Artikel ini mungkin terlalu panjang untuk dibaca dan dipahami secara nyaman. Silakan pertimbangkan untuk membagi konten di dalam artikel ini menjadi beberapa artikel lain jika layak.
Artikel ini membutuhkan penyuntingan lebih lanjut mengenai tata bahasa, gaya penulisan, hubungan antarparagraf, nada penulisan, atau ejaan. Anda dapat membantu untuk menyuntingnya.
Kesultanan Kacirebonan adalah salah satu kesultanan di Indonesia yang berdiri pada tahun 1808. Kesultanan ini merupakan hasil perundingan keluarga besar kesultanan Kanoman.
Sejarah kesultanan Kacirebonan
Kesultanan Kacirebonan merupakan pecahan dari Kesultanan Kanoman yang berdiri pada tahun 1808 dengan penguasa pertamanya adalah Sultan Carbon Amirul Mukminin atau Sultan Kacirebonan I Sultan Muhammad Chaeruddin bin Sultan Anom Chaeruddin.[1] Kesultanan Kanoman sendiri resmi berdiri pada tahun yang sama dengan berdirinya kesultanan Kasepuhan yaitu pada tahun 1679 dengan pemimpin pertamanya yang bernama Sultan Anom I Sultan Badruddin Martawidjaja, dikatakan pada masa tersebut Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten terpaksa membagi kesultanan Cirebon menjadi dua kesultanan dan satu peguron dikarenakan untuk menghindari perpecahan keluarga kesultanan Cirebon karena adanya perbedaan pendapat dikalangan keluarga besar mengenai penerus kesultanan Cirebon, pendapat keluarga besar terbelah dan mendukung ketiganya (Martawijaya, Kartawijaya dan Wangsakerta) untuk menjadi penguasa, maka Sultan Ageng Tirtayasa menobatkan ketiganya menjadi penguasa Cirebon di Banten pada tahun yang sama setelah mereka tiba di kesultanan Banten dari Mataram yaitu pada tahun 1677, dua orang menjadi sultan dan memiliki wilayahnya masing-masing yaitu Pangeran Martawijaya dan Kartawijaya sementara satu orang yaitu Pangeran Wangsakerta menjadi Panembahan tanpa wilayah kekuasaan namun memegang kekuasaan atas kepustakaan kraton[2] Dua tahun setelahnya yaitu pada tahun 1679, kesultanan-kesultanan di Cirebon melakukan klaim atas wilayah-wilayah di selatan yaitu Sumedang, Galuh dan Sukapura sebagai bagian dari wilayahnya kepada Belanda[3]
Pasukan Trunajaya berhasil menyelamatkan para Pangeran Cirebon dan kemudian mengantarkannya ke Banten.
Penyerangan pasukan Trunajaya dan disingkirkannya wakil Mataram
Pada akhir tahun 1676, sebuah kapal dari Cirebon yang berlabuh di Banten memberitahu bahwa Pekalongan sudah berhasil dikuasai pasukan Trunajaya pada sekitar 25 Desember 1676, penguasa daerah pesisir pada masa itu Singawangsa diberitakan ikut dengan para pasukan Trunajaya[4]
Pada tanggal 2 Januari 1677, Tegal berhasil dikuasai pasukan Trunajaya tanpa kekerasan[4]
Pada tanggal 5 Januari 1677, pasukan Trunajaya yang dipimpin oleh Ngabehi Sindukarti (paman Trunajaya) dan Ngabehi Langlang Pasir sampai di pelabuhan Cirebon dengan 12 kapal berisi 150 pasukan, mereka menuntut agar wakil Mataram yang ditempatkan di Cirebon sebagai Syahbandar yaitu Martadipa menyerah dan menyetujui syarat-syaratnya, yaitu[5]
1. Cirebon tidak lagi membayar pajak kepada Mataram,
2. Tentara Madura harus melindungi anak-anak dan wanita,
3. Sandera Cirebon tidak ada lagi yang dikirim ke Mataram,
4. Selanjutnya Cirebon berada di bawah pemerintahan rajanya sendiri,
5. Cirebon berada di bawah pertanggungan hak-hak Sultan Banten,
6. Orang Cirebon menyokong Banten dengan senjata serta mengakui Sultan Banten sebagai pelindung
Syarat-syarat tersebut disertai peringatan dengan ancaman seandainya tidak diterima.[5] Martadipa yang pada saat itu telah berusia lanjut akhirnya menerima syarat yang disodorkan kepadanya atas nama Raden Trunajaya[4] dan bersedia menyerahkan kekuasaannya kepada keturunan atau kerabat dekat Sultan Abdul Karim (Sultan Cirebon yang ditawan Mataram)[6]
Penobatan anak-anak Sultan Cirebon Abdul Karim
Pembagian terhadap kesultanan Cirebon secara resmi terjadi pada tahun 1679 saat Pangeran Martawijaya dan Kartawijaya dinobatkan menjadi sultan di keraton Pakungwati, kesultanan Cirebon, sebelum kedua pangeran kembali ke Cirebon setelah diselamatkan oleh Tronojoyo dari Mataram dengan bantuan persenjataan dari kesultanan Banten pada tahun 1677, Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten terpaksa membagi kesultanan Cirebon menjadi dua kesultanan dan satu peguron dikarenakan untuk menghindari perpecahan keluarga kesultanan Cirebon karena adanya perbedaan pendapat di kalangan keluarga besar mengenai penerus kesultanan Cirebon, pendapat keluarga besar terbelah dan mendukung ketiganya (Martawijaya, Kartawijaya dan Wangsakerta) untuk menjadi penguasa, maka Sultan Ageng Tirtayasa menobatkan ketiganya menjadi penguasa Cirebon di Banten pada tahun yang sama setelah mereka tiba di kesultanan Banten dari Mataram yaitu pada tahun 1677, dua orang menjadi sultan dan memiliki wilayahnya masing-masing (walaupun belum bersifat mengikat atau tetap[5]) yaitu Pangeran Martawijaya dan Kartawijaya sementara satu orang yaitu Pangeran Wangsakerta menjadi Panembahan tanpa wilayah kekuasaan namun memegang kekuasaan atas kepustakaan keraton.[2]
Hal tersebut merupakan babak baru bagi kesultanan Cirebon, di mana kesultanan terpecah menjadi tiga dan masing-masing berkuasa dan menurunkan para penguasa berikutnya, berikut gelar ketiganya setelah resmi dinobatkan:
Sultan Kasepuhan, Pangeran Martawijaya, dengan gelar Sultan Sepuh Abil Makarimi Muhammad Samsudin (1679-1697)
Sultan Kanoman, Pangeran Kartawijaya, dengan gelar Sultan Anom Abil Makarimi Muhammad Badrudin (1679-1723)
Panembahan Cirebon, Pangeran Wangsakerta dengan gelar Pangeran Abdul Kamil Muhammad Nasarudin atau Panembahan Tohpati (1679-1713)
Perubahan gelar dari Panembahan menjadi Sultan bagi dua putra tertua Pangeran Girilaya ini dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa, karena keduanya dilantik menjadi Sultan Cirebon di Banten. Sebagai sultan, mereka mempunyai wilayah kekuasaan penuh, rakyat, dan keraton masing-masing. Pangeran Wangsakerta tidak diangkat menjadi sultan melainkan hanya Panembahan. Ia tidak memiliki wilayah kekuasaan atau keraton sendiri, akan tetapi berdiri sebagai Kaprabon (Paguron) yaitu tempat belajar para intelektual keraton.
