Sri Mulyani Indrawati (lahir 26 Agustus 1962) adalah seorang ekonom Indonesia. Saat ini ia menjabat sebagai Menteri Keuangan sejak 2016 dan dikenal sebagai Ratu Pajak Indonesia. Ia juga menjabat pada posisi yang sama dari 2005 hingga 2010. Ia adalah seorang ekonom terkemuka Indonesia yang menyatakan penghasilan tidak kena pajak di Indonesia terlalu tinggi padahal tanpa melihat Upah Minimun yang tergolong rendah . Sri berdarah Jawa, kedua orang tuanya berasal dari Kebumen.
Sri Mulyani merupakan puteri Kebumen yang lahir di Tanjung Karang (sekarang Bandar Lampung), Provinsi Lampung, tanggal 26 Agustus 1962. Dia adalah anak ketujuh dari seorang dosen universitas, Prof.Satmoko dan Retno Sriningsih. Keduanya berasal dari Gombong, Kebumen.[4] Namanya bercorak bahasa Jawa dan berhuruf Sansekerta.[5]Sri berarti sinar atau cahaya yang bersinar,[6] yang merupakan nama yang umum bagi perempuan Jawa. Mulyani berasal dari kata mulya, juga berarti berharga.[7]Indrawati berasal dari kata Indra dan akhiran feminin -wati. Ia bersekolah di SMP Negeri 2 Bandar Lampung (1975–1978)[8] dan SMA Negeri 3 Semarang (1978–1981).
Sri Mulyani mendapatkan gelar sarjana dari Universitas Indonesia pada 1986. Ia kemudian memperoleh gelar Master dan Doctor di bidang ekonomi dari University Illinois at Urbana-Champaign pada 1992. Tahun 2001, ia pergi ke Atlanta, Georgia, untuk bekerja sebagai konsultan untuk USAID (US Agency for International Development) demi tugas untuk memperkuat otonomi di Indonesia. Ia juga mengajar dalam ekonomi Indonesia sebagai professor di Andrew Young School of Policy Studies di Georgia State University.[9] Dari tahun 2002 sampai 2004 ia menjabat sebagai direktur eksekutif IMF mewakili 12 negara Asia Tenggara. Pada tahun 2004, ia ditunjuk sebagai Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas pada Kabinet Indonesia Bersatu.
Karier
Menteri Keuangan pada Kabinet Indonesia Bersatu (2005–2010)
Sri Mulyani ditunjuk untuk menjadi menteri keuangan pada tahun 2005 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Salah satu kebijakan pertamanya sebagai menteri keuangan ialah memecat petugas korup di lingkungan depertemen keuangan. Ia berhasil meminimalisir korupsi dan memprakarsai reformasi dalam sistem pajak dan keuangan Indonesia,[10][11] dan mendapat reputasi sebagai menteri yang berintegritas.[12] Dia berhasil meningkatkan investasi langsung luar negeri di Indonesia. Pada tahun 2004 disaat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mulai menjabat, Indonesia mendapat $4,6 miliar dari investasi langsung luar negeri. Tahun berikutnya berhasil meningkat menjadi $8,9 miliar.[13]
Tahun 2006, hanya satu tahun setelah menjabat menteri, ia disebut sebagai Euromoney Finance Minister of the Year oleh majalah Euromoney.[14]
Selama masa jabatannya pada tahun 2007, Indonesia mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 6.6%, tertinggi sejak krisis finansial di Asia tahun 1997. Namun pada tahun 2008 pertumbuhan ekonomi menurun menjadi 6,%[10] akibat perlambatan dalam ekonomi global. Pada Juli 2008, Sri Mulyani menjabat sebagai Menteri Koordinator bidang Ekonomi, menggantikan Boediono, yang akan mengambil jabatan di Bank Indonesia.[15]
