Kadipatèn Mangkunagaran
Kadipaten Mangkunegaran (bahasa Jawa: ꦑꦢꦶꦥꦠꦺꦤ꧀ꦩꦁꦏꦸꦤꦒꦫꦤ꧀, translit. Kadipatèn Mangkunagaran) atau disebut pula Praja Mangkunegaran adalah sebuah monarki kadipaten otonom di Pulau Jawa bagian tengah yang pernah menjadi negara vasal dependen dari Hindia Belanda,[2] negara ini berdiri sejak tahun 1757 sampai sekarang. Penguasanya merupakan bagian dari Wangsa Mataram, yang dimulai dari Mangkunagara I (Raden Mas Said). Meskipun secara pemerintahan memiliki status otonom yang sama dengan tiga monarki pecahan Mataram lainnya, penguasa Kadipaten Mangkunegaran tidak memiliki otoritas yang sejajar dengan Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta, khususnya secara adat. Para penguasa Kadipaten Mangkunegaran tidak berhak menyandang gelar Susuhunan (Sunan) ataupun Sultan, melainkan bergelar Adipati.[2] Pendirian dan wilayahSatuan politik ini dibentuk berdasarkan Perjanjian Salatiga atau Perjanjian Kalicacing yang ditandatangani pada tanggal 17 Maret 1757 di Salatiga sebagai solusi atas perlawanan yang dilakukan Raden Mas Said alias Pangeran Sambernyawa terhadap Belanda dan Susuhunan Pakubuwana III, penguasa Kasunanan Surakarta setelah terpecah akibat Perjanjian Giyanti, dua tahun sebelumnya.[3] Berdasarkan Perjanjian Salatiga, Raden Mas Said diberi kedudukan sebagai Pangeran Miji (pangeran khusus)[2] serta mendapat hak untuk menguasai wilayah lungguh di sebelah utara, timur dan tenggara ibu kota Kasunanan Surakarta. Luas wilayah tersebut secara relatif adalah 49% wilayah Nagara Agung (wilayah inti di sekitar ibu kota) Kasunanan Surakarta setelah tahun 1830, yaitu pada saat berakhirnya Perang Diponegoro atau Perang Jawa. Wilayah itu kini mencakup bagian utara Kota Surakarta (seluruh wilayah Kecamatan Banjarsari dan sebagian wilayah sisi utara Kecamatan Jebres, Surakarta), seluruh wilayah Kabupaten Karanganyar, seluruh wilayah Kabupaten Wonogiri, dan sebagian dari wilayah Kecamatan Ngawen dan Semin di Kabupaten Gunung Kidul.[4][5][6] Kekuasaan politikSecara tradisional, para penguasanya disebut Mangkunegara. Raden Mas Said merupakan Adipati Mangkunegara I. Penguasa Mangkunegaran berkedudukan di Pura Mangkunegaran, yang terletak di Kota Surakarta. Penguasa Pura Mangkunegaran, berdasarkan perjanjian pembentukannya, berhak menyandang gelar Pangeran Adipati (secara formal disebut Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara Senapati ing Ayudha Sudibyaningprang), tetapi tidak berhak menyandang gelar Susuhunan ataupun Sultan. Praja Mangkunegaran merupakan sebuah Kadipaten, sehingga posisinya lebih rendah daripada Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta.[2] Status yang berbeda ini tercermin dalam beberapa tradisi yang masih berlaku hingga sekarang, seperti jumlah penari bedhaya yang tujuh, bukan sembilan seperti pada Kasunanan Surakarta. Namun, berbeda dari Kadipaten pada masa-masa sebelumnya, Mangkunegaran memiliki otonomi yang sangat luas karena berhak memiliki tentara sendiri (dikenal sebagai Legiun Mangkunegaran) yang independen tanpa intervensi dari Kasunanan.[5] Setelah kemerdekaan Indonesia, adipati yang bertakhta saat itu, Mangkunegara VIII bersama Susuhunan Pakubuwana XII menyatakan diri bergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia pada 19 Agustus 1945 dan diperkuat dengan Maklumat 1 September 1945. Namun karena terjadi ketidakstabilan politik dan pemerintahan di Daerah Istimewa Surakarta (1945-1946) jadi alasan dibekukannya status daerah istimewa tersebut oleh pemerintah pusat pada 16 Juni 1946, Kadipaten Mangkunegaran yang menjadi bagian dari Daerah Istimewa Surakarta pun kehilangan kedaulatannya sebagai satuan politik. Walaupun demikian, Pura Mangkunegaran masih tetap menjalankan fungsinya sebagai monarki seremonial penjaga budaya Jawa, khususnya budaya Jawa gagrag (gaya) Surakarta sub-Mangkunegaran. Setelah Mangkunegara VIII mangkat dan putra pertamanya G.P.H. Raditya Prabukusuma telah mendahului wafat sebelumnya, maka pewaris tahta selanjutnya digantikan oleh putra laki-laki yang kedua bernama G.P.H. Sujiwakusuma yang selanjutnya bergelar Mangkunegara IX.