Penobatan ketiga putra Sultan Cirebon Abdul Karim sebagai penguasa wilayah dan penguasa peguron pada tahun 1677 di Banten oleh Sultan Abdul Fatah dan dilanjutkan dengan deklarasi ketiganya di keraton Pakungwati pada 1679 ternyata masih menyisakan ketidakpuasan, Pangeran Martawijaya yang sudah dinobatkan menjadi Sultan Sepuh Syamsuddin dan berkuasa di kesultanan Kasepuhan masih beranggapan bahwa dia adalah pewaris tahta yang sah karena dia adalah putera tertua dari Sultan Cirebon Abdul Karim yang meninggal ketika dalam penawanan Mataram, konflik internal keturunan Sultan Abdul Karim diperkirakan bermula ketika Sultan Abdul Fatah dari Banten hanya memediasi ketiganya dengan cara menobatkan mereka bertiga sebagai penguasa wilayah dan penguasa peguron namun tidak membagi wilayah kekuasaan kepada masing-masingnya secara tetap dan mengikat[5]
Pangeran Martawijaya yang telah dinobatkan menjadi Sultan Sepuh Syamsuddin kemudian menyampaikan keinginannya kepada utusan Vereenigde Oostindische Compagnie yang bernama Jacob van Dyck agar Vereenigde Oostindische Compagnie Belanda mau membantunya mendapatkan tahta kesultanan Cirebon, hal ini kemudian mendapatkan penentangan oleh Pangeran Kartawijaya yang telah dinobatkan menjadi Sultan Anom Badriddin dan Pangeran Wangsakerta yang telah dinobatkan menjadi Panembahan Nasiruddin. Pangeran Kartawijaya (Sultan Anom Badruddin) berpendapat bahwa mereka telah sama-sama dinobatkan sebagai penguasa wilayah di Cirebon, menyikapi hal ini kemudian Pangeran Kartawijaya meminta perlindungan kepada kesultanan Banten, sementara Pangeran Wangsakerta (Panembahan Nasiruddin) menuntut agar dirinya juga dapat berkuasa di Cirebon karena selama terjadi kekosongan akibat ayah dan saudaranya ditawan oleh Mataram dialah yang menjadi Wali dan menjalankan pemerintahan kesultanan Cirebon[5]
Pada masa perang antara kesultanan Banten dengan Vereenigde Oostindische Compagnie, pihak Vereenigde Oostindische Compagnie mengirim pasukan dari Batavia untuk menyerang wilayah kesultanan Cirebon.[9] Pada bulan September 1680, ketika pasukan gerilya kesultanan Banten di Cirebon diambang kehancuran oleh Vereenigde Oostindische Compagnie, Jacob van Dyck yang sebelumnya adalah utusan Vereenigde Oostindische Compagnie yang diminta bantuan oleh Pangeran Martawijaya (Sultan Sepuh Syamsuddin) agar menyampaikan keinginannya supaya Vereenigde Oostindische Compagnie mau membantunya dalam mendapatkan tahta kesultanan Cirebon telah diutus ke Cirebon sebagai seorang Commissaris[5] (bahasa Indonesia : mediator atau penengah perjanjian) untuk menyerahkan surat keputusan pemerintahan tertinggi Belanda yang menyatakan bahwa pemerintahan tertinggi Belanda sudah menganggap para penguasa Cirebon sebagai raja-raja yang bebas tidak terikat oleh pihak manapun dan pemerintahan tertinggi Belanda berjanji akan melindungi para penguasa Cirebon dengan cara menempatkannya sebagai protektorat (wilayah dalam perlindungan Belanda)[5]
Pada saat yang sama Gubernur Jenderal Rijckloff van Goens dan para penasehatnya yang diketuai oleh Cornelis Janzoon Speelman (menjabat sejak 18 Januari 1678[10]) sudah menyusun teks perjanjian yang akan diserahkan kepada tiga penguasa Cirebon, teks perjanjian tersebut disusun sendiri oleh Cornelis Janzoon Speelman yang kemudian pada tanggal 29 Oktober 1680 ditunjuk sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda.[11] Penunjukan Cornelis Janzoon Speelman sebagai Gubernur Jenderal dikarenakan Gubernur Jenderal Rijckloff van Goens menyatakan keinginannya untuk mengundurkan diri, keinginan Gubernur Jenderal Rijckloff van Goens untuk mengundurkan diri dikarenakan merasa tidak mampu lagi menghadapi penentangan demi penentangan yang dilakukan oleh Cornelis Janzoon Speelman dan rekan-rekannya di pemerintahan tinggi[11]
Pengajuan pengunduran diri yang dilakukan oleh Gubernur Jenderal Rijckloff van Goens sebenarnya telah dilakukan sejak 1679 namun baru mendapatkan respon dari Heeren XVII (tujuh belas orang pemimpin tinggi Vereenigde Oostindische Compagnie) melalui surat tertanggal 29 Oktober 1680, didalam surat tersebut Heeren XVII menerima pengunduran dirinya dengan hormat dan sebagai penghargaan atas jasa-jasanya selama ini kepada Vereenigde Oostindische Compagnie, Heeren XVII menawarkan kepada anaknya yang bernama Rijckloff van Goens Jr yang pada masa itu menjabat sebagai Gubernur wilayah jajahan Belanda di Srilanka sebuah posisi di pemerintahan tinggi[11]
Pangeran Haji dan kekalahan pasukan gerilya kesultanan Banten di Cirebon
Pada akhir tahun 1680 pemerintahan tertinggi Belanda menyetujui isi teks perjanjian yang ditujukan kepada para penguasa Cirebon, kemudian pada saat tahun baru 1681 tujuh orang utusan dari tiga penguasa Cirebon yang tinggal di Batavia menghadiri upacara kenegaraan di rumah Rijckloff van Goens (Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang baru saja mengundurkan diri pada 29 Oktober 1680) yang dipimpin oleh Jacob van Dyck, setelah bersulang untuk keselamatan Raja Belanda dengan anggur spanyol maka diserahkan surat keputusan pemerintah tertinggi Belanda untuk ketiga penguasa Cirebon disertai dengan hadiah-hadiah kepada mereka dan atasan mereka (para penguasa Cirebon), menjelang malam harinya Jacob van Dyck berlayar dengan dua buah kapal diikuti oleh perahu-perahu yang membawa para utusan Cirebon menuju ke Cirebon, iringan Jacob van Dyck sampai di pelabuhan Cirebon empat hari kemudian (tanggal 5 Januari 1681), iring-iringan Jacob van Dyck disambut oleh tembakan meriam dan kapten Joachim Michiefs yang telah terlebih dahulu ada di Cirebon.[5],[14]
Pada tanggal 4 Januari 1681, para penguasa Cirebon yakni Sultan Sepuh dan Sultan Anom dipaksa untuk membuat perjanjian bahwa Cirebon menjadi sekutu setia dari Vereenigde Oostindische Compagnie.[9]
Pada keesokan harinya tanggal 6 Januari 1681, diadakanlah upacara yang dihadiri oleh para penguasa Cirebon di alun-alun yang disertai tembakan meriam sebagai bentuk penghormatan, kemudian surat keputusan pemerintahan tertinggi Belanda yang dibawa dari Batavia pada tanggal 1 Januari 1681 tersebut dibacakan.[5][14]
Pada tanggal 7 Januari 1681 dimulailah perundingan diantara Vereenigde Oostindische Compagnie dan para penguasa Cirebon serta memaksa mereka untuk menyetujuinya[9] dan pada malam harinya dicapailah kesepakatan untuk memberlakukan perjanjian antara Belanda dan Cirebon[15][16].
Pada tanggal 27 Februari 1681 dilakukanlah tindak lanjut berkenaan draf perjanjian 7 Januari 1681[17]. Perjanjian tersebut kemudian ditandatangani oleh ketiga penguasa Cirebon[15]. Pada perjanjian tersebut Belanda diwakili oleh komisioner Jacob van Dijk dan kapten Joachim Michiefs[18].
Pada tanggal 31 Juli 1681 perjanjian 7 Januari 1671 tersebut kemudian diratifikasi[17].
Perjanjian persahabatan yang dimaksud adalah untuk memonopoli perdagangan di wilayah Cirebon diantaranya perdagangan komoditas kayu, beras, gula,[18] lada serta Jati sekaligus menjadikan kesultanan-kesultanan di Cirebon protektorat Belanda (wilayah dibawah naungan Belanda).[9]
Perjanjian Belanda - Cirebon 1681 tersebut juga membatasi perdagangan, membatasi pelayaran penduduk dan memastikan Vereenigde Oostindische Compagnie memperoleh hak di sana[13] Pada tahun yang sama juga kesultanan-kesultanan di Cirebon menegaskan kembali klaimnya atas wilayah-wilayahnya di selatan yaitu Sumedang, Galuh dan Sukapura kepada Belanda.[3]
Semenjak kesultanan Cirebon dibagi menjadi dua kesultanan dan satu peguron, kisruh antara keluarga keraton tidak langsung selesai begitu saja, perihal hubungan berdasarkan derajat tertentu (bahasa Cirebon: pribawa) dalam kekeluargaan di kesultanan Cirebon dahulu menjadi bahan pertikaian yang berlarut-larut hingga akhirnya pihak Belanda mengirimkan utusan untuk membantu menyeleseikan masalah tersebut yang oleh sebagian masyarakat dianggap sebagai ikut campurnya Belanda dalam urusan internal kesultanan-kesultanan di Cirebon.
Pada tahun 1681 ditunjuklah Letnan Benamin van der Meer sebagai pejabat penghubung Belanda untuk wilayah kesultanan Cirebon.[19] Jan Mulder dan van der Meer pernah memberikan laporan berkaitan dengan hubungan antara keluarga bangsawan di Cirebon, mereka menyebut bahwa Sultan Anom (Kartawijaya) masih terhitung sebagai kerabat kesultanan Banten sementara Pangeran Nasiruddin (Wangsakerta) sama sekali bukan kerabat kesultanan Banten, menurut Sudjana (budaywan Cirebon) laporan dari Jan Mulder dan van der Meer tersebut sejalan dengan naskah wawacan yang selama ini beredar terbatas di kalangan para kerabat keraton Cirebon di mana dikisahkan bahwa Pangeran Kartawijaya (Sultan Anom) sesungguhnya berbeda ibu dengan Pangeran Martawijaya dan Pangeran Wangsakerta.[20]
Pada tahun 1684 Belanda menunjuk Jacob Couper sebagai pejabat penghubung Belanda untuk wilayah kesultanan Cirebon.[19]
Pada 1685 Belanda menunjuk Marten Samson sebagai pejabat penghubung Belanda untuk wilayah kesultanan Cirebon.[19]
Perjanjian 1685, Fort Beschermingh dan penghancuran tembok Kuta Cirebon
Pada tanggal 3 November 1685 (empat tahun setelah perjanjian monopoli dagang Belanda terhadap Cirebon),[21]Belanda mengirimkan pejabat penghubung Belanda yaitu Francois de Tack.[19] Pada akhirnya terciptalah sebuah perjanjian baru yang ditandatangani ketiganya pada tanggal 4 Desember 1685, isi perjanjian tersebut diantaranya berisi penyataan tentang pemerintahan dan hal-hal yang harus dipatuhi oleh para Sultan Cirebon, bahwa Vereenigde Oostindische Compagnie adalah penguasa Cirebon, masalah pemerintahan di Cirebon akan dipimpin oleh masing-masing sultannya seperti yang telah dijelaskan pada perjanjian sebelumnya, para sultan Cirebon tetap menjalankan pemerintahannya akan tetapi tetap dibawah kekuasaan Vereenigde Oostindische Compagnie, para sultan Cirebon tidak boleh mengeluarkan perintah sendiri-sendiri melainkan harus melalui perundingan dengan para mantri (pejabat kesultanan), masing-masing sultan Cirebon memiliki lebih dari satu mantri, Sultan Sepuh memiliki 3 mantri, Sultan Anom dan Pangeran Nasiruddin (gusti Panembahan) masing-masing memiliki 2 mantri, para mantri harus dipilih oleh Vereenigde Oostindische Compagnie maka seluruh keputusan para mantri harus dengan sepengetahuan pihak Vereenigde Oostindische Compagnie , pihak Vereenigde Oostindische Compagnie diperkenankan untuk membangun benteng di Cirebon sementara pihak kesultanan dilarang untuk membangun pertahanan disekitar keraton.[22]
Setahun kemudian setelah ditandatangani perjanjian 1685, pada tanggal 30 Maret 1686, pada masa kepemimpinan Adriaan Williamson[23] sebagai pejabat penghubung Belanda untuk wilayah kesultanan Cirebon, berdasarkan hasil rapat pemerintahan tinggi, Gubernur Jenderal Johannes Camphuys atas usulan Francois de Tack maka akan dibangun sebuah benteng yang diberi nama Fort de Beschermingh,[21] sejak itu Belanda mulai menghancurkan tembok Kuta Seroja atau tembok Kuta Cirebon, material dari tembok yang diperkirakan telah dibangun sebelum 1596[24] dengan bantuan Danang Sutawijaya dari Mataram ini kemudian dipergunakan oleh Belanda untuk membangun Fort de Beschermingh yang berlokasi di sekitar pelabuhan Cirebon. Fort de Beschermingh dipergunakan oleh Vereenigde Oostindische Compagnie sebagai tempat tinggal sekaligus kantor bagi Residen Belanda untuk Cirebon.[22]
bahwa dalam hubungan-hubungan yang sifatnya keluar, kesultanan-kesultanan di Cirebon hanya diwakili oleh seorang syahbandar (yang pada waktu itu adalah Tumenggung Raksanegara). Hal itu dimaksudkan agar perpecahan yang terjadi di kesultanan-kesultanan di Cirebon tidak diketahui oleh pihak asing
Namun perjanjian 4 Desember 1685 tidak berhasil memadamkan perselisihan antara keluarga besar kesultanan Cirebon, hal tersebut dikarenakan Francois de Tack dianggap lebih memihak Sultan Anom pada penyeleseian perjanjian tersebut,[25] terlebih pembagian wewenang dan kekuasaan atas wilayah belum ditentukan.[22]
Perjanjian 1688, stempel keraton dan keluarga Gamel
Pada tahun 1688, pada masa Gubernur Jenderal Johannes Camphuys dan pejabat penghubung Belanda untuk wilayah kesultanan Cirebon masih dipegang oleh Kapten Willem de Ruijter[26],, terjadi sebuah perjanjian baru antara Belanda dengan para penguasa di Cirebon, pada masa itu Belanda mengirimkan utusan yang bernama Johanes de Hartog[25] untuk menyeleseikan masalah internal di Cirebon, dalam penyeleseian masalah tersebut Sultan Sepuh Syamsuddin diwakili oleh Ki Raksanegara sementara Sultan Anom Badruddin meminta bantuan Pangeran Suradinata[22] (keluarga Gamel) untuk mewakilinya.