Pada Agustus 2008, Sri Mulyani disebut majalah Forbes sebagai wanita paling berpengaruh ke-23 di dunia,[16] yang juga sekaligus wanita paling berpengaruh di Indonesia. Saat ia menjabat sebagai Menteri Keuangan, cadangan valuta asing negara mencapai nilai tertinggi sebesar $50 miliar.[16] Ia mengatur pengurangan utang negara hampir 30% dari GDP dari 60%,[10] membuat penjualan utang negara ke institusi asing semakin mudah. Ia mengubah struktur pegawai pemerintah di lingkup pemerintahannya dan menaikkan gaji petugas pajak untuk mengurangi sogokan di departemen keuangan.[17]
Tahun 2007 dan 2008, majalah Emerging Markets memilih Sri Mulyani sebagai Asia's Finance Minister of The Year.[18][19]
Setelah Susilo Bambang Yudhoyono dipilih kembali menjadi presiden tahun 2009, ia kembali ditunjukmenjadi Menteri Keuangan. Tahun 2009 ekonomi Indonesian tumbuh 4.5% disaat banyak negara-negara di dunia mengalami kemunduran. Indonesia adalah satu dari tiga negara dengan pertumbuhan ekonomi diatas 4% pada tahun 2009 disamping China dan India.[10] Dibawah pengawasannya pemerintah berencana meningkatkan angka pembayar pajak penghasilan dari 4,35 juta orang hingga sebesar 16 juta di lima tahun terakhir. Penerimaan pajak tumbuh dari sekitar 20% setiap tahun hingga lebih dari Rp 600 trilliun pada tahun 2010.[20]
Pada November 2013, surat kabar Inggris The Guardian merilis artikel disertai laporan berisi bocoran dari Edward Snowden mantan staff Badan Intelijen Amerika Serikat, yang menunjukkan bahwa intelijen Australia diduga keras meretas telepon genggam beberapa petinggi politik Indonesia pada tahun 2009. Termasuk Sri Mulyani yang menjabat sebagai menteri saat itu. Perdana Menteri Australia Tony Abbott membela dengan mengatakan bahwa aktivitas yang dilakukan tersebut bukanlah mata-mata melainkan akan digunakan untuk “penelitian” dan ia bermaksud hanya akan menggunakan setiap bentuk informasi untuk hal baik.[21]
Pengunduran dirinya berdampak negatif pada situasi ekonomi di Indonesia, seperti stock exchange yang menurun sebesar 3,8%. Nilai rupiah turun hampir 1% dibandingkan dolar.[17] Merupakan penurunan saham Indonesia yang paling tajam dalam 17 bulan.[25] Kejadian ini disebut sebagai "Indonesia’s loss, and the World’s gain (Kerugian Indonesia, dan keuntungan dunia)".[26][27][28]
Beredar isu bahwa pengunduran dirinya saat itu disebabkan oleh tekanan dari pihak lain,[29][30][31] terutama dari pengusaha dan ketua Partai Golongan Karya, Aburizal Bakrie.[32][33]
Aburizal Bakrie diduga mempunyai ketidaksukaan terhadap Sri Mulyani[34] akibat penyelidikan oleh Sri Mulyani terhadap penggelapan pajak dalam jumlah besar pada Bakrie Group, penolakan Sri Mulyani untuk mendukung kepentingan Bakrie terkait batu bara dengan menggunakan dana negara,[29] dan penolakan Sri Mulyani untuk menyatakan bahwa semburan lumpur Sidoarjo, yang secara luas dipercaya disebabkan dari pengeboran oleh perusahaan Bakrie, adalah bencana alam.
