Setelah menyelesaikan Sekolah Kehakiman (1917), ia melanjutkan ke bagian hukum Universitas Leiden, Belanda dan lulus pada tahun 1925 dan kemudian ia menjadi pegawai kehakiman (1917-1922) dan sebagai pengacara di Surabaya (1925).
Sewaktu masih menuntut ilmu di Universitas Leiden, Belanda, Iskaq Tjokrohadisoerjo tidak pernah terlihat ikut kegiatan Perhimpunan Indonesia, organisasi mahasiswa Hindia Belanda di negeri penjajah itu. Ia lulus kuliah tepat waktu (3 tahun). Akan tetapi, setelah mendapatkan gelar "Master in de Rechten" (setara dengan Sarjana Hukum) dan pulang ke tanah air, jiwa nasionalisme Iskaq seolah meledak. “Tanaman yang merambat di bagian muka rumah dipotong karena bunganya berwarna oranye bukan merah putih. Cangkir-cangkir di rumah harus berwarna merah putih,” tulis Mr Sunario Sastrowardoyo, teman sejawat Iskaq dalam pengantar buku "Iskaq Tjokrohadisurjo, Alumi Desa Bersemangat Banteng" (Nalenan, Ruben, 1982).[2]
Lulus Sekolah Hukum dan Pulang ke Indonesia
Sejak pulang kampung pada 1926, karena sejak awal ingin menjadi orang bebas, Iskaq membuka kantor advokat di Bandung padahal pemerintah kolonial ingin menempatkannya di Batavia. Tiga orang temannya sejak di negeri Belanda bergabung dalam firma hukum Iskak itu yaitu Sartono, Wiryono Kusumo, dan Ali Sastroamidjojo (Perdana Menteri dan Ketua PNI pada dekade 1960-an). Setahun kemudian, Iskaq menjadi satu dari tujuh orang yang pertama berkumpul di Regentsweg (kini Jalan Dewi Sartika) Bandung untuk mendirikan Partai Nasional Indonesia. Saat itu, Ia diputuskan menjabat sekertaris merangkap bendahara. Nama Iskaq sejak saat itu tidak dapat dipisahkan dari PNI dan pergerakan nasional yang mulai bangkit dan berhimpun pada masa-masa itu.[2]
Pada zaman pendudukan Jepang, beliau menjadi anggota Chuo Sangi In di Jakarta dan kemudian anggota Surabaya-Syu Sangi Kai. Ia pernah berkunjung ke Jepang bersama 25 utusan dari Jawa lainnya.[4]
Masa Setelah Kemerdekaan
Residen Banyumas
Ketika menjadi Residen Banyumas, ia berperan dalam pendirian RRI stasiun Purwokerto.[6] Ia juga ikut membantu merampas senjata bekas Jepang bersama dengan Ketua BKR Keresidenan Banyumas saat itu, Jenderal Soedirman.[7] Bersama-sama, mereka memulai perebutan kekuasaan dari tangan Jepang dan diadakan perundingan dengan komandan tentara Jepang di Banyumas. Dari hasil perundingan itu, BKR Banyumas memperoleh senjata yang cukup banyak, bahkan merupakan kesatuan yang terlengkap memiliki senjata pada waktu itu.[7]
Menteri Dalam Negeri (1951-1952)
Keputusan Kontroversial mengenai Aceh
Ketika menjadi Menteri Dalam Negeri Kabinet Sukirman, ia mengeluarkan beberapa keputusan kontroversial mengenai Aceh. Per tanggal 2 Februari 1952, Ia memecat beberapa patih (pejabat setingkat di bawah bupati) di kawasan Aceh untuk dipindahkan ke beberapa kawasan di Sumatera Timur dan Tapanuli dan menggantikannya dengan beberapa pejabat yang berasal dari kawasan tersebut. Salah satu kebijakan kontroversial yang ia putuskan adalah menurunkan jabatan Daud Beureu'eh dari gubernur menjadi pejabat setingkat di bawah gubernur pada bulan Maret 1952. Selain itu, pada bulan April 1952 ia juga mengangkat karyawan yang berasal dari Pulau Jawa dan Tapanuli untuk beberapa jabatan di kantor pemerintahan di luar supervisi (pengawas) di bidang industri.[8]