Pada masalah pembuatan stempel masing-masing keraton, agar tidak terjadi kekacauan maka Ki Raksanegara dan Pangeran Suradinata mempertimbangkan seorang tua yang bijak, stempel harus dibuat serupa dengan yang ada pada Sultan Sepuh dan Sultan Anom, beratnya masing-masing satu kati dua tail dan berbentuk bulat. Sultan Sepuh dan Sultan Anom diperkenankan mengganti ahli pembuat stempel yang telah ditunjuk oleh Ki Raksanegara dan Pangeran Suradinata dengan syarat stempel yang akan dibuat sesuai dengan yang ada.[22]
Perihal urusan syahbandar, maka disetujui untuk mengangkat Ki Raksanegara, syahbandar Cirebon akan bekerja atas nama para penguasa Cirebon, syahbandar dalam hal ini adalah Ki Raksanegara bertugas untuk menerima orang-orang asing dan membuat laporan kepada Sultan Sepuh, Sultan Sepuh berkewajiban meneruskan laporan yang diterimanya kepada para penguasa lainnya yakni Sultan Anom dan Pangeran Nasiruddin[22]
Perihal masalah pendapatan hasil tanah, Ki Raksanegara yang telah diangkat menjadi Syahbandar Cirebon hanya boleh mengurus pendapatan hasil tanah. Setengah dari pendapatan bersih diserahkan kepada Sultan Sepuh, kemudian Suradinata mengambil hasil tanah yang lain dari orang Cina (Sinko) untuk Sultan Anom dan Panembahan Cirebon yang mendapat setengah dari hasil bersih. Pembagian hasil selanjutnya diurus Kompeni.[22]
Perihal gelar untuk Pangeran Nasiruddin, Sultan Sepuh dan Sultan Anom sepakat memberi gelar Gusti Panembahan Cirebon kepada Pangeran Nasiruddin setelah sebelumnya bermusyawarah dengan utusan Belanda Johanes de Hartog dengan syarat bahwa Pangeran Nasiruddin harus tetap sebagaimana adanya dan tidak boleh mengangkat diri lebih tinggi dari Sultan Sepuh dan Sultan Anom.[22] Pangeran Nasiruddin diberi wewenang untuk mengurus kesejahteraan rakyat, mengangkat dan menentukan hakim serta para mantri yang bertugas dalam suatu penyelidikan untuk ketiga cabang keluarga kesultanan Cirebon sesuai saran dari Vereenigde Oostindische Compagnie.[22]
Pada urusan menjalankan pemerintahan Cirebon disepakati agar diangkat 12 Mantri, Kasepuhan mendapatkan hak untuk mengangkat lima orang mantri, Kanoman mendapatkan hak untuk mengangkat empat orang mantri sementara Gusti Panembahan diberikan hak untuk mengangkat tiga orang mantri, dalam perjanjian 1688 yang dimediasi oleh Belanda ditegaskan bahwa ketiga penguasa Cirebon yaitu Sultan Sepuh Syamsuddin, Sultan Anom Badruddin dan Gusti Panembahan Cirebon Nasiruddin berjanji untuk menyerahkan kepengurusan Cirebon kepada Pangeran Depati Anom (yang merupakan anak dari Sultan Sepuh) dan Pangeran Ratu.[22]
namun perjanjian yang ditandatangani pada 8 September 1688[25] dengan kesimpulan bahwa kesultanan-kesultanan di Cirebon berada dalam perlindungan Belanda (VOC)[27] tersebut tidak membuahkan hasil.
Perjanjian 1699, Belanda dalam masalah pribawa
Pada tahun 1697 Sultan Sepuh I Sultan Sepuh Syamsudin Martawijaya meninggal dunia dengan meninggalkan dua orang putra, yaitu Pangeran Depati Anom Tajularipin Djamaludin dan Pangeran Adi Wijaya (Pangeran Arya Cirebon), kedua orang putera Sultan Sepuh kemudian saling bertikai memperebutkan tahta almarhum ayahnya, hal tersebut dikarenakan sebelum meninggal, Sultan Sepuh Syamsuddin Martawijaya belum menunjuk penggantinya, Pangeran Depati Anom Tajularipin berpendapat bahwa ia berhak mewarisi tahta ayahnya dikarenakan dia adalah putera tertua, pendapat tersebut kemudian ditolak oleh Pangeran Adi Wijaya karena dia merasa yang lebih berhak, masalah ini kemudian dimediasi oleh Belanda dan terciptalah perjanjian 1699 yang isinya sama dengan perjanjian 1688 hanya saja ditambahkan klausul berkenaan dengan pribawa (derajat paling tinggi diantara keluarga besar kesultanan Cirebon) dan permasalahan warisan serta tahta Sultan Sepuh Syamsuddin Martawijaya.[22] Pada perjanjian 1688 sebenarnya sudah dijelaskan mengenai klausul bahwa Pangeran Depati Anom (putera tertua Sultan Sepuh Syamsuddin Martawijaya) akan diserahkan tugas mengurus Cirebon yang artinya dia berhak akan tahta ayahnya, namun dengan timbulnya permasalahan ini membuat Pangeran Depati Anom akhirnya mengalah dan kekuasaan Sultan Sepuh dibagi dua kepada Pangeran Depati Anom dan Pangeran Adi Wijaya.[21] Pangeran Adi Wijaya kemudian membentuk cabang keratonnya sendiri yaitu Kacirebonan awal[1] dengan gelar Pangeran Arya Cirebon.[21] Perjanjian 1699 ditanda tangani oleh kedua belah pihak pada tanggal 4 Agustus 1699 di Batavia.[21]
Belanda atas dasar pribawa dengan berbekal perjanjian 1699 menentukan derajat paling tinggi (di antara seluruh keluarga besar kesultanan Cirebon) ditempati oleh Sultan Anom I Sultan Muhammad Badrudin Kartawijaya kemudian Pangeran Nasirudin Wangsakerta menduduki tempat kedua dan kedua putra almarhum Sultan Sepuh I Sultan Sepuh Martawijaya yaitu Pangeran Depati Anom Tajularipin Djamaludin dan Pangeran Aria Cirebon Abil Mukaram Kamarudin[28] berada di tempat ketiga. Pangeran Arya Cirebon kemudian membentuk cabang kesultanan sendiri yang disebut Kacirebonan[1](pada era ini, kesultanan Kacirebonan yang dibentuk tidak sama dengan yang kemudian dibentuk oleh Pangeran Raja Kanoman pada tahun 1808)
Belanda menguasai politik Cirebon
Sultan Kanoman I Muhammad Badrudin Kartawijaya memiliki dua orang putera dari permaisuri yang berbeda, yaitu Pangeran Adipati Kaprabon yang merupakan putera pertama dari permaisuri kedua yaitu Ratu Sultan Panengah dan Pangeran Raja Mandurareja Muhammad Qadirudin, putera keduanya yang berasal dari permaisuri ketiga yang bernama Nyimas Ibu. Pangeran Adipati Kaprabon kemudian mendirikan Kaprabonan pada tahun 1696 sebagai tempat pendidikan agama Islam, kedua puteranya ini sepakat untuk melakukan lijdelijk verzet (perlawanan diam-diam) melawan Belanda. Perjuangan melawan penjajah Belanda dengan strategi lijdelijk verzet (perlawanan diam-diam) menemukan tantangan setelah Belanda pada tahun 1699[19] mengangkat Letnan Jacob Palm sebagai seorang pejabat penghubung Belanda untuk wilayah kesultanan Cirebon. Belanda setelah melakukan monopoli dagang terhadap Cirebon dengan alasan perjanjian persahabatan, ikut campur memperkeruh internal kesultanan-kesultanan di Cirebon dengan turut serta dalam hal pribawa yang sebelumnya tidak terlalu meruncing (hal tersebut dibuktikan pada saat kedatangan awal Belanda ke Cirebon tahun 1681 pada perjanjian tersebut ditandatangani oleh tiga orang penguasa yang berarti posisi ketiganya diakui) Belanda akhirnya mengangkat Jacob Palm sebagai pejabat penghubung untuk wilayah Kesultanan Cirebon, dalam buku Sejarah Cirebon, Pangeran Sulaeman Sulendraningrat bahkan mengatakan jika kekuasaan kesultanan-kesultanan di Cirebon pada tahun 1700 telah habis sama sekali (secara politik) dengan adanya pengangkatan Letnan Jacob Palm.[29]
Pada tahun 1701, Belanda kemudian menunjuk seorang pedagang bernama Jacob Heijrmanns sebagai pejabat penghubung Belanda untuk wilayah kesultanan-kesultanan Cirebon[19]
Pada tahun 1703 Sultan Anom I Badrudin Kartawijaya wafat, maka dua tahun berikutnya yaitu pada tahun 1704 diadakan pengaturan urutan yang baru oleh Belanda. Panembahan Nasirudin Wangsakerta menempati derajat tertinggi (di antara seluruh keluarga besar kesultanan Cirebon), tempat kedua ditempati oleh kedua orang putra Sultan Sepuh I Sultan Sepuh Martawijaya yaitu Sultan Sepuh II Sultan Sepuh Tajularipin Djamaludin dan Sultan Kacirebonan I Sultan Cirebon Arya Cirebon Abil Mukaram Kamarudin dan tempat ketiga ditempati putra-putra Sultan Anom I Badrudin Kartawijaya yaitu Pangeran Raja Adipati Mandurareja Muhammad Qadirudin dan Pangeran Adipati Kaprabon yang mendirikan peguronKaprabonan pada tahun 1696 sekaligus menjadi rama guru di sana.
