Halaman ini berisi artikel tentang Provinsi Timor Timur yang pernah menjadi bagian dari Indonesia (1976—1999). Untuk negara di Asia Tenggara, lihat Timor Leste.
^Timor Timur disahkan secara de jure sebagai provinsi ke-27 Indonesia. Perserikatan Bangsa-Bangsa dan beberapa negara termasuk Portugal tak mengakui klaim Indonesia dan melihatnya sebagai aksi pendudukan militer.
^Sejak tahun 1928–1976 mengemudi di lajur kanan mengikuti Portugal, kembali mengemudi di lajur kiri sejak 1976.
Timor Timur (disingkat Timtim, Tetun: Timor Lorosa'e) adalah sebuah provinsi di Indonesia yang pernah berdiri dari tanggal 17 Juli 1976 hingga 19 Oktober 1999. Ibu kotanya adalah Kotif Dili (sekarang Kota Dili). Timor Timur berintegrasi dengan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia setelah dijajah selama 450 tahun oleh Portugal. Wilayah Timor Timur meliputi wilayah bekas koloni Portugal di Pulau Timor dan pulau-pulau kecil di sekitarnya seperti Pulau Kambing dan Jaco.
Dari tahun 1702 hingga 1975, Timor Timur adalah bagian dari imperium Portugal yang bernama Timor Portugis. Pada tahun 1974, Portugal memprakarsai proses dekolonisasi bertahap dari sisa wilayah koloninya, termasuk Timor Portugis. Selama proses tersebut, konflik sipil antara berbagai pihak di wilayah ini meletus. Pada tahun 1975, sejumlah tokoh Timor Portugis meminta bantuan pemerintah Indonesia untuk pemulihan keamanan dan ketertiban di wilayahnya. Timor Timur mulai diintegrasikan ke dalam wilayah Republik Indonesia dan diresmikan sebagai provinsi ke-27 RI pada tanggal 17 Juli 1976.
Timor Timur secara resmi merdeka menjadi negara Timor Leste pada 20 Mei 2002 setelah referendum yang diselenggarakan pada tanggal 30 Agustus 1999 menghasilkan 78,5% pemilih memilih untuk memisahkan diri dari Indonesia.[1]
Pulau Timor telah dikenal jauh sebelum zaman kolonial. Bukti sejarah yang menunjukkan seperti tercantum dalam pujasastra Kakawin Nagarakretagama karya Empu Prapañca tahun 1365 M yang menyebut Timor sebagai anak sungai.[2] Pada masa itu, wilayah ini menjadi salah satu dari 98 anak sungai atau wilayah-wilayah yang bernaung di bawah kekuasaan Majapahit, namun mempunyai raja-raja yang otonom dan mandiri. Wilayah Timor pada masa pra-kolonial juga menjadi bagian dari jaringan perdagangan yang terbentang antara India dan Tiongkok, serta Asia Tenggara Maritim. Barang-barang dari luar yang diperdagangkan antara lain logam; beras; tekstil halus; dan koin yang dibarter dengan rempah-rempah lokal seperti kayu cendana; tanduk rusa; lilin lebah; dan lain-lain. Kayu cendana merupakan komoditas utama wilayah ini. Pada tahun 1515, orang Portugis pertama kali mendarat di dekat Pante Makasar. Para pedagang Portugis mengeksplor kayu cendana dari Pulau Timor hingga pohon itu hampir punah. Di tahun 1556, sekelompok biarawanDominikan mendirikan desa di Lifau.
Selain itu, Timor Timur pernah berada di bawah pengaruh Kesultanan Ternate. Pada masa pemerintahan Sultan Baabullah (1570–1583), ia memperluas pengaruhnya dari Kepulauan Maluku; Mindanao; Sulawesi; Nusa Tenggara; Raja Ampat; hingga ke Kepulauan Marshall di sebelah timur. Ini ditandai dengan penempatan para wali kuasa Kesultanan Ternate (Sangaji) di wilayah-wilayah itu termasuk Timor Timur.[3][4] Saat itu Timor Timur masih merupakan "wilayah tak bertuan" (wilde occupantie) yang terdiri dari beberapa kerajaan (kesukuan) kecil dan para pedagang Portugis yang berdagang di wilayah ini.[5] Di akhir abad ke-16, Kesultanan Ternate mulai mengabaikan Timor Timur serta wilayah-wilayah kekuasaannya yang lain, ditambah dengan pengaruh Belanda yang semakin menguat di Kesultanan Ternate pada awal abad ke-17.[6]
Sejak akhir abad ke-16, Pulau Timor menjadi perebutan antara bangsa Portugis dan Belanda. Keduanya datang dengan tujuan untuk mengeksplor rempah-rempah. Tahun 1613, Belanda menguasai bagian barat pulau yang kemudian dikenal sebagai "Timor Belanda" atau Timor Barat. Selama tiga abad berikutnya, Belanda berhasil mendominasi wilayah Indonesia dengan pengecualian Pulau Timor bagian timur yang telah lebih dulu diduduki orang-orang Portugis.
Pada tahun 1702, sebuah wilayah koloni baru Portugal berdiri di Timor dan beribukota di Lifau, yang juga menjadi ibu kota dari semua wilayah kekuasaan Portugal di Kepulauan Nusa Tenggara.[7] Sejak saat itu, wilayah koloni Portugal di Pulau Timor dikenali sebagai "Timor Portugis". Kontrol Portugal atas wilayah ini lemah, terutama di pedalaman pegunungan. Ini ditandai dengan persaingan antara pedagang Portugis dengan biarawan Dominikan dan orang Timor sendiri, serta serangan dari pasukan Belanda yang menguasai Timor Barat. Kontrol administrator kolonial sebagian besar terbatas pada daerah Dili, dan mereka harus bergantung pada kepala suku tradisional untuk memperkuat kontrol dan pengaruhnya. Pada tahun 1769, ibu kota dipindahkan dari Lifau ke Dili karena serangan dari beberapa penguasa lokal.
