Hussein Jayadiningrat
Prof. Dr. Pangeran Ario Hussein Jayadiningrat (ejaan lama: Hoessein Djajadiningrat, aksara Sunda: ᮠᮥᮞᮦᮔ᮪ ᮏᮚᮓᮤᮔᮤᮀᮛᮒ᮪, 8 Desember 1886 – 12 November 1960) adalah sejarawan, sastrawan, dan ilmuwan Sunda, ia merupakan salah seorang sarjana pribumi pertama di Hindia Belanda dan sekaligus pribumi pertama yang menerima gelar akademik tertinggi (doktor). Husein merupakan salah satu pelopor tradisi keilmuan di Indonesia. Ketika masih remaja, ia dikenal sebagai pemuda yang pintar dan berbakat, baik dalam ilmu agama, maupun ilmu barat. Melihat bakat dan potensi yang dimiliki Husein, Snouck Hurgronje menyekolahkan Husein ke Universitas Kerajaan Leiden hingga meraih gelar doktor dengan disertasinya yang berjudul Critische Beschouwing van de Sadjarah Banten dan mendapat predikat "terpuji" (cum laude) dari promotornya, Snouck Hurgronje.[1] Disertasi Husein telah membuka jalan bagi penelitian tentang historiografi Indonesia sehingga ia pun dikenal pula sebagai “bapak metodologi penelitian sejarah Indonesia”. Dialah pribumi Indonesia pertama yang menjadi guru besar, dan dikenal sebagai ahli keislaman yang terkenal pada masa hidupnya. Riwayat HidupOrang tuanya adalah pasangan Raden Bagus Jayawinata (R. Bagoes Djajawinata), wedana yang kemudian menjadi bupati Serang yang berpikiran maju, dan Ratu Salehah yang berasal Cipete, Serang. Keduanya memiliki garis bangsawan Kesultanan Banten (yang sebelumnya telah dilikuidasi oleh pemerintah kolonial). Kakak Husein, Pangeran Ahmad Djajadiningrat, meneruskan jejak ayahnya menjadi bupati di Serang. Saudaranya yang lain, Hasan, menjadi tokoh Sarekat Islam yang cukup berpengaruh di Jawa Barat pada masa awal pergerakan nasional.[2] Husein lulus tahun 1899 dari HBS (setingkat SMA) dan pada tahun 1905 meneruskan studinya di Universitas Kerajaan di Leiden. Ia mempertahankan disertasinya di bidang bahasa dan sastra pada sidang tanggal 3 Mei 1913 yang diberi judul Critische Beschouwing van de Sadjarah Banten dengan promotor Snouck Hurgronje.[1] Selanjutnya, selama satu tahun (sejak Mei 1914 sampai April 1915) ia tinggal di Aceh untuk belajar bahasa Aceh dalam rangka mempersiapkan kamus bahasa Aceh yang telah dirintis oleh bekas promotornya. Pada akhirnya kamus tersebut selesai digarap dengan bantuan Teuku Mohammad Nurdin, Abu Bakar Aceh, dan G.A.J. Hazeu dengan judul Atjeh-Nederlandsch Woordenboek (1934). Sepulangnya ke tanah air, ia langsung bekerja pada Kantor Urusan Bumiputera (Kantoor voor Inlandsche Zaken) hingga tahun 1918[3]. Husein kemudian menikah dengan puteri tertua Sri Mangkunegara VII (pangeran adipati dari Mangkunegaran), B.R.A. Partini. Kelak dari perkawinan ini lahirlah tiga orang puteri dan tiga orang putera. Keahliannya di bidang bahasa mendorong dia untuk menjadi pembina dan penanggungjawab surat kabar bulanan berbahasa Sunda Sekar Roekoen yang diterbitkan oleh Perkoempoelan Sekar Roekoen sejak 1919.[4] Selain itu ia pun menerbitkan Pusaka Sunda, majalah berbahasa Sunda yang membahas tentang kebudayaan Sunda. Pada tahun yang sama ia juga mendirikan Java Instituut dan sejak tahun 1921 menjadi redaktur majalah Djawa yang diterbitkan oleh lembaga tersebut bersama sama dengan Raden Ngabehi Purbacaraka (Poerbatjaraka). Tahun 1924 ia diangkat diangkat menjadi guru besar di Rechtshoogeschool te Batavia (Sekolah Tinggi Hukum di Batavia) dan memberikan kuliah tentang Hukum Islam, bahasa Sunda, bahasa Melayu, dan bahasa Jawa. Antara tahun 1935 dan 1941 Hussein diangkat menjadi anggota Rad van Indië (Dewan Hindia). Ia bertahun-tahun menjadi konservator naskah (manuskrip) di Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (Perkumpulan Masyarakat Pencinta Seni dan Ilmu Pengetahuan Batavia). Pada mulanya sebagai anggota direksi, kemudian dari tahun 1936 menjadi ketuanya. Tahun 1940 ia menjabat sebagai Direktur Pengajaran Agama. Pada zaman Jepang menjadi Kepala Departemen Urusan Agama. Tahun 1948 ia diangkat menjadi Menteri Pengajaran, Kesenian, dan Ilmu Pengetahuan pada masa pemerintahan presiden Sukarno. Tahun 1952 menjadi gurubesar Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Tahun 1957 menjadi pemimpin umum Lembaga Bahasa dan Budaya (LBB), merangkap sebagai anggota Komisi Istilah di lembaga tersebut. Hussein Djayadiningrat adalah kakek dari sutradara Indonesia, Dimas Djayadiningrat. Penghargaan
Daftar karya
Catatan kaki
Daftar pustaka
Pranala luarWikimedia Commons memiliki media mengenai Hoesein Djajadiningrat. |