Kemudian Pangeran Raja Muhammad Qadirudin diresmikan sebagai Sultan Anom II keraton Kanoman dikarenakan saudaranya yaitu Pangeran Adipati Kaprabon yang merupakan putera pertama Sultan Anom I dari permaisuri keduanya yaitu Ratu Sultan Panengah memutuskan untuk memperdalam ajaran agama Islam dan menyerahkan kepemimpinan keraton Kanoman kepada adiknya Pangeran Raja Mandurareja Muhammad Qadirudin.[30]
Pada tahun 1705, Pejabat penghubung Belanda untuk wilayah kesultanan Cirebon resmi berkantor di Cirebon, guna menyeleseikan masalah dengan Mataram yang masih merasa bahwa kesultanan Cirebon adalah wilayah bawahannya maka diadakanlah perjanjian pada tanggal 5 Oktober 1705 antara Mataram pada masa pemerintahan Pakubuwono I dengan Belanda, perjanjian tersebut menyebutkan bahwa batas wilayah kesultanan Cirebon sebagai bagian dari wilayah protektorat Belanda adalah sungai Losari di sebelah utara (sekarang batas antara provinsi Jawa Barat dengan provinsi Jawa Tengah) dan sungai Donan di sebelah selatan (sekarang batas antara kecamatan Cilacap Selatan dan Cilacap Tengah dengan kecamatan Kawunganten di kabupaten Cilacap)[25]
Pada tahun 1708, Belanda turut campur lagi untuk menempatkan perbedaan tingkatan dari ketiga cabang keluarga kesultanan Cirebon, setelah Panembahan Wangsakerta wafat tahun 1714, maka sekitar tahun 1715 – 1733 berkali-kali diadakan penggeseran tinggi rendahnya seseorang dalam menduduki tingkatan di antara keluarga besar kesultanan Cirebon yang pada waktu itu sebenarnya telah memiliki kesultanannya masing-masing, seperti anak-anak Sultan Sepuh I yaitu Pangeran Depati Anom Tajularipin Djamaludin yang telah menjadi Sultan Sepuh II di kesultanan Kasepuhan dan Pangeran Arya Cirebon Abil Mukaram Kamarudin yang telah membentuk cabang keluarga sendiri yaitu sebagai Sultan Kacirebonan pertama, demikian juga anak dari Sultan Anom I Badrudin Kartawijaya yaitu Pangeran Raja Mandurareja Muhammad Qadirudin yang telah menggantikan ayahnya sebagai Sultan Anom II kesultanan Kanoman serta Pangeran Adipati Kaprabon yang menguasai peguronKaprabonan begitupun anak dari Pangeran Nasirudin Wangsakerta yaitu Pangeran Muhammad Muhyiddin yang melanjutkan tugas ayahnya sebagai pemimpin peguron (tempat pendidikan) dan kepustakaan Cirebon.
Bermula dari masalah pribawa inilah Belanda turut campur masalah internal keluarga besar kesultanan Cirebon, masalah pribawa mengenai dari cabang keluarga yang mana yang berhak menduduki tingkat tertinggi dalam keluarga besar kesultanan Cirebon selalu menimbulkan pertikaian yang berlarut-larut dan menimbulkan perselisihan yang terus menerus, peristiwa inilah yang mempercepat hilangnya wibawa keluarga besar kesultanan Cirebon.
Permasalahan pembagian kuasa Cirebon antara Sultan Abdul Karim dan Pangeran lainnya
Pada masa ditawannya Sultan Abdul Karim di Mataram oleh Amangkurat, Mataram mengakui bahwa di Cirebon ada Pangeran yang memiliki kuasa sejajar dengan Sultan Cirebon, diantara Pangeran yang diakui adalah Pangeran Surya Negara.[26] Pada saat terjadi perjanjian Cirebon - Belanda 1681 yang menjadikan Cirebon sebagai daerah proktektorat (daerah dalam perlindungan) Belanda, Pangeran Surya Negara memilih untuk tidak ikut serta dalam perjanjian tersebut dan menjaga agar wilayah dan kepemilikannya di Cirebon tetap independen,[26] permasalahan ini tidak bisa diterima Belanda yang berfikir bahwa di Cirebon hanya ada satu penguasa untuk seluruh wilayah kesultanan sementara para pangeran lainnya yang memiliki kuasa semi-otonom pada masa Sultan Abdul Karim dianggap Belanda hanyalah sebagai bawahan kesultanan Cirebon saja.[26] Permasalahan pembagian kuasa ini kemudian berlarut-larut hingga mencapai tahun 1700an, pada tanggal 12 Juli 1721, Pangeran Surya Negara mengirimkan sebuah surat kepada residen Belanda Willem Tersmitten yang menyatakan bahwa dia dan Sultan Cirebon Abdul Karim memiliki derajat kuasa yang sama, oleh karenanya dia berhak memilih agar wilayah dan kepemilikannya di Cirebon tetap independen[26]
Pada tahun 1729 dimasa Residen Jan Donker van der Hoff, dilakukan pendataan kepemilikan tanaman kopi dan masyarakat di wilayah kesultanan Cirebon, pendataan dilakukan oleh Kopral Jacob Titter atas perintah residen Belanda yang diawasi pelaksanaannya oleh para mantri (pegawai kesultanan) yang ditunjuk oleh masing-masing penguasa Cirebon[23]
Pada pendataan yang telah dilakukan, ditemukan bahwa di desa Sayana (yang merupakan desa dibawah kekuasaan Sultan Sepuh III Djaenuddin) misalnya terdapat kepemilikan 300 pohon kopi milik Pangeran Surya Negara, begitupula di wilayah lainnya[23]
Hilangnya aksara Sunda dan Rikasara Cirebon
Pada tanggal 3 November 1705, Belanda mengeluarkan sebuah surat ketetapan agar digunakan aksara carakan Jawa sebagai aksara tulis, ketetapan ini menurut sebagian peneliti dikarenakan berkurangnya penggunaan aksara Sunda pada masyarakat setempat.[31] Pada wilayah kesultanan-kesultanan Cirebon surat ketetapan Belanda tersebut resmi berlaku setelah dikeluarkannya surat yang meratifikasi ketetapan Belanda tersebut oleh para penguasa Cirebon pada 9 Februari 1706,[31] secara perlahan aksara Sunda dan juga Rikasara Cirebon digantikan oleh carakan Jawa, dalam sebuah naskah dari desa adat Gamel-Sarabahu di Cirebon dijelaskan bahwa hilangnya Rikasara Cirebon secara berangsur-angsur setelah dikeluarkannya surat ratifikasi kesultanan-kesultanan di Cirebon menemui titik puncaknya yang waktunya bertepatan dengan dikaburkannya sejarah Cirebon oleh Belanda yang dalam naskah peristiwa itu disebut
"... Kalpariksa jatining cirebon, Lebon pepeteng ... 8461//22//09"
Belanda akhirnya mengambil langkah untuk menyeleseikan permasalahan akibat perkara Pribawa (derajat paling tinggi diantara keluarga besar) setelah terjadinya konflik keluarga pada tahun 1715 setahun setelah meninggalnya Pangeran Nasiruddin (Panembahan Cirebon I) dan pada saat meninggalnya Sultan Anom Alimuddin pada tahun 1733.[26] Belanda akhirnya pada tahun 1752[33] (satu tahun sebelum meninggalnya Sultan Sepuh Raja Muhammad Djaenudin) memutuskan untuk menghentikan mekanisme pergeseran posisi peringkat diantara cabang-cabang dalam keluarga besar kesultanan Cirebon sekaligus menetapkan aturan agar pergantian penguasa diantara cabang-cabang keluarga kesultanan Cirebon dilakukan oleh putranya masing-masing[33]
Perang terbuka Pangeran Raja Kanoman (Sultan Kacirebonan pertama) melawan penjajah
Pada tahun 1791, Pangeran Joharuddin naik tahta sebagai Sultan Sepuh, namun karena usianya yang baru 10 tahun maka beliau didampingi oleh dua orang pejabat kesultanan dengan pangkat Tumenggung yaitu Tumenggung Widya Adiningrat dan Tumenggung Jayadireja.[34]
Pada tahun 1733, Pangeran Chaeruddin Rahim menjadi pemimpin di Kesultanan Kanoman dengan gelar Sultan Anom Chaeruddin menggantikan ayahnya Sultan Anom Alimuddin, pada saat naik tahta beliau baru berusia 10 tahun, sebagai walinya ditunjuklah Tumenggung Bahu Madenda, Tumenggung Bahu Madenda menjadi wali dari Sultan Anom Chaeruddin hingga tahun 1744,[35] surat pernyataan kedewasaan bagi Sultan Anom Chaeruddin yang dikeluarkan masa Gubernur Jenderal Gustaaf Willem van Imhoff pada tanggal 18 Februari 1744 menjadi legalisasi bagi Sultan Anom Chaeruddin untuk mengambil alih kekuasaan dari walinya Tumenggung Bahu Madenda, karena sebelumnya Sultan mengalami kesulitan ketika akan mengambil alih kekuasaannya.[35]
Semenjak kekuasaan Sultan Anom I, Belanda telah berusaha menanamkan kekuasaannya kedalam keraton-keraton di Cirebon melalui perjanjian persahabatan yang berisi monopoli dagang Belanda serta dengan politik pendekatan persuasif kepada pihak-pihak di kesultanan dan tokoh-tokoh masyarakat, Pangeran Raja Kanoman (Putera Mahkota kesultanan Kanoman, putera pertama Sultan Anom IV dari permaisurinya) Pada waktu itu telah lama melakukan perlawanan terbuka terhadap belanda, masyarakat yang pernah berjuang bersama di antaranya adalah Mirsa, yang melakukan perjuangan melawan penjajah Belanda pada tahun 1788 yang mendapatkan bantuan tokoh agama, tetapi perjuangan Mirsa dapat dipatahkan, perjuangan melawan penjajah kemudian berlanjut pada tahun 1793[36] dan akhirnya Pangeran Raja Kanoman berhasil ditangkap dalam perjuangannya melawan penjajah dan kemudian diasingkan ke Ambon pada sekitar tahun 1796, baik upaya mematahkan perjuangan Mirsa maupun penangkapan terhadap Pangeran Raja Kanoman dilakukan pada masa Gubernur Jenderal Willem Arnold Alting. Pada tahun 1795, setahun sebelum penangkapan Pangeran Raja Kanoman, di Belanda terjadi revolusi yang dimotori oleh Perancis yang memaksa penguasa Belanda yaitu William Batavus (William V) untuk mengasingkan diri ke Inggris, negara Belanda yang telah jatuh ke tangan revolusioner tersebut diubah namanya dari Dutch Republic (bahasa Indonesia: Republik Belanda) menjadi Batavian Republic (bahasa Indonesia: Republik Batavian (secara harafiah berarti Republik Orang-Orang Belanda). Di Inggris, William Batavus kemudian mengeluarkan Kew Letter sebuah surat perintah yang menugaskan para pejabat Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) di wilayah Hindia Belanda menyerahkan pos pos mereka kepada British, hal inilah yang kemudian memudahkan British untuk menguasai Hindia Belanda, berbekal Kew Letter tersebut Melaka, Padang dan Ambon berhasil dikuasai oleh British dengan mudah,[37] pada tahun ini sebenarnya Gubernur Jenderal Willem Arnold Alting sudah menyadari ada dinamika di negara asalnya bahwa kini Dutch Republic telah dikuasai oleh Perancis dan diubah namanya menjadi Batavian Republic.