Perbatasan antara Timor Portugis dan Hindia Belanda secara resmi diputuskan pada tahun 1859 melalui Perjanjian Lisboa antara Portugal dan Belanda. Kemudian pada tahun 1913, Portugal dan Belanda secara resmi sepakat untuk membagi pulau di antara mereka.[8] Batas definitif ditentukan oleh Mahkamah Arbitrase Antarabangsa pada tahun 1916.[9] Portugal menguasai wilayah Pulau Timor bagian timur dengan pulau kecil di sekitarnya dan sebuah wilayah eksklave di Timor Barat.
Pada tahun 1942, wilayah ini diduduki oleh tentara Jepang yang pada waktu itu menguasai sebagian besar wilayah Asia Tenggara; Asia Timur; dan Kepulauan Pasifik. Pada masa pendudukan Jepang ini terjadi pertempuran sengit di Pulau Timor antara pasukan Jepang melawan pasukan Portugis; Belanda; Australia; Amerika Serikat; Inggris; dan beberapa penduduk setempat baik dari timur maupun barat untuk mengusir tentara Jepang. Di bawah pendudukan Jepang, perbatasan antara Timor Portugis dan Hindia Belanda diabaikan dan Pulau Timor dijadikan satu zona administrasi di bawah komando Tentara Kekaisaran Jepang. Setelah kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II dan perang berakhir, Portugal merebut kembali wilayahnya di Timor Timur, sementara Timor Barat menjadi bagian dari Indonesia setelah kemerdekaannya pada tahun 1945.
Proses Integrasi
Kedatangan bangsa Portugis di Timor tidak sepenuhnya diterima oleh penduduk pribumi setempat. Perlawanan terhadap kolonialisme Portugis ini mulai muncul pada pertengahan abad ke-20. Salah satu perlawanan yang kemudian muncul adalah Pemberontakan Viqueque. Pemberontakan ini terjadi karena banyak penduduk pribumi yang merasa bahwa kebijakan pemungutan pajak yang dilakukan oleh pemerintah kolonial terlalu banyak menekan mereka. Pemberontakan bermula dari keadaan pasca Perang Dunia II, di mana saat itu Indonesia yang baru terbebas dari pendudukan Jepang menyatakan kemerdekaannya melalui Proklamasi tanggal 17 Agustus 1945. Berita kemerdekaan Indonesia ini kemudian tersebar ke seluruh dunia dan sampai ke Timor Timur.
Di tahun 1953, beberapa tokoh di Timor Timur mendengar kabar kemerdekaan yang telah terjadi dengan saudara-saudaranya yang ada di Timor Barat. Dua tahun berikutnya, para tokoh ini mendengar bahwa pemerintah Indonesia telah menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika di Bandung, yang melahirkan keputusan mendukung kemerdekaan dari penindasan kolonial bagi setiap bangsa. Pada tahun 1955 itu juga sebenarnya sudah ada rencana pemberontakan dari pemuda-pemuda di Dili. Para pemuda itu lalu menyebarluaskan rencananya ke seluruh wilayah Timor Timur. Mulai perlahan-lahan lahir perasaan nasionalisme di kalangan pemuda-pemuda Timor Timur.
Pada tahun 1959, semangat untuk melepaskan diri dari kaum kolonial makin kuat di wilayah Viqueque. Ini terlihat dari berkembangnya rencana untuk melakukan perjuangan pada akhir tahun 1959. Dukungan terhadap rencana itu makin kuat dan tersebar ke daerah-daerah lain di Timor Timur. Untuk mematangkan rencana itu, diadakan pertemuan yang hasilnya memutuskan bahwa pelaksanaan perjuangan akan jatuh pada 31 Desember 1959, bertepatan dengan malam tahun baru. Karena menurut analisis para pemuda itu, pada malam tahun baru orang-orang dan tentara Portugis selalu berpesta pora, sehingga tidak ada penjagaan ketat dan serangan dapat dilakukan. Rencana pemberontakan ini kemudian diketahui oleh pemerintah kolonial. Mereka segera melakukan penangkapan terhadap pemuda-pemuda yang dicurigai baik yang berada di Dili maupun daerah lain di Timor Timur. Sebagian dari para pemuda itu kemudian dibuang ke Angola. Akibat dari kejadian pemberontakan itu, terjadi pembunuhan terhadap ratusan penduduk yang dituduh berkaitan dengan pemberontakan. Perlawanan rakyat yang digerakkan dari Viqueque itu merupakan pemberontakan terakhir di Timor Timur sebelum Portugal melakukan proses dekolonisasi terhadap wilayah ini.
Pada tahun 1974, di Portugal terjadi Revolusi Bunga (atau disebut juga Revolusi Anyelir) yang mendorong Portugal mengeluarkan kebijakan dekolonisasi dan mulai meninggalkan wilayah jajahannya termasuk Timor Timur. Partai-partai politik mulai berdiri di Timor Timur: Apodeti (Associação Popular Democrática Timorense); Fretilin (Frente Revolucionária de Timor-Leste Independente); UDT (União Democrática Timorense); Partido Trabalhista; KOTA (Klibur Oan Timor Asu’wain); dan ADITLA (Associação Democratica para a Integração de Timor-Leste na Austrália). Partai UDT yang kebanyakan anggotanya para pegawai negeri Portugis, tuan tanah, dan tetua adat menginginkan Timor Timur tetap berada di bawah kekuasaan Portugal. Partai Apodeti menginginkan Timor Timur berintegrasi dengan Indonesia. Partai Fretilin yang beraliran kiri menginginkan Timor Timur merdeka sebagai sebuah negara berdaulat. Ketiganya merupakan tiga partai terbesar. Partai-partai kecil, seperti KOTA menginginkan pemerintahan monarki tradisional yang fokus pada kepemimpinan lokal, ADITLA menginginkan Timor Timur berintegrasi dengan Australia, dan Partai Trabalhista (Partai Buruh) yang didukung oleh komunitas Tionghoa dan Arab hanya menginginkan perubahan yang terkendali.
