Selama Orde Lama, Soemitro merupakan salah satu menteri yang mendukung masuknya modal dan investor asing ke Indonesia. Karena ini, dia ditekan oleh Soekarno dan politisi-politisi Partai Komunis Indonesia selama era Djuanda, yang menyebabkan Soemitro bergabung ke Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatra. Peranan Soemitro dalam PRRI dilangsungkan dari luar Indonesia melalui aktivitasnya menggalang dana dan dukungan luar negeri. Setelah PRRI ditumpas, Soemitro tidak pulang sampai tahun 1967, setelah Soeharto menjadi presiden. Soeharto mengundangnya kembali ke Indonesia dan mengangkat Soemitro menjadi Menteri Perdagangan dan Industri, dan belakangan sebagai Menteri Riset. Banyak bekas muridnya di Universitas Indonesia juga terlibat dalam pemerintah Soeharto, dan lebih dikenal sebagai mafia Berkeley. Soemitro tetap aktif di bidang ekonomi setelah tidak menjadi menteri, dan sering mengkritik kebijakan ekonomi pemerintah sebelum krisis moneter melanda Indonesia.
Masa muda
Soemitro terlahir di Gombong, Kabupaten Karanganyar (Sekarang wilayah Kebumen), Keresidenan Kedu pada tanggal 29 Mei 1917. Soemitro lahir dikala ayahnya Margono Djojohadikusumo menjadi pejabat koperasi pada pemerintahan Kabupaten Karanganyar (Kebumen). Ia merupakan anak sulung dari pasangan ningrat Jawa di Banyumas, Raden Mas Margono Djojohadikusumo dan Siti Katoemi Wirodihardjo. Keluarga Djojohadikusumo sendiri dikatakan merupakan keturunan dari Raden Tumenggung Kertanegara atau Pangeran Banyakwide dari Karanganyar (Kebumen), seorang yang pernah menjadi Bupati Karanganyar (sekarang Kebumen) sekaligus panglima laskar Pangeran Diponegoro di wilayah Kedu; dan Adipati Mrapat atau Raden Joko Kaiman, bupati Banyumas yang pertama.[1] Sang ayah adalah pegawai tingkat menengah dalam pemerintahan kolonial Hindia Belanda yang belakangan menjadi pendiri Bank Negara Indonesia.[2][3] Ia memulai pendidikan di sekolah Europeesche Lagere School (setara sekolah dasar) dan belakangan Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren di Banyumas.[4]
Pada tahun 1935, setelah menyelesaikan pendidikan di Hindia Belanda, Soemitro melanjutkan studinya ke Sekolah Tinggi Ekonomi (Nederlandsche Economische Hogeschool) di Rotterdam, Belanda.[3] Pada masa itu, karena depresi besar, tidak banyak putra Indonesia bahkan keturunan priyayi yang dapat berkuliah di luar negeri.[5] Ia juga sempat menempuh kursus filosofi dan sejarah di Universitas Paris selama setahun, antara 1937 hingga 1938 setelah ia mendapatkan gelar sarjana dari Rotterdam.[3][6] Dalam autobiografinya, Soemitro menulis bahwa ia berminat terjun dalam Perang Saudara Spanyol sebagai anggota satuan Brigade Internasional, tetapi ia ditolak karena terlalu muda.[7] Soemitro juga menulis bahwa ia masih mendukung pihak Republikan sebagai penggalang dana.[8]
Selama studinya, ia turut bergabung dalam organisasi mahasiswa Indonesia yang bertujuan mempromosikan seni budaya Indonesia.[9] Saat Soemitro sedang menyelesaikan disertasinya di Rotterdam, pada bulan Mei 1940, Jerman Nazi menyerbu Belanda dan Soemitro nyaris terbunuh dalam pengeboman kota Rotterdam; dinding kamar kosnya runtuh karena bom Luftwaffe.[10] Ia tetap berhasil menyelesaikan disertasinya pada tahun 1943, yang berjudul Het Volkscredietwezen in de Depressie ("Kredit Rakyat di Masa Depresi"), dan ia memperoleh gelar doktor ekonomi.[3][5] Antara kelulusannya sampai perang dunia berakhir, Soemitro turut membantu sejumlah pelaut Indonesia yang terdampar di Rotterdam, ketika sejumlah anggota Perhimpunan Indonesia (PI) ikut serta dalam perlawanan pasif dalam lingkup gerakan bawah tanah Belanda.[11] Soemitro sendiri tidak bergabung dalam PI karena adanya sejumlah tokoh komunis seperti Abdulmadjid Djojoadiningrat dalam organisasi tersebut.[6] Karena kondisi perang tidak memungkinkan Soemitro untuk pulang, ia menghabiskan waktunya dengan mempelajari ekonomi Indonesia.[12]