Pada tahun 1798, pada masa itu Gubernur Jenderal Willem Arnold Alting yang telah menangkap Pangeran Raja Kanoman dan mengasingkannya ke Ambon dan yang proyek pembuatan rumah Raad van Indie-nya (bahasa Indonesia: Dewan Hindia) di Indramayu pada tahun tahun sebelumnya yang diperkirakan dibantu oleh Sultan Muhammad Chaeruddin [38] baru saja pensiun dengan telah datang penggantinya Gubernur Jenderal Pieter Gerardus van Overstraten yang sebelumnya menjabat sebagai pemimpin untuk pesisir utara Jawa bagian timur pada 17 Februari 1797, pada masa Gubernur Jenderal Pieter Gerardus van Overstraten ini di kesultanan Kanoman terdapat permasalahan karena tidak adanya putera mahkota ditempat jika seandainya terjadi sesuatu dengan Sultan Muhammad Chaeruddin, maka pada tahun itu, 1798, Sultan membuat keputusan untuk mengangkat Imamuddin, adik lain ibu dari Pangeran Raja Kanoman (Putra Mahkota kesultanan Kanoman yang dibuang oleh Belanda ke Ambon) guna menggantikan posisinya sebagai Putera Mahkota kesultanan Kanoman,[38] dijelaskan oleh Abdullah al Misri (seorang cendikiawan keturunan Arab) dalam tulisannya menarasikan bahwa Imamuddin adalah anak dari Sultan Muhammad Chaeruddin dengan istrinya yang bukan permaisuri.[39] Pada masa Gubernur Jenderal Pieter Gerardus van Overstraten ini Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) dibubarkan, British berhasil mengambil alih wilayah Tidore[37] serta menghancurkan benteng-benteng pertahanan Batavia di pulau Onrust dan sekitarnya pada tahun 1800.[40] Pada 22 Agustus 1801 Gubernur Jenderal Pieter Gerardus van Overstraten meninggal dunia[41] dan kemudian posisinya digantikan oleh Gubernur Jenderal Johannes Siberg (menantu dari Gubernur Jenderal Willem Arnold Alting) yang sebelumnya menjabat sebagai pemimpin di pantai utara Jawa bagian barat. Pada masa kepemimpinan Gubernur Jenderal Johannes Siberg diwarnai oleh berbagai perjuangan para penguasa lokal di nusantara yang memanfaatkan situasi kacau di Hindia Belanda untuk bisa menguatkan kembali posisi mereka.
Perang besar Cirebon 1788 - 1818
Ketika Pangeran Raja Kanoman yang merupakan putera dari Sultan Anom IV Muhammad Chaerudin diasingkan ke Ambon, terjadilah pemberontakan rakyat Cirebon yang dipimpin Bagus Rangin pada tahun 1802, Bagus Rangin berasal dari demak, distrik Blandong, Rajagaluh (sekarang Rajagaluh menjadi kecamatan Rajagaluh, Majalengka) yang terletak di kaki gunung Ciremai, Bagus Rangin diperkirakan lahir sekitar tahun 1761. Dia adalah putra dari Sentayem (Ki buyut Teyom), cucu dari Waridah dan keturunan dari Ki buyut Sambeng, salah satu dari cicit pembesar didaerah tersebut atau dalam bahasa Cirebon disebut Ki Gede. Bagus Rangin mempunyai tiga orang saudara, kakaknya bernama Buyut Bangin dan kedua adiknya bernama Buyut Salimar serta Bagus Serit (Bagus Serit juga menjadi pejuang melawan penjajah)[42]
Sifat Bagus Rangin digambarkan sebagai pemimpin yang gagah berani dan sanggup menyatakan perang dengan didukung oleh pengikutnya yang banyak.[43] Secara garis besar kondisi perekonomian di pedesaan Cirebon dijelaskan bahwa desa-desa hampir secara keseluruhan disewakan kepada orang-orang Cina oleh para bupati dan residen. Penyerahan tenaga kerja, penyerahan pajak dan hasil pertanian penduduk dibeli dengan harga sangat rendah oleh residen.[44]
Di Batavia pada tahun 1803, setelah hancur oleh serangan British pada tahun 1800,[40] pulau Onrust yang merupakan benteng pertahanan Batavia oleh Belanda dibawah pimpinan Gubernur Jenderal Johannes Siberg (menantu dari Gubernur Jenderal Willem Arnold Alting) berusaha direstorasi kembali,[45] sementara itu di Cirebon, Sultan Muhammad Chaeruddin baru saja meninggal dunia[1] dan sebagai penggantinya, Imamuddin yang telah ditunjuk sebagai putera mahkota sejak 1798 menggantikan Pangeran Raja Kanoman yang diasingkan oleh Belanda ke Ambon naik tahta menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Sultan Anom V Abu Soleh Imamuddin[46] dan hal ini disetujui oleh Belanda,[39] dijelaskan kondisi sosial pada saat itu bahwa bencana kelaparan dan wabah penyakit sempat melanda Cirebon sejak akhir abad ke 18, mengakibatkan banyak penduduk Cirebon meninggal dunia.[44], dalam narasinya Abdullah al Misri (seorang cendikiawan keturunan Arab) mengatakan bahwa sejak naiknya Imamuddin menjadi Sultan di kesultanan Kanoman maka banyak hal buruk yang terjadi tidak hanya soal banyaknya warga yang sakit dan meninggal namun juga hal hal lain seperti kosongnya bulir bulir padi yang ditanam,[39] permasalahan Pangeran Raja Kanoman yang diasingkan ke Ambon tersebut mencapai puncaknya pada tahun 1805, berdatanganlah perwakilan masyarakat Cirebon untuk menemui Gubernur Jenderal, mereka datang untuk menuntuk hak Pangeran Raja Kanoman bertahta menggantikan ayahnya Sultan Anom IV Muhammad Chaeruddin yang telah meninggal pada 1803, perwakilan masyarakat Cirebon itu mengatakan bahwa Imamuddin tidak berhak menjadi Sultan di kesultanan Kanoman karena masih ada Pangeran Raja Kanoman yang lebih berhak, dinarasikan oleh Abdullah al Misri (seorang cendikiawan keturunan Arab) bahwa perwakilan masyarakat Cirebon tersebut menghubung-hubungkan kejadian buruk di Cirebon dari mulai banyaknya masyarakat yang sakit dan meninggal hingga kejadian di mana bulir bulir padi yang ditanam namun tidak ada isinya yang menyebabkan kelaparan dengan naiknya Imamuddin sebagai Sultan di kesultanan Kanoman,[39] Pejabat Belanda untuk wilayah Kesultanan Cirebon pada masa itu S.H Rose kemudian mengajukan permohonan agar pemerintah Hindia Belanda di Batavia mengeluarkan sebuah peraturan kepada para bupati agar tidak memberikan jalan kepada rombongan nasyarakat Cirebon yang akan menemui Gubernur Jenderal, permohonan S.H Rose selaku pejabat penghubung Belanda untuk wilayah kesultanan Cirebon dikabulkan dengan dikeluarkannya surat keputusan (besluit) 15 Maret 1805 yang berisi perintah kepada para bupati agar tidak memberikan jalan kepada rombongan masyarakat Cirebon, berdasarkan besluit tersebut maka bupati Karawang diperintahkan agar mencegah rombongan tersebut ke Batavia, Belanda kemudian mengirimkan kapal ke pesisir Cilincing (sebelah timur kota Batavia) untuk mengangkut para rombongan masyarakat Cirebon dan pada tanggal 17 Mei 1805 rombongan tersebut kembali ke Cirebon,[47] mendengar hal ini Gubernur Jenderal Albertus Henricus Wiese, dikemudian hari mengabulkan permintaan perwakilan masyarakat Cirebon dengan memulangkan Pangeran Raja Kanoman dari pengasingannya di Ambon, hal tersebut dilakukan karena Belanda tidak mau masalah ini menjadi lebih panjang lagi yang nantinya akan berimbas kepada peperangan yang lebih besar lagi dengan Cirebon, karena dengan pertempuran yang sekarang sedang berlangsung dengan para pejuang sudah banyak korban dari pihak Belanda,[39]
Persoalan hak waris Sultan Kanoman ke empat, Sultan Anom IV Muhammad Chaerudin yang seharusnya diberikan kepada putera mahkotanya yaitu Pangeran Raja Kanoman yang telah diasingkan Belanda ke Ambon dianggap sebagai penyebab timbulnya pemberontakan. Rakyat melakukan pemberontakan dan mengidentifikasi diri dengan Sultan Kanoman yang tercabut hak warisnya (Pengeran Raja Kanoman yang dibuang dan sulit mengklaim haknya) . Para pemberontak ini berhasil dihimpun Bagus Rangin untuk melakukan pemberontakan yang lebih besar. Di daerah Jatitujuh, merupakan pusat gerakan Bagus Rangin dalam rangka membicarakan strategi perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda. Bagus Rangin menganggap residen Belanda telah merampas tanah warisan nenek moyangnya, untuk digunakan sendiri oleh residen itu.