Selama bulan-bulan pertama kelahirannya, partai-partai politik di Timor Timur ini mulai melakukan konsolidasi. Tiga partai di antaranya, yakni UDT; Fretilin; dan Apodeti mengirimkan utusan-utusannya ke berbagai negara, khususnya ke negara-negara terdekat seperti Australia dan Indonesia. Tokoh-tokoh seperti José Ramos Horta dari Fretilin dan Francisco Xavier Lopes da Cruz dari UDT datang ke Jakarta menemui perwakilan pemerintah Indonesia untuk membicarakan perkembangan situasi yang terjadi di Timor Timur. Menanggapi perkembangan ini, Presiden Indonesia Soeharto dalam sidang Dewan Stabilisasi Politik & Keamanan Nasional pada tanggal 8 Oktober 1974 menyatakan sikap dasar bahwa Indonesia tidak mempunyai ambisi teritorial; Indonesia menghormati hak rakyat Timor Timur untuk menentukan nasibnya sendiri; dan bila rakyat Timor Timur ingin bergabung dengan Indonesia, maka Timor Timur tidak mungkin bergabung sebagai negara, melainkan sebagai bagian dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Beberapa kali partai-partai politik tersebut juga mengadakan perundingan dengan pihak Portugal, namun tidak membawa hasil. Di kemudian hari, di antara partai-partai tersebut terbentuk faksi-faksi di Timor Timur, di antaranya adalah koalisi antara Partai UDT dan Fretilin yang dimaksudkan sebagai jalan untuk membentuk Timor Timur yang merdeka sebagai sebuah negara, serta Partai Apodeti yang menyatakan menghendaki integrasi Timor Timur dengan Indonesia. Namun, koalisi Partai UDT dan Fretilin tidak bertahan lama seiring adanya isu komunis yang dituduhkan kepada Fretilin. Beberapa tokoh UDT akhirnya memutuskan untuk bergabung dengan Apodeti dan mengarahkan dukungannya untuk berintegrasi dengan Indonesia. Arah dukungan Partai Apodeti dan UDT itu belakangan juga diikuti oleh beberapa tokoh dari partai-partai lain seperti KOTA dan Trabalhista, sementara Partai ADITLA yang awalnya menghendaki integrasi Timor Timur dengan Australia kemudian membatalkan niatnya setelah pemerintah Australia menyatakan dengan tegas menolak gagasan tersebut.
Keluarnya UDT dari koalisi dengan Fretilin menimbulkan konflik antara kedua partai tersebut yang berujung pada perang saudara di Timor Timur yang berlangsung dari tanggal 20 Agustus hingga 27 Agustus 1975. Pasukan Fretilin memberikan perlawanan yang hebat baik terhadap pasukan UDT, Apodeti, maupun penduduk sipil pendukung faksi integrasi dengan Indonesia. Di tengah kemelut perang saudara, Gubernur Timor Portugis Mário Lemos Pires menghubungi pemerintah pusat di Portugal agar mengirimkan bala bantuan ke Timor Timur. Karena tidak mendapatkan jawaban, Lemos Pires kemudian memerintahkan penarikan tentara Portugis yang masih bertahan ke Pulau Atauro.
Perang saudara itu akhirnya dimenangkan oleh Fretilin, yang kemudian secara de facto memegang kendali atas wilayah Timor Timur yang sedang terjadi kekosongan kekuasaan, meskipun beberapa pertempuran dan pembantaian masih berlangsung di beberapa daerah. Walaupun secara de facto memegang kendali pemerintahan, tetapi Fretilin tetap mengakui kedaulatan Portugal atas Timor Timur dan menginginkan pemerintahan Portugis kembali dan melanjutkan proses dekolonisasi. Untuk mengisi kekosongan kekuasaan, Fretilin membentuk beberapa komisi dalam menjalankan pemerintahan sementara sambil menunggu hasil komunikasi dengan pemerintah Portugal.
Pada awal November 1975, Menteri Luar Negeri Portugal Ernesto Melo Antunes dan Menteri Luar Negeri Indonesia Adam Malik bertemu di Roma, Italia untuk membahas penyelesaian konflik.[10] Meskipun tidak ada pemimpin dari Timor Timur yang diundang ke pembicaraan, Fretilin mengirim pesan yang menyatakan keinginan mereka untuk bekerja sama dengan Portugal. Pertemuan berakhir dengan kedua pihak sepakat bahwa Portugal akan bertemu dengan para pemimpin politik di Timor Timur, tetapi pertemuan itu tidak pernah terjadi. Frustrasi oleh kelambanan Portugal, para pemimpin dari Fretilin percaya bahwa mereka dapat menangkis kemajuan yang dicapai Indonesia dengan lebih efektif jika mereka mendeklarasikan Timor Timur yang merdeka. Komisaris Politik Nasional Marí Alkatiri melakukan perjalanan diplomatik ke Afrika, mengumpulkan dukungan dari pemerintah di sana dan di tempat lain. Menurut Fretilin, upaya ini menghasilkan jaminan dari dua puluh lima negara, termasuk Tiongkok; Uni Soviet; Mozambik; Swedia; dan Kuba untuk mengakui negara baru yang akan didirikan.