Karier awal
Awal revolusi
Seusai perang berakhir, Soemitro sempat menjadi anggota delegasi Belanda dalam pertemuan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa di London pada bulan Januari 1946 sebelum pulang ke Indonesia pada bulan Maret 1946.[13][14] Menurut laporan pemerintah Britania Raya, pihak Belanda sengaja mengajak Soemitro demi memberikan kesan positif ke negara-negara lain, tetapi Soemitro merasa dikecewakan sehingga ia kembali ke Indonesia.[15] Soemitro pulang ke Indonesia pada tahun 1946 dan diangkat menjadi staf oleh Perdana Menteri Sutan Sjahrir, dan mulai aktif dalam Kementerian Keuangan.[16] Ia sempat diculik kelompok Persatuan Perjuangan dalam peristiwa 3 Juli 1946 bersamaan dengan Sjahrir dan menteri kemakmuran Darmawan Mangunkusumo.[17] Belakangan, ia ditugaskan ke Amerika Serikat sebagai wakil ketua delegasi dan duta berkuasa penuh urusan ekonomi Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Jabatan-jabatan ini dipegangnya sampai tahun 1950.[3][18] Ia juga sempat menjabat kepala kedutaan besar Indonesia di AS (bukan sebagai duta besar).[19]
Selama revolusi, Angkatan Laut Kerajaan Belanda memblokade perdagangan internasional ke pelabuhan-pelabuhan di Indonesia. Soemitro ditugaskan untuk mencari cara melewati blokade ini. Salah satu tindakan Soemitro adalah mengirimkan kapal kargo berbendera Amerika Serikat, SS Martin Behrman. Setelah kapal tersebut berlabuh dan mengisi muatan di Cirebon, AL Belanda menyita kapal tersebut. Tindakan ini memicu amarah Serikat Maritim Nasional Amerika Serikat [en] dan Kongres Amerika Serikat mempertimbangkan meluncurkan suatu penyidikan, sehingga Belanda terpaksa melepaskan kapal tersebut. Kejadian ini sesuai harapan Soemitro dan kawan-kawan, yang lebih menghargai perhatian media luar daripada nilai kargo itu sendiri. Menurut Soemitro, Sjahrir berkomentar bahwa "kita kehilangan kargo 3 juta dolar, namun kita tidak mungkin membeli perhatian rakyat [Amerika Serikat]".[20] Soemitro juga menjalin kerjasama dengan Matthew Fox, seorang pebisnis Amerika Serikat, menandatangani kontrak untuk membentuk perusahaan perdagangan. Soemitro setuju untuk memberikan perusahaan tersebut monopoli atas sebagian perdagangan Indonesia–AS selama sepuluh tahun.[21][22]
Diplomasi
Setelah Agresi Militer Belanda II diluncurkan, Soemitro beserta anggota delegasi Indonesia lainnya berperan penting dalam menggalang perhatian dan simpati dunia.[18] Delegasi Indonesia di AS yang tadinya tidak dianggap mendadak menjadi pusat perhatian, dan Soemitro diundang untuk bertemu Wakil Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Robert A. Lovett. Setelah pertemuan tersebut, Soemitro menggelar konferensi pers yang diliput oleh berbagai media AS — surat kabar The New York Times pada tanggal 21 Desember 1948 mencetak keseluruhan isi pernyataan Soemitro yang menuntut AS menghentikan bantuan Rencana Marshall untuk Belanda.[23][24]
