Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia (MPRS) merupakan lembaga tertinggi dalam pemerintahan Indonesia antara tahun 1959 hingga 1971, dimana MPRS digantikan dengan Majelis Permusyawaratan Rakyat. MPRS dibentuk berdasarkan Dekret Presiden 5 Juli 1959 yang dikeluarkan oleh Presiden RISoekarno. Pada era Orde Baru pimpinan Presiden Soeharto, MPR menjadi lembaga absolut. Lembaga tersebut melaksanakan kedaulatan rakyat sepenuhnya. MPR masa itu menjalankan amanat Undang-Undang 1945 sebelum mengalami empat kali amendemen. Dalam masa kepemimpinan ini lembaga tersebut dijuluki penjelmaan rakyat dan membuat Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Dalam masa itu pula, MPRS berwenang memilih presiden dan wakil presiden, termasuk memberhentikan keduanya. Kiprah majelis di Orde Baru juga bisa dibilang paling produktif, pada kurun waktu 20 Juni hingga 5 Juli 1966, ada enam Ketetapan MPR yang dibuat. Termasuk pembubaran dan pelarangan Partai Komunis Indonesia (PKI). Ketetapan-ketetapan itu merupakan hasil dari Sidang Umum IV MPRS yang mengawali Orde Baru. Hal tersebut dilakukan untuk memenuhi dua dari tiga tuntutan rakyat atau tritura, yakni membubarkan PKI dan membersihkan pemerintahan dari ideologi komunis.
Sejarah pembentukan
MPRS dibentuk berdasarkan Dekret Presiden 5 Juli 1959 atau Keputusan Presiden RI Nomor 150/1959 pada 5 Juli 1959 yang dikeluarkan oleh Soekarno sebagai solusi mengatasi masalah ketidakpastian Konstituante Republik Indonesia dalam membuat Undang-Undang Dasar yang baru menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara. Berdasarkan dekrit inilah, MPRS dibentuk bersamaan dengan pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara seiring pembubaran Konstituante.[1] Pembentukan ini pun dilanjutkan dengan Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1959 yang mengatur penentuan jumlah anggota MPRS serta pengangkatan ketua dan wakil ketua yang ditentukan oleh presiden yang menjabat saat itu, yaitu Soekarno.[2] Berdasarkan Peraturan Presiden No.12 Tahun 1959, susunan anggota MPRS terdiri dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Golongan Karya dan utusan daerah yang berjumlah 94 orang yang berasal dari 24 wilayah.[3] Akhirnya pada Peraturan Presiden No.199 Tahun 1960, anggota MPRS secara resmi yang terdiri dari 616 anggota yang beranggoatan 281 orang dari Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong, 94 utusan daerah dan 241 dari Golongan Karya.[4] Kemudian pada Peraturan Presiden No.292 Tahun 1960, para ketua dan wakil ketua dipilih oleh presiden yang terdiri dari, Chaerul Saleh sebagai ketua dan empat wakil ketua yang terdiri dari Mr. Ali Sastroamidjojo, K.H. Idham Chalid, D.N. Aidit, Wilujo Puspojudo.[5]
Tujuh ketua MPR yang juga merangkap sebagai Ketua DPR
Lahir pada 27 Agustus 1921 di Satui, Kalimantan Selatan, Idham menjabat Ketua MPR pada 1971. Dalam karirnya, Idham sempat bergabung dengan partai Nadhlatul Ulama (NU) pada 1952, pada tahun yang sama pula Idham diangkat sebagai Ketua PB Ma'arif, organisi sayap NU yang bergerak di jalur pendidikan. Dia merupakan tokoh sentral yang mempertahankan Kalimantan dan menolak ide atas negara federasi Negara Kalimantan bentukan Belanda. Adapun Idham sempat mencicipi jabatan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Kabinet Pembanguan pada 1968-1973.
Lahir di Pematangsiantar, Sumatera Utara pada 22 Juli 1917, Adam Malik pernah menjabat Menteri Luar Negeri pada 1966-1978. Karier Adam Malik di dunia internasional terbilang moncer dan menjadi sorotan. Terutama ketika diangkat menjadi Duta Besar luar biasa dan berkuasa penuh mewakili Indonesia di Uni Soviet dan Polandia. Di masa menjelang kemerdekaan, Adam Malik dikenal sebagai tokoh pergerakan nasional. Dia pernah memimpin gerakan pemuda untuk mengawal kemerdekaan Indonesia. Setelah merdeka, pahlawan nasional ini mendirikan Partai Rakyat, Partai Murba dan duduk di parlemen.
Adam Malik menjadi Ketua MPR pada 1978, namun tak berselang lama tugasnya digantikan Darjatmo. Adam diminta menjadi wakil presiden oleh Soeharto.
Darjatmo menggantikan Adam Malik sebagai Ketua MPR di periode 1978 hingga 1982. Kariernya di dunia politik diawali saat memimpin MPR. Sebab sebelumnya, Darjatmo aktif di militer dan berpangkat jenderal. Sama seperti Soeharto, Darjatmo berasal dari KODAM Diponegoro Jawa Tengah.