Kembalinya Pangeran Raja Kanoman dan dibentuknya Kacirebonan
Pemberontakan yang dilakukan oleh bagus Rangin meluas hingga keluar wilayah kesultanan Cirebon, ditengah perjuangan besar cirebon yang telah dimulai pada sekitar tahun 1788 oleh Mirsa dan Pangeran Raja Kanoman (Putera Mahkota kesultanan Kanoman, putera pertama Sultan Anom IV Muhammad Chaeruddin) dan dilanjutkan oleh pejuang lainnya termasuk di antaranya Bagus Rangin yang telah memulai perjuangannya pada sekitar tahun 1802, kondisi sosial di Cirebon semakin memprihatinkan, masih banyak orang yang jatuh sakit dan meninggal serta kelaparan akibat kosongnya bulir bulir padi, masa itu tahun 1805, dikarenakan perjuangan masyarakat cirebon melawan Belanda masih terus belangsung, maka pada tanggal 1 September 1806[48] Belanda membuat perjanjian dengan Sultan Sepuh Djoharuddin dan Sultan Anom Abu Soleh Imamuddin untuk mengembalikan Pangeran Raja Kanoman ke Cirebon guna meredakan perjuangan yang terjadi.[49] dalam bukunya Geschiedenis van Nederlandsch Indie, V Frederik Willem Stapel mengatakan,
sampai dengan tahun 1806 jumlah kaum pemberontak yang bersenjata telah mencapai sekitar 4000 orang. Pasukan yang langsung dipimpin oleh Bagus Rangin berjumlah antara 280-300 orang yang telah terlatih perang
namun karena di keraton Kanoman sudah bertahta Pangeran Raja Abu Soleh Immamudin yang merupakan adik Pangeran Raja Kanoman, maka akhirnya atas dasar kesepakan keluarga, Pangeran Raja Kanoman pada tahun 1808 mendirikan kesultanannya sendiri dengan nama Kacirebonan yang sekarang pusatnya berada di keraton Kacirebonan, sebagai pemimpin Kacirebonan Pangeran Raja Kanoman bergelar Sultan Carbon Amirul Mukminin, tetapi kembalinya Pangeran Raja Kanoman dan dibentuknya kesultanan Kacirebonan untuk Pangeran Raja Kanoman sebagai hasil kesepakatan keluarga besar kesultanan Kanoman dikarenakan di kesultanan Kanoman telah bertahta Sultan Anom V Pangeran Raja Abu Soleh Immamudin, tidak menyurutkan gerakan perjuangan yang sedang berlangsung.
Pada masa ditengah pemberontakan ini, Belanda mengirimkan Herman Willem Daendels sebagai Gubernur Jendral Hindia Belanda yang tiba di Batavia (sekarang Jakarta) pada tahun 1808 [50] yang memimpin dengan cara kediktaktoran.
Pada tahun 1809 Gubernur Jendral Herman Willem Daendels atau setahun setelah kedatangannya ke Hindia Belanda, segera menetapkan berbagai langkah dan tindakan dalam rangka pengendalian wilayahnya yang ada di Jawa bagian barat, dua Regentschappen (wilayah) kemudian ditetapkan, kemudian ditetapkan,
Pertama, Batavia en Jacatrasche Preanger Regentschappen (wilayah Batavia dan Priangan-Jakarta) yang meliputi Batavia, Tangerang, Karawang, Bogor, Cianjur, Bandung dan Sumedang)
Di daerah Cirebon, dikatakan Gubernur Jendral Herman Willem Daendels memperoleh hak untuk mengangkat pegawai kesultanan dan mendapat kekuasaan lebih besar dalam urusan keuangan dan pemerintahan internal kesultanan. sejak tahun 1809 dikatakan bahwa kesultanan-kesultanan yang ada di Cirebon tidak lagi memiliki kekuasaan politik karena telah dijadikam pegawai pemerintah Hindia Belanda dan fungsi mereka sebagai kepala pemerintahan digantikan oleh para bupati yang diangkat oleh Gubernur Jendral, yang kemudian wilayah-wilayahnya diawasi oleh residen yang telah ditunjuk oleh pemerintah Belanda.
Pemisahan kekuasaan kesultanan-kesultanan di Cirebon pada tahun 1809 bertepatan dengan masa pemerintahan Sultan Sepuh VII Sultan Djoharudin di Kesultanan Kasepuhan, Sultan Anom V Pangeran Raja Abu Soleh Muhammad Immamudin di kesultanan Kanoman dan Sultan Kacirebonan I Sultan Carbon Amirul Mukminin Muhammad Chaeruddin II[1] di kesultanan Kacirebonan yang baru saja dibentuk dari hasil perundiangan keluarga untuk membagi kesultanan Kanoman.
Pada tahun 1810 Perancis di bawah pimpinan Napoleon Bonaparte melakukan aneksasi terhadap Belanda dan setelah kabar ini diterima oleh Gubernur Jendral Herman Willem Daendels, Gubernur Jendral kemudian melakukan pengibaran bendera Perancis, hal ini kemudian diketahui oleh Thomas Stamford Raffles dan mengunjungi Lord Minto Gubernur Jendral Britania di India untuk mengusir Belanda dari Jawa dan hal tersebut disetujui oleh Gubernur Jendral Britania untuk India - Lord Minto. Pada tahun yang sama, tepatnya tanggal 2 Maret 1810, Sultan Kacirebonan I Muhammad Chaeruddin II yang dahulunya adalah Pangeran Raja Kanoman dipecat dari jabatannya oleh Belanda karena dianggap selalu menentang pemerintah[52]
Menindaklanjuti rencana pengusiran Belanda maka pada sekitar tahun 1811 Pemerintah Britania atau yang dalam bahasa inggris disebut Britain (Penggabungan kerajaan Inggris, Wales, Skotlandia dan Irlandia Utara) yang menguasai India, Burma dan Semenanjung Melayu melakukan peperangan dengan pihak Hindia Belanda, pasukan-pasukan Britania bahasa inggris (british: orang-orang britain) kemudian mulai mendarat di pelabuhan-pelabuhan Jawa pada tanggal 3 Agustus 1811, pada bulan yang sama tepatnya tanggal 26 Agustus 1811 perang besar antara Hindia Belanda dan pihak Britania dimulai dan menghasilkan kekalahan Belanda, hasil peperangan tersebut membuat Belanda menyingkir ke Semarang sampai akhirnya Belanda di bawah Gubernur Jendral Jan Willem Janssens yang menggantikan Herman Willem Daendels pada bulan Mei 1811 menyerah kepada Britania di Salatiga dan menandatangani kapitulasi Tuntang. Kemenangan ini kemudian menjadikan Thomas Stamford Raffles diangkat sebagai Wakil Gubernur (bawahan Gubernur Jendral) untuk wilayah Jawa.
namun adanya perang besar antara Hindia Belanda dan Britania atau yang dikenal dengan nama perang jawa Britania-Belanda tidak begitu menguntungkan gerakan perjuangan ini, terbukti dengan ditemuinya kegagalan setelah Bagus Rangin dan para pengikutnya ditangkap oleh pemerintah Britania pada tanggal 27 Juni 1812 di desa Panongan dan dihukum mati di desa Karangsembung (dahulu merupakan tempat penyebrangan ramai yang menghubungkan sisi barat dan timur sungai Cimanuk) pada tanggal 12 Juli 1812.[53][54]
Akhir perang besar Cirebon
Namun demikian, gerakan perjuangan rakyat Cirebon ini sempat muncul kembali di bawah pemimpin lainnya setelah Britania di bawah Wakil Gubernur Thomas Stamford Raffles memerintahkan langsung kepada Cirebon untuk menyingkirkan kekuasaan politik dari para sultannya, sehingga sultan hanya sebagai pemimpin adat dan agama saja, gerakan perjuangan tersebut ialan gerakan perjuangan tahun 1816 di bawah pimpinan Bagus Jabin dan gerakan perjuangan tahun 1818 di bawah pimpinan Nairem. Kedua perjuangan tersebut pun menemui kegagalan.
Pada tahun 1814 Sultan Kacirebonan I Amirul Mukminin Muhammad Chaeruddin II meninggal dunia,[55] pada tahun 1815 Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles memberikan tunjangan sebesar 600 Rijksdaalder per tahun[54] kepada Ratu Resminingpuri yang merupakan permaisuri dari mendiang almarhum Sultan Kacirebonan I tinggal di area Taman Sari Gua Sunyaragi, tetapi dengan memiliki anak yang masih kecil dan baru berumur lima tahun yaitu Pangeran Raja Madenda Hidayat[55] yang kelak menjadi Sultan Kacirebonan II dia memutuskan untuk membangun sebuah keraton Kacirebonan di Pulosaren dengan uang pensiunan yang selama ini ditolaknya. Pada masa awal pembangunan keraton Kacirebonan Ratu Raja Resminingpuri membuat bangunan induk keraton, Paseban dan Tajug (mushola).[56]
Bangunan induk keraton sebagai tempat sebagai tempat tinggal sehari-hari sultan beserta keluarganya. Bangunan ini terdiri dari beberapa ruangan antara lain ruang tidur, ruang kerja sultan, pecira, kamar jimat, prabayasa, dapur dan teras (berfungsi sebagai ruang tunggu bila prajurit rendahan ingin menghadap Sultan).
