Pada bulan Maret 2007, petugas penyidik sebab kematian di Australia mengeluarkan perintah penangkapan terhadap Yosfiah atas kematian lima wartawan di Timor Timur pada tahun 1975.[4] Saat itu Yosfiah diduga memimpin sebuah penyerangan ke Balibo. Namun, Pemerintah Indonesia menolak permintaan itu karena Australia tidak memiliki yurisdiksi untuk mengadili warganegara Indonesia dan menganggap kasus tersebut telah ditutup.[5] Kasus itu dikenal dengan nama Balibo Five.
Aksi di Timor Timur
Balibo Five
Pada tahun 1975, seorang Kapten memimpin unit pasukan khusus Indonesia ke Balibo, Timor Timur, dituduh bahwa Yosfiah menembaki wartawan Australia yang mencoba untuk menyerah, dan memerintahkan anak buahnya untuk melakukan hal yang sama.[6] Setelah dibunuh, beberapa tubuh wartawan dipakaikan seragam tentara Portugis dan difoto dengan senapan mesin seolah-olah mereka telah tewas terbunuh karena berperang melawan pasukan Indonesia.
Pada bulan Februari 2007 Mark Tedeschi QC, penasihat pembantu koroner pada pemeriksaan kematian salah satu wartawan yang tewas, Brian Peters, mengatakan Yosfiah tidak menanggapi undangan untuk tampil pada pemeriksaan. Deputi Koroner New South Wales, Dorelle Pinch dalam temuannya menemukan bahwa: "Brian Raymond Peters, beserta rekan wartawannya Gary James Cunningham, Malcolm Rennie Harvie, Gregory John Shackleton dan Anthony John Stewart, yang dikenal sebagai Balibo Five, meninggal di Balibo, Timor Leste pada 16 Oktober 1975 akibat luka yang diderita ketika mereka ditembak dan/atau ditusuk dengan sengaja, dan tidak berada dalam panasnya pertempuran, oleh anggota Pasukan Khusus Indonesia, termasuk oleh Christoforus da Silva dan Kapten Yunus Yosfiah atas perintah Kapten Yosfiah.[7][8] Tujuannya, untuk mencegah mereka mengekspos bahwa Pasukan Khusus Indonesia telah berpartisipasi dalam serangan di Balibo."[9] Namun Yosfiah membantah tuduhan itu. Dia menyatakan tidak pernah bertemu dengan kelima wartawan asing tersebut selama bertugas di Balibo.[7]
Beberapa saksi, termasuk mantan pasukan Timor yang mendukung invasi Indonesia (UDT dan Apodeti) mengidentifikasi Yosfiah sebagai partisipan kunci dalam pembunuhan wartawan. Sebagai konsekuensi Dorelle Pinch mengeluarkan laporan pada 16 November 2007 yang menyimpulkan bahwa Yosfiah telah berpartisipasi dalam kejahatan perang, dia terlibat dalam pembunuhan dan mesti dihukum sesuai dengan konvensi Jenewa yang mana Indonesia adalah salah satu penandatangannya.[10]
Yosfiah menjabat sebagai Menteri Penerangan dalam Kabinet Reformasi Pembangunan pada era Presiden Habibie tahun 1998 sampai 1999. Tindakannya dalam menghilangkan pembatasan terhadap media dan bentuk komunikasi lainnya, antara lain seperti penghapusan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) dan menjamin kebebasan pers,[12] telah digambarkan sebagai, "salah satu terobosan besar pemerintahan Habibie".[13]
Yosfiah pernah menjadi Ketua Fraksi ABRI di MPR pada 1997. Ia pensiun dari TNI pada tahun 1999.[15] Pada 2002 Yosfiah menjadi anggota Partai Persatuan Pembangunan (PPP).[16] Yosfiah juga adalah Sekretaris Jenderal PPP dari bulan Desember 2003 hingga tahun 2007.[12] Pada bulan Februari 2007 Yosfiah ikut dalam pemilihan Ketua Umum PPP, tetapi ia gagal.[17] Ia pernah menjadi anggota DPR untuk periode 2004–2009 dari PPP mewakili dapil Sulawesi Selatan II[18] dan duduk di Komisi XI.
Pendidikan militer
Akademi Militer Nasional (1965)
Sesarcab Infanteri
Komando
Diklapa I
Diklapa II
Sekolah Staf dan Komando (Seskoad) di Fort Leavenworth, AS (1979-1980)
Pendidikan komando di Royal College of Defense Studies, London (1989)
Psychological Warfare, Psychology of Operation, di Fort Bragg, AS.
Sesko TNI
Lemhanas
Riwayat jabatan
Jabatan-jabatan yang pernah dipegang oleh Yunus di antaranya:[12][19]
Komandan Peleton Grup 2 Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD)/Kopassandha