Lahir dari keluarga sederhana di Jawa Timur, pada 7 Februari 1939, Harmoko lulus dari sekolah jurnalistik, dan menjadi jurnalis. Ia aktif selama rezim Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru, bekerja di sejumlah surat kabar yang berbeda, termasuk Merdeka, Merdiko, dan Harian Mimbar Kita. Pada tahun 1970, ia mendirikan surat kabarnya sendiri, Poskota. Pada tahun 1970, ia terpilih sebagai Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) cabang Jakarta, dan dua tahun kemudian, ia terpilih sebagai Ketua Umum PWI Pusat.
Dalam pemilihan umum 1977, Harmoko terpilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat, sebagai anggota organisasi Golongan Karya (Golkar) yang berkuasa. Pada tahun 1983, ia diangkat Menteri Penerangan, kemungkinan karena latar belakangnya di jurnalisme. Kepiawaiannya dalam menjaga citra Orde Baru dan penampilan Suharto membuatnya dijuluki 'influencer-in-chief'. Pada tahun 1993, Harmoko terpilih sebagai KetuaGolkar, menjadi tokoh sipil pertama yang memegang jabatan tersebut. Pada Juni 1997, ia diangkat menjadi menteri negara untuk urusan khusus, jabatan yang dijabatnya hanya tiga bulan karena pada Oktober 1997, ia dipilih untuk menjabat sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Terlepas dari kesetiaan bertahun-tahun kepada Presiden Soeharto, setelah Kejatuhan Soeharto, Harmoko membuat kejutan besar pada konferensi pers dengan meminta presiden untuk mundur dalam waktu lima hari. Kemungkinan karena fakta bahwa dia mungkin kesal dengan pemecatannya sebagai menteri penerangan, pemecatannya sebagai calon wakil presiden, dan rumahnya dibakar oleh pengunjuk rasa. Soeharto melihat permintaan Harmoko sebagai pengkhianatan, sementara Tadjus Sobirin, mantan Ketua Umum Golkar Jakarta menyebut Harmoko "Brutus" saat rapat pimpinan partai, merujuk kepada senator RomawiMarcus Junius Brutus, yang membunuh paman buyutnya Julius Caesar. Harmoko meninggal pada tanggal 4 Juli 2021 di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto karena COVID-19, dan dimakamkan keesokan harinya di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Kehidupan awal dan pendidikan
Harmoko lahir di Desa Patianrowo, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur, Hindia Belanda, pada 7 Februari 1939.[4] Ia adalah anak ketiga dari sepuluh bersaudara.[5] Harmoko dibesarkan oleh kedua orang tuanya, ibunya, Soeriptinah, dan ayahnya, Asmoprawiro. Ia memulai pendidikannya di Sekolah Rakyat (setara sekolah dasar saat ini), sebelum melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas (SMA). Harmoko akhirnya aktif terlibat dalam Perkumpulan Kebudayaan Surakarta, dan mengikuti pendidikan jurnalistik di sana. Ia mengikuti Program Reguler VII di Lembaga Ketahanan Nasional.[6] Ia melanjutkan usaha jurnalistiknya, dan bersekolah di sekolah jurnalistik di Jakarta.[7]
Karier jurnalistik
Setelah lulus dari Sekolah Jurnalistik di Jakarta, ia bekerja sebagai jurnalis dan kartunis di surat kabar Harian Merdeka, hingga tahun 1962, ketika ia pindah bekerja untuk Berita Merdeka. Pada tahun 1964, ia meninggalkan Berita Merdeka, dan bekerja di Harian Angkatan Bersenjata. Ia melanjutkan karir jurnalistiknya di Harian API pada tahun 1965, sebelum menjabat sebagai pemimpin redaksi majalah bahasa Jawa, Merdiko. Pada tahun berikutnya, ia menjadi kepala surat kabar Harian Mimbar Kita.[8]
Pada tahun 1970, ia bersama beberapa temannya mendirikan surat kabarnya sendiri, Poskota. Koran tersebut dirancang sebagai sebuah surat kabar harian, dengan perspektif masyarakat, yaitu untuk melaporkan peristiwa yang dialami oleh "orang kecil". Usaha itu sangat berisiko, karena "orang kecil" (audiens target koran), memiliki sedikit daya beli. Namun, bisnis itu terbukti berhasil, dan Harmoko menghasilkan banyak uang dari koran itu. Isi Poskota membahas berbagai aspek kehidupan masyarakat di ibu kota Jakarta, mulai dari politik, sosial, dan kriminal. Ciri khas lain dari Poskota adalah lampirannya, yang berisi gambar-gambar kehidupan kota yang disajikan dalam bentuk kartun, yang menyampaikan kritik sosial Harmoko terhadap kehidupan sehari-hari masyarakat.[9] Ia juga bertanggung jawab atas pembuatan surat kabar Terbit.[10]
Keberhasilan korannya membuatnya menjadi tokoh dalam pers Indonesia. Pada tahun 1970, ia terpilih sebagai Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) cabang Jakarta. Ia menjabat sebagai ketua cabang dari tahun 1970 sampai 1972, ketika ia terpilih sebagai Ketua Umum PWI Pusat pada tahun 1973. Ia menjabat sebagai Ketua Umum PWI dari tahun 1973 sampai 1983, menjadi ketua terlama di PWI.[9]