Darjatmo pernah menjabat Asisten VI Menpangan dan Deputi Khusus Menpangad (1965-1968). Kala itu, Soeharto menjjadi orang nomor satu di Angkatan Darat.
Sama seperti Darjatmo, Amir merupakan jenderal yang diberi kesempatan memimpin MPR. Sebelum berkiprah mewakili rakyat, Amir terlebih dulu menjabat Menteri Dalam Negeri pada 1969. Dia menjadi tokoh penting terkait Surat Perintah 11 Maret yang dikirimkan Sukarno ke Soeharto. Amir yang membawa surat tersebut dari Istana Bogor ke Soeharto. Amir pernah menjadi pembantu Soeharto di Kostrad sebagai Wakil Kepala Staf ketika Kostrad masih bernama Tjadangan Umum Angkatan Darat (Tjaduad).
Kharis menjabat Ketua MPR di periode 1987 hingga 1992. Sebelumnya, pada 1982 hingga 1987 ia memimpin Fraksi ABRI di DPR. Pada 1975 hingga 1978, Kharis pernah menjabat sebagai Duta Besar Republik Indonesia untuk Thailand. Karier Kharis di militer diawali saat dirinya bergabung di Badan Keamanan Rakyat (BKR) pasca Proklamasi Kemerdekaan. Hingga kepemimpinan Soeharto, Kharis dianggap berjasa dalam kesatuan infantri Siliwangi.
Mengawali karier di militer, Wahono memimpin MPR pada 1992. Dedikasi Wahono di militer dimulai saat mengemban jabatan di Pangkostrad pada 1969. kiprah terakhirnya di dunia tersebut yakni saat dirinya menjadi Deputi KSAD pada 1974. Adapun Wahono pernah dipercaya Soeharto menjadi Dubes RI untuk Burma dan Nepal pada 1977, lalu menjadi Dirjen Bea Cukai pada 1981 dan memimpin Provinsi Jawa Timur pada 1983. Karirnya menjadi Gubernur Jatim berakhir pada 1988 dan Wahono 'naik tahta' memimpin MPR/DPR dari 1992 hingga 1997.
Merupakan Ketua MPR/DPR terakhir pada masa Orde Baru. Harmoko yang mengangkat Soeharto sebagai presiden di periode ketujuh. Namun tak berselang lama, dua bulan selanjutnya Harmoko minta Soeharto turun karena desakan rakyat untuk reformasi. Pendiri surat kabar Pos Kota ini pernah menjabat sebagai Menteri Penerangan pada era Soeharto selama tiga periode. Dia mengawali karier sebagai wartawan pernah menjabat sebagai Ketua Umum Golkar.
MPRS terdiri atas Anggota DPR Gotong Royong ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan.
Jumlah Anggota MPRS ditetapkan oleh Presiden.
Yang dimaksud dengan daerah dan golongan-golongan ialah Daerah Swatantra Tingkat I dan Golongan Karya.
Anggota tambahan MPRS diangkat oleh Presiden dan mengangkat sumpah menurut agamanya di hadapan Presiden atau Ketua MPRS yang dikuasakan oleh Presiden.
MPRS mempunyai seorang Ketua dan beberapa Wakil Ketua yang diangkat oleh Presiden.
Jumlah anggota MPRS pada waktu dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 199 Tahun 1960 berjumlah 616 orang yang terdiri dari 257 Anggota DPR-GR, 241 Utusan Golongan Karya, dan 118 Utusan Daerah.[butuh rujukan]
Sidang Umum I MPRS (1960)
Sidang Umum Pertama MPRS dilaksanakan di Bandung pada tanggal 10 November - 7 Desember1960. Sidang Umum Pertama MPRS ini menghasilkan dua ketetapan (Tap MPRS), yaitu:[butuh rujukan]
Sidang Umum Kedua MPRS dilaksanakan di Bandung pada tanggal 15 Mei - 22 Mei1963. Sidang Umum Kedua ini menghasilkan dua ketetapan, yaitu:[butuh rujukan]
Ketetapan MPRS Nomor III/MPRS/1963 tentang Pengangkatan Pemimpin Besar Revolusi Indonesia Bung Karno menjadi Presiden Republik Indonesia Seumur Hidup;
Sidang Umum Ketiga MPRS dilaksanakan di Bandung pada tanggal 11 - 16 April1965. Sidang Umum Ketiga MPRS menghasilkan empat ketetapan, yaitu:[butuh rujukan]
Ketetapan MPRS Nomor V/MPRS/1965 tentang Amanat Politik Presiden/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS yang berjudul Berdiri di atas Kaki Sendiri yang lebih dikenal dengan "Berdikari" sebagai Penugasan Revolusi Indonesia dalam Bidang Politik, Pedoman Pelaksanaan Manipol dan Landasan Program Perjuangan Rakyat Indonesia;
Ketetapan MPRS Nomor VII/MPRS/1965 tentang "Gesuri", "TAVIP" (Tahun Vivere Pericoloso), "The Fifth Freedom is Our Weapon" dan "The Era of Confrontation" sebagai Pedoman-pedoman pelaksanakan Manifesto Politik Republik Indonesia;
Ketetapan MPRS Nomor VIII/MPRS/1965 tentang Prinsp-prinsip Musyawarah untuk Mufakat dalam Demokrasi Terpimpin sebagai Pedoman bagi Lembaga-lembaga Permusyawaratan/Perwakilan.