Fretilin menurunkan bendera Portugal dan memproklamirkan kemerdekaan Timor Timur secara sepihak pada tanggal 28 November 1975, menyebutnya sebagai República Democrática de Timor-Leste (bahasa Portugis untuk "Republik Demokratik Timor Leste") dan mengangkat Francisco Xavier do Amaral sebagai Presiden. Proklamasi yang belakangan didukung oleh Portugal ini tidak diakui oleh pemerintah Indonesia yang sebelumnya telah mencapai kesepakatan dengan pihak Portugal dalam pertemuan di Roma.[11] Sejurus selepas itu, partai pro-integrasi, yakni Apodeti; UDT; Trabalhista; dan KOTA segera mengadakan proklamasi tandingan di Balibo pada tanggal 30 November 1975 yang menyatakan bahwa Timor Timur menjadi bagian dari Indonesia. Naskah proklamasi tersebut ditandatangani oleh Arnaldo dos Reis Araújo (Apodeti) dan Francisco Xavier Lopes da Cruz (UDT). Pernyataan sikap politik keempat partai diiringi dengan persiapan pembentukan pasukan gabungan yang direkrut dari para pengungsi yang jumlahnya sekitar 40 ribu orang. Dari perbatasan Timor Barat, pasukan yang terdiri dari para pengungsi ini kembali ke Timor Timur dan menyerang kedudukan pasukan Fretilin secara bergerilya. Beberapa pihak dari kalangan pro-kemerdekaan kemudian menuduh deklarasi yang diadakan oleh kalangan pro-integrasi di Balibo dan pasukan-pasukan gabungan yang direkrut dari para pengungsi sengaja dirancang oleh intelijen Indonesia, dengan maksud untuk memperkuat legitimasi Indonesia menyerbu wilayah Timor Timur.
Pada 7 Desember 1975, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) melakukan invasi militer ke Timor Timur. Selama masa invasi, massa penolak integrasi dibantai oleh pasukan ABRI, sedangkan anak-anaknya dibawa ke Indonesia untuk diasuh oleh keluarga militer Indonesia. Menyusul invasi tersebut, Gubernur Timor Portugis dan stafnya meninggalkan Pulau Atauro dengan dua kapal perang Portugal, menuju ke Darwin, Australia. Sebagai pernyataan kedaulatan, Portugal tetap mempertahankan kapal perang yang berpatroli di perairan sekitar Timor Timur hingga Mei 1976.
Setelah Timor Timur jatuh ke tangan Indonesia, gabungan partai yang pro-integrasi membentuk Pemerintah Sementara Timor Timur (PSTT) dan mengangkat Arnaldo dos Reis Araújo sebagai Ketua serta Francisco Xavier Lopes da Cruz sebagai Wakil Ketua.[12]
Timor Timur resmi menjadi provinsi ke-27 Indonesia setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1976 pada tanggal 17 Juli 1976.[13] Undang-Undang ini membahas tentang pengesahan penyatuan Timor Timur ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Masyarakat merasa ingin bersatu dengan Indonesia karena persamaan budaya dengan saudara serumpunnya, Timor Barat. Timor Timur menjadi provinsi yang paling unik, karena merupakan satu-satunya provinsi Indonesia bekas wilayah jajahan Portugal, dimana provinsi Indonesia lainnya merupakan bekas wilayah jajahan Belanda. Pada saat Presiden Soeharto menghadiri peringatan 2 tahun Integrasi Timtim di Gedung DPRD Tingkat I Timor Timur, ia menyebut bersatunya Timor Timur sebagai "kembalinya anak yang hilang ke pangkuan ibu pertiwi".
Reaksi
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan beberapa negara di dunia tidak mengakui klaim Indonesia atas Timor Timur. PBB terus menganggap bahwa Portugal sebagai kekuatan administrasi yang sah bagi Timor Timur. Negara-negara yang mengakui klaim Indonesia atas Timor Timur di antaranya adalah Amerika Serikat dan Australia.[14][15]
Pasca pengunduran diri Soeharto sebagai Presiden Indonesia pada tanggal 21 Mei 1998 dan digantikan oleh Bacharuddin Jusuf Habibie, ia turut memberikan perhatian pada masalah Timor Timur. Presiden Habibie membuat berbagai pernyataan publik di mana ia menyebutkan bahwa biaya mempertahankan subsidi moneter untuk mendukung provinsi tidak diimbangi oleh manfaat terukur bagi Indonesia. Karena analisis untung-rugi yang tidak menguntungkan ini, keputusan yang paling rasional adalah untuk provinsi yang bukan bagian dari batas asli sejak kemerdekaan 1945 di Indonesia, untuk diberikan pilihan demokratis apakah mereka ingin tetap berada di Indonesia atau tidak. Pilihan ini juga sejalan dengan program demokratisasi umum pemerintahan Habibie setelah era Presiden Soeharto.[16] Pernyataan-pernyataan Habibie ini disambut oleh sejumlah pihak, termasuk beberapa tokoh pro-kemerdekaan seperti Xanana Gusmão; José Ramos-Horta; dan Uskup Carlos Filipe Ximenes Belo yang meminta agar periode transisi diberlakukan lima sampai sepuluh tahun sebelum Timor Timur menerima kemerdekaan sepenuhnya.
Pada bulan Januari 1999, Presiden B.J. Habibie menerima pandangan dari Perdana Menteri Australia John Howard yang menyarankan agar Indonesia mengikuti langkah Prancis dalam menangani masalah Kaledonia Baru untuk menyelesaikan permasalahan Timor Timur dengan mempersiapkan waktu selama sepuluh tahun transisi sebelum membuka jalan kemerdekaan.[17] Setelah menerima pandangan itu, Habibie memutuskan untuk meminta percepatan penyelesaian permasalahan Timor Timur dengan tujuan untuk menggelar jajak pendapat pada tahun yang sama. Sebagai langkah tindak lanjut atas permintaan Habibie, PBB menyelenggarakan pertemuan antara pemerintah Indonesia dan pemerintah Portugal (sebagai otoritas kolonial sebelumnya atas Timor Timur).[18] Pada tanggal 5 Mei 1999, pembicaraan ini menghasilkan “Persetujuan antara Republik Indonesia dan Republik Portugis tentang Masalah Timor Timur” yang menjabarkan rincian dari referendum yang diminta. Referendum harus diadakan untuk menentukan apakah Timor Timur akan tetap menjadi bagian dari Indonesia, sebagai Daerah Otonomi Khusus, atau terpisah dari Indonesia.[19] Referendum itu diorganisir dan dipantau oleh misi penjaga perdamaian yang dibentuk PBB bernama UNAMET dan 450.000 orang terdaftar untuk memilih termasuk 13.000 orang di luar Timor Timur.