Pada 2014, ia disebut oleh majalah Forbes sebagai wanita paling berpengaruh di dunia urutan ke-38.[36]
Menteri Keuangan pada Kabinet Kerja dan Kabinet Indonesia Maju (2016–sekarang)
Pada 27 Juli 2016, Sri Mulyani dipulangkan oleh Presiden Joko Widodo untuk kembali menjadi Menteri Keuangan. Kembalinya Sri Mulyani merupakan kejutan bagi banyak pihak dan dianggap sebagai salah satu langkah terbaik yang pernah diambil oleh Joko Widodo selama dia menjabat.[37] Pada tahun pertamanya kembali menjadi menteri tersebut, ia langsung melakukan sejumlah gebrakan, antara lain memangkas Rp6,7 triliun belanja Kementerian dan Lembaga yang dinilainya tidak efisien, menahan Rp19,4 triliun Dana Alokasi Umum (DAU) ke 165 daerah dikarenakan posisi kas daerah yang masih tinggi, menunda pengucuran dana tunjangan profesi guru ke Pemerintah daerah dikarenakan adanya temuan kelebihan anggaran, serta melobi langsung para pengusaha besar untuk meyakinkan mereka berpartisipasi dalam program pengampunan pajak atau tax amnesty.[38]
Belum sampai setahun sejak ia menjabat, Sri Mulyani dinobatkan sebagai Menteri Keuangan Terbaik se-Asia Pasifik 2017 oleh majalah Finance Asia yang berkedudukan di Hong Kong. Pemberian penghargaan tersebut dinilai karena keberhasilannya mengurangi target defisit fiskal dari yang dikhawatirkan menembus angka 3 persen menjadi 2,5 persen dari PDB. Ia juga dianggap mampu memperbaiki sistem perpajakan Indonesia lewat program pengampunan pajak (tax amnesty) yang mana realisasi pembayaran tebusannya jauh melebihi proyeksi Bank Indonesia.[39] Penghargaan yang sama kembali ia peroleh pada 2018[40] dan 2019,[41] menjadikannya penyandang penghargaan tersebut selama tiga tahun berturut-turut.
Sri Mulyani menjadi sorotan dengan berhasil menagihkan pajak perusahaan raksasa Google dan Facebook.[42] Pada tanggal 11 Februari 2018 dalam acara World Government Summit[43] di Uni Emirat Arab, Sri Mulyani dinobatkan sebagai Menteri Terbaik di Dunia (Best Minister Award). Penghargaan diserahkan oleh Sheikh Mohammed bin Rashid yang merupakan Wakil Presiden UAE, Perdana Menteri dan Penguasa Dubai.
Pada periode keduanya bersama Joko Widodo, Sri Mulyani dihadapkan dengan sejumlah tantangan. Selain Pandemi Covid-19 pada 2020, Sri Mulyani juga dihadapkan dengan tergerusnya kepercayaan publik kepada kementerian yang ia pimpin karena dua peristiwa pada 2023: Penganiayaan David Ozora Latumahina oleh anak dari pejabat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan yang berujung pada terungkapnya gaya hidup mewah pegawai Kemenkeu di media sosial[44][45] serta pengungkapan Mahfud MD atas adanya dugaan transaksi mencurigakan sebesar Rp349 triliun di Kementerian Keuangan.[46]
Pada tahun 2021, untuk pertama kalinya sejak 2008,[55] penerimaan pajak melampaui target yang ditetapkan. Hal ini berlangsung selama tiga tahun berturut-turut, yaitu 2021,[56] 2022,[57] dan 2023.[58] Meski demikian, selama kepemimpinannya tersebut, Sri Mulyani belum mampu menaikkan Rasio pajak kembali ke level 11% layaknya sebelum 2015. Rasio pajak justru sempat turun ke level terendah yaitu 8,33% pada 2020, di tengah Pandemi Covid-19. Per 2023, rasio pajak 10,39% pada tahun 2022 merupakan tingkatan rasio tertinggi yang berhasil ia peroleh sejak menduduki posisi menteri di kabinet Joko Widodo.[59][60]
Pada 2022, kepemimpinan Sri Mulyani berhasil mengembalikan defisit APBN ke level di bawah 3%, yaitu 2,38%[61] (2,35% setelah audit[62]), sesuai batas yang ditetapkan UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara,[a] setelah sebelumnya selama dua tahun berturut-turut sejak 2020 mencatatkan defisit yang lebih tinggi akibat pandemi.[b] Hal ini lebih cepat setahun dari batas waktu sesuai Perppu Nomor 1 Tahun 2020 yang memperkenankan defisit lebih dari 3% hingga tahun 2022.[c] Pencapaian ini berlanjut pada 2023 dengan berhasil ditekannya defisit ke level 1,65% dari PDB, yang mana merupakan defisit APBN terendah Indonesia sejak 2011.[65]
Walau Sri Mulyani berhasil menjaga rasio utang pemerintah pusat tetap di bawah ambang batas yang diperkenankan UU Nomor 17 Tahun 2003, yaitu maksimal 60% dari PDB,[a] selama kepemimpinannya, total utang Pemerintah terus mengalami kenaikan dari tahun ke tahun, melanjutkan tren sejak 2014. Utang pemerintah yang semula Rp3.165,13 triliun pada 2015 (tahun sebelum ia mulai menjabat sebagai menteri) menjadi sebesar Rp8.041 triliun per November 2023. Bila dirasiokan terhadap PDB, rasio utang 26,84% pada 2016 mengalami kenaikan tertinggi pada 2020, dari 29,80% pada 2019 menjadi 38,68%, dan mencapai puncak pada 2021, yaitu sebesar 41%. Setelah 2021, terjadi penurunan rasio utang pada 2022 dan 2023 (38,11%), walau tetap lebih tinggi dari rasio pra 2020.[66]
Selama periode kepemimpinan Sri Mulyani, terdapat dua program yang diterapkan untuk meningkatkan pengungkapan harta Wajib Pajak, yaitu Program Pengampunan Pajak dan Program Pengungkapan Sukarela (PPS).