Periode 1959-1965
Periode 1959-1965 adalah periode yang penuh pertentangan ideologi dalam sejarah kehidupan ketatanegaraan di Indonesia dan mencapai puncaknya pada tanggal 30 September1965 yang ditandai dengan peristiwa G-30-S.
Sebagai akibat logis dari peristiwa pengkhianatan G-30-S, mutlak diperlukan adanya koreksi total atas seluruh kebijaksanaan yang telah diambil sebelumnya dalam kehidupan kenegaraan. Lembaga MPRS yang pembentukannya didasarkan pada Dekret Presiden 5 Juli 1959 dan selanjutnya diatur dengan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1959, setelah terjadi pemberontakan G-30-S, Penetapan Presiden tersebut dipandang tidak memadai lagi.[6]
Untuk memenuhi kebutuhan tersebut maka diadakan langkah pemurnian keanggotaan MPRS dari unsur PKI, dan ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1966 bahwa sebelum terbentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dipilih oleh rakyat, maka MPRS menjalankan tugas dan wewenangnya sesuai dengan UUD 1945 sampai MPR hasil Pemilihan Umum terbentuk.[6]
Ketetapan MPRS Nomor IX/MPRS/1966 tentang Surat Perintah Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/Pemimpin Besar Revolusi /Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia;
Ketetapan MPRS Nomor X/MPRS/1966 tentang kedudukan Semua Lembaga-lembaga Negara Tingkat Pusat dan Daerah pada Posisi dan Fungsi Yang di Atur dalam Undang-undang Dasar 1945;
Ketetapan MPRS Nomor XIV/MPRS/1966 tentang Pembentukan Panitia-panitia Ad Hoc MPRS yang bertugas melakukan penelitian Lembaga-lembaga Negara, Penyusunan Bagan Pembagian Kekuasaan di antara Lembaga-lembaga Negara menurut Sistem Undang-Undang Dasar 1945 dan Penyusunan Perincian Hak-hak Asasi Manusia;
Ketetapan MPRS Nomor XVIII/MPRS/1966 tetang Peninjauan Kembali Ketetapan MPRS Nomor III/MPRS/1963
Ketetapan MPRS Nomor XIX/MPRS/1966 tentang Peninjauan Kembali Produk-produk Legislatif Negara di Luar Produk MPRS yang tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945;
Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peratutan Perundangan Republik Indonesia;
Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi terlarang di seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Paham atau Ajaran Komunis/Marxisme Leninisme;
Pada saat Presiden RI/Mandataris MPRS Soekarno menyampaikan pidato pertangungjawaban di depan Sidang Umum keempat MPRS Tahun 1966, rakyat yang merasa telah dikhianati oleh peristiwa pemberontakan G-30-S/PKI mengharapkan kejelasan pertangungjawaban Presiden Soekarno mengenai pemberontakan G-30-S/PKI berikut epilognya serta kemunduran ekonomi dan akhlak. Namun pidato pertanggungjawaban Presiden Soekarno yang diberi judul "Nawaksara" ternyata tidak memuaskan MPRS sebagai pemberi mandat. Ketidakpuasan MPRS diwujudkan dalam Keputusan MPRS Nomor 5 Tahun 1966 yang meminta Presiden Soekarno melengkapi pidato pertanggungjawabannya.[butuh rujukan]
Walaupun kemudian Presiden Soekarno memenuhi permintaan MPRS dalam suratnya tertangal 10 Januari1967 yang diberi nama "Pelengkap Nawaksara", tetapi ternyata tidak juga memenuhi harapan rakyat. Setalah membahas surat Presiden tersebut, Pimpinan MPRS berkesimpulan bahwa Presiden Soekarno telah lalai dalam memenuhi kewajiban Konstitusional.[butuh rujukan]
Sementara itu DPR-GR dalam resolusi dan memorandumnya tertanggal 9 Februari1967 dalam menilai "Nawaksara" beserta pelengkapnya berpendapat bahwa "Kepemimpinan Presiden Soekarno secara konstitusional, politis/ideologis membahayakan keselamatan bangsa, negara, dan Pancasila".
Dalam kaitan itu, DPR-GR meminta kepada MPRS mengadakan Sidang Istimewa untuk memberhentikan Presiden Soekarno dari jabatan Presiden/Mandataris MPRS dan memilih/mengangkat Letnan Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden/Mandataris sesuai Pasal 3 Ketetapan MPRS Nomor IX/MPRS/1966, serta memerintahkan Badan Kehakiman yang berwenang untuk mengadakan pengamatan, pemeriksaan, dan penuntutan secara hukum.[butuh rujukan]
Ketetapan MPRS Nomor XXXIV/MPRS/1967 tentang peninjauan kembali Ketetapan MPRS Nomor I/MPRS/1960 tentang Manifesto Politik Republik Indonesia sebagai Garis-garis Besar Haluan Negara;