Kesepakatan antara pemerintah Indonesia dan Portugal termasuk "Kerangka Konstitusi untuk otonomi khusus bagi Timor Timur" sebagai sebuah aneksasi. Kerangka ini akan membentuk "Daerah Otonomi Khusus Timor Timur" (DOK Timor Timur) dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Lembaga-lembaga Daerah Otonomi Khusus Timor Timur akan mencakup cabang eksekutif yang terdiri dari seorang Gubernur (dipilih oleh dewan legislatif) dan dewan penasehat, cabang legislatif yakni Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, peradilan independen termasuk Pengadilan negeri, Pengadilan banding, Pengadilan banding akhir dan Kantor jaksa penuntut umum, serta Kepolisian Daerah.
Pemerintah Indonesia tetap memegang kendali atas pertahanan, hukum ketenagakerjaan, kebijakan ekonomi dan fiskal serta hubungan luar negeri, sementara hukum Indonesia akan memiliki kesinambungan di wilayah itu. Pemerintah otonom akan memiliki kompetensi atas semua hal yang tidak disediakan untuk Pemerintah Indonesia, termasuk hak untuk mengadopsi lambang sebagai simbol identitas. Pemerintah otonom dapat menunjuk orang-orang sebagai "identitas Timor" dan dapat membatasi hak kepemilikan tanah bagi orang-orang tanpa identitas ini. Kode sipil tradisional juga bisa diadopsi. DOK Timor Timur dapat mengadakan perjanjian dengan pemerintah kota dan pemerintah daerah untuk tujuan ekonomi, budaya, dan pendidikan. DOK Timor Timur akan berhak berpartisipasi dalam organisasi budaya dan olahraga di mana entitas non-negara lain berpartisipasi.
Hasil referendum Timor Timur pada tanggal 30 Agustus 1999 menyatakan bahwa sebanyak 344.580 (78,5%) suara dari rakyat Timor Timur menolak usulan otonomi khusus dan 94.388 (21,5%) suara menerima usulan otonomi khusus. Pada tahun 1999, wilayah Timor Timur diserahkan pemerintah Indonesia kepada UNTAET sebagai badan pemerintahan sipil yang dibentuk oleh PBB dalam rangka memelihara misi perdamaian di Timor Timur hingga kemerdekaannya secara resmi pada tanggal 20 Mei 2002.
Secara fisiografi, wilayah Timor Timur sebagian besar terdiri dari daerah-daerah pegunungan yang membentang dari timur ke barat. Bentangan-bentangan pegunungan ini ada kalanya terputus, sehingga membentuk lembah-lembah serta jurang-jurang yang curam dan amat dalam. Kemudian di tengah-tengahnya banyak dialiri sungai-sungai kecil. Tanah di wilayah ini banyak mengandung kapur, karang, tanah liat yang pekat, dan pasir serta sedikit tanah vulkanik.
Iklim di Provinsi Timor Timur pada umumnya tergolong iklim tropis dengan suhu minimum 18–21 °C, sedangkan suhu tertinggi bervariasi antara 26–32 °C. Di bagian utara sampai ke Baucau, musim hujan pada bulan April tahun berikutnya, dan pada umumnya diikuti angin barat (muson). Bulan Mei dan Oktober merupakan masa peralihan. Bulan September merupakan musim kemarau yang temperatur udaranya cukup rendah.
Berbeda keadaannya di daerah ujung timur dan selatan, musim hujan turun pada pertengahan bulan April tahun berikutnya. Bulan Mei merupakan musim kemarau dan awal Juni sampai Agustus musim hujan kembali. Apabila di Australia sedang musim dingin pada bulan Agustus hingga Oktober, kadang-kadang suhu di Timor Timur turun sampai 18 °C. Begitu pula sebaliknya, apabila di Australia sedang musim panas, di daerah pesisir, suhu menjadi tinggi walaupun sedang musim hujan. Selain itu, terdapat perbedaan suhu udara yang mencolok antara daerah pesisir dan daerah pedalaman. Rata-rata curah hujan relatif rendah (1.200–1.500 mm per tahun) dengan rata-rata 80–90 hari hujan per tahun, dengan catatan, di bagian selatan dan ujung timur dapat terjadi dua kali musim hujan dalam satu tahun. Sepanjang tahun, keadaan laut di sekitar pantai utara pada umumnya tenang, berbeda dengan pantai selatan yang hampir selalu bergelombang besar, terlebih pada musim angin barat.
Demografi
Suku bangsa
Penduduk Timor Timur merupakan rumpun bangsa Austronesia. Di Timor Timur terdapat puluhan suku-suku lokal, di antaranya adalah Suku Atoni; Bunak; Kemak; Mambai; Marobo; Samoro; Tetun; dan lain-lain. Rumpun suku bangsa yang mendiami wilayah Timor Timur ini memiliki hubungan kekerabatan dekat dengan suku-suku lain di Indonesia, terutama yang tinggal di wilayah Nusa Tenggara Timur. Selain itu, di Timor Timur juga terdapat suku-suku bangsa lain yang datang dari berbagai wilayah Indonesia seperti Bali; Bugis; Jawa; Sunda; serta orang keturunan Tionghoa dan beberapa keturunan Portugis-Eropa yang disebut Mestiço.
