Pada tahun 1919, Maramis berangkat ke Belanda dan belajar hukum di Universitas Leiden.[6] Selama di Leiden, Maramis terlibat dalam organisasi mahasiswa Perhimpunan Indonesia (Indische Vereeniging). Pada tahun 1924, ia terpilih sebagai sekretaris perhimpunan tersebut.[7] Maramis lulus dengan gelar "Meester in de Rechten" (Mr.) pada tahun 1924.[8] Ia kemudian kembali ke Indonesia dan memulai kariernya sebagai pengacara di Pengadilan Negeri di Semarang pada tahun 1925.[9][10] Setahun kemudian ia pindah ke Pengadilan Negeri di Palembang.[11]
Persiapan kemerdekaan Indonesia
Maramis diangkat sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) yang dibentuk pada tanggal 1 Maret 1945. Di badan ini, Maramis termasuk dalam Panitia Sembilan. Panitia ini ditugaskan untuk merumuskan dasar negara dengan berusaha menghimpun nilai-nilai utama dari prinsip ideologis Pancasila yang digariskan oleh Soekarno dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945.[12] Rumusan ini dikenal dengan nama Piagam Jakarta. Pada tanggal 11 Juli 1945 dalam salah satu rapat pleno BPUPKI, Maramis ditunjuk sebagai anggota Panitia Perancang Undang-Undang Dasar yang ditugaskan untuk membuat perubahan-perubahan tertentu sebelum disetujui oleh semua anggota BPUPKI.[13] Pada tahun 1976 bersama Hatta, A.G. Pringgodigdo, Sunario Sastrowardoyo, dan Soebardjo, Maramis termasuk dalam "Panitia Lima" yang ditugaskan Presiden Suharto untuk mendokumentasikan perumusan Pancasila.[14]
Menteri Keuangan
Maramis diangkat sebagai Menteri Keuangan dalam kabinet Indonesia pertama pada tanggal 26 September 1945. Ia menggantikan Samsi Sastrawidagda yang pada awalnya diberi jabatan tersebut pada waktu kabinet dibentuk pada tanggal 2 September 1945. Sastrawidagda mengundurkan diri setelah hanya menjabat selama dua minggu karena sakit.[15] Sastrawidagda adalah orang pertama yang ditunjuk sebagai Menteri Keuangan Indonesia, tetapi karena waktunya yang sangat singkat, Maramis dapat dianggap, secara de facto, sebagai Menteri Keuangan Indonesia pertama.
Sebagai Menteri Keuangan, Maramis berperan penting dalam pengembangan dan pencetakan uang kertas Indonesia pertama atau Oeang Republik Indonesia (ORI). Dibutuhkan waktu satu tahun sebelum uang kertas ini bisa dikeluarkan secara resmi pada tanggal 30 Oktober 1946.[16] Nota-nota ini menggantikan uang kertas Jepang yang diedarkan oleh pemerintah Hindia Belanda (NICA).[17][18] Uang dikeluarkan untuk denominasi 1, 5, dan 10 sen, dengan ditambah ½, 1, 5, 10, dan 100 rupiah. Tanda tangan Maramis sebagai Menteri Keuangan terdapat dalam cetakan uang-uang kertas ini.
Maramis menjabat sebagai Menteri Keuangan beberapa kali lagi, secara berurutan dalam Kabinet Amir Sjarifuddin I pada tanggal 3 Juli 1947,[19]Kabinet Amir Sjarifuddin II pada tanggal 12 November 1947,[20] dan Kabinet Hatta I pada tanggal 29 Januari 1948.[21] Pada tanggal 19 Desember 1948, Belanda memulai Agresi Militer Belanda II pada saat pemerintahan Hatta. Soekarno, Hatta, dan pejabat pemerintahan lainnya yang berada di Yogyakarta ditangkap dan diasingkan ke Pulau Bangka. Maramis pada saat itu sedang berada di New Delhi, India. Dia menerima kawat dari Hatta sebelum Hatta ditangkap dengan instruksi untuk membentuk pemerintahan darurat di pengasingan di India seandainya Sjafruddin Prawiranegara tidak dapat membentuk pemerintahan darurat di Sumatra.[22] Prawiranegara mampu membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia dan Kabinet Darurat di mana Maramis diangkat sebagai Menteri Luar Negeri. Setelah Soekarno dan Hatta dibebaskan, Prawiranegara mengembalikan pemerintahan kepada Hatta pada tanggal 13 Juli 1949 dan Maramis kembali menjabat sebagai Menteri Keuangan.
Pada tanggal 25 Januari 1950, Maramis diangkat sebagai Duta Besar Indonesia untuk Filipina terhitung mulai tanggal 1 Februari 1950.[24][25] Maramis menjabat sebagai duta besar Indonesia di Manila selama tiga tahun. Pada tanggal 10 April 1953, Maramis diangkat sebagai Duta Besar Indonesia untuk Jerman Barat terhitung mulai tanggal 1 Mei 1953.[26][27] Pada awal tahun 1956, Maramis kembali ke Jakarta dan menjabat sebagai Kepala Direktorat Asia/Pasifik di Kementerian Luar Negeri. Jabatan ini hanya diembannya selama beberapa bulan, karena ia diberi tugas baru sebagai Duta Besar Indonesia untuk Uni Soviet terhitung tanggal 1 Oktober 1956.[26][28] Dua tahun kemudian, Maramis mendapat tugas perangkapan sebagai Duta Besar Indonesia untuk Finlandia dengan kedudukan tetap di Moskwa.[26] Setelah menyelesaikan tugasnya sebagai duta besar untuk Uni Soviet dan Finlandia, Maramis dan keluarganya menetap di Swiss.[29] Dia menetap di Lugano sebelum kembali ke Indonesia pada 1976.[30]
Wafat
Setelah hampir 20 tahun tinggal di luar Indonesia, Maramis menyatakan keinginannya untuk kembali ke Indonesia. Pemerintah Indonesia mengatur agar ia bisa kembali dan pada tanggal 27 Juni 1976 ia tiba di Jakarta.[31] Di antara para penyambut di bandara adalah teman-teman lamanya Soebardjo dan Mononutu, dan juga Rahmi Hatta (istri Mohammad Hatta).[32] Pada bulan Mei 1977, ia dirawat di rumah sakit setelah mengalami pendarahan. Maramis meninggal dunia pada tanggal 31 Juli 1977 di Rumah Sakit Angkatan Darat Gatot Soebroto, hanya 13 bulan setelah ia kembali ke Indonesia.[33] Jenazahnya disemayamkan di Ruang Pancasila Departemen Luar Negeri dan dilanjutkan dengan upacara militer dan kemudian pemakaman di Taman Makam Pahlawan Kalibata.[31]
Penghargaan
Pada saat menjabat sebegai Duta Besar Indonesia untuk Filipina, Maramis menerima gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Far Eastern di Manila pada tahun 1950.[34] Pada tanggal 15 Februari 1961, Maramis dianugerahi penghargaan Bintang Mahaputra Utama dan pada tanggal 5 Oktober 1963 ia dianugerahi penghargaan Bintang Gerilya.[32] Maramis secara anumerta dianugerahi Bintang Republik Indonesia Utama pada tanggal 12 Agustus 1992.[35] Pada tanggal 30 Oktober 2007, Maramis diakui oleh Museum Rekor Dunia Indonesia sebagai Menteri Keuangan yang tanda tangannya tertera pada uang kertas yang paling banyak. Di antara tahun 1945 dan 1947, tanda tangannya tertera pada 15 uang kertas yang berbeda.[36]
Pada tanggal 8 November 2019, Alexander Andries Maramis dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Joko Widodo dalam sebuah upacara di Istana Negara.[37] Yang menerima penghargaan mewakili keluarga ahli waris adalah Joan Maramis, cucu dari A. A. Maramis.[38]
Keluarga
Maramis menikah dengan Elizabeth Marie Diena Veldhoedt. Ayah Elizabeth adalah orang Belanda sedangkan ibunya berasal dari Bali. Perkawinan Maramis dan Veldhoedt tidak menghasilkan anak, tetapi Veldhoedt memiliki seorang putra dari pernikahan sebelumnya. Anak itu diterima dengan baik oleh Maramis bahkan ia diberi nama Lexy Maramis.[39]
Anwar, Rosihan (2009). Sejarah Kecil "Petite Histoire" Indonesia, Jilid 3. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. ISBN978-979-709-429-4.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Aritorang, Jan; Steenbrink, Karel (2008). A History of Christianity in Indonesia [Sejarah Kekristenan di Indonesia] (dalam bahasa Inggris). Leiden: Brill. ISBN978-900-417-026-1.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Careers Institute (1953). Current Affairs, Issue 8 [Urusan Terkini, No. 8] (dalam bahasa Inggris). New Delhi: Careers Institute.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Finch, Susan; Lev, Daniel (1965). Republic of Indonesia Cabinets: 1945–1965 [Kabinet-Kabinet Republik Indonesia: 1945–1965] (dalam bahasa Inggris). Ithaca, N.Y.: Cornell University.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Idris, Safwan (1982). Tokoh-tokoh Nasional: Overseas Education and the Evolution of the Indonesian Educated Elite (Tesis Ph.D.). Madison, WI: University of Wisconsin-Madison.
Alexander Andries Maramis (dalam bahasa Inggris). Arlington, VA.: Joint Publications Research Service. 1977.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Khrushchev, Nikita (2007). Khrushchev, Sergei, ed. Memoirs of Nikita Khrushchev, Volume 3 [Memoar Nikita Khrushchev, Volume 3] (dalam bahasa Inggris). Diterjemahkan oleh Shriver, George. University Park: The Pennsylvania State University Press. ISBN978-027-103-317-4.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Lev, Daniel, ed. (2000). Legal Evolution and Political Authority in Indonesia [Evolusi Hukum dan Otoritas Politik di Indonesia] (dalam bahasa Inggris). The Hague: Kluwer Law International. ISBN9-0411-1421-1.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Massier, AB (2008). The Voice of the Law in Transition: Indonesian Jurists and Their Languages [Suara Hukum dalam Transisi: Jaksa-Jaksa Indonesia dan Bahasa Mereka] (dalam bahasa Inggris). Diterjemahkan oleh Wouters, Michaela. Leiden: KITLV Press. ISBN978-906-718-271-3.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Nalenan, R. (1981). Arnold Mononutu: Potret Seorang Patriot. Jakarta: Gunung Agung.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Otterspeer, Willem, ed. (1989). Leiden Oriental Connections 1850–1940 [Hubungan Oriental Leiden 1850–1940] (dalam bahasa Inggris). Leiden: Brill. ISBN9-0040-9022-3.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Parengkuan, Fendy E. W. (1982). A.A. Maramis, SH. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Pour, Julius (2010). Doorstoot naar Djokja: Pertikaian Pemimpin Sipil-Militer. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. ISBN978-979-709-454-6.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)