De-SoekarnoisasiDe-Soekarnoisasi[1] (EBI: de-Sukarnoisasi) adalah kebijakan yang diambil oleh pemerintah Orde Baru di bawah Jenderal Soeharto untuk memperkecil peranan dan kehadiran Soekarno dalam sejarah dan dari ingatan bangsa Indonesia serta menghilangkan pengkultusan dirinya.[2] Langkah-langkah tersebut dilakukan antara lain dengan jalan mengganti nama Soekarno yang diberikan pada berbagai tempat atau bangunan di Indonesia. Misalnya, Stadion Gelora Bung Karno diubah menjadi Stadion Utama Senayan, Jembatan Bung Karno diubah menjadi Jembatan Ampera, kota Soekarnopura (sebelumnya bernama Hollandia) diubah namanya menjadi Jayapura, dan Puncak Soekarno diubah namanya menjadi Puncak Jaya.[2] Selain itu, pada saat Soekarno meninggal, keinginannya untuk dikebumikan di Istana Batu Tulis, Bogor tidak dipenuhi oleh pemerintah. Sebaliknya, Soekarno dikebumikan di Blitar, tempat tinggal kedua orang tua beserta kakaknya, Ibu Wardojo.[3] Upaya-upaya lain yang lebih fundamental dilakukan dengan memperkecil peranan Soekarno dalam mencetuskan Pancasila serta tanggal kelahiran pemikiran yang kemudian dijadikan ideologi nasional pada 1 Juni 1945. Nugroho Notosusanto, yang merupakan sejarawan resmi Orde Baru dan yang sangat dekat dengan militer, mengajukan pendapat bahwa tokoh utama yang mencetuskan Pancasila bukanlah Bung Karno, melainkan Mr. Mohammad Yamin, pada tanggal 29 Mei 1945. Pendapat resmi inilah yang selalu dipegang selama masa Orde Baru, dan dicoba ditanamkan lewat program Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4).[1] Referensi
|