Pada 2016-2017, berlangsung Program Pengampunan Pajak atau yang umum disebut Tax Amnesty. Tax Amnesty merupakan program penghapusan pajak yang seharusnya terutang tanpa pengenaan sanksi administrasi maupun pidana perpajakan yang dilakukan melalui pengungkapan harta dan pembayaran uang tebusan.[d] Program ini sejatinya disusun pada era kepemimpinan menteri keuangan sebelumnya, Bambang Brodjonegoro, namun kemudian pelaksanaannya diwariskan ke Sri Mulyani karena terjadinya perombakan kabinet yang menyebabkan pergantian posisi Menteri Keuangan.[67] Sasaran Tax Amnesty adalah harta yang belum dilaporkan hingga Desember 2015. Program pengampunan pajak ini berlangsung selama tiga periode: 28 Juni 2016-30 September 2016, 1 Oktober 2016-31 Desember 2016, serta 1 Januari 2017-31 Maret 2017.[68] Tarif tebusan tiap periodenya sendiri ditetapkan berbeda. Untuk repatriasi atau deklarasi dalam negeri, tarif periode 1 sebesar 2%, periode 2 sebesar 3%, dan periode 3 5%. Sementara untuk repatriasi/deklarasi luar negeri, tarif periode 1,2, dan 3 berturut-turut adalah 4%, 6%, dan 10%.[69]
Sri Mulyani sendiri aktif mengampanyekan program ini. Ia bahkan turun langsung melobi para pengusaha besar untuk meyakinkan mereka berpartisipasi dalam program tersebut.[38] Alhasil, pada akhir program, total sebanyak 972.503 Wajib pajak mengikuti program tersebut, dengan jumlah deklarasi harta senilai Rp4.881 triliun. Jumlah deklarasi ini meliputi Rp3.697,94 triliun deklarasi dalam negeri, Rp1.036,37 triliun deklarasi luar negeri, serta Rp146,69 triliun uang tebusan.[68]
Sri Mulyani sendiri, pada rapat kerja bersama Komisi XI DPR, menyebut bahwa Indonesia telah melakukan reformasi perpajakan dalam 4 periode, dengan periode keempat dimulai sejak tahun 2016.[73]
Selama dua periode kepemimpinannya di masa kepresidenan Joko Widodo, Sri Mulyani terlibat dalam sejumlah perubahan dan kebijakan penting di bidang perpajakan dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Perubahan dan kebijakan ini antara lain sebagai berikut:
Pengaturan ulang atas Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) bersama DPR yang kemudian menghasilkan UU Nomor 9 Tahun 2018. UU tersebut memberi Kementerian Keuangan wewenang untuk mengorganisasi melalui Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) ragam PNBP yang dipungut oleh berbagai Kementerian dan Lembaga serta membantu memangkas jumlah PNBP dari yang semula berjumlah 70.000.[74]
Penurunan tarif final Pajak Penghasilan (PPh) bagi UMKM, dari semula 1% menjadi 0,5%. Hal ini berlandaskan PP Nomor 23 tahun 2018.