Bahasa
Pada masa pemerintahan Portugis, wilayah Timor Timur menggunakan Bahasa Portugis sebagai bahasa resmi. Setelah wilayah ini diintegrasikan ke Indonesia, penggunaan Bahasa Portugis kemudian dilarang oleh pemerintahan Presiden Soeharto karena dianggap sebagai peninggalan penjajahan dan digantikan oleh Bahasa Indonesia. Dalam praktik keseharian, masyarakat di wilayah ini lebih banyak menggunakan Bahasa Tetun sebagai bahasa pengantar dan sarana komunikasi antarsuku, sementara Bahasa Indonesia waktu itu dipakai dalam kegiatan-kegiatan resmi pemerintahan, pendidikan, dan bisnis. Di masa itu, penggunaan Bahasa Tetun dan Portugis merupakan elemen pemersatu yang penting bagi masyarakat Timor Timur dalam menentang Jawanisasi. Dialek bahasa Tetun yang digunakan di Timor Timur adalah dialek Tetun Praça (Tetun Dili) yang banyak dipengaruhi oleh Bahasa Portugis. Selain itu terdapat pula puluhan bahasa daerah, di antaranya adalah Adabe; Bekais; Bunak; Fataluku; Galolen; Habun; Idate; Kawaimina; Kemak; Makalero; Makasai; Makuva; Mambai; Naueti; Tocodede; Uab Meto (Baikeno); Waimoa; dan Wetar.
Agama
Mayoritas warga Timor Timur merupakan pemeluk agama Katolik Roma (lebih dari 90%). Sejarah gereja di wilayah ini telah dimulai sejak abad ke-15 ketika orang-orang Portugis mulai menjejakkan kakinya untuk berdagang di Timor Timur. Berdirinya wilayah keuskupan telah dimulai sejak zaman penyebaran Kekristenan. Tercatat pada tahun 1512 dua orang penginjil, yakni Frei António Taveiro dan Frei Antonio da Cruz mulai menyebarkan Kekristenan di tanah Timor Timur dan pada tahun 1516 telah berhasil membaptis lebih dari 5.000 orang pribumi Timor menjadi Katolik. Tetapi sebenarnya pengakuan akan wilayah keuskupan sendiri baru terjadi pada tahun 1940 melalui Solemnibus Conventionibus dari Paus Pius XII, tentang pengakuan dari Takhta Suci terhadap wilayah Keuskupan Dili yang kemudian memisahkan diri atau terpisah dari Keuskupan Makau. Surat pengakuan ini diberikan melalui pemerintahan Portugis sebagai salah satu simbol kedekatan pemerintahan dan pihak gereja. Menjadi semacam satu kiat dalam penyebaran agama, para penginjil yang bergerak dalam satu wilayah kerajaan, maka para keluarga raja mendapat prioritas. Demikian juga yang terjadi di Dili dan sekitarnya, sehingga para pemuka masyarakat yang terdiri dari kepala suku kemudian menjadi tokoh-tokoh dalam percaturan dan kehidupan beragama. Kondisi asli masyarakat Timor Timur pada hakikatnya adalah masyarakat yang mempunyai kepercayaan terhadap kekuatan alam lain dalam lingkup kehidupannya. Kondisi alam serta adat istiadat yang terpecah dalam pelbagai macam suku, ras, dialek, menyuburkan kepercayaan tradisional yang hidup di tengah-tengah masyarakatnya, sampai dimulainya penyebaran Kekristenan di wilayah ini.
Pada tahun 1975, diperkirakan hanya 25–30% penduduk Timor Timur yang dibaptis sebagai seorang Katolik. Namun, setelah wilayah ini berintegrasi dengan Indonesia, perkembangan agama Katolik semakin pesat, dan pada dasawarsa 1990-an, persentase rakyat Timor Timur yang dibaptis sebagai seorang Katolik telah mencapai lebih dari 90%.[20][21] Jumlah gereja sendiri bertambah dari 100 bangunan gereja pada tahun 1974 menjadi lebih dari 800 pada tahun 1994.[22] Diyakini salah satu penyebab berkembang pesatnya agama Katolik di wilayah ini adalah karena hukum Indonesia mewajibkan semua warganya untuk menganut salah satu agama yang diakui secara resmi, dan kepercayaan animisme rakyat Timor Timur dianggap tidak sesuai dengan sila pertama Pancasila.[20][21]
Hingga tahun 1999, terdapat dua keuskupan di wilayah Timor Timur yaitu: Keuskupan Dili yang didirikan pada tahun 1940, dan Keuskupan Baucau yang berdiri pada tahun 1996. Karena status Timor Timur sebagai wilayah Indonesia tidak diakui oleh Takhta Suci, maka Uskup di Timor Timur waktu itu berkedudukan sebagai Administrator Apostolik yang berada langsung di bawah naungan Takhta Suci dan bertanggung jawab secara langsung kepada Paus, yang juga merangkap sebagai Uskup Agung Dili. Pada tahun 1989, Paus Yohanes Paulus II melakukan kunjungan ke Dili dan berbagai kota-kota lain di Indonesia.[23]
Selain itu, di Timor Timur juga ada pemeluk agama lain seperti Kristen Protestan; Islam; Hindu; Buddha; dan aliran kepercayaan. Umat Kristen Protestan terdiri atas warga dari berbagai gereja, antara lain Gereja Sidang-Sidang Jemaat Allah (GSJA); Gereja Kristen Timor Timur (GKTT); dan berbagai gereja lainnya. Di wilayah Timor Timur juga terdapat pemeluk agama Islam yang hidup berdampingan dengan umat-umat lain. Salah satu bangunan masjid yang terkenal di wilayah ini adalah Masjid An Nur Dili yang didirikan pada tahun 1955 dan direnovasi tahun 1981.
