Setiadi Reksoprodjo
Setiadi Reksoprodjo (18 November 1921 – 28 Juli 2010) adalah seorang politikus Indonesia yang menjabat sebagai Menteri Penerangan, Menteri Muda Penerangan, anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, anggota Konstituante, dan Menteri Urusan Listrik dan Ketenagaan. Setiadi berusia 25 tahun 7 bulan saat ia diangkat menjadi Menteri Penerangan, menjadikannya menteri termuda di Indonesia sampai saat ini. Setiadi lahir pada 18 September 1921, dan meninggal pada 28 Juli 2010. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata pada 29 Juli 2010. Kehidupan awal dan pendidikanSetiadi Reksoprodjo lahir pada tanggal 18 September 1921 di Kutoarjo, Kabupaten Purworejo Jawa Tengah.[1] Ia adalah putra tertua dari bangsawan Jawa Soekirdjo Reksoprodjo dan Koespirah Soemodidjojo. Ayahnya, Soekirdjo Reksoprodjo, menjabat sebagai Bupati Kudus dari tahun 1952 sampai 1954. Setiadi mendaftar di Semarang Hogere Burgerschool (Pendidikan Menengah Umum) pada tahun 1933.Setelah menempuh pendidikan selama tiga tahun, Setiadi menempuh ujian akhir di sekolah tersebut pada tahun 1938. Ia berhasil lulus dengan nilai tertinggi dari seluruh siswa lainnya, yakni 8.37.[2] Pada tahun 1938, Setiadi masuk Sekolah Tinggi Teknik Bandung ( Technische Hoogeschool te Bandoeng, sekarang Institut Teknologi Bandung ).[3] Ia lulus dari universitas tersebut pada tahun 1941, dan memperoleh gelar insinyur (Ir.) pada tahun 1942.[4] Setelah lulus, ia dipekerjakan oleh pemerintah Jepang pada masa pendudukan Jepang di Hindia Belanda untuk bekerja di Biro Transportasi dan Pengairan Jawa Barat di Cirebon. Karier politikSetelah Kemerdekaan Indonesia, Setiadi tetap mempertahankan pekerjaannya di Dinas Perhubungan dan Pengairan Jawa Barat. Ia juga terlibat dalam politik, dan bergabung dengan Partai Sosialis Indonesia. Pada tahun 1945, ia menjadi ketua Pemuda Sosialis Indonesia di Cirebon. Ia juga diangkat sebagai Ketua Komite Nasional Indonesia Cirebon dan sebagai Ketua Dewan Pertahanan Cirebon. Setiadi dikreditkan atas pengembangan penyiaran radio di Cirebon. Ia mendirikan Radio Informasi Cirebon, stasiun radio pertama Cirebon, yang kemudian digabung menjadi Radio Republik Indonesia.[5] Setiadi pindah ke Yogyakarta — ibu kota Indonesia pada waktu itu — pada Januari 1947 bersamaan dengan pengangkatannya sebagai Kepala Biro Hubungan Masyarakat Departemen Pekerjaan Umum, sebuah kantor baru. Sesuai dengan jabatannya yang baru, ia diangkat sebagai anggota dewan eksekutif pusat Pemuda Sosialis Indonesia.[5] Pada 3 Juli 1947, Amir Sjarifoeddin, perdana menteri baru Indonesia, mengumumkan kabinet pertamanya.[6] Setiadi yang saat itu berusia 25 tahun 7 bulan diangkat menjadi Menteri Penerangan [6] menjadikannya menteri termuda dalam kabinet dan sepanjang sejarah Indonesia.[7] Saat itu, menteri junior di kabinet, Sjahbuddin Latief berusia hampir dua kali lebih tua darinya (48 tahun).[8] Lima bulan kemudian, pada 11 November 1947, Amir mengumumkan perombakan kabinetnya. Di kabinet baru Amir, Setiadi dan Sjahbuddin bertukar posisi. Sjahbuddin diangkat sebagai Menteri Penerangan, sedangkan Setiadi menjadi menteri muda.[9] Setelah kabinet dibubarkan pada 29 Januari 1948, Setiadi menjadi pengusaha. Pada tahun yang sama, partai Setiadi, Partai Sosialis, dipecah menjadi Partai Sosialis Indonesia pimpinan Sutan Sjahrir dan Front Demokratik Rakyat pimpinan Amir Sjarifuddin. Setiadi tidak bergabung dengan keduanya.[10] Pada tahun 1954, Setiadi mencalonkan diri dalam pemilihan Majelis Konstitusi Indonesia, meskipun ia bukan anggota Partai Komunis Indonesia ia dicalonkan sebagai calon nomor 22 oleh PKI untuk mewakili Jawa Barat.[11] Setiadi memenangkan kursi dan dilantik pada 9 November 1956.