Penggabungan Kabupaten Adikerto dan Kulon Progo menjadi Kabupaten Kulon Progo saja
Ia juga ikut menandatangani Undang-undang Darurat Nomor 12 tahun 1951 terkait dengan kepemilikan senjata api, senjata tajam dan bahan peledak.[10]
Menteri Perekonomian (Menteri Perdagangan) (1953-1955)
Sistem Ekonomi Ali Baba
Ketika menjabat sebagai menteri perekonomian, ia mencetuskan ide sistem ekonomi Ali-Baba. Di sini, Ali digambarkan sebagai pengusaha pribumi-nusantara dan Baba digambarkan sebagai pengusaha luar (dalam kasus ini pengusaha Tionghoa-Indonesia). Tujuan diterapkannya sistem ekonomi ini adalah prioritas kebijakan Indonesianisasi ekonomi dari era sebelumnya yang merupakan warisan kondisi ekonomi warisan kolonial Belanda.[5]
Penjabaran (pelaksanaan) program ini adalah bagaimana cara pemerintah meningkatkan kemampuan ekonomi nasional melalui kerjasama antara pengusaha nasional (dalam hal ini pribumi-nusantara) dan pengusaha non-pribumi melalui suatu program kerjasama. Di dalam program kerjasama ini, pengusaha pribumi diberi kesempatan untuk bekerja di dalam perusahaan milik pengusaha non-pribumi sehingga dapat menduduki jabatan minimal staff.[5][11]
Selain itu, kebijakan lain yang dikeluarkan Iskaq cenderung memiliki kebijakan yang berbau proteksi (proteksionisme) terhadap pengusaha lokal.[11] Untuk mencegah tentangan dari Partai Masyumi, Iskaq digantikan oleh Prof. Ir. Rooseno.[12]
Diperiksa Terkait Tuduhan Korupsi
Pada 14 April 1958, Kejaksaan Agung memeriksa Iskaq dan menemukan bukti-bukti yang cukup untuk diajukan ke pengadilan terkait kepemilikan devisa di luar negeri berupa uang, tiket pesawat terbang dan kereta api, serta mobil tanpa seizin Lembaga Alat-Alat Pembayaran Luar Negeri (LAAPLN). Iskaq menjawab semua tuduhan itu dengan menjelaskan satu per satu.[13]
Pada 1953, sebelum menjadi Menteri Perekonomian, dia menangani klien di Makassar mengenai perkara klaim asuransi jiwa sebesar fl.100.000 yang dibayarkan di Belanda dan mendapatkan honor 10 persen atau fl.10.000. Pada akhir masa jabatannya sebagai Menteri Perekonomian, pada pertengahan tahun 1954, Iskaq mendapat tugas untuk berunding soal pembatalan Konferensi Meja Bundar (KMB) dengan Belanda. Di sana, sahabatnya, Mr. Muchjidin Afandi (salah satu Anggota Konstituante dari PNI, yang saat itu menjabat sebagai Penasehat Menteri Perekonomian (sekarang Menteri Perdagangan) yang dijabat oleh dirinya sendiri [14]), meminjamkan uang fl.7.200 untuk mencukupi pembelian Mercedes Benz 300 seharga fl.17.200. Merujuk Surat Keputusan Dewan Moneter tanggal 26 Juli 1954, Iskaq menganggap mobil itu sebagai devisa bebas yang tak perlu izin LAAPLN dan bukan sebagai devisa negara.[13]
