Pangeran Mohammad Noor
Ir. H. Pangeran Mohammad Noor[1] (24 Juni 1901 – 15 Januari 1979) adalah mantan Menteri Pekerjaan Umum dan gubernur Kalimantan pada 1901. Ia lahir dari keluarga bangsawan Banjar, ia adalah intah (cucu dari cucu) Raja Banjar Sultan Adam al-Watsiq Billah. Setelah lulus HIS tahun 1917, ia meneruskan ke jenjang MULO dan lulus tahun 1921, lalu lulus dari HBS tahun 1923, dan pada tahun 1923 masuk Technische Hoogeschool te Bandoeng (THS) - sekolah teknik tinggi di Bandung. Pada tahun 1927, ia berhasil meraih gelar Insinyur dalam waktu empat tahun sesuai masa studi, setahun setelah Ir. Soekarno (presiden RI pertama) lulus sebagai insinyur dari TH Bandung. Pada tahun 1935-1939 ia menggantikan ayahnya Pangeran Muhammad Ali sebagai wakil Kalimantan dalam Volksraad pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Tahun 1939, ia digantikan Mr. Tadjudin Noor dalam Volksraad. Ia juga merupakan tokoh pejuang yang berhasil mempersatukan pasukan pejuang kemerdekaan di Kalimantan ke dalam basis perjuangan yang diberi nama Divisi IV ALRI Pertahanan Kalimantan di bawah pimpinan Hassan Basry (1945-1949) dan juga sebagai anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Pada periode 24 Maret 1956 - 10 Juli 1959, ia ditunjuk oleh Presiden Soekarno sebagai Menteri Pekerjaan Umum. Ketika menjabat Menteri Pekerjaan Umum, ia mencanangkan sejumlah proyek, seperti Proyek Waduk Riam Kanan di Kalimantan Selatan dan Proyek Waduk Karangkates di Jawa Timur. Selain itu, ia juga menggagas Proyek Pasang Surut di Kalimantan dan Sumatra. Ia juga menggagas Proyek Pengembangan Wilayah Sungai Barito yang terbagi menjadi dua bagian, yaitu PLTA Riam Kanan dan Pengerukan Muara/Ambang Sungai Barito yang dilaksanakan pada akhir tahun 1970. Ia menerima Anugerah Tanda Kehormatan Bintang Mahaputra Utama karena jasa dan pengabdian pada tahun 1973. Pada tanggal 8 November 2018, Pemerintah Republik Indonesia melalui Presiden Ir. Joko Widodo menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional dengan diterbitkannya Keppres No 123/TK/Tahun 2018, tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional. [1] SejarahTentara Sekutu telah mendarat di Kalimantan lebih awal sebelum proklamasi kemerdekaan, yakni bulan Juli 1945 di Kalimantan Timur dan bulan Agustus 1945 di Kalimantan Barat. Di Kalimantan Selatan, Sekutu tiba pada 17 September 1945. Kedatangan Sekutu bertujuan untuk membebaskan tahanan perang serta melucuti senjata tentara Jepang. Turut pula tentara KNIL berada dibelakang tentara Sekutu.[2] Hari-hari pertama seperti di Kalimantan Selatan setelah proklamasi kemerdekaan memperlihatkan situasi dan kondisi yang tidak menentu, karena simpang siurnya berita. Radio-radio disita hingga dirusak oleh tentara Jepang. Agar dapat berita kekalahan Jepang tidak sampai terdengar oleh rakyat pada saat itu. Menanggapi berbagai tantangan, Gubernur Kalimantan Pangeran Muhammad Noor melakukan beberapa langkah untuk menjamin bahwa rakyat Kalimantan berada di belakang Republik Indonesia. Dua langkah prioritas dan mendesak yang harus dilakukan adalah; Pertama, menyatukan seluruh komponen kekuatan, baik para pejuang yang berada di Kalimantan maupun berada di luarnya. Dan kedua, mempersiapkan organisasi yang dapat mendukung pemerintahan Provinsi Kalimantan.[2] Kantor Perwakilan di YogyakartaPangeran Muhammad Noor adalah salah satu pejuang dalam merebut kemerdekaan di tanah Borneo, sekaligus menjabat Gubernur Borneo (sebelum dimekarkan menjadi beberapa provinsi) pertama berkedudukan di Yogyakarta pada masa pemerintahan Sukarno. Untuk menjalankan tugas pemerintahan. Gubernur Pangeran Muhammad Noor membuka Kantor Perwakilan Gubernur Kalimantan yang pertama di Yogyakarta (Jalan Lapangan 2).[3] Pangeran Muhammad Noor juga pernah mengusulkan untuk mengirim pasukan terjun payung sebagai bentuk pencegahan blokade Belanda di laut. Usulan ini disetujui oleh Kepala Staf TNI Angkatan Laut yaitu Soerjadi Soerjadarma. Pangeran Muhammad Noor kemudian menugaskan Tjilik Riwut sebagai komandan pasukan terjun payung tersebut yang berjumlah 14 orang. Pasukan in terlebih dahulu mengadakan pelatihan di Bandara Maguwo dan berangkat pada tanggal 17 Oktober 1947. Mereka akhirnya melakukan terjun payung setelah tiba di Kota Waringin.[4] Pembentukan OrganisasiUntuk menjalankan pemerintahan di tengah perang, pada 2 September 1945, Gubernur Pangeran Muhammad Noor membentuk sebuah badan yang berfungsi membantu tugas-tugas gubernur, yaitu Badan Pembantu Oesaha Gubernur (BPOG).[2] Badan ini bertujuan;
Agar memaksimalkan tugas BPOG, Gubernur Pangeran Muhammad Noor menempatkan markas utama BPOG di Surabaya (Jalan Embong Tanjung 17).[2] WafatPangeran Muhammad Noor wafat pada tanggal 15 Januari 1979 dan dimakamkan di TPU Karet Bivak, Jakarta berdampingan dengan makam istrinya, Gusti Aminah binti Gusti Mohamad Abi. Namun, pada tahun 2010 jenazahnya beserta istrinya dibawa pulang ke kampung halamannya di Martapura atas keputusan keluarga PM Noor. Kemudian pada tanggal 18 Juni 2010 jenazah PM Noor dan Gusti Aminah dimakamkan di komplek pemakaman Sultan Adam Martapura dengan upacara militer.[5][6][7][pranala nonaktif][8][pranala nonaktif][9]. Namanya diabadikan pada PLTA Waduk Riam Kanan, Kabupaten Banjar yang dinamakan Waduk Ir. H. Pangeran Muhammad Noor. SilsilahPangeran Muhammad Noor merupakan cicit dari mangkubumi Kesultanan Banjar Ratoe Anom Mangkoeboemi Kentjana bin Sultan Adam. referensi
Pranala luar
|