Paseban, terdapat dua buah bangunan Paseban di kompleks keraton Kacirebonan, yaitu di barat dan timur, berdenah persegi panjang. Paseban barat menghadap timur ditompang oleh 8 buah tiang dan 4 saka guru (tiang utama) dan merupakan bangunan semi terbuka, dinding sisi barat dan timur dipagari dengan tembok rendah, atapnya berbentuk joglo dengan penutup genteng.
Tajug (mushola), terletak di sebelah barat bangunan induk, antara tajug dan paseban dipisahkan oleh tembok namun ada pintu penghubung di sisi barat tembok. Pelataran keraton ke arah selatan pada pagar tembok terdapat gapura kori agung beratap joglo, yaitu pintu agung utama.
Ratu Raja Resminingpuri pun menjadi wali atas puteranya yang masih kecil tersebut. Setelah Pangeran Raja Madenda Hidayat dewasa, Ratu Raja Resminingpuri memberikan tahtanya kepada puteranya tersebut dengan gelar sultan namun hal itu ditolak oleh Belanda. (menurut Besluit hanya Sultan Kacirebonan I saja yang berhak menyandang gelar sultan)
Tunjangan pensiun dan tanah persawahan bagi Pangeran Madenda (PM) Hidayat
Pada Tahun 1819, tunjangan pensiun bagi para penguasa Cirebon mengalami perubahan, Sultan Sepuh Raja Udaka mendapat f 18.000 (1 Rijksdaalder = 2.4 Florijn / Gulden) atau setara dengan 7.500 Rijksdaalder, selain itu Sultan Sepuh Raja Udaka juga mendapatkan tambahan 210 bau sawah (1 bau = 7.000 m2) atau setara dengan 1.470.000 m2, Sultan Anom Komaruddin I mendapat f 18.000 atau setara dengan 7.500 Rijksdaalder, selain itu Sultan Anom Komaruddin I juga mendapatkan tambahan 136 bau sawah atau setara dengan 952.000 m2, sementara tunjangan bagi Pangeran Madenda (PM) Hidayat mengalami kenaikan menjadi f 7.200 atau setara dengan 3.000 Rijksdaalder, selain itu Pangeran Madenda (PM) Hidayat juga memperoleh 32 bau sawah atau setara dengan 224.000 m2[34].
Sultan Kacirebonan III Pangeran Raja Denda Wijaya membangun Gedong Ijo
Pada tahun 1875 Pangeran Raja Denda Wijaya yang bergelar Raja Madenda membangun Gedong Ijo dalam komplek keraton Kacirebonan, Gedong Ijo merupakan bangunan yang menghadap ke timur dan berdenah persegi panjang. Ruang dalam dibagi tiga, yaitu ruang utara dan ruang selatan yang ditempati oleh keluarga sultan sedangkan ruang tengah kosong
Sultan Kacirebonan IV Pangeran Raja Madenda Partadiningrat membangun Pringgowati
Pada masa kepemimpinannya, Sultan Kacirebonan IV Pangeran Madenda Partadiningrat membangun Pringgowati yaitu ruang tengah yang terdapat benda-benda kebesaran keraton, berfungsi sebagi tempat istirahat sultan. Di sebelahnya terdapat ruang pinangeran, yang digunakan sebagai tempat tinggal kerabat sultan dan tempat penyimpanan alat-alat perayaan Muludan.
Kerjasama Sultan Kacirebonan V Pangeran Raja Madenda Raharjadiningrat dengan para pejuang melawan penjajah
Pada masa Sultan Kacirebonan V Pangeran Raja Madenda Raharjadiningrat terdapat masa penjajahan Jepang dan revolusi fisik. Pada masa tersebut keraton mulai memulai mengadakan gerakan di bawah tangan dengan membantu para pejuang, veteran dan tentara pelajar. Kesultanan Kacirebonan membantu logistik bagi para pejuang bahkan keraton Kacirebonan digunakan sebagai tempat pertemuan-pertemuan, setelah Belanda dan Jepang pergi meninggalkan Indonesia, pihak kesultanan Kacirebonan menganggap bahwa peraturan-peraturan yang mengekang keraton yang diciptakan oleh para penjajah sudah tidak berlaku lagi dan kemudian kesultanan Kacirebonan mulai menggunakan gelar Sultan kembali untuk para penerus tahtanya.
Antonius Adrianus Lutter dan Raden Ajeng Reza Susana Wegi
Antonius Adrianus Lutter merupakan seorang peneliti dari Belanda yang sedang meneliti tentang Cirebon, pada tahun 2007 dia untuk pertama kalinya datang ke keraton Kacirebonan guna tujuan penelitian. Raden Ajeng Reza Susana Wegi atau yang biasa dipanggil Raden Ajeng Susana yang merupakan putri dari Ratu Raja Putri Nur Huyedat Yeni (kakak tertua Sultan Kacirebonan IX Pangeran Raja Abdul Gani Natadiningrat) mengatakan mengatakan,
Antonius menjelaskan pada saya bila di museum Leiden, Belanda, banyak benda budaya bersejarah asal keraton-keraton di Indonesia, karena itu untuk memastikan penelitiannya lebih jauh, ia datang langsung ke Cirebon sebagai salahsatu daerah yang mempunyai sejarah keraton
Sejak pertamakali bertemu dengan Antonius, Raden Ajeng Susana telah merasa tertarik, ternyata begitu pun dengan Antonius, tetapi karena harus melanjutkan penelitiannya, Antonius harus segera melanjutkan perjalanan ke negara lainnya.
Hubungan jarak jauh tersebut kemudian dibina hanya dengan pesan singkat dari telepon genggam atau menggunakan email. Akhirnya, beberapa tahun kemudian, tepatnya pada bulan Oktober 2009, Antonius kembali ke Indonesia untuk melanjutkan penelitiannya. Kesempatan itu digunakan oleh Antonius untuk melamar pujaan hatinya Raden Ajeng Susana, tidak lama setelah lamaran, merekapun menyepakati untuk langsung menikah.
Pernikahan keduanya digelar pada hari Senin, 19Oktober2009 di keraton Kacirebonan, setelah pernikahan, keduanya menyepakati untuk menggelar resepsi pada bulan Mei 2010. ditentukannya resepsi pada bulan mei 2010 adalah ditujukan tidak hanya untuk acara syukuran semata, tetapi juga sebagai persiapan bagi Raden Ajeng Susana (sekarang: Raden Ayu Susana) untuk menyiapkan dokumen penunjang karena akan menemai suaminya untuk tinggal di Belanda. Pernikahan ke-duanya merupakan pernikahan pertama dalam sejarah kesultanan Kacirebonan di mana bangsawan Kacirebonan menikah dengan orang asing.[57]
Pelakrama Ageng (pernikahan agung)
Pelakrama Ageng (bahasa Indonesia: Pernikahan agung) yang dilaksanakan di Kesultanan Kacirebonan adalah bagian dari pernikahan agung masyarakat adat yang ada di bekas wilayah Kesultanan Cirebon. Pada dasarnya inti dari kegiatan pernikahan agung yang dilakukan di kesultanan Kacirebonan tidaklah jauh berbeda dengan yang ada di kesultanan Kasepuhan dan kesultanan Kanoman serta Kaprabonan namun dengan sedikit menambahkan detail khas gaya Kacirebonan didalamnya, berikut kegiatan yang dilakukan dalam rangkaian pernikahan agung gaya Kacirebonan[58]
Pinangan (melamar)
Kegiatan pinangan pada umumnya dilakukan sekurang-kurangnya seminggu sebelum pernikahan, utusan calon mempelai pria membawa perlengkapan pakaian beserta perhiasan emas, peralatan dapur lengkap, sirih dan uang tunai untuk diserahkan kepada orang tua calon mempelai perempuan dengan disaksikan para sesepuh (bahasa Indonesia: Para tetua). Apabila pinangan diterima maka utusan calon mempelai pria akan menanyakan tanggal pasti pernikahan dan pukul berapa calon mempelai pria akan dijemput keluarga calon mempelai perempuan untuk melaksanakan pernikahan.
Pasrahan (pemberian)
Acara pasrahan dimulai dengan diterimanya utusan mempelai pria dan rombongan yang membawa pasrahan berupa pala gumantung (buah-buahan), pala kendem (umbi-umbian), sayur-sayuran dan dunya brana (alat rumah tangga) oleh kerabat mempelai perempuan dan dilanjutkan dengan menyerahkan mas picis (maskawin) langsung kepada orang tua mempelai perempuan, setelah selesai berbasa-basi maka utusan mempelai pria dan rombongan mohon diri.
Siram Tawandari
Siram Tawandari dilakukan oleh kedua mempelai dirumah mempelai perempuan dan dimaksudkan untuk melihat apakah para mempelai memiliki kekurangan atau tidak.
Acara siram Tawandari dimulai dengan dikirimnya dua orang utusan mempelai perempuan ke rumah mempelai pria untuk memberitahu sekaligus menjemputnya agar terlibat dalam acara siram Tawandari
Ziarah (mengunjungi makam)
Setelah melakukan siram Tawandari maka kedua mempelai melakukan ziarah ke makam keluarga (untuk pihak kesultanan melakukan ziarah ke komplek makam keluarga kesultanan Cirebon di Gunung Jati
Parasan (merias)
Pengantin dirias oleh juru rias, selama merias, juru rias membaca surat al-fatihah, syahadat, sholawat, istigfar dan sejenisnya, selesai dirias wajahnya, calon mempelai perempua kemudian dihias sederhana.
Akad Nikah
Pada saat melakukan akad nikah, mempelai pria tidak didampingi oleh kedua orang tuanya, jika dia membawa keris maka dia harus meletakan kerisnya, dirinya kemudian duduk diatas tikar dan ditutupi (bahasa Cirebon: robyong) oleh kain batik milik orang tua mempelai perempuan. Ijab qabul pun dilakukan, baru setelah ijab qabul telah selesai dilakukan mempelai perempuan diperbolehkan memasuki ruangan ijab qabul guna menandatangani surat nikah.
Panggih (pertemuan)
Setelah akad nikah selesai dilaksanakan, kedua mempelai dipertemukan, pada prosesi ini mempelai pria masih tetap melepas kerisnya.
