Makam Soekarno atau biasa disebut Makam Bung Karno disingkat MBK adalah kompleks pemakaman presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno, yang didesain dengan arsitektur khas Jawa, yaitu bangunan joglo. Kompleks tersebut terletak di Bendogerit, Sananwetan, Blitar, dan dibangun di akhir 1970-an. Ratusan ribu peziarah, baik rohani maupun politik, mengunjungi makam tersebut setiap tahun.
Sejarah
Selama masa transisi ke Orde Baru, mantan Presiden Republik IndonesiaSoekarno merupakan seorang tahanan rumah. Soekarno mewasiatkan untuk dikuburkan di suatu makam yang sederhana di dekat Istana Bogor.[1] Setelah wafatnya Soekarno pada tanggal 21 Juni 1970, Presiden Soeharto memutuskan untuk memakamkan beliau di pemakaman umum di kota Blitar, Jawa Timur, di samping makam ibunya Ida Ayu Nyoman Rai.[2][3] Keluarga besar Soekarno memprotes keputusan ini,[4] dan surat kabar Merdeka yang notabene anti-Soeharto menerbitkan suatu editorial yang mengklaim bahwa Bung Karno berwasiat untuk dimakamkan di Bandung.[5] Belakangan, dalam autobiografinya Soeharto menyatakan bahwa keluarga besar Soekarno berselisih paham tentang lokasi pemakaman tersebut, dan ia memutuskan untuk memakamkan Soekarno di Blitar karena hubungannya yang dekat dengan ibunya selama hidup.[2] Pandangan sejarawan menganggap bahwa Soeharto memutuskan lokasi makam yang jauh dari Jakarta sehingga peziarah tidak terlalu dekat ke pusat politik.[6]
Tahun-tahun pertama setelah pemakaman, banyak peziarah yang datang ke makam tersebut dan mereka sering mengambil sedikit tanah dari makam tersebut, sampai-sampai pengurus makam khawatir bahwa semuanya akan habis. Hal ini memaksa pemerintah untuk membatasi jumlah pengunjung.[3] Sekitar tahun 1977, nama Soekarno mulai dipulihkan oleh pemerintah Orde Baru, dan sebagai bagian proses ini makam di Blitar mulai direhabilitasi, antara lain dengan pembangunan suatu mausoleum.[3][5] Mausoleum tersebut diresmikan pada tahun 1979, dan sekitar satu juta orang menghadiri peresmian tersebut. Sejumlah anggota keluarga Soekarno mengkritik pembangunan tersebut, dan menurut putra Soekarno Guntur pemerintah tidak bermusyawarah dengan pihak keluarga mengenai mausoleum.[5] Di luar itu, pejabat tinggi pemerintah mulai mengunjungi makam tersebut dalam sorotan media, dan sepanjang tahun 1980 dilaporkan ada 1.4 juta orang pengunjung.[7]
Setiap tahun, pada tanggal peringatan wafat Soekarno, keluarga beliau (khususnya Megawati Soekarnoputri, saat itu Ketua Umum PDI) menggunakan massa yang berziarah ke makam tersebut sebagai simbolisasi perlawanan terhadap pemerintahan Soeharto yang dapat diliput media nasional. Sekitar 10.000 orang mengunjungi makam tersebut pada peringatan wafatnya Soekarno pada tahun 1995.[3] Awalnya makam tersebut dipagari untuk membatasi peziarah, namun setelah kejatuhan Soeharto dan naiknya Megawati menjadi Presiden RI, jumlah peziarah dari sekeliling Indonesia naik pesat.[3][8] Pada bulan Juni 2001 (sebulan sebelum Megawati naik menjadi Presiden), diperkirakan ada 25.000 orang yang mengunjungi makam tersebut dalam sehari.[3]
Meskipun atmosfer politik tidak memungkinkan pemanfaatan makam tersebut menjadi objek wisata sepanjang Orde Baru, seusai masa tersebut pemerintah kota Blitar mulai menggalakkan promosi makam tersebut sebagai objek wisata untuk meningkatkan daya tarik Blitar bagi turis. Sejumlah patung-patung dan lokasi-lokasi yang berkaitan dengan Soekarno di sekeliling kota direnovasi atau dibangun.[9]
Keadaan sekarang
Makam Soekarno kini merupakan objek ziarah politik, khususnya dari politisi yang akan mencalonkan diri dalam pemilu. Capres-capres juga termasuk dalam kategori ini - misalkan Megawati (Pilpres 2004), Joko Widodo (Pilpres 2014), dan Prabowo Subianto (Pilpres 2019).[1][8][10] Jumlah "peziarah politik" diperkirakan sebanyak 400 hingga 500 ribu tiap tahunnya.[6]
Jenis kedua peziarah merupakan peziarah spiritual, yang sebagian besar menganut agama Islam. Ziarah ini merupakan wujud penghormatan orang yang telah meninggal, sesuai dengan tradisi Jawa mengunjungi makam orang-orang tertentu, seperti makam Wali Songo. Diperkirakan bahwa puluhan ribu orang mengunjungi makam Soekarno setiap tahunnya dengan alasan ini.[1] Setiap tahunnya, juga ada tradisi ziarah dari Panglima TNI pada tanggal 18 September (hari jadi TNI).[11] Di luar ziarah, makam tersebut juga merupakan destinasi wisata yang cukup populer untuk turis biasa.[12]
Menurut data Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Blitar, ada sekitar 1.500 pengunjung kompleks makam setiap harinya sepanjang tahun 2019, dan kompleks tersebut merupakan penggerak ekonomi setempat sebagai penarik turis yang cukup penting.[9] Sejak tahun 2017, pemerintah kota Blitar menetapkan retribusi masuk ke makam sebesar Rp 3.000 tiap pengunjung, belum termasuk biaya masuk bus atau mobil pribadi.[13]
Desain
Kompleks makam Soekarno memiliki luas sebesar 1,8 hektar,[14] dan dibagi menjadi tiga: halaman, teras, dan pendopo/mausoleum. Pembagian menjadi tiga ini sesuai dengan kepercayaan Jawa mengenai tiga tahap kehidupan - janin, kehidupan, kematian. Makam Soekarno sendiri terletak di samping makam-makam orangtuanya, dan batu pualam hitam yang memperingati karya Soekarno terletak di belakang batu nisan makam. Terdapat sejumlah patung dan relief yang menggambarkan jalan kehidupan Soekarno di sekeliling kompleks tersebut.[8][14] Pendopo tersebut setinggi sekitar 15 meter, dengan atap tembaga berlapis tiga yang dibangun dengan arsitektur Jawa. Surat kabar Washington Post melaporkan bahwa pada tahun 1979, biaya pembangunan pendopo tersebut sebesar 395.000 dolar AS.[5]
^ abcChalmers, Ian (29 April 2019). "A temple to populist nationalism". Inside Indonesia (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 4 September 2019. Diakses tanggal 20 Agustus 2020.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)