Karier politik
Menteri Kabinet
Pada 1977, Harmoko terpilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), sebagai anggota organisasi Golkar yang berkuasa.[11] Ia melanjutkan kariernya di DPR, hingga akhirnya menjadi Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Golkar. Sebagai Ketua DPP Golkar, Harmoko berhasil mempengaruhi publik selama pemilihan umum 1982, melalui program SafariRamadhan.[12] Pada tahun 1983, ia diangkat Menteri Penerangan, kemungkinan karena latar belakangnya di jurnalisme.[13][12] Ia menjabat sebagai menteri penerangan di tiga kabinet berturut-turut (Kabinet Pembangunan IV, Kabinet Pembangunan V dan Kabinet Pembangunan VI) dari tahun 1983 hingga 1997,[14] pada waktu itu dikatakan bahwa namanya adalah singkatan dari hari-hari omong kosong.[15] Harmoko menggunakan kewenangannya untuk memperpanjang Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Pencabutan SIUPP dari perusahaan penerbitan berarti tidak dapat lagi berfungsi secara hukum, dan juga dapat digunakan untuk secara efektif melarang publikasi individu. Setelah majalah berita mingguan Tempo menerbitkan artikel yang mengkritik pembelian 39 kapal perang Jerman Timur oleh Menteri Riset dan TeknologiB. J. Habibie, SIUPP majalah tersebut dicabut pada tanggal 21 Juni 1994 dan berhenti terbit. Dua publikasi berita lainnya, Detik dan Editor, dilarang secara bersamaan.[16]
Setelah masa jabatan sebagai wakil ketua, Harmoko menjadi ketua organisasi politik Golkar yang berkuasa dari 1993 hingga 1998, menjadi orang sipil pertama yang memegang posisi ini.[17] Pada Juni 1997 diangkat menjadi menteri negara urusan khusus, jabatan yang dijabatnya hanya tiga bulan karena pada Oktober 1997, ia terpilih sebagai ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat, sebuah jabatan yang ia menjabat sampai tahun 1999.[18] Meskipun bertahun-tahun setia kepada Presiden Soeharto, setelah demonstrasi mahasiswa yang meluas menyerukan perubahan pemerintah, pada tanggal 18 Mei 1998, Harmoko membuat kejutan besar pada konferensi pers dengan meminta presiden untuk mundur dalam waktu lima hari. Ini mungkin karena Harmoko kesal dengan pemecatannya sebagai menteri penerangan dan tidak dipertimbangkan untuk wakil presiden, atau mungkin karena Harmoko kesal setelah perusuh membakar rumahnya di Surakarta.[19][20]
Soeharto melihat permintaan Harmoko sebagai pengkhianatan, dan ketika Harmoko berusaha mengunjungi Suharto di ranjang kematiannya pada 2008, ia ditolak.[21]Tadjus Sobirin, Ketua Umum Golkar Jakarta pada tahun 1998, memanggil Harmoko "Brutus" dalam rapat pimpinan partai.[22]
Harmoko (kiri) duduk bersama Presiden Suharto dan Wakil Presiden B. J. Habibie.
Sebagai menteri Penerangan, Harmoko mencetuskan gerakan Kelompencapir (Kelompok Pendengar, Pembaca dan Pirsawan) yang dimaksudkan sebagai alat untuk menyebarkan informasi dari pemerintah. Harmoko pun dinilai berhasil memengaruhi hasil pemilihan umum (Pemilu) melalui apa yang disebut sebagai "Safari Ramadhan". Sebagai Ketua Umum DPP Golkar, Harmoko dikenal pula sebagai pencetus istilah "Temu Kader". Terakhir, ia menjabat sebagai Ketua DPR/MPR periode 1997-1999 yang mengangkat Soeharto selaku presiden untuk masa jabatannya yang ke-7. Namun dua bulan kemudian Harmoko pula memintanya turun ketika gerakan rakyat dan mahasiswa yang menuntut reformasi tampaknya tidak lagi dapat dikendalikan.
Salah satu kebijakan Harmoko yang cukup kontroversial adalah pelarangan lagu-lagu "cengeng" (balada sentimental). Pada peringatan HUT TVRI pada 24 Agustus 1988, Harmoko mengeluarkan instruksi untuk melarang stasiun televisi dan radio memutar lagu-lagu balada sentimental, buntut dari melejitnya lagu berjudul "Hati yang Luka", yang ditulis oleh Obbie Messakh dan dinyanyikan oleh Betharia Sonatha. Menurutnya, sering diputarnya lagu-lagu balada sentimental semacam "Hati yang Luka" dianggap "menghambat" dan "menghancurkan" semangat pembangunan yang terus digelorakan pemerintah.[23]
Schwarz, Adam (1999). A Nation in Waiting: Indonesia's Search for Stability (dalam bahasa Inggris) (edisi ke-2nd). Allen & Unwin. ISBN9781760636913.
"The Editors" (1993), The Sixth Development Cabinet Announced March 17, 1993, Indonesia, Vol. 55, pp. 167–176
Simanjuntak, P.N.H, (2003), Kabinet-Kabinet Republik Indonesia (Cabinets of the Republic of Indonesia), Penerbit Djambatan, Jkaarta, ISBN 979-428-499-8