Alexander Andries Maramis
Dr. (H.C.) Mr. Alexander Andries Maramis atau lebih dikenal dengan A.A. Maramis (20 Juni 1897 – 31 Juli 1977) adalah pejuang kemerdekaan Indonesia dan pahlawan nasional. Dia pernah menjadi anggota BPUPKI dan KNIP. Ia juga pernah menjadi Menteri Keuangan Indonesia dan merupakan orang yang menandatangani Oeang Republik Indonesia pertama. Keponakan Maria Walanda Maramis ini menyelesaikan pendidikannya di bidang hukum pada tahun 1924 di Belanda. Riwayat HidupKehidupan awalAlexander Andries Maramis lahir di Manado, Sulawesi Utara pada tanggal 20 Juni 1897. Ayahnya bernama Andries Alexander Maramis (nama pertama dan tengah dibalik) dan ibunya bernama Charlotte Ticoalu.[1] Tantenya adalah Pahlawan Nasional Indonesia Maria Walanda Maramis.[2] Alex Maramis belajar di sekolah dasar bahasa Belanda (Europeesche Lagere School, ELS) di Manado.[3] Dia kemudian masuk sekolah menengah Belanda (Hogere burgerschool, HBS) di Batavia (sekarang Jakarta) di mana dia bertemu dan berteman dengan Arnold Mononutu yang juga dari Minahasa dan Achmad Soebardjo.[4][5] Pada tahun 1919, Maramis berangkat ke Belanda dan belajar hukum di Universitas Leiden.[6] Selama di Leiden, Maramis terlibat dalam organisasi mahasiswa Perhimpunan Indonesia (Indische Vereeniging). Pada tahun 1924, ia terpilih sebagai sekretaris perhimpunan tersebut.[7] Maramis lulus dengan gelar "Meester in de Rechten" (Mr.) pada tahun 1924.[8] Ia kemudian kembali ke Indonesia dan memulai kariernya sebagai pengacara di Pengadilan Negeri di Semarang pada tahun 1925.[9][10] Setahun kemudian ia pindah ke Pengadilan Negeri di Palembang.[11] Persiapan kemerdekaan IndonesiaMaramis diangkat sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) yang dibentuk pada tanggal 1 Maret 1945. Di badan ini, Maramis termasuk dalam Panitia Sembilan. Panitia ini ditugaskan untuk merumuskan dasar negara dengan berusaha menghimpun nilai-nilai utama dari prinsip ideologis Pancasila yang digariskan oleh Soekarno dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945.[12] Rumusan ini dikenal dengan nama Piagam Jakarta. Pada tanggal 11 Juli 1945 dalam salah satu rapat pleno BPUPKI, Maramis ditunjuk sebagai anggota Panitia Perancang Undang-Undang Dasar yang ditugaskan untuk membuat perubahan-perubahan tertentu sebelum disetujui oleh semua anggota BPUPKI.[13] Pada tahun 1976 bersama Hatta, A.G. Pringgodigdo, Sunario Sastrowardoyo, dan Soebardjo, Maramis termasuk dalam "Panitia Lima" yang ditugaskan Presiden Suharto untuk mendokumentasikan perumusan Pancasila.[14] Menteri KeuanganMaramis diangkat sebagai Menteri Keuangan dalam kabinet Indonesia pertama pada tanggal 26 September 1945. Ia menggantikan Samsi Sastrawidagda yang pada awalnya diberi jabatan tersebut pada waktu kabinet dibentuk pada tanggal 2 September 1945. Sastrawidagda mengundurkan diri setelah hanya menjabat selama dua minggu karena sakit.[15] Sastrawidagda adalah orang pertama yang ditunjuk sebagai Menteri Keuangan Indonesia, tetapi karena waktunya yang sangat singkat, Maramis dapat dianggap, secara de facto, sebagai Menteri Keuangan Indonesia pertama. Sebagai Menteri Keuangan, Maramis berperan penting dalam pengembangan dan pencetakan uang kertas Indonesia pertama atau Oeang Republik Indonesia (ORI). Dibutuhkan waktu satu tahun sebelum uang kertas ini bisa dikeluarkan secara resmi pada tanggal 30 Oktober 1946.[16] Nota-nota ini menggantikan uang kertas Jepang yang diedarkan oleh pemerintah Hindia Belanda (NICA).[17][18] Uang dikeluarkan untuk denominasi 1, 5, dan 10 sen, dengan ditambah ½, 1, 5, 10, dan 100 rupiah. Tanda tangan Maramis sebagai Menteri Keuangan terdapat dalam cetakan uang-uang kertas ini. Maramis menjabat sebagai Menteri Keuangan beberapa kali lagi, secara berurutan dalam Kabinet Amir Sjarifuddin I pada tanggal 3 Juli 1947,[19] Kabinet Amir Sjarifuddin II pada tanggal 12 November 1947,[20] dan Kabinet Hatta I pada tanggal 29 Januari 1948.[21] Pada tanggal 19 Desember 1948, Belanda memulai Agresi Militer Belanda II pada saat pemerintahan Hatta. Soekarno, Hatta, dan pejabat pemerintahan lainnya yang berada di Yogyakarta ditangkap dan diasingkan ke Pulau Bangka. Maramis pada saat itu sedang berada di New Delhi, India. Dia menerima kawat dari Hatta sebelum Hatta ditangkap dengan instruksi untuk membentuk pemerintahan darurat di pengasingan di India seandainya Sjafruddin Prawiranegara tidak dapat membentuk pemerintahan darurat di Sumatra.