Kabinet Darurat merupakan Kabinet Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang pada saat itu merupakan pemerintahan dalam pengasingan. Presiden Soekarno dan Wakil Presiden yang merangkap Perdana Menteri Mohammad Hatta ditangkap oleh Belanda. Kabinet ini dibentuk di Bukittinggi, Sumatera Barat setelah terjadinya Agresi Militer Belanda II ketika ibu kota Yogyakarta direbut dan sebagian besar anggota kabinet sengaja ditangkap untuk memancing simpati dari luar negeri.[1]
Kabinet Darurat berjalan dari 19 Desember 1948 dan berakhir pada 13 Juli 1949 ketika mandat pemerintahan dikembalikan kepada Kabinet Hatta I.
Pimpinan Kabinet
Pada 19 Desember 1948 sebuah pertemuan diadakan di Bukittinggi. Di antara yang hadir pada pertemuan tersebut adalah Sjarifuddin, Mr. Teuku Muhammad Hasan (Komisioner pemerintah pusat untuk daerah Sumatra), Kolonel Hidayat (Komandan Komando Sumatra) dan beberapa pejabat sipil dan militer lainnya.[2] Pertemuan tersebut membentuk adanya pemerintahan darurat untuk menggantikan sementara pemerintahan negara yang tidak berjalan akibat ditangkapnya Soekarno, Hatta, dan beberapa anggota kabinet.
Susunan kabinet
Tiga posisi dalam kabinet darurat dijabat oleh pejabat yang tidak hadir di Bukittinggi: Jenderal Soedirman, memimpin perang gerilya di Jawa, Menteri Luar Negeri A. A. Maramis, yang sedang berada di India, dan Kolonel Nasution, komandan teritorial Jawa. Pada 14 Maret 1949, Ketua Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) mengirimkan sebuah telegram kepada para pimpinan di Jawa yang mengajukan terlibatnya para menteri yang masih aktif di Jawa. Setelah beberapa diskusi melalui radiogram, kabinet dirombak dan susunan kabinet baru diumumkan pada 31 Maret 1949.[3]
Komisariat PDRI untuk Jawa
Pembubaran kabinet darurat
Di bawah tekanan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Amerika Serikat serta berlanjutnya perang gerilya dari pasukan republik, Belanda pada akhirnya menyetujui gencatan senjata. Pada Januari 1949, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa meminta pemerintahan republik dibebaskan dan kedaulatan diberikan kepada Indonesia pada 1 Juli 1950. Amerika Serikat mendukung permintaan tersebut dengan mengancam akan menarik kembali bantuan rekonstruksi vital dari Belanda. Pada 7 Mei, Belanda setuju untuk membebaskan Soekarno dan Hatta, yang akan memerintahkan gencatan senjata sekembalinya ke Yogyakarta. Pada 6 Juli, Soekarno, Hatta, dan para pimpinan republik kembali ke Yogyakarta, diikuti oleh kabinet PDRI. Dalam sebuah pertemuan pada 13 Juli yang diketuai oleh Hatta, Sjafruddin melaporkan kepada Soekarno seluruh aktivitas kabinet darurat selama masa penahanan Soekarno. Ia kemudian mengembalikan mandat kepada Soekarno, yang membubarkan kabinet darurat serta secara otomatis mengembalikan mandat kepada Kabinet Hatta yang sebelumnya tidak dibubarkan secara resmi.[4][5]
Sumber
- Kahin, George McTurnan (1952) Nationalism and Revolution in Indonesia Cornell University Press, ISBN 0-8014-9108-8
- Ricklefs (1982), A History of Modern Indonesia, Macmillan Southeast Asian reprint, ISBN 0-333-24380-3
- Simanjuntak, P. N. H. (2003) (in Indonesian), Kabinet-Kabinet Republik Indonesia: Dari Awal Kemerdekaan Sampai Reformasi, Jakarta: Djambatan, pp. 73–83, ISBN 979-428-499-8.
Referensi
- ^ Ricklefs (1982) p218
- ^ Simanjuntak (2003) p74
- ^ Simanjuntak (2003) p76
- ^ Ricklefs (1982) p219
- ^ Simanjuntak (2003) p. 81-83
Pranala luar