifat tetap mempunyai tugas:[34]
PimpinanPimpinan Badan Akuntabilitas Publik periode 2024 - 2029 [35]
Panitia MusyawarahPanitia Musyawarah dibentuk oleh DPD dan merupakan alat kelengkapan DPD yang bersifat tetap dan mempunyai tugas:[36]
Selain tugas sebagaimana dimaksud di atas, Panitia Musyawarah mempunyai tugas menyusun rencana kegiatan untuk disampaikan kepada Panitia Urusan Rumah Tangga dalam penentuan dukungan anggaran. Sekretariat JenderalUntuk mendukung kelancaran pelaksanaan tugas DPD, dibentuk Sekretariat Jenderal DPD yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden, dan personelnya terdiri atas Pegawai Negeri Sipil. Sekretariat Jenderal DPD dipimpin seorang Sekretaris Jenderal yang diangkat dan diberhentikan dengan Keputusan Presiden atas usul Pimpinan DPD. Lihat pulaPranala luar
Referensi
Bibliografi
|