Kebudayaan lokal masyarakat di Timor Timur memiliki kekerabatan dengan berbagai suku bangsa lain di Indonesia, khususnya wilayah Timor Barat. Selain itu, budaya Timor Timur juga banyak dipengaruhi oleh bangsa Portugis.
Struktur kebudayaan di Timor Timur pada umumnya memiliki unit politik tradisional di antaranya adalah kerajaan-kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja (liurai) dibantu oleh macair fukun dan dato uain. Kedua tokoh yang disebut terakhir ini berasal dari dua marga bangsawan dan menetap di desa-desa yang berbeda. Masing-masing membawahi sejumlah kepala yang memimpin berbagai kelompok seketurunan, sedangkan kekuasaan raja hanya bersifat simbolik, karena ia mengatur pemerintahan secara tidak langsung.
Macair fukun dan dato uain kedua-duanya duduk dalam berbagai pertemuan dan bertanggung jawab atas pelaksanaan keputusan-keputusan yang telah diambil dalam pertemuan-pertemuan tersebut. Di samping itu, mereka juga memiliki peranan sebagai “hakim” dalam wilayah kekuasaan mereka masing-masing. Segala keputusan dan tindakan yang diambil keduanya selalu melalui musyawarah yang dilakukan dengan para golongan bangsawan.
Pada masa pemerintahan Portugis, dalam setiap kerajaan-kerajaan itu yang bertanggung jawab terhadap pemerintah kolonial adalah adalah kepala desa, dan kepala desa ini mengadakan hubungan-hubungan langsung dengan chefe de suco. Kedudukan chefe de suco sebenarnya sama dengan dengan kedudukan macair fukun dan dato uain. Tetapi dalam kenyataannya, peranan macair fukun dan dato uain lebih efektif dalam mengatur dan mengurus masalah-masalah pemerintahan. Chefe de suco dipilih oleh dan dari warga kerajaan yang bersangkutan dan disahkan oleh pemerintah kolonial. Tugas chefe de suco adalah untuk menyampaikan surat-surat perintah dari pemerintah untuk menarik pajak, dan membantu pelaksanaan pencatatan penduduk.
Strata masyarakat terdiri dari golongan raja beserta para kerabatnya (dossi), para kaum bangsawan (dato), dan orang biasa (ema reino atau ema). Keanggotaan seseorang dalam golongan-golongan sosial ini secara patrilineal. Perkawinan antara golongan-golongan kelas sosial yang berbeda pada prinsipnya dilarang.
Setiap kerajaan juga memiliki macair lulik, yaitu tokoh agama tradisional. Jabatan ini khusus bagi kaum laki-laki dan statusnya sama dengan macair fukun dan dato uain. Upacara-upacara tradisional yang dilakukan masyarakat dipimpin macair lulik, yang biasanya diadakan pada masa menanam jagung dan padi serta menjelang akan dimulainya panen. Di samping itu macair lulik juga membuat upacara untuk meminta hujan pada saat musim kemarau. Ketika perang antar kerajaan masih sering terjadi, macair lulik mempunyai tugas membuat upacara sebelum, selama, dan sesudah perang guna kesejahteraan dan keselamatan warga kerajaan yang bersangkutan. Upacara-upacara lain yang dilakukan penduduk di bawah pengawasan macair lulik adalah yang berhubungan dengan beberapa pantangan sehubungan dengan totem.
Pendidikan
Tingkat melek huruf di Timor Timur mulai mengalami kenaikan signifikan sejak masa integrasi dari 5% di akhir masa pemerintahan Portugis hingga menjadi lebih dari 30% pada tahun 1999.[24] Pada tahun 1986, didirikan Universitas Timor Timur (kini Universitas Nasional Timor Lorosae) oleh Gubernur Mário Viegas Carrascalão. Selain itu, sebuah politeknik yakni Politeknik Dili diresmikan pada tahun 1990. Di wilayah ini juga berdiri puluhan sekolah dari tingkat dasar hingga menengah yang dibangun hingga kurun tahun 1990-an. Pada dekade 1980 hingga 1990-an, ribuan pelajar/mahasiswa dari Timor Timur banyak yang mengenyam pendidikan di berbagai kota-kota lain di wilayah Indonesia seperti Jakarta; Surabaya; Denpasar; Yogyakarta; dan lain-lain melalui mekanisme beasiswa yang diberikan oleh pemerintah.
Kepala daerah Provinsi Timor Timur saat itu adalah seorang Gubernur yang dibantu oleh seorang Wakil Gubernur yang dipilih melalui mekanisme pemilihan di DPRD Provinsi. Jabatan Gubernur Timor Timur pertama diemban oleh Arnaldo dos Reis Araújo (1976-1978) dan terakhir diemban oleh José Abílio Osório Soares (1992-1999).
^Dilantik menjadi Gubernur Timor Timur menggantikan Arnaldo dos Reis Araújo yang menjadi anggota DPR RI
^Abílio Soares otomatis diberhentikan sebagai Gubernur setelah keluarnya TAP MPR RI No. V/MPR/1999 yang mengesahkan hasil referendum di Timor Timur
Perwakilan
Timor Timur memiliki sebuah badan legislatif daerah yang disebut Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Timor Timur atau DPRD Tk. I Provinsi Timor Timur yang anggotanya terdiri atas unsur-unsur partai politik dan golongan yang dipilih rakyat dalam pemilihan umum setiap 5 tahun sekali, serta melalui penunjukan langsung dari militer. Berikut ini adalah komposisi anggota DPRD Timor Timur dari tahun 1980 hingga 1997.
Selain itu, Timor Timur juga memiliki perwakilan yang duduk di MPR/DPRRI yang terdiri atas anggota dari partai politik yang dipilih setiap 5 tahun sekali, serta dari unsur utusan daerah. Pasca referendum tahun 1999, seluruh anggota MPR/DPR dari daerah pemilihanTimor Timur dialihkan ke daerah pemilihan Nusa Tenggara Timur dan anggota dari utusan daerah ditarik kembali.
Kuning, melambangkan keluhuran, keagungan, kemuliaan, dan kejayaan;
Putih, melambangkan kesucian dan kejujuran;
Biru, melambangkan kedamaian dan kesetiaan;
Hitam, melambangkan keabadian dan keteguhan;
Hijau, melambangkan kemakmuran.
Isi Lambang Daerah, masing-masing melambangkan:
Bentuk perisai bersudut lima, melambangkan kelima sila dari Pancasila yaitu Dasar dan Falsafah hidup Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
Perisai, melambangkan keamanan terhadap keutuhan wilayah dan kekuatan rakyat Timor Timur sebagai bagian yang tak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia;
Bintang bersudut lima, melambangkan keagungan, kebesaran, dan keabadian Tuhan Yang Maha Esa;
Pita HOURI OTAS, HOURI WAIN, OAN TIMOR ASSWA'IN, melambangkan jiwa patriot dan semangat juang rakyat Timor Timur dalam mempertahankan Wawasan Nusantara yang dilandasi nilai-nilai 1945 untuk membangun Provinsi Timor Timur guna mencapai kehidupan yang lebih baik;
Rumah adat Timor Timur, melambangkan persatuan, persaudaraan, kekerabatan, dan kekeluargaan serta keramahtamahan sebagai pola hidup dan dasar ikatan kemasyarakatan yang merupakan nilai luhur kebudayaan dan adat istiadat masyarakat Timor Timur;
Kotak perhiasan dari emas, melambangkan kesuburan, kejayaan, dan keindahan Timor Timur yang merupakan bagian tak terpisahkan dari Kepulauan Indonesia lainnya, yang letaknya bagaikan zamrud melingkari khatulistiwa dan menghiasi ibu pertiwi;
Kaebauk, pedang dan tombak, melambangkan keperwiraan dan kepahlawanan;
Aksara TIMOR TIMUR di atas kaebauk, melambangkan ikatan batin masyarakat Timor Timur dengan adat istiadat dan kebudayaan;
Setangkai padi berjumlah 17 butir, melambangkan tanggal terbentuknya Provinsi Timor Timur;
Setangkai bunga kapas berkuncup putih 7 buah, melambangkan bulan terbentuknya Provinsi Timor Timur;
Kotak perhiasan terukir 7 ekor ikan dan 6 buah perahu yang dirangkaikan menjadi angka 76, melambangkan tahun 1976 sebagai tahun terbentuknya Provinsi Timor Timur.
Selain itu, hingga tahun 1996 wilayah hukum Polri yang berdiri di Timor Timur adalah Kepolisian Wilayah Timor Timur (Polwil Timtim) yang berada di bawah Kepolisian Daerah Nusa Tenggara (Polda Nusra). Pada tahun 1996, pasca likuidasi empat Polda di wilayah Polda Nusra, Polwil Timor Timur diubah statusnya menjadi Kepolisian Daerah Timor Timur (Polda Timtim) hingga 1999.
Sejak tanggal 24 September 1999, militer Indonesia mulai ditarik mundur dan per tanggal 31 Oktober 1999 seluruh pasukan Indonesia meninggalkan Timor Timur setelah 24 tahun masa integrasi dan digantikan pasukan keamanan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengontrol keamanan di wilayah ini.
Perekonomian
Sebelum dan semasa kolonisasi, Pulau Timor dikenal sebagai produsen cendana. Salah satu proyek jangka panjang menjanjikan yang pernah ada adalah pengembangan dan eksploitasiminyak bumi dan gas alam bersama dengan Australia di sebelah tenggara perairan Timor. Setelah Revolusi Anyelir, pemerintahan kolonial Portugal memberi konsesi minyak kepada Oceanic Exploration Corporation untuk pengembangan dan eksploitasi tersebut. Akan tetapi, eksploitasi minyak tersebut gagal terlaksana dikarenakan Operasi Seroja pada tahun 1976. Kemudian setelahnya, ladang minyak di wilayah Timor Timur dibagi antara Indonesia dan Australia lewat Perjanjian Celah Timor tahun 1989.[26] Perjanjian ini menetapkan panduan eksploitasi sumber daya bawah laut gabungan di wilayah Timor Timur di batas maritim yang disepakati pada tahun 1972.[27] Pendapatan dari wilayah gabungan ini dibagi 50%-50%. Woodside Petroleum dan ConocoPhillips mulai mengeksploitasi sebagian sumber daya minyak di Celah Timor atas nama Indonesia dan Australia pada tahun 1992. Para pengkritik berpendapat bahwa negosiasi dan penandatanganan perjanjian ini berarti Australia mengakui secara hukum invasi dan aneksasi Timor Timur oleh Indonesia. Perjanjian ini tidak lagi berlaku setelah Timor Timur lepas dari Indonesia tahun 1999 dan digantikan oleh Perjanjian Laut Timor antara Australia dan Timor Leste pada tahun 2002.
Monumen Integrasi Dili yang didirikan untuk memperingati perjuangan rakyat Timor Timur dalam membebaskan diri dari penjajahan Portugis hingga bersatu dengan Indonesia.
Peta dalam buku CIA World Factbook tahun 1982, yang menyertakan Timor Timur sebagai bagian dari wilayah negara Indonesia.
Peta yang menggambarkan Provinsi Timor Timur saat masih menjadi bagian dari Indonesia.
^Gonggong, Anhar; Zuhdi, Susanto (1995). Sejarah Perjuangan Rakyat Timor Timur Untuk Sekolah Menengah Umum(PDF). Dili: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pendidikan Menengah Umum Proyek SLTP (Induk) Timor Timur. hlm. 81–82.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)