[12] Setiadi, bersama beberapa calon independen lainnya di Majelis Konstitusi termasuk Prof. Ir. Saluku Poerbodiningrat, A. Astrawinata SH, Affandi dan Ismail Kartasasmita membentuk fraksi sendiri dengan nama fraksi Republik Proklamasi.[10] Setiadi mendukung pemulihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan pembubaran MPR.[13] Majelis Konstitusi dibubarkan dengan dekrit presiden tiga tahun kemudian pada tanggal 5 Juli 1959.[14] Beberapa bulan kemudian, Setiadi diangkat oleh Presiden Sukarno sebagai Delegasi Daerah Jakarta untuk Majelis Konsultatif Rakyat.[15] Setiadi dilantik pada 15 September 1960 dan menjabat hingga pengangkatannya sebagai menteri.[16] Setiadi juga terlibat dalam Dewan Perdamaian Dunia. Setiadi terlibat dalam pembentukan Komite Perdamaian Indonesia, cabang dewan tersebut di Indonesia, iapun menjadi ketua komite.[17] Beliau kemudian meninggalkan posisinya setelah menjadi anggota komite eksekutif Dewan Perdamaian Dunia [18] dan digantikan oleh Ny. Ratu Aminah Hidajat. Ia kemudian menjadi wakil presiden Dewan Perdamaian Dunia[19] yang berbasis di Jenewa di mana Presiden Internasional disaat itu adalah Frédéric Joliot-Curie, menantu dari Marie Curie. Pada tanggal 28 Mei 1965, Presiden Soekarno melakukan reorganisasi Kabinet Dwikora. Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik yang sebelumnya berada di bawah Kompartemen Pembangunan, ditingkatkan menjadi Kompartemen. Dengan demikian, beberapa kementerian baru dibuat di tempatnya. Salah satu kementerian itu adalah Kementerian Urusan Listrik & Ketenagaan.[20] Setiadi Reksoprodjo diangkat sebaga Kementerian Urusan Listrik & Ketenagaan pada hari yang sama dengan reorganisasi.[21] Ketika Setiadi diangkat lagi untuk jabatan yang sama dalam kabinet yang direvisi Sukarno, beberapa protes muncul dari para pegawai di kementerian tersebut. Para buruh menuntut Setiadi mundur.[22] Tuntutan tersebut muncul karena tim skrining militer di dalam setiap pelayanan pada waktu yang membuat tuduhan bahwa Setiadi memberikan dukungan kepada Organisasi Pekerja Central All-Indonesian dan aktivitas di Asosiasi Mahasiswa Indonesia (HSI, Himpunan Sarjana Indonesia). [23] Kementeriannya juga dikritik karena dugaan miskoordinasi dengan Kementerian Pengairan selama pembangunan pembangkit listrik di Bendungan Jatiluhur.[24] Pada tanggal 18 Maret 1966,[25] Setiadi bersama 14 menteri lainnya antara lain Subandrio (Wakil Perdana Menteri Pertama), Chaerul Saleh (Wakil Perdana Menteri Ketiga), A. Astrawinata (Menteri Kehakiman), Oeit Joe Tat (Menteri Negara), Achadi (Menteri Transmigrasi/ Koperasi) dan Jusuf Muda Dalam (Gubernur Bank Indonesia) ditangkap oleh rezim Suharto [26] setelah Gerakan 30 September karena kesetiaan mereka kepada Presiden Sukarno.[27] Setiadi kemudian dipenjara di Rumah Tahanan Nirbaya tanpa proses pengadilan yang sah dan layak.[28] Dia dibebaskan pada 20 Desember 1977 setelah dipenjara selama hampir 12 tahun.[29] Namun, setelah dibebaskan, Lurah Menteng menolak memberinya KTP. Gubernur Jakarta saat itu, Ali Sadikin, turun tangan dan menginstruksikan Lurah untuk mengunjungi Setiadi dan memberinya KTP.[30] Kehidupan setelah reformasiSetelah jatuhnya Suharto, Setiadi bersama para tapol lainnya yang dipenjarai oleh rezim Suharto, seperti Ir. Muhammad Sanusi, JK Tumakaka, Soetomo Martopradoto dan Nyonya Jo Koerwet membentuk Paguyuban Korban Orde Baru (PAKORBA). Setadi menjadi pemimpin organisasi dan pemimpin redaksi Mimbar PAKORBA, publikasi organisasi.[31] Sebagai anggota PAKORBA, Setiadi mengadvokasi rehabilitasi korban rezim Orde Baru. Pada tanggal 5 April 2003, Setiadi pergi ke Jenewa untuk bersaksi tentang pembunuhan massal Indonesia tahun 1965-1966 di depan Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia [32] Setiadi meninggal pada pukul 10,05 pada tanggal 28 Juli 2010 di rumahnya di Menteng, Jakarta. Setiadi dimakamkan sehari kemudian di Taman Makam Pahlawan Kalibata.[33] Referensi
|