Raden MasTumenggung Ario Soerjo (biasa dikenal dengan nama Raden Soerjo; 9 Juli 1898 – 10 November 1948)[1] adalah seorang pahlawan nasional Indonesia[2] dan gubernur pertama Jawa Timur dari tahun 1945 hingga tahun 1948. Sebelumnya, ia menjabat sebagai Bupati Magetan dari tahun 1938 hingga tahun 1943. Ia adalah menantu Raden Mas Arja Hadiwinoto Djojohadikoesoemo. Setelah menjabat bupati Magetan, ia menjabat Su Cho Kan Bojonegoro (Residen) pada tahun 1943.
Latar Belakang
Raden Mas Soerjo adalah anak ke dua dari sepuluh bersaudara, lahir di Magetan pada tanggal 9 Juli 1898 beliau adalah seorang keturunan pegawai pamongpraja. Ayahnya yakni Raden Mas Wiryosumarto terakhir menjabat Wedana Punung, Pacitan, Jawa Timur. Ibu dari Soerjo adalah Raden Ayu Kustiyah Wiryosumarto adalah adik dari Bupati Madiun zaman Hindia Belanda Raden Ronggo Kusnodininggrat. Kakek Soerjo dari pihak ayah adalah Raden Mas Wiryosukarto seorang Patih Magetan yang berasal dari Caruban, Madiun, Jawa Timur. Dari silsilah di atas akhirnya kita mengenal Soerjo bukanlah orang sembarangan Soerjo adalah seorang pemuda yang sudah terbiasa atau familiar dengan urusan rakyat.
Keluarga
Pada Tahun 1926 Raden Mas Soerjo menikah dengan Raden Ayu Mustapeni puteri sulung Raden Mas Adipati Ario Hadiwinoto, yang bergelar Raden Tumenggung Surohadinegoro. Saat itu menjabat sebagai Bupati ke-12 Magetan Jawa Timur.
Pendidikan
Pendidikan Soerjo adalah lulusan Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren disingkat O.S.V.I.A yaitu Sekolah Pendidikan Kepamongprajaan untuk pribumi/pemuda Indonesia pada masa Hindia-Belanda, pemuda Soerjo pernah juga mendapat kesempatan belajar Politie-School atau Sekolah Polisi di Sukabumi (Jawa Barat) dan pada Bestuursschool atau Bestuurs Academie atau Departemen Dalam Negeri di Batavia (Jakarta).
Revolusi Nasional Indonesia
Suryo membuat perjanjian gencatan senjata dengan komandan pasukan Inggris Brigadir Jendral Aubertin Mallaby di Surabaya pada tanggal 26 Oktober 1945. Namun tetap saja meletus pertempuran tiga hari di Surabaya 28 – 30 Oktober yang membuat Inggris terdesak. Presiden Soekarno memutuskan datang ke Surabaya untuk mendamaikan kedua pihak.
Gencatan senjata yang disepakati tidak diketahui sepenuhnya oleh para pejuang pribumi. Tetap saja terjadi kontak senjata yang menewaskan Mallaby. Hal ini menyulut kemarahan pasukan Inggris. Komandan pasukan yang bernama Jenderal Mansergh mengultimatum rakyat Surabaya supaya menyerahkan semua senjata paling tanggal 9 November 1945, atau keesokan harinya Surabaya akan dihancurkan.
Menanggapi ultimatum tersebut, Presiden Sukarno menyerahkan sepenuhnya keputusan di tangan pemerintah Jawa Timur, yaitu menolak atau menyerah. Gubernur Suryo dengan tegas berpidato di RRI bahwa Arek-Arek Suroboyo akan melawan ultimatum Inggris sampai darah penghabisan.[3]
Maka meletuslah pertempuran besar antara rakyat Jawa Timur melawan Inggris di Surabaya yang dimulai tanggal 10 November 1945. Selama tiga minggu pertempuran terjadi di mana Surabaya akhirnya menjadi kota mati. Gubernur Suryo termasuk golongan yang terakhir meninggalkan Surabaya untuk kemudian membangun pemerintahan darurat di Mojokerto.
Riwayat Jabatan
Gediplomeerd Inlandsch Ambtenaar di Ngawi (1918)
Mantri Veldpolitie di Madiun
Asisten Wedana di Jetis, Ponorogo
Wedana di Pacitan, sebagai
Wedana di Gedeg, Mojokerto
Wedana di Porong, Sidoarjo (1933)
Bupati Magetan (1938-1943)
Syucokan/Residen Bojonegoro (1943-1945)
Gubernur Jawa Timur (1945-1947)
Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Agung Republik Indonesia (DPA) (1948-1948)
Pada 10 November 1948, Soerjo berangkat dari Yogyakarta menuju Madiun untuk menghadiri peringatan 40 hari meninggalnya sang adik (R.M. Sarjoeno seorang Wedana Sepanjang, Sidoarjo) Salah satu yang menjadi korban gerombolan PKI. Gubernur Suryo tiba sore hari di Surakarta dan melanjutkan perjalanannya ke Madiun pagi-pagi sekali menggunakan mobil. Saat itulah mobil yang ditumpangi Gubernur Suryo berpapasan dengan sisa-sisa gerombolan PKI. Tanggal 9 November 1948, mobil Ario Soerjo dan dua orang polisi dicegat di Walikukun oleh pasukan pro-PKI, Gubernur Suryo dan penumpang lainnya yaitu Kolonel Polisi Duryat dan Mayor Polisi Suroko diperintahkan untuk turun dari mobil, dibawa ke hutan, dan kemudian dibunuh oleh PKI. Jenazah Gubernur Suryo baru ditemukan empat hari kemudian, di Kali Kakah, Ngawi. dan jasad mereka ditemukan terbunuh sesudahnya.[4]
R.M.T. Soerjo dimakamkan di Makam Sasono Mulyo, sebuah monumen yang dibangun untuk mengenang jasa-jasanya yang terletak di Kecamatan Kedunggalar, Ngawi. yang diresmikan pada 28 Oktober 1975 oleh Pangdam VII/Brawijaya Mayjen TNI Witarmin.
^Mirnawati (2012). Kumpulan Pahlawan Indonesia Terlengkap (dalam bahasa Indonesian). Jakarta: CIF. ISBN978-979-788-343-0.Parameter |trans_title= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)