Iskaq menguatkan argumennya dengan keputusan rapat ke-81 Kabinet Ali Sastroamidjojo I pada tanggal 4 November 1954 bahwa Menteri Keuangan (saat itu dijabat oleh Ong Eng Die) mengeluarkan instruksi umum untuk membebaskan presiden, wakil presiden, dan para menteri dari pembayaran Tambahan Pembayaran Impor (TPI) dalam pembelian sebuah mobil di luar negeri yang dibawa ke Indonesia. Jika dijual, mobil tersebut baru dikenakan TPI. Ia juga mengajukan pengalaman Menteri Agama (saat itu dijabat KH. Masjkur) yang bisa memasukkan mobilnya ke Indonesia berdasarkan Surat Keputusan Dewan Moneter No. 5/I tanggal 5 Februari 1955. Sebulan setelah membeli mobil itu, Iskaq memberitahukan jaksa agung dalam suatu pembicaraan. Selain itu, kepemilikan devisa di luar negeri yang kemudian dibelikan mobil telah diketahui oleh Inspeksi Keuangan dan dilaporkan ke Ketua Dewan Moneter (yang terdiri dari Menteri Keuangan, Menteri Perekonomian dan Gubernur Bank Indonesia).[13][15]
Sementara itu, mengenai uang dari Lim Kay (utusan Dewan Pimpinan Pusat PNI) sejumlah M$3.363 atau US$1.008 untuk pembelian tiket pesawat Singapura-Jerman Barat pada 1954 dan uang sebanyak fl.5.000 dari Seylhouwer di Jerman Barat untuk tiket kereta api dari Jerman Barat ke Paris, Prancis, Iskaq menganggap tuduhan itu aneh dan salah alamat karena kejadian tersebut terjadi pada tahun 1955 ketika dia tidak lagi menjabat menteri. Akan tetapi, saat itu Iskaq hendak ditangkap terkait kebijakannya selama menjadi menteri yang dianggap menguntungkan PNI. Menerima sumbangan tak bisa dianggap sebagai penyalahgunaan dan sama sekali tak merugikan pemerintah sehingga tak perlu izin LAAPLN.[13]
Setelah mendengar tuntutan Jaksa Penuntut Umum Mr. Baharsan dan pembelaan Iskaq, pada 4 Januari 1960 Hakim Pengadilan Ekonomi Jakarta M. Soebagio memutuskan menolak eksepsi Iskaq dan menjatuhkan vonis hukuman penjara sembilan bulan dan denda Rp 200.000,00 dan tambahan hukuman lima bulan penjara jika denda tak dibayar. Terdakwa juga menanggung biaya perkara. Barang bukti berupa mobil Mercedes Benz 300 disita untuk negara.
Iskaq naik banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta. Dia berharap pengadilan membebaskannya dari segala tuduhan dan mengembalikan mobil Mercedes Benz 300. Bandingnya ditolak. Tak patah arang, Iskaq meminta grasi kepada presiden. Presiden mengabulkan karena Soekarno beralasan bagaimanapun mengenal Iskaq sebagai sesama pendiri PNI pada 1927 di Bandung. Berkat grasi tersebut, Iskaq tak harus menjalani hukuman tetapi ia tak bisa mendapatkan kembali mobilnya, Mercedes Benz 300.[13] Terkait kasus ini, ia sempat membuat buku yang terbit pada tahun 1960-an dengan judul "Rasa Keadilan Berbitjara Pembelaan Mr. Iskaq Tjokrohadisoerjo".[16]
Setelah kasus korupsi tersebut, ia sempat terpilih menjadi Ketua Umum Peradin (Perhimpunan Advokat Indonesia) yang merupakan pengganti PAI pada 30 Agustus 1964 sekaligus sebagai formaturnya.[17] Perlu juga dicatat bahwa penyebutan Advokat (menggantikan istilah Pengacara) untuk semua anggota PERADIN dimulai sejak tanggal tersebut.[17]
Orde Baru
Setelah pemerintahan Orde Lama tumbang, Iskaq Tjokrohadisurjo memutuskan untuk tidak masuk dan mengikuti Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang merupakan hasil fusi PNI dan partai-partai lainnya serta lebih memilih untuk membesarkan Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta yang ia dirikan sejak tahun 1952.[2][18]
Iskaq wafat di Jakarta pada tanggal 11 September 1984.[19]
^Luthfiani, Alia Ifada, 2012, Laporan Praktek Kerja Lapangan pada Seksi Pemberitaan di Radio Republik Indonesia (RRI) Purwokerto, Bandung: Universitas Komputer Indonesia