Pug-pugan Tawur
Prosesi pug-pugan tawur dilakukan dengan cara kedua mempelai jongkok dihadapan para sesepuh untuk menerima pug-pugan (rumbia yang telah lapuk) yang ditawur (ditaburkan) sebagai simbol harapan bahwa pernikahan keduanya akan bertahan lama hingga tua seperti tuanya rumbia yang ditaburkan pada mereka.
Sekul adep-adep
Prosei acara panggih kemudian dilanjutkan dengan acara sekul adep-adep di mana kedua mempelai makan berhadapan dengan lauknya berupa sepasang burung merpati dengan harapan dapat membina rumah tangga dengan sukses, lauk dari burung merpati dijadikan simbol pasangan yang hanya memiliki satu cinta satu sama lain
Nasihat dan pemberian doa
Acara pemberian nasihat dilakukan oleh para sesepuh dan kemudian dilanjutkan oleh pemberian doa oleh para hadirin
Hiburan
Acara kemudian dilanjutkan dengan acara hiburan, pihak kesultanan Kacirebonan biasanya menampilkan tari-tari tradisional khas Cirebon
Unduh Mantu (menerima menantu)
Setelah rangkaian acara ijab qabul selesai, tidak lama dilakukan acara unduh mantu sebagai tanda pindahnya kedua mempelai dari rumah mempelai perempuan ke rumah mempelai pria
Silsilah Sultan
Sultan Kacirebonan I Sultan Carbon Kaceribonan Amirul Mukminin (bertahta 1808 - 1814)
Sultan Kacirebonan II Pangeran Raja Madenda Hidayat (bertahta dari 1814 - 1851)
Sultan Kacirebonan III Pangeran Raja Denda Wijaya (bertahta dari 1851 - 10 Oktober 1914)
Sultan Kacirebonan IV Pangeran Raja Madenda Partadiningrat (bertahta dari 9 November 1916 - 31 Juli 1931)
Sultan Kacirebonan V Pangeran Raja Madenda Raharjadiningrat (bertahta dari 12 Maret 1933 - 24 Februari 1950)
Sultan Kacirebonan VI Pangeran Raja Sidek Arjaningrat (bertahta dari 24 Februari 1950 - 14 Januari 1957)
Sultan Kacirebonan VII Pangeran Raja Harkat Nata Diningrat (bertahta dari 14 Januari 1957 - 14 Februari 1969) menggantikan saudaranya Sultan Kacirebonan VI
Sultan Kacirebonan VIII Pangeran Raja Moh Mulyono Amir Natadiningrat (bertahta dari 14 Februari 1969 - 8 November 1994)
Sultan Kacirebonan IX Pangeran Raja Abdulgani Nata Diningrat Dekarangga (bertahta dari 28 Mei 1997 - )
^ abcdefghiDeviani, Firlianna Tiya. 2016. Perjanjian 7 Januari 1681 Dan Implikasinya
Terhadap Kehidupan Sosial Politik Ekonomi di Kerajaan Cirebon (1681 M - 1755 M). Cirebon : Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syekh Nurjati
^Sunardjo, R. H. Unang . 1996. Selayang Pandang Sejarah Masa Kejayaan Kerajaan Cirebon : kajian dari aspek politik dan pemerintahan. Cirebon : Yayasan Keraton Kasepuhan Cirebon
^Mansyur, Khatib. 2001. Perjuangan rakyat Banten menuju provinsi : catatan kesaksian seorang wartawan. Serang : Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Provinsi Banten
^Suparman, Sulasman, Dadan Firdaus. 2017. Tawarikh : Political Dynamics in Cirebon from the 17th to 19th Century. Bandung : Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Jati
^ abcdTim Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1982. Sejarah Daerah Jawa Barat. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
^de Jonge, Johan Karel Jakob. 1873. De opkomst van het Nederlandsch gezag over Java: verzameling van onuitgegeven stukken uit het oud-koloniaal archief, Volume 4. s Gravenhague The Hague : Martinus Nijhoff
^ abcdHeniger, J. 2017. Hendrik Adriaan Van Reed Tot Drakestein 1636-1691 and Hortus, Malabaricus. Abingdon-on-Thames : Routledge
^Michrob, Drs Halwani, Drs A. Mudjahid Chudori. 1993. Catatan Masa Lalu Banten. Serang: Penerbit Saudara
^ abBlink, Hendrik. 1907. Nederlandsch Oost- en West-Indië : geographisch, ethnographisch en economisch beschreven, Volume 2. Leiden : Evert Jan Brill
^ abMolsbergen, Everhardus Cornelis Godee. 1931. Uit Cheribon's geschiedenis en Gedenkboek der Gemeente Cheribon 1906-1931. Bandung : Nix
^ abKartodihardjo, Sartono. 1988. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500 - 1900 (dari Emporium sampai Imperium). Jakarta: Gramedia
^Roseno, Edi. 1993. Perang Kedondong 1818. Depok: Universitas Indonesia
^ abChambert-Loir, Henri. Hasan Muarif Ambary. 1999. Panggung sejarah: persembahan kepada Prof. Dr. Denys Lombard. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
^ abcdefHoadley, Mason Claude. 2018. Selective Judicial Competence: The Cirebon-Priangan Legal Administration, 1680–1792. New York : Cornell University Press
^Ekajati, Edi Suherdi. 2005. Polemik naskah Pangeran Wangsakerta. Bandung: Pustaka Jaya
^ abcdeal Anwari, Rifcky Mohammad. Pasang Surut Hubungan Kesultanan Cirebon dengan Kolonial Abad 17 - 19 Dan Implikasinya Terhadap Masyarakat Di Cirebon. Cirebon : Institut Agama Islam Negeri Syekh Nurjati
^ abcdefghijkRosita, Heni. 2015. Pecahnya Kesultanan Cirebon dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Cirebon Tahun 1667 - 1752. Yogyakarta : Universitas Negeri Yogyakarta
^ abcHoadley, Mason. 1996. The Village Concept in the Transformation of Rural Southeast Asia. Hove : Psychology Press
^de Graaf, Hermanus Johannes. 1985. Awal Kebangkitan Mataram Masa Pemerintahan Senapati. Jakarta: Grafitipers
^ abcdef>Hoadley, Mason Claude. 2018. Selective Judicial Competence: The Cirebon-Priangan Legal Administration, 1680–1792. New York : Cornell University Press
^Ball, John Preston, 1982. Legal History 1608 - 1848. Sydney: Oughtershaw Press
^ abMangintrk, Timothy Seta. 2016. Parahiyangan Guardian: Pengembangan Aplikasi Game Untuk Pembelajaran Interaktif Menggunakan Aksara Bahasa Sunda Berbasis Desktop. Bandung: Universitas Widyatama
^Mujidiningrat, Raden Dulur Anom Rahadyan Ikhsanurud Daudi Akbar Guratpanuratrahsa Ahmad Elwangsih. 2018. Aksara Rikasara: Sebuah Peradaban yang Hilang. Cirebon: Desa Adat Gamel-Sarabahu
^ abBochari, Muhammad Sanggupri. Wiwi Kuswiah. 2001. Sejarah Kerajaan Tradisional Cirebon. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional
^ abHazmirullah. Titin Nurhayati Ma’mun, Undang A. Darsa. 2017. Jumantara : Surat Pengunduran Diri Sultan Sepuh VII Cirebon : Suatu Kajian Filologis. Jakarta Perpustakaan Nasional
^ abLasmiyati. 2013. Keraton Kanoman di Cirebon (Sejarah dan Perkembangannya). Bandung : Balai Pelestarian Nilai Budaya Bandung
^ abCribb, Robert. 2000. Historical Atlas of Indonesia. Honolulu: University of Hawai'i Press
^ abPudjiastuti, Titik. 2014. Kajian Kodikologis atas Surat Sultan Kanoman, Cirebon (COD. OR. 2241 ILLB 17 (No. 80)). Depok: Universitas Indonesia
^ abcdeZaini-Lajoubert, Monique. 2008. Karya lengkap Abdullah bin Muhammad al-Misri: Bayan al-asmaʼ, Hikayat Mareskalek, Arsy al-muluk, Cerita Siam, Hikayat tanah Bali. Jakarta: Gramedia
^ abTim Dinas Museum dan Pemugaran, Propinsi Daerah Khusus Ibu kota Jakarta. 2000. Bangunan Cagar Budaya Di Propinsi DKI Jakarta. Jakarta: Dinas Museum dan Pemugaran, Propinsi Daerah Khusus Ibu kota Jakarta
^Diehl, Katharine Smith. 1990. Printers and Printing in the East Indies to 1850: Batavia. New Rochelle: Aristide D. Cararzas
^Ekadjati, Edi Suhardi. 1976. Sejarah jawa Barat. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
^Stapel, Frederik Willem. 1940. Geschiedenis van Nederlandsch Indie, V. Batavia.
^ abParamita R. Abdurachman, 1982, Cerbon, Jakarta: Sinar Harapan
^Suryawan. 2014. Srabad Dalam Seni Rupa Tradisi Cirebon. Yogyakarta: Institut Seni Indonesia Yogyakarta
^Ekadjati, Edi Suhardi. 1982. Sejarah Perlawanan Terhadap Kolonialisme dan Imperialisme di daerah Jawa Barat. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional
^Lubis, Nina Herlina. 2003. Sejarah Tatar Sunda, Volume 1
Bandung: Satya Historika
^Carey, Peter (P.B.R) 1980. The Archive of Yogyakarta: an edition of Javanese reports, letters, and land grants from the Yogyakarta court dated between A.J. 1698 and A.J. 1740 (1772-1813) taken from materials in the British Library and the India Office Library (London). Oxford: Oxford University Press
^Carey, Peter. 2013. Daendels and the Sacred Space of Java, 1808-1811: Political Relations, Uniforms and the Postweg. Nijmegen: Vantilt
^Sunardjo, Unang. 1983. Meninjau Sepintas Panggung Sejarah Pemerintahan Kerajaan Cirebon: 1479 - 1809. Bandung: Tarsito
^Rosidi, Ajip. Dkk. Ensiklopedi Sunda: Alam, Manusia dan Budaya (Termasuk Budaya Cirebon dan Betawi). Jakarta: Pustaka Jaya
^Hasyim, R.A Opan Safari. Perjuangan Ki Bagus Rangin Menentang Kolonial Belanda 1805 - 1808 (menurut sumber-sumber tradisional). Cirebon.
^ abSobