Boediono menikah dengan Herawati (lahir di Blitar, 15 Februari 1944), pada tahun 1969 dan memiliki dua orang anak yaitu Ratriana Ekarini dan Dios Kurniawan.[9]
Ia kembali diangkat sebagai Menteri Keuangan pada tahun 2001 dalam Kabinet Gotong Royong menggantikan Rizal Ramli. Sebagai Menteri Keuangan dalam Kabinet Gotong Royong, ia membawa Indonesia lepas dari bantuan Dana Moneter Internasional dan mengakhiri kerja sama dengan lembaga tersebut.[11] Oleh BusinessWeek, ia dipandang sebagai salah seorang menteri yang paling berprestasi dalam kabinet tersebut.[12] Di kabinet tersebut, ia bersama Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro-Jakti dijuluki 'The Dream Team' karena mereka dinilai berhasil menguatkan stabilitas makroekonomi Indonesia yang belum sepenuhnya pulih dari Krisis Moneter 1998. Ia juga berhasil menstabilkan kurs rupiah di angka kisaran Rp 9.000 per dolar AS.[13]
Ketika Susilo Bambang Yudhoyono terpilih sebagai presiden, banyak orang yang mengira bahwa Boediono akan dipertahankan dalam jabatannya, namun posisinya ternyata ditempati Jusuf Anwar. Menurut laporan, Boediono sebenarnya telah diminta oleh Presiden Yudhoyono untuk bertahan, namun ia memilih untuk beristirahat dan kembali mengajar. Saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melakukan perombakan (reshuffle) kabinet pada 5 Desember 2005, Boediono diangkat menggantikan Aburizal Bakrie menjadi Menteri Koordinator bidang Perekonomian. Indikasi Boediono akan menggantikan Aburizal Bakrie direspon sangat positif oleh pasar sejak hari sebelumnya dengan menguatnya IHSG serta mata uang rupiah. Kurs rupiah menguat hingga di bawah Rp 10.000 per dolar AS. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di BEJ juga ditutup menguat hingga 23,046 poin (naik sekitar 2 persen) dan berada di posisi 1.119,417, berhasil menembus level 1.100.[14] Ini karena Boediono dinilai mampu mengelola makro-ekonomi yang kala itu belum didukung pemulihan sektor riil dan moneter.
Ketika namanya diumumkan sebagai calon wakil presiden mendampingi calon presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada bulan Mei 2009, banyak pihak yang tidak bisa menerima dengan berbagai alasan, seperti tidak adanya pengalaman politik, pendekatan ekonominya yang liberal, serta bahwa ia juga orang Jawa (SBY juga orang Jawa). Namun, ia dipilih oleh SBY karena ia sangat bebas kepentingan dan konsisten dalam melakukan reformasi di bidang keuangan. Pasangan ini didukung Partai Demokrat dan 23 partai lainnya, termasuk PKB, PPP, PKS, dan PAN. Pada Pemilihan Umum 8 Juli 2009, pasangan SBY-Boediono menang atas dua pesaingnya, Megawati—Prabowo dan Kalla—Wiranto.
Jabatan politik
Boediono menjadi calon wakil presiden 2009–2014 mendampingi calon presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang dideklarasikan 15 Mei 2009 di Sasana Budaya Ganesha kota Bandung. Jika terpilih, dia akan menjadi wakil presiden pertama yang berlatar belakang ekonomi dan non-partisan setelah Mohammad Hatta (wakil presiden pertama RI). Dalam acara ini dirilis sistem ekonomi moralistik, manusiawi, nasionalistik dan kerakyatan atau kemasyarakatan.[16] Boediono berangkat ke Bandung dengan menggunakan kereta api regular Parahyangan.[17][18]
Jabatan lain
Executive Board for Asia - Wharton Advisory Boards, The Wharton School of the University of Pennsylvania[19]
Commissioner of Commission on Growth and Development[20]
Penghargaan
Boediono mendapat penghargaan Bintang Mahaputra Adipradana tahun 1999[21] dan "Distinguished International Alumnus Award" dari University of Western Australia pada tahun 2007.[22] Setelah menjadi Wakil Presiden, Boediono juga menerima beberapa tanda kehormatan bintang sipil.[23]
Baik saat sebagai wakil presiden maupun ketika masih menjabat Menteri Keuangan, Menteri Koordinator Ekonomi, ataupun Gubernur BI, kebijakan Boediono disikapi secara beragam oleh berbagai kalangan.
Pasar diprediksi akan sambut positif pemilihannya sebagai calon wakil presiden.[24][25][26]
Beberapa pengusaha merasa sangat yakin dengan kemampuan ekonominya, namun masih meragukan kemampuan politiknya.[27]
Isu penentangan Boediono sebagai cawapres yang lain adalah bahwa ia tidak mewakili tokoh partai, dan ia bukan pula representasi dari partai politik Islam sebagaimana Gus Dur-Mega, Mega-Hamzah Haz dan SBY-JK.[28][29]
Undang-Undang Surat Berharga Syariah Negara dan Perbankan Syariah berhasil diwujudkan ketika Boediono menjabat Menteri Koordinator Perekonomian pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.[30][31]
Hendri Saparini, orang dekat Rizal Ramli,[32][33] dan analis ekonomi-politik, melihat Boediono, yang kini menjabat gubernur BI hendak membawa negara Indonesia ke arah neoliberal. Indikasinya, utang negara secara nominal bertambah Rp 400 triliun dalam periode 2004-2009.[butuh rujukan] Walau demikian, perlu dicatat bahwa sebenarnya rasio hutang(debt ratio) kita turun drastis dari 100% pada tahun 1999, 56% pada tahun 2004, dan tahun 2009 tinggal 30-35%[34] sekalipun nominal besarnya utang kurang lebih sama selama periode 2003-2008[35]
Pada saat menjabat sebagai Menteri Keuangan pada Kabinet Pemerintahan Megawati Soekarnoputri, Boediono menyatakan bahwa pada dasarnya subsidi bagi rakyat harus dihapus. Ketika para petani tebu meminta proteksi, Boediono dengan menyarankan agar petani tebu menanam komoditas lain bila tebu dinilai tidak menguntungkan, ini dinilai sejumlah kalangan bertentangan dengan orientasi kemandirian pangan. Tampaknya pendapat Boediono sejalan dengan Taufiq Kiemas, suami Megawati, yang menyatakan bahwa subsidi seperti candu.[36]
Kwik Kian Gie mengatakan, Boediono memiliki peran penting dalam proses keluarnya kebijakan pemerintah terkait penyelesaian BLBI. Pasalnya, Boediono saat itu merupakan menteri keuangan pemerintahan Megawati yang tahu betul tata cara penyelesaian utang bagi para obligor BLBI. Dia (Boediono) tahu seluk-beluk ini (BLBI)[37][38]
Sejumlah ekonom seperti Ekonom UGM, Prof. Dr. Mudrajad Kuncoro dan Chief Economist BNI, Tony Prasetiantono, menilai tuduhan kepada Boediono sebagai figur yang mengusung neoliberalisme dan titipan dari pihak asing sangatlah tidak berdasar. Boediono justru termasuk orang yang dekat dengan almarhum Prof. Mubyarto, tokoh UGM yang terkenal dengan gagasan ekonomi kerakyatan. Sepulang dari lulus PhD di Wharton School, University of Pennsylvania, Boediono turut membantu Prof. Mubyarto mengorganisasi Seminar Ekonomi Pancasila saat Dies Natalis Fakultas Ekonomi UGM di Bulaksumur, September 1980. Ketika hasil seminar ini dibukukan berjudul 'Ekonomi Pancasila' (penerbit BPFE Yogyakarta) tahun 1981, Boediono adalah editor buku tersebut. 'Ekonomi Pancasila' inilah yang bertransformasi dan dikenal sebagai 'Ekonomi Kerakyatan' belakangan ini.[39][40]
Ekonom Faisal Basri juga menganggap tudingan 'neoliberal' dan 'antek IMF' pada Boediono sangat tidak berdasar. Ia justru menganggap kinerja Boediono dan Dorodjatun Kuntjoro-Jakti di pemerintahan Megawati cukup mengesankan dalam menstabilkan perekonomian Indonesia yang kacau kala itu. Boediono yang masuk kembali ke pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono pasca-reshuffle kabinet juga dinilai berhasil menyelamatkan perekonomian Indonesia yang sempat mengalami kemunduran dalam 2 tahun pertama Kabinet Indonesia Bersatu pra-reshuffle.
Karya dan publikasi
Boediono, Ekonomi Indonesia Mau ke Mana?: Kumpulan Esai Ekonomi, 2009, PT Gramedia, Jakarta. ISBN 978-979-9101-89-1.
Stabilization in A Period of Transition: Indonesia 2001-2004. dalam The Australian Government-The Treasury, Macroeconomic Policy and Structural Change in East Asia: Conference Proceedings, Sydney (2005), ISBN 0-642-74290-1, 43-48 pp.
'Managing The Indonesian Economy: Some Lessons From The Past?', Bulletin of Indonesia Economic Studies, 41(3):309-324, December 2005.
'Professor Mubyarto, 1938-2005'. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 41(2):159-162, August 2005.
'Kebijakan Fiskal: Sekarang dan Selanjutnya?', dalam Subiyantoro dan S. Riphat (Eds.). 2004. Kebijakan Fiskal: Pemikiran, Konsep dan Implementasi. Penerbit Buku Kompas, 43-55 pp.
The International Monetary Fund Support Program in Indonesia: Comparing Implementation Under Three Presidents. Bulletin of Indonesia Economic Studies, 38(3): 385-392, December 2002.
Boediono. 2001. Indonesia menghadapi ekonomi global. BPFE. Yogyakarta.
Boediono. 'Strategi Industrialisasi: Adakah Titik Temu ?', Prisma, Tahun XV, No.1. (1986)
Mubyarto, Boediono, Ace Partadiredja. 1981. Ekonomi Pancasila. BPFE. Yogyakarta.
^"Profile in Business Week". Business Week. Edisi 9 Juli 2003. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2009-05-16. Diakses tanggal 9 Juli 2003.Periksa nilai tanggal di: |date= (bantuan)
^Edy Haryadi (6 Mei 2009). "Mari Mengenal Boediono". VivaNews.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2009-05-09. Diakses tanggal 6 Mei 2009.
^Suhendratio, Hendi (10 Mei 2007). "Boediono Raih Penghargaan". detikFinance. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-04-05. Diakses tanggal 10 Mei 2007.Pemeliharaan CS1: Menggunakan parameter penulis (link)
^"Tanda Kehormatan yang dimiliki Presiden". Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 10 Mei 2019. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-03-18. Diakses tanggal 2021-12-17.