Reformasi dan optimalisasi ragam proses dalam pemenuhan kewajiban perpajakan melalui program Pembaruan Sistem Inti Perpajakan (PSIAP) atau disebut juga Core Tax Administration System (CTAS). Hal ini dengan landasan Perpres Nomor 40 tahun 2018. Sistem tersebut ditargetkan akan beroperasi pada pertengahan 2024.[75]
Memperluas kategori Bentuk Usaha Tetap (BUT) melalui PMK Nomor 35/PMK.03/2019 untuk memperluas jangkauan pemajakan terhadap perusahaan asing yang memperoleh penghasilan di Indonesia.
Pemberlakuan Super Tax Deduction, yang mana berupa pemberian insentif pajak bagi penyelenggara kegiatan vokasi, praktik kerja, pemagangan, dan pembelajaran serta bagi Wajib Pajak yang menyelenggarakan kegiatan penelitian dan pengembangan di Indonesia.[76] Hal ini diatur dengan PP Nomor 45 tahun 2019, PMK Nomor 128/PMK.010/2019, serta PMK Nomor 153/PMK.010/2020.[77]
Bersama DPR melakukan pengaturan ulang atas pajak Bea Meterai yang kemudian menghasilkan UU Nomor 10 Tahun 2020. Melalui UU ini, diperkenalkan meterai elektronik, penyederhanaan administrasi pemungutan dan pelaksanaan kewajiban perpajakan bea meterai, serta perubahan atas subjek dan saat terutang bea meterai. Pengaturan ulang ini juga mengubah tarif bea meterai dari yang semula terdapat dua tarif, yaitu Rp3.000 dan Rp6.000, menjadi satu tarif yaitu Rp10.000.
Bersama DPR mereformasi sistem perpajakan melalui dua UU omnibus, yaitu UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Kedua UU ini selain mengubah beragam ketentuan dalam UU Ketentuan Umum Perpajakan (KUP), UU Pajak Penghasilan (PPh), UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), serta UU Cukai, juga memperkenalkan bentuk pajak pusat baru, yaitu Pajak karbon. Beberapa perubahan dalam UU tersebut adalah penambahan lapisan tarif PPh baru bagi penghasilan di atas Rp5 miliar, penggunaan NIK sebagai pengganti NPWP, pengenaan PPh atas natura dan kenikmatan, penurunan PPh badan dari 25% menjadi 22%, pembebasan pajak bagi UMKM dengan penghasil bruto per tahun di bawah Rp500 juta, peningkatan PPN dari 10% menjadi 12% secara bertahap, dan lain sebagainya.
Bersama DPR melakukan pembaruan pengaturan atas ragam jenis pajak daerah yang mana kemudian dituangkan dalam UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Menerapkan pemajakan atas aset kripto melalui PMK Nomor 68/PMK.03/2022
Memberikan insentif berupa keringanan PPN bagi kendaraan bermotor listrik tertentu yang memenuhi Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) tertentu melalui PMK Nomor 38 Tahun 2023.
Perluasan pengenaan pajak Rokok ke bentuk Rokok elektrik melalui PMK Nomor 143 Tahun 2023.
Simplifikasi perhitungan pemotongan PPh atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan (PPh 21) dengan memperkenalkan konsep tarif efektif bulanan dan tarif efektif harian. Hal ini dimuat dalam PP Nomor 58 Tahun 2023 dan PMK Nomor 168 Tahun 2023.