Soemitro juga mengambil peran penting dalam Konferensi Meja Bundar, selaku ketua panitia ekonomi dan keuangan. Awalnya, pihak Belanda menuntut Indonesia mengambil alih utang pemerintah Hindia Belanda sebesar 6 miliar gulden, tetapi Soemitro menyampaikan pandangan sebaliknya–bahwa pihak Belanda berutang sebesar 500 juta gulden ke Indonesia. Menurut argumen Soemitro, sebagian besar utang tersebut digunakan untuk membayar pengeluaran militer Belanda selama perang kemerdekaan, dan tidak masuk akal bagi pihak Indonesia untuk membiayai perang melawan diri sendiri. Setelah proses negosiasi, disetujui bahwa pihak Indonesia akan mengambil alih utang sebesar 4.3 milyar gulden,[25] yang harus dilunasi per bulan Juli 1964.[26] Soemitro sebenarnya tidak setuju dengan ini dan ingin melanjutkan perundingan, tetapi Wakil Presiden Mohammad Hatta menganulir keputusan Soemitro dan menyetujui angka tersebut.[26] Soemitro juga ingin menyelesaikan urusan Papua Barat dalam konferensi tersebut, tetapi sekali lagi Hatta memutuskan untuk menganulir Soemitro.[27]
Orde Lama
Mendag dan UI
Setelah pengakuan kedaulatan, Soemitro ditunjuk sebagai Menteri Perdagangan dan Industri dalam Kabinet Natsir, sebagai anggota Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang dipimpin Sjahrir.[28][29] Kebijakan ekonomi Soemitro berfokus ke program industrialisasi, berlawanan dengan arah Menteri Keuangan saat itu, Syafruddin Prawiranegara, yang lebih mengarah ke pengembangan pertanian. Soemitro menyusun Rencana Urgensi Perekonomian (alias "Sumitro Plan") yang diterbitkan pada bulan April 1951 (setelah jatuhnya Kabinet Natsir). Rencana ini mencakup pengunaan uang negara untuk membangun sejumlah fasilitas industri di pulau Jawa dan Sumatra dalam dua tahun, termasuk pembangunan kembali sejumlah pabrik yang rusak karena perang.[30] Dalam implementasinya, tidak ada pabrik terencana yang sudah berdiri setelah dua tahun tersebut, sehingga jangka rencana tersebut diperpanjang menjadi tiga tahun.[31][32]
Selama masa Kabinet Natsir, Soemitro juga berkeliling Eropa, khususnya di Belanda, untuk menarik investasi asing dalam mendirikan pabrik di Indonesia.[33] Salah satu program Soemitro lainnya merupakan Program Benteng, yakni suatu program yang mengatur lisensi impor barang tertentu yang harus dimiliki oleh pengusaha "pribumi", meskipun Soemitro sendiri sebenarnya lebih menyukai mekanisme pasar bebas.[34] Setelah jatuhnya Kabinet Natsir, Soemitro menjadi dekan kedua fakultas ekonomi di Universitas Indonesia (UI), setelah dekan sebelumnya Soenarjo Kolopaking mengundurkan diri.[35][36] Ia menjabat sebagai dekan antara 1951 sampai 1957. Selama masa jabatannya, Soemitro mengundang sejumlah akademisi dari Belanda karena kurangnya staf pengajar di UI. Soemitro juga mendirikan Lembaga Pendidikan Ekonomi dan Masyarakat (sekarang LPEM FEUI) yang belakangan sering diberdayakan untuk merumuskan kebijakan ekonomi. Program afiliasi antara FE UI dan fakultas ekonomi Universitas California, Berkeley juga dicetuskan oleh Soemitro.[35] Dengan sokongan dana Ford Foundation, Soemitro mengirimkan sejumlah mahasiswa Indonesia ke Amerika Serikat dalam program pertukaran (mahasiswa Indonesia ke AS dan dosen AS ke Indonesia) untuk memperluas wawasan pemikiran ekonomi di Indonesia, yang sebelumnya didominasi pandangan-pandangan ekonomis dari Eropa.[37] Awalnya Soemitro juga mencoba menjalin hubungan pertukaran dengan Sekolah Ekonomi dan Ilmu Politik London, namun karena British Council menolak memberikan beasiswa, rencana ini dibatalkan.[38]
Di pertengahan tahun 1951, Soemitro mengundang mantan Menteri Keuangan Jerman Nazi Hjalmar Schacht ke Indonesia untuk meneliti situasi ekonomi nasional dan memberikan rekomendasi.[39] Soemitro juga turut serta dalam proses nasionalisasi De Javasche Bank, bekas bank sentral Hindia Belanda.[40] Selain itu, dalam periode ini Soemitro juga sering berdebat secara tertulis dengan Syafruddin mengenai pandangan-pandangan ekonomi mereka — sembari kedua pihak juga mengkritik kebijakan ekonomi pemerintah.[41] Menurut Soemitro, standar kehidupan dalam struktur ekonomi agraria yang didukung Syafruddin cenderung rendah, dan Soemitro juga tidak setuju dengan kebijakan penghematan anggaran Syafruddin.[42] Meskipun begitu, kedua tokoh ini sepakat bahwa investasi asing diperlukan untuk pengembangan ekonomi Indonesia, meskipun banyak tokoh nasionalis pada masa itu menolak investor luar negeri.[43] Soemitro juga mendukung program transmigrasi pemerintah, dengan catatan diperlukannya pengembangan industri di kawasan-kawasan baru.[44]