[22] Prawiranegara mampu membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia dan Kabinet Darurat di mana Maramis diangkat sebagai Menteri Luar Negeri. Setelah Soekarno dan Hatta dibebaskan, Prawiranegara mengembalikan pemerintahan kepada Hatta pada tanggal 13 Juli 1949 dan Maramis kembali menjabat sebagai Menteri Keuangan. Duta BesarDi antara tahun 1950 dan 1960, Maramis pernah mewakili Indonesia sebagai Duta Besar untuk empat negara: Filipina, Finlandia, Jerman Barat, dan Uni Soviet. Sebelumnya pada tanggal 1 Agustus 1949, ia diangkat sebagai Duta Istimewa yang bertanggung jawab untuk mengawasi perwakilan-perwakilan Indonesia di luar negeri.[23] Pada saat itu, perwakilan Indonesia terdapat di Bangkok, Canberra, Kabul, Kairo, Karachi, London, Manila, New Delhi, Penang, Rangoon, Singapura, Washington, D.C., dan di kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Lake Success di Amerika Serikat. Karena Maramis dalam tugas pengawasannya terus berada di luar negeri, ia diikutsertakan dalam delegasi Republik Indonesia untuk Konferensi Meja Bundar sebagai penasehat.[24] Pada tanggal 25 Januari 1950, Maramis diangkat sebagai Duta Besar Indonesia untuk Filipina terhitung mulai tanggal 1 Februari 1950.[24][25] Maramis menjabat sebagai duta besar Indonesia di Manila selama tiga tahun. Pada tanggal 10 April 1953, Maramis diangkat sebagai Duta Besar Indonesia untuk Jerman Barat terhitung mulai tanggal 1 Mei 1953.[26][27] Pada awal tahun 1956, Maramis kembali ke Jakarta dan menjabat sebagai Kepala Direktorat Asia/Pasifik di Kementerian Luar Negeri. Jabatan ini hanya diembannya selama beberapa bulan, karena ia diberi tugas baru sebagai Duta Besar Indonesia untuk Uni Soviet terhitung tanggal 1 Oktober 1956.[26][28] Dua tahun kemudian, Maramis mendapat tugas perangkapan sebagai Duta Besar Indonesia untuk Finlandia dengan kedudukan tetap di Moskwa.[26] Setelah menyelesaikan tugasnya sebagai duta besar untuk Uni Soviet dan Finlandia, Maramis dan keluarganya menetap di Swiss.[29] Dia menetap di Lugano sebelum kembali ke Indonesia pada 1976.[30] WafatSetelah hampir 20 tahun tinggal di luar Indonesia, Maramis menyatakan keinginannya untuk kembali ke Indonesia. Pemerintah Indonesia mengatur agar ia bisa kembali dan pada tanggal 27 Juni 1976 ia tiba di Jakarta.[31] Di antara para penyambut di bandara adalah teman-teman lamanya Soebardjo dan Mononutu, dan juga Rahmi Hatta (istri Mohammad Hatta).[32] Pada bulan Mei 1977, ia dirawat di rumah sakit setelah mengalami pendarahan. Maramis meninggal dunia pada tanggal 31 Juli 1977 di Rumah Sakit Angkatan Darat Gatot Soebroto, hanya 13 bulan setelah ia kembali ke Indonesia.[33] Jenazahnya disemayamkan di Ruang Pancasila Departemen Luar Negeri dan dilanjutkan dengan upacara militer dan kemudian pemakaman di Taman Makam Pahlawan Kalibata.[31] PenghargaanPada saat menjabat sebegai Duta Besar Indonesia untuk Filipina, Maramis menerima gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Far Eastern di Manila pada tahun 1950.[34] Pada tanggal 15 Februari 1961, Maramis dianugerahi penghargaan Bintang Mahaputra Utama dan pada tanggal 5 Oktober 1963 ia dianugerahi penghargaan Bintang Gerilya.[32] Maramis secara anumerta dianugerahi Bintang Republik Indonesia Utama pada tanggal 12 Agustus 1992.[35] Pada tanggal 30 Oktober 2007, Maramis diakui oleh Museum Rekor Dunia Indonesia sebagai Menteri Keuangan yang tanda tangannya tertera pada uang kertas yang paling banyak. Di antara tahun 1945 dan 1947, tanda tangannya tertera pada 15 uang kertas yang berbeda.[36] Pada tanggal 8 November 2019, Alexander Andries Maramis dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Joko Widodo dalam sebuah upacara di Istana Negara.[37] Yang menerima penghargaan mewakili keluarga ahli waris adalah Joan Maramis, cucu dari A. A. Maramis.[38] KeluargaMaramis menikah dengan Elizabeth Marie Diena Veldhoedt. Ayah Elizabeth adalah orang Belanda sedangkan ibunya berasal dari Bali. Perkawinan Maramis dan Veldhoedt tidak menghasilkan anak, tetapi Veldhoedt memiliki seorang putra dari pernikahan sebelumnya. Anak itu diterima dengan baik oleh Maramis bahkan ia diberi nama Lexy Maramis.[39] Referensi
Sumber referensi
Lihat juga
|