Pandemi Covid-19
Selang beberapa bulan setelah pelantikannya kembali sebagai Menteri Keuangan di periode kedua Presiden Joko Widodo, Indonesia dihadapkan dengan krisis sosial, kesehatan, dan perekonomian dikarenakan terjadinya Pandemi global akibat virusCovid-19. Sebagai respon awal, pada Februari 2020, Sri Mulyani mengeluarkan paket kebijakan stimulus pertama sebesar Rp10,3 triliun, dengan fokus perumahan, bantuan langsung, serta sektor pariwisata (termasuk penerbangan, hotel, dan restoran).[78] Stimulus ini kemudian berlanjut dengan paket kebijakan stimulus kedua pada Maret 2020 sebesar Rp22,9 triliun,[79] yang di dalamnya meliputi relaksasi PPh 21 bagi seluruh pekerja industri manufaktur dengan tingkat penghasilan tertentu, relaksasi PPh 22 dan PPh 25 impor bagi 19 sektor industri manufaktur, serta sejumlah relaksasi restitusi PPN.[80] Stimulus kedua juga mencakup penyederhanaan serta pengurangan jumlah larangan dan pembatasan (lartas) untuk aktivitas ekspor dan impor, khususnya bahan baku.[81]
Pada 31 Maret 2020, bersamaan dengan penetapan Pandemi Covid-19 sebagai kedaruratan kesehatan masyarakat[g] sekaligus bencana nasional,[h][82] Pemerintah mengundangkan Perppu No. 1 Tahun 2020 yang menjadi landasan kebijakan keuangan negara untuk penanganan pandemi. Perppu tersebut kemudian menjadi landasan Sri Mulyani menyusun aturan pelaksana mengenai paket kebijakan stimulus ketiga sebesar Rp405,1 triliun. Adapun stimulus ketiga difokuskan untuk sektor kesehatan, jaring pengaman sosial (social safety net), serta dukungan industri; meliputi insentif perpajakan, Kredit Usaha Rakyat (KUR), dan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).[83][84] Berkaitan dengan insentif perpajakan bagi Wajib pajak terdampak pandemi, selama kurun 2020 hingga 2022, Sri Mulyani menerbitkan tidak kurang dari 9 peraturan menteri keuangan (PMK)[i] yang menyasar ke ribuan klasifikasi lapangan usaha (KLU). Sementara, berkaitan dengan pengeluaran PEN, dana ini kemudian kembali ditambahkan dalam penganggaran tahun-tahun selanjutnya, hingga pada 2022 mencapai Rp1.645 triliun.[85]
Pengeluaran pandemi yang besar dan tak menentu membuat Sri Mulyani harus mengambil langkah ekstrem. Pada April 2020, melalui Perpres Nomor 54 Tahun 2020, anggaran belanja 20 Kementerian dan Lembaga dipangkas. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat mengalami pemotongan terbesar, yaitu sebesar Rp24,53 triliun. Hanya 2 kementerian yang anggarannya justru bertambah: Kementerian Kesehatan sebesar Rp19,15 triliun dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebesar Rp34,42 triliun.[86] Pemangkasan kembali terjadi pada Juni 2020, yaitu sebesar Rp50 triliun.[87] Pada 2021, hingga bulan Agustus, total 4 kali Sri Mulyani melakukan pemangkasan anggaran. Pada pemangkasan tersebut, Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) serta tunjangan kinerja (tukin) di komponen THR dan gaji ke-13 PNS ikut direalokasi.[88] Bahkan keputusannya memotong anggaran MPR pernah membuatnya berseteru dengan beberapa pimpinan MPR.[89]
Langkah lain yang ia ambil ialah rencana penerbitan Pandemic Bond, surat utangglobal bond khusus dalam mata uangDolar Amerika Serikat untuk memenuhi kebutuhan pendanaan penanganan Covid-19. Surat utang ini disebut-sebut sebagai yang terbesar diantara global bond yang pernah diterbitkan Indonesia, dan, salah satu dari tiga seri yang hendak diterbitkan pada emisi pertama tersebut direncanakan bertenor 50 tahun, yang mana merupakan yang terlama dalam sejarah Pemerintah Indonesia.[90][91] Meski demikian, hal ini kemudian ia batalkan; surat utang tersebut terbit dalam bentuk bukan surat utang khusus sebagai bagian dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) secara keseluruhan.[92]
Atas prestasinya menangani pandemi Covid-19, pada Oktober 2020, Sri Mulyani memperoleh penghargaan "Menteri Keuangan Terbaik Se-Asia Timur dan Pasifik 2020" dari majalah Global Markets. Ini merupakan kedua kalinya ia memperoleh penghargaan tersebut, setelah sebelumnya ia mendapatkan penghargaan serupa pada 2018.[93]
Pada Mei 2023, ia mengumumkan bahwa Pemerintah berencana meningkatkan porsi modal yang ditempatkan Indonesia di IsDB sehingga Indonesia yang semula merupakan pemegang saham terbesar ke-12 Badan tersebut, naik tingkat menjadi terbesar ke-3, setelah Arab Saudi dan Libya.[94] Hal ini kemudian disetujui secara aklamasi oleh Dewan Gubernur IsDB.[95]
Kehidupan pribadi
Jangan pernah lelah mencintai negeri ini.