Menteri Keuangan
Soemitro ditunjuk sebagai Menteri Keuangan dalam Kabinet Wilopo.[28][45]Kementerian Keuangan pada masa itu masih mencakup sejumlah besar pegawai berkebangsaan Belanda, dan menurut Soemitro, para pegawai ini ahli dalam administrasi tetapi tidak paham ilmu ekonomi.[46] Selama masa Wilopo, proses nasionalisasi Bank Indonesia selesai, dan Soemitro mewajibkan semua anggota dewan direksi BI berkebangsaan Indonesia.[47] Ia juga memperluas cakupan program Benteng dari sekitar 10 persen produk impor menjadi lebih dari 50 persen.[48] Ini dilakukan meskipun Soemitro sendiri tahu bahwa implementasi program Benteng bermasalah, dan Soemitro sendiri berkomentar bahwa sebagian besar pengusaha yang diuntungkan program Benteng bisa saja hanya "parasit".[49]
Kabinet Wilopo jatuh pada tahun 1953, dan beberapa tokoh gagal membentuk kabinet setelahnya. Soemitro ditunjuk sebagai Menteri Keuangan dalam kabinet yang diajukan oleh Burhanuddin Harahap, tetapi penunjukan Soemitro ditentang oleh Partai Nasional Indonesia sehingga Burhanuddin mengembalikan mandatnya. Akhirnya, Soemitro digantikan oleh Ong Eng Die dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo I.[50] Selama masa Ali, Soemitro menjadi kritik pemerintah dan menuduh bahwa kebijakan kabinet tersebut bertujuan untuk mengusir modal asing dari Indonesia — khususnya perusahaan Belanda.[51] Ia kembali menjadi Menteri Keuangan dalam Kabinet Burhanuddin Harahap pada tahun 1955.[52][53] Karena inflasi yang merajalela pada masa itu, Soemitro memutuskan untuk mengakhiri program Benteng demi stabilisasi ekonomi.[54]
Program Soemitro selama masa kabinet Burhanuddin mencakup pengurangan belanja pemerintah yang mengurangi defisit anggaran, dan perlahan inflasi mulai terkendali.[55] Karena jatuhnya kekuatan PSI setelah pemilu 1955, Soemitro mempertanyakan kepemimpinan Sjahrir atas partai tersebut.[56] Soemitro dikirimkan ke Jenewa pada akhir tahun 1955 untuk merundingkan urusan Irian Barat, dan meskipun proses negosiasi perlahan mulai bergerak, tekanan politik dalam negeri menghentikan proses tersebut pada bulan Januari 1956. Kecewa atas tindakan pemerintah, para delegasi Indonesia di Jenewa — Soemitro, Menteri Kesehatan Johannes Leimena, dan Menteri Luar Negeri Ide Anak Agung Gde Agung — sempat berniat untuk mengundurkan diri dari jabatan mereka.[57] Beberapa bulan sebelum jatuhnya kabinet Burhanuddin, Soemitro meminjamkan dana pemerintah ke sejumlah perusahaan-perusahaan yang terkait partai-partai politik. Tindakan ini memicu partai-partai oposisi untuk menuntut pembubaran kabinet Burhanuddin lebih cepat dari yang terjadwalkan.[58] Para menteri dalam kabinet Burhanuddin, termasuk Soemitro, tidak diikutsertakan dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo II.[59]
Soemitro dianggap sebagai menteri paling berkuasa dari PSI selama era Demokrasi Liberal.[60] Dalam makalah yang diterbitkan tahun 1952, Soemitro menjabarkan tujuan kebijakannya, yakni meningkatkan konsumsi dan investasi dalam negeri sembari memperbaiki neraca dagang negara. Meskipun begitu, ia menambahkan bahwa pemerintah Indonesia masa itu tidak cukup kuat secara administratif untuk meluncurkan program intervensi langsung dalam ekonomi.[61] Soemitro juga mendukung investasi asing — setelah disumpah sebagai menteri dalam kabinet Wilopo, ia berkomentar bahwa mengusir investor asing sama saja "menggali kubur sendiri".[62] Soemitro juga melobi para investor asing tersebut untuk mengembangkan sumber daya manusia Indonesia dengan iming-iming keringanan pajak.[63]
Pemberontakan PRRI
Awal mula
Selama masa Kabinet Djuanda, Presiden Soekarno secara terbuka bertentangan dengan ekonom-ekonom yang belajar di institusi "barat", termasuk Soemitro. Soekarno dalam hal ini didukung oleh Partai Komunis Indonesia yang dipimpin D.N. Aidit. Aidit menuduh bahwa Soemitro memihak "imperialisme dan feodalisme", sembari memegang pandangan bahwa kebijakan ekonomi pro-investor Soemitro tidak sesuai dengan masyarakat Indonesia yang pada masa itu kebanyakan masyarakat desa. Aidit menyalahkan kemiskinan di Indonesia kepada asing, kapitalis dan tuan tanah yang memburu rente, dan bukan karena rendahnya investasi domestik seperti pendapat Soemitro.[64] Soemitro sendiri disalahkan karena membiarkan pihak-pihak kapitalis asing masuk ke Indonesia.[65] Sepanjang bulan Mei 1957, Soemitro dipanggil dua kali oleh pihak kepolisian karena tuduhan korupsi (terkait penggalangan dana PSI untuk Pemilu 1955)[66] dan karena hubungan Soemitro dengan seorang pengusaha yang dipenjara karena kasus suap. Ia dipanggil untuk ketiga kalinya pada tanggal 8 Mei 1957,[67] tetapi ia memutuskan untuk tidak datang dan bersembunyi. Awalnya, Soemitro bersembunyi di rumah kawannya di Tanah Abang, sebelum berpindah ke Pulau Sumatra dengan bantuan Sjahrir.[68]
Selama Soemitro di Sumatra, ia dikunjungi sejumlah politisi PSI yang mencoba membujuknya untuk tidak bergabung dengan gerakan anti-pemerintah di sana, sampai akhirnya Soemitro memutuskan untuk tidak bertemu lagi dengan utusan-utusan PSI tersebut.[68] Pada tanggal 13 Mei 1957,[67] Soemitro tiba di Sumatra Tengah dan mulai menjalin hubungan dengan Dewan Banteng. Dalam bulan-bulan berikutnya, hubungan antara pemimpin-pemimpin Dewan Banteng dan pemerintah pusat semakin memanas, dan tawaran kompromi yang mencakup kembalinya sejumlah tokoh "moderat" seperti Hatta ke pemerintah ditolak.[69] Sejumlah tokoh partai Masyumi, seperti Syafruddin Prawiranegara dan Mohammad Natsir, belakangan bergabung dengan Soemitro di Sumatra.[70] Soemitro mulai berpergian ke luar negeri untuk menggalang dukungan sembari menjalin hubungan dengan wartawan dan pemerintah asing, termasuk dengan pihak Badan Intelijen Pusat Amerika Serikat (CIA) di Singapura.[67] Pada bulan September 1957, setelah pertemuan dengan sejumlah kolonel-kolonel anti pemerintah, Soemitro mengirimkan tuntutannya ke pemerintah pusat: desentralisasi, pencopotan Kepala Staf TNI Angkatan DaratAbdul Haris Nasution, kembalinya Hatta dalam struktur pemerintahan, dan pelarangan "komunisme internasional".[71] Hubungan Soemitro dengan pihak Amerika Serikat kemungkinan meningkatkan kepercayaan diri pihak anti-pemerintah dalam membentuk tuntutan mereka.[72] Setelah pertemuan berikutnya di Padang, Soemitro mengirimkan laporan hasil pertemuan tersebut ke pihak Amerika Serikat yang menggambarkan Dewan Banteng sebagai barisan anti-komunisme. Soemitro berencana untuk membiayai pergerakan tersebut dari pendapatan ekspor hasil bumi dari Sumatra.[73]
Jatuhnya PRRI