[5] Para penguasa Praja Mangkunegaran tidak dimakamkan di Astana Imogiri, melainkan di Astana Mangadeg dan Astana Girilayu, yang terletak di lereng Gunung Lawu, Kabupaten Karanganyar. Terkecuali makam dari Mangkunegara VI yang dimakamkan di Astana Utara, Surakarta. Warna resmi bendera Mangkunagaran adalah kuning emas dan hijau yang dijuluki Pareanom (pare muda), yang dapat dilihat pada lambang, bendera, pataka, serta samir yang dikenakan para abdi dalem, sentana dalem maupun kerabat Pura Mangkunegaran. Birokrasi dan pemerintahanBirokrasiKadipaten Mangkunegaran sebagai sebuah wilayah otonom di Hindia Belanda memiliki struktur birokrasi yang baik. Birokrasi Mangkunegaran mewarisi birokrasi pendahulunya, Mataram Islam. Pada masa-masa awal berdiri, birokrasi ala Mataraman masih kuat dalam kehidupan Kadipaten Mangkunegaran. Namun corak birokrasi Mataraman akhirnya mengalami perubahan pada akhir abad XIX hingga pada awal abad XX. Birokrasi Kadipaten Mangkunegaran mengadaptasi birokrasi Barat yang bersifat legal-rasional.[7] Dalam tatanan birokrasi Mangkunegaran, Pengageng Pura (Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara), merupakan jabatan tertinggi dan berkuasa penuh atas aparat-aparat yang ada di bawahnya. Awalnya pengangkatan Pengageng Pura atas kehendak Pemerintah Hindia Belanda dengan persetujuan Susuhunan di Surakarta. Namun pada akhir abad XIX dan awal abad XX, pengangkatan Pengageng Pura tidak harus mendapat persetujuan dari Susuhunan Surakarta. Dalam akta pengangkatan KGPAA. Mangkunegara VI dan KGPAA. Mangkunegara VII hanya dicantumkan bahwa penguasa diangkat oleh Belanda dan hanya tunduk kepada Ratu Belanda sehingga dalam pengambilan keputusan pemerintahan tidak boleh bertentangan dengan Pemerintah Hindia Belanda. Dalam hal ini, Pengageng Pura yang diangkat harus mendapat persetujuan dari Residen Surakarta.[7] Di bawah Pengageng Pura adalah Pepatihdalem Kadipaten Mangkunegaran. Awalnya jabatan ini adalah jabatan yang bersifat pribadi. Namun dalam perkembangannya, jabatan ini menjadi bersifat resmi dalam mengurus pemerintahan sejak KGPAA. Mangkunegara II dengan pangkat Bupati Patih serta memiliki sebutan Tumenggung. Perubahan status ini tidak dapat diketahui secara pasti, kemungkinan berkaitan dengan keyakinan KGPAA. Mangkunegara II bahwa dalam skala kecil Kadipaten Mangkunegaran tetaplah merupakan sebuah kerajaan sehingga diperlukan adanya jabatan Patih yang bersifat resmi.[7] Aparat birokrasi di bawah Bupati Patih sejak berdirinya Kadipaten Mangkunegaran hingga abad XX telah mengalami beberapa kali perubahan. Mulai dari masa KGPAA. Mangkunegara I hingga KGPAA. Mangkunegara III, di bawah Patih terdiri atas empat pejabat dengan nama Priyayi Punggawa. Mereka adalah dua orang Lurah dan dua orang Bekel. Masing-masing Priyayi Punggawa dibantu oleh 14 orang Jajar. Tugas dan kewajiban para Punggawa ini adalah menjalankan perintah yang berasal dari Kadipaten Mangkunegaran seperti menerima pajak tanah, menerima kayu bakar, dan lain-lain.[7] Struktur pemerintahanPada awal pendiriannya, struktur pemerintahan masih sederhana, mengingat lahan yang dikuasai berstatus "tanah lungguh" (apanase) dari Kasunanan Surakarta.[8] Ada dua jabatan Pepatih Dalem, masing-masing bertanggung jawab untuk urusan istana dan pemerintahan wilayah. Selain itu, Mangkunagara I sebagai Adipati Anom membawahi sejumlah Tumenggung (komandan satuan prajurit).[9] Pada masa pemerintahan Mangkunegara II, situasi politik berubah. Status kepemilikan tanah beralih dari tanah lungguh menjadi tanah vasal yang bersifat diwariskan turun-temurun.[10] Hal ini memungkinkan otonomi yang lebih tinggi dalam pengelolaan wilayah. Perluasan wilayah juga terjadi sebanyak 1500 karya. Perubahan ini membuat diubahnya struktur jabatan langsung di bawah Adipati Anom dari dua menjadi tiga, dengan sebutan masing-masing adalah Patih Jero (Menteri utama urusan domestik istana), Patih Jaba (Menteri Utama urusan wilayah), dan Kapiten Ajudan (Menteri urusan kemiliteran). Semenjak pemerintah Mangkunegara III, struktur pemerintahan menjadi tetap dan relatif lebih kompleks. Raja (Adipati Anom) semakin mandiri dalam hubungan dengan Kasunanan Surakarta. Wilayah praja dibagi menjadi tiga Kabupaten Anom (Karanganyar, Wonogiri, dan Malangjiwan) yang masing-masing dipimpin oleh seorang Wedana Gunung.[11] Ketiga Wedana Gunung tersebut merupakan bawahan dari seorang Pepatihdalem Kadipaten Mangkunegaran. Patih tersebut juga bertanggung jawab langsung kepada Adipati Anom. Kemudian di bawah setiap Kabupaten Anom juga terdapat sejumlah Kapanewon yang dipimpin seorang Panewu. Penyatuan administrasi bulan Agustus 1873 membuat pemerintahan otonom Kadipaten Mangkunegaran harus terintegrasi dengan pemerintahan residensial dari pemerintah Belanda. Wilayah Kadipaten Mangkunegaran dibagi menjadi empat Kabupaten Anom (Kota Mangkunegaran, Karanganyar, Wonogiri, dan Baturetno) yang masing-masing membawahi desa/kampung.[12] Adipati
Lihat pula
Referensi
Daftar pustaka
|