Fatmawati dikenal anti dengan poligami. Karena itu, setelah Soekarno meminta izin untuk menikahi Hartini pada 7 Juli 1953, Fatmawati memilih untuk meninggalkan Istana Negara.
Fatmawati dan Soekarno menikah pada tanggal 1 Juni 1943 dan dikaruniai 5 orang anak, yaitu:
Guntur Soekarnoputra (l. 3 November 1944), menikah dengan Henny Emilia Hendayani pada tanggal 16 Februari 1970. Mereka memiliki 1 orang putri.
Megawati Soekarnoputri (l. 23 Januari 1947), Presiden Ke-5 Republik Indonesia. Dia menikah pertama kali dengan Lettu Surindro Supjarso pada 1 Juni 1968 (w. 22 Januari 1970), menikah kedua kali dengan Hassan Gamal A. Hasan pada tanggal 22 Juni 1972 namun dibatalkan setelah 3 bulan, dan menikah terakhir kalinya dengan Taufiq Kiemas (31 Januari 1942 – 8 Juni 2013) pada 14 Maret 1973. Ia memiliki 3 orang anak.
Rachmawati Soekarnoputri (27 September 1950 – 3 Juli 2021), menikah pertama kali dengan Dr. Tommy Pariatman Marzuki pada 14 Maret 1969 dan bercerai pada tahun 1973. Dia menikah kedua kali dengan Dicky Suprapto (27 September 1947 – 3 April 2006) pada tahun 1975 dan bercerai. Dia menikah terakhir kalinya dengan Benny Sumarno (19 Mei 1949 – 2 April 2018) pada tahun 1995. Dia memiliki 3 orang anak.
Sukmawati Soekarnoputri (l. 26 Oktober 1951), menikah pertama kali dengan K. G. P. A. A. Mangkunegara IX (18 Agustus 1951 – 13 Agustus 2021) pada 16 September 1974 dan bercerai pada tahun 1983. Dia menikah kedua kali dengan Muhammad Hilmy (1954 – 29 Oktober 2018). Dia memiliki 3 orang anak.
Guruh Soekarnoputra (l. 13 Januari 1953), menikah dengan Guseynova Sabina Padmavati (l. 1959) pada tanggal 19 Oktober 2002.
Kisah menjahit bendera
Setahun setelah pernikahannya itu, Jepang menjanjikan kemerdekaan untuk Indonesia. Bendera Merah Putih juga boleh dikibarkan dan lagu Kebangsaan Indonesia Raya diizinkan berkumandang. Ibu Fatmawati kemudian berfikir bahwa memerlukan bendera Merah Putih untuk dikibarkan di Pegangsaan 56. "Pada waktu itu tidak mudah untuk mendapatkan kain merah dan putih di luar," tulis Chaerul Basri dalam artikelnya "Merah Putih, Ibu Fatmawati, dan Gedung Proklamasi" yang dimuat di Harian Kompas, 16 Agustus 2001. Barang-Barang bekas impor, semuanya berada di tangan Jepang, dan kalau pun ada di luar, untuk mendapatkannya harus dengan berbisik-bisik," tulisnya.[7]
Berkat bantuan Shimizu, yang merupakan orang ditunjuk oleh Pemerintah Jepang sebagai perantara dalam perundingan Jepang-Indonesia. Ibu Fatmawati akhirnya mendapatkan kain merah putih. Shimizu mengusahakannya lewat seorang pembesar Jepang, yang memimpin gudang di Pintu Air, di depan eks Bioskop Capitol. Bendera itulah yang berkibar di Pegangsaan Timur saat Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.[7]
Ibu Fatmawati menghabiskan waktunya untuk menjahit bendera itu dalam kondisi fisiknya cukup rentan. Pasalnya, Ibu Fatmawati saat itu sedang hamil tua dan sudah waktunya untuk melahirkan putra sulungnya, Guntur Soekarnoputra. Tak jarang ia menitikkan air mata kala menjahit bendera itu.[7] "Menjelang kelahiran Guntur, ketika usia kandungan telah mencukupi bulannya, saya paksakan diri menjahit bendera Merah Putih, saya jahit berangsur-angsur dengan mesin jahit Singer yang dijalankan dengan tangan saja, sebab Dokter melarang saya menggunakan kaki untuk menggerakkan mesin jahit." kata Ibu Fatmawati dalam buku yang ditulis oleh Bondan Winarno.[7]