Soemitro telah menjalin hubungan dengan pihak pemerintah AS, Britania Raya, Malaya Britania, Filipina, dan Thailand di akhir tahun 1957, ditambah lagi dengan perusahaan-perusahaan Belanda dan Taiwan.[74] Pihak Dewan Banteng telah memperoleh ribuan pucuk senjata, dari dana hasil penjualan sumber daya alam dan bantuan tunai asing yang ditambahkan lagi oleh pengiriman senjata langsung dari Amerika Serikat.[75] Dalam pertemuan di Sungai Dareh, para tokoh Masyumi beserta Soemitro bertemu dengan para perwira, tetapi pemberontakan belum diluncurkan karena keengganan Panglima Kodam IV/Sriwijaya, Kolonel Barlian, untuk ikut serta.[76] Setelah pertemuan di Sungai Dareh, Soemitro berangkat ke Eropa untuk terus menggalang dana dan berbicara dengan media asing.[76]
Dalam wawancara-wawancaranya, Soemitro menyampaikan tuntutan-tuntutan dari Dewan Banteng.[76] Semakin lama tuntutan dan ancaman Soemitro terhadap pemerintah pusat semakin keras, dan pada tanggal 2 Februari 1958 Soemitro di Jenewa mengancam kemungkinan pecahnya perang saudara[77] yang menurutnya akan menggulingkan Soekarno dalam sepuluh hari saja.[78]Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia dideklarasikan di Padang pada tanggal 15 Februari 1958, dibawah pimpinan Syafruddin Prawiranegara selaku perdana menteri, dan Soemitro dijadikan Menteri Perdagangan dan Komunikasi dalam kabinetnya.[79] Keesokan harinya, pada tanggal 16 Februari, Soekarno memerintahkan penangkapan tokoh-tokoh PRRI termasuk Soemitro.[80]
Tidak lama setelah PRRI dideklarasikan, pemerintah pusat telah berhasil merebut kembali kota-kota besar seperti Padang dan Pekanbaru. Setelah jatuhnya Bukittinggi, Syafruddin menunjuk Soemitro menjadi Pelaksana Tugas Menteri Luar Negeri, dan menempatkan Soemitro di Manado beserta kelompok Permesta.[81] Soemitro tidak setuju dengan deklarasi "Republik Persatuan Indonesia" oleh pihak PRRI di Sumatra pada bulan Februari 1960, karena ia tidak menyukai bentuk negara federal dan enggan bekerja sama dengan kelompok pemberontakan Negara Islam Indonesia.[82][83] Setelah penumpasan PRRI, Soemitro memutuskan untuk tetap tinggal di luar negeri.[84] Keterlibatan Soemitro dalam PRRI menyebabkan pengucilan bekas murid-muridnya di UI, termasuk banyak mahasiswa yang telah belajar ke luar negeri.[85] Selama tinggal di luar negeri, Soemitro kebanyakan bekerja sebagai konsultan di Singapura.[86] Ia juga beberapa kali bepergian ke Eropa, dan ia bertemu Sjahrir di Swiss ketika Sjahrir dirawat disana.[87] Soemitro juga sempat tinggal di Malaysia dan di Bangkok, Thailand.[88] Sembari di Malaysia, Soemitro menulis mengenai sejarah ekonomi negara itu untuk mencari nafkah,[89] sembari menjalin hubungan dengan sejumlah perwira militer anti-komunis sewaktu Konfrontasi Indonesia–Malaysia.[90]
Orde Baru
Setelah Soekarno jatuh dan digantikan oleh Soeharto, sejumlah bekas murid Soemitro seperti Widjojo Nitisastro, Mohammad Sadli, dan Emil Salim ditunjuk sebagai menteri atau penasihat dalam pemerintah.[91][92] Soeharto menugaskan Ali Murtopo untuk memulangkan Soemitro ke Indonesia, dan Ali bertemu dengan Soemitro untuk membujuknya pulang di Bangkok pada bulan Maret 1967. Soemitro setuju untuk pulang, dan ia kembali secara rahasia pada pertengahan tahun 1967 karena kekhawatiran pemerintah akan simpatisan Orde Lama.[93] Soemitro diangkat menjadi Menteri Perdagangan dan Industri dalam Kabinet Pembangunan I pada tanggal 10 Juni 1968.[94]
Sebagai Menperindag di era Orde Baru, Soemitro mengimplementasikan sejumlah kebijakan dagang yang bertujuan untuk mendorong ekspor atau menekan impor produk tertentu.[94] Sebagai contoh, Soemitro mendirikan beberapa badan yang mengatur kualitas dan ekspor komoditas kopi dan kopra,[95] sembari melarang ekspor karet alam berkualitas rendah untuk mendorong hilirisasi industri karet.[96] Soemitro juga mendorong pengurangan impor barang konsumsi dan peningkatan impor barang modal, dan bea masuk ditingkatkan sebagai pendapatan pemerintah.[97] Kabinet Pembangunan I ini juga mencakup Mafia Berkeley, sekumpulan ekonom yang belajar di universitas-universitas barat dan sebagian pernah menjadi murid Soemitro.[94][98] Selain sebagai Menperindag, Soemitro juga menjadi salah satu penasihat ekonomi Soeharto.[99]