Mulyani, Seminar Kebijakan Publik dan Etika Publik, 18 Mei 2010[96]
Sri Mulyani menikah dengan Tony Sumartono yang juga seorang ekonom dan kemudian mempunyai tiga anak.[97][98] Ia tidak pernah mempunyai hubungan dengan partai politik mana pun.[29]
Kasus
Sebelum pengunduran dirinya sebagai menteri pada tahun 2010, anggota DPR mencurigai Sri Mulyani terlibat tindak pidana penalangan dana Bank Century pada 2008. Dana talangan Century yang awalnya sebesar 1,6 triliun rupiah menjadi 6,7 triliun rupiah.[99] Mantan wakil presiden Jusuf Kalla mengkritik kebijakan-kebijakan Sri Mulyani, termasuk penalangan dana tersebut.[100][101]
Catatan
^ abtercantum dalam penjelasan atas pasal 12 ayat 3 sebagaimana tercantum pada bagian Penjelasan UU tersebut
^Pada 2020, Indonesia mencatatkan persentase defisit APBN terlebar dalam 20 tahun, yaitu sebesar 6,14% dari PDB, melenceng dari target awal pada APBN 2020 yang hanya sebesar 1,76%.[63] Pada tahun 2021, defisit APBN sebesar 4,65%.[64]
^Pasal 2 ayat 1 huruf a Perppu No. 1 Tahun 2020 memperkenankan defisit APBN melebihi 3% selama masa penanganan pandemi dengan paling lama hingga tahun 2022. Oleh sebab itu, mulai 2023, batas maksimal defisit APBN kembali mengacu ke ketentuan pada UU Keuangan Negara, yaitu 3%.
^yaitu PMK Nomor 23/PMK.03/2020, PMK Nomor 44/PMK.03/2020, PMK Nomor 86/PMK.03/2020, PMK Nomor 110/PMK.03/2020, PMK Nomor 9/PMK.03/2021, PMK Nomor 82/PMK.03/2021, PMK Nomor 149/PMK.03/2021, PMK Nomor 3/PMK.03/2022, serta PMK Nomor 114/PMK.03/2022
^PMK ini berturut-turut adalah PMK No. 150/PMK.010/2017 untuk tahun anggaran 2017, PMK No. 59/PMK.010/2018 untuk tahun anggaran 2018, PMK No. 50/PMK.010/2019 untuk tahun anggaran 2019, PMK No. 196/PMK.010/2020 untuk tahun anggaran 2020, PMK No. 176/PMK.010/2021 untuk tahun anggaran 2021, PMK No. 183/PMK.010/2022 untuk tahun anggaran 2022, PMK No. 56 Tahun 2023 untuk tahun anggaran 2023, serta PMK No. 161 Tahun 2023 untuk tahun anggaran 2024
^Turner, Sir Ralph Lilley; Dorothy Rivers Turner (January 2006) [1962]. A comparative dictionary of the Indo-Aryan languages (edisi ke-Accompanied by three supplementary volumes: indexes, compiled by Dorothy Rivers Turner: 1969. – Phonetic analysis: 1971. – Addenda et corrigenda: 1985.). London: Oxford University Press,. hlm. 736. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-12-15. Diakses tanggal 22 Apr 2010.
^McBeth, John (May 8, 2010). "Sri Mulyani: World's gain, Jakarta's loss". Asia News Network. Archived from the original on 2011-06-15. Diakses tanggal 2019-08-02.Pemeliharaan CS1: Url tak layak (link)
^Suharmoko, Aditya (May 5, 2010). "Politics makes Mulyani move". The Jakarta Post. Jakarta. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-05-16. Diakses tanggal 2016-10-23.