Pada tahun 1973, Soemitro dijadikan Menteri Riset dalam Kabinet Pembangunan II.[100] Ada sejumlah pihak yang beranggapan bahwa perombakan ini disebabkan adanya pertidaksetujuan antara Soemitro dan Soeharto dalam kebijakan ekonomi.[101] Dalam kapasitasnya sebagai Menteri Riset, Soemitro memulai program penelitian nasional dalam bidang ekonomi yang melibatkan fakultas-fakultas ekonomi berbagai universitas di Indonesia, dengan tujuan membantu penyusunan program ekonomi pemerintah. Hal ini dilakukan Soemitro karena kekhawatirannya bahwa Rencana Pembangunan Lima Tahun Soeharto kurang memperhitungkan tren-tren dan kondisi ekonomi jangka panjang di Indonesia. Meskipun program ini berguna untuk pemerintah, Soemitro digantikan oleh B. J. Habibie dalam Kabinet Pembangunan III sehingga program tersebut dihentikan.[100]
Di luar kariernya dalam struktur pemerintah, Soemitro juga terlibat dalam dunia usaha. Bersama dengan Mochtar Lubis, ia mendirikan Indoconsult Associates pada tahun 1967. Indoconsult Associates merupakan salah satu firma konsultan bisnis pertama di Indonesia.[102] Soemitro juga terlibat dalam naiknya Grup Astra sejak tahun 1968, ketika Soemitro membantu grup tersebut memperoleh lisensi importir tunggal mobil Toyota. Keluarga Tjia pendiri Astra telah menjalin hubungan dengan Soemitro sejak jaman Orde Lama.[103] Soemitro sempat menjabat presiden komisaris Astra pada tahun 1992.[104] Dalam karier akademiknya, Soemitro menjadi salah satu pendiri organisasi akademis East Asian Economic Association (Asosiasi Ekonomi Asia Timur) pada tahun 1984, dan ditunjuk secara aklamasi menjadi ketua umum pertama organisasi tersebut.[105]
Soemitro sering dianggap sebagai ekonom Indonesia yang paling berpengaruh, baik selama periode Orde Lama maupun Orde Baru.[14][106][107][108] Setelah tidak lagi menjabat menteri, ia mulai khawatir akan struktur fundamental ekonomi Indonesia dibawah Soeharto. Meskipun industrialisasi berjalan cepat, Soemitro melihat munculnya kepentingan-kepentingan yang menguasai sejumlah industri, dan tidak setuju dengan kebijakan dagang pemerintah yang dianggapnya terlalu proteksionis.[109]Ekonomi Indonesia pada masa itu dianggapnya rapuh dan hanya terlihat kuat di permukaan.[110] Meskipun pengaruhnya dalam pemerintahan sudah turun drastis, ia mengkritik sejumlah kebijakan pemerintah seperti program mobil nasional Timor dan para "pemburu rente". Setelah krisis finansial Asia menghantam Indonesia pada 1997-1998, Soemitro menyalahkan korupsi dan institusi-institusi nasional bermasalah atas kerasnya dampak krisis tersebut di Indonesia.[109]
Kehidupan pribadi
Soemitro menikah dengan Dora Marie Sigar, yang saat itu merupakan mahasiswa keperawatan di Utrecht, ketika keduanya belajar di Belanda. Mereka menikah pada 7 Januari 1947 meski berbeda agama (Dora merupakan seorang beragama Kristen yang berasal dari Manado sementara Sumitro beragama Islam), kemudian tinggal di daerah Matraman, Jakarta.[5] Anak pertama mereka, Biantiningsih Miderawati, menjadi sarjana pendidikan dari Universitas Harvard. Anak kedua, Mariani Ekowati, menjadi ahli mikrobiologi. Anak ketiga, Prabowo Subianto merupakan Presiden Indonesia ke-8, dan juga sempat menikahi Titiek Soeharto, putri Suharto. Anak bungsu, Hashim Djojohadikusumo, menjadi pebisnis grup Arsari.[5]
Soemitro terkenal sebagai perokok berat. Selama 1942-1994, Soemitro menulis sebanyak 130 buku dan makalah, khususnya urusan ekonomi.[111]
Pandangan
Selama di Rotterdam, Soemitro banyak membaca tulisan pemikir ekonomi seperti Karl Marx, Joseph Schumpeter, Eugen von Böhm-Bawerk, Irving Fisher, dan lainnya.[112] Ia juga terpengaruh oleh para pemikir dari Fabian Society.[113] Meskipun secara ideologis Soemitro tidak menyukai pembatasan perdagangan, ia juga menganggap bahwa kondisi politik dalam negeri tidak memungkinkan perdagangan bebas. Kebijakan Soemitro selama menjabat sebagai menteri di era Orde Lama menurutnya bertujuan untuk mengurangi pengaruh Belanda dalam ekonomi Indonesia.[114] Soemitro mengaku bahwa pertentangannya dengan Syafruddin Prawiranegara terjadi karena Soemitro melihat kebijakan Syafruddin sebagai kelanjutan dari pemerintah kolonial.[115] Dalam pandangan Soemitro, ekonomi kolonial Indonesia terbagi menjadi dua: ekonomi agraris yang ala kadarnya, dan ekonomi kapitalis yang terhubung dengan sistem perdagangan internasional. Untuk mengembangkan ekonomi, Soemitro mengikuti teori ekonomi William Arthur Lewis yang menyatakan bahwa pemerintah harus mendukung industrialisasi demi meningkatkan produktivitas tenaga kerja.[116] Demi industrialisasi ini, Soemitro menjadi pendukung investasi asing, asalkan investasi tersebut disertai partisipasi modal dalam negeri, peningkatan sumber daya manusia, dan penginvestasian kembali sebagian laba dalam ekonomi Indonesia.[117]
Karena Soemitro mengejar industrialisasi dan menyukai teknokrasi, ia lebih condong ke Blok Barat di dalam Perang Dingin dan juga menjadi anti-komunis. Meskipun Soemitro secara politik berada di bawah naungan Partai Sosialis, ia tidak setuju dengan paham sosialisme demokratis yang umum di kalangan tokoh partai tersebut.[113] Soemitro juga mendukung bentuk usaha koperasi untuk memajukan ekonomi pedesaan.[118] Mengenai kebijakan pemerintah, Soemitro mendukung anggaran yang berimbang karena kekhawatirannya bahwa anggaran dapat dihabiskan oleh politisi tanpa disiplin fiskal. Meskipun begitu, anggaran pembangunan dianggapnya penting dan ia menolak pemangkasan anggaran tersebut.[119] Karena kondisi ekonomi dan birokrasi Indonesia yang masih muda pada masanya, Soemitro berkesimpulan bahwa cara terbaik untuk memeratakan ekonomi adalah melalui serikat pekerja yang kuat, bukan melalui perpajakan.[120]
Kematian
Soemitro meninggal dunia di Rumah Sakit Dharma Nugraha, Rawamangun, Jakarta Timur pada 9 Maret 2001 dalam usia 84 tahun. Ia sudah cukup lama menderita penyakit jantung dan penyempitan pembuluh darah.[111] Sesuai wasiatnya agar dimakamkan dengan cara dan di tempat sederhana, Soemitro dikuburkan di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak.[121]
Penghargaan
Ia menerima penghargaan baik dari dalam dan luar negeri[122]
^Gardner 2019, hlm. 162: "Sumitro Djojohadikusumo, Indonesia's premier economist".
^Thee Kian Wie 2012, hlm. 43: "The four most influential economic policymakers in the period of 1950–57 were undoubtedly Sumitro, Sjafruddin, Hatta, and Djuanda.".
Ichimura, Shinichi (2016). "Professor Dr Sumitro Djojohadikusumo: An Obituary*". Asian Economic Journal (dalam bahasa Inggris). 30 (4): 439–444. doi:10.1111/asej.12108. ISSN1351-3958.
Rice, Robert (1983). "The Origins of Basic Economic Ideas and Their Impact on 'New Order' Policies". Bulletin of Indonesian Economic Studies. 19 (2): 60–82. doi:10.1080/00074918312331334389. ISSN0007-4918.
Thee Kian Wie (2001). "In Memoriam: Professor Sumitro Djojohadikusumo, 1917-2001". Bulletin of Indonesian Economic Studies. 37 (2): 173–181. doi:10.1080/00074910152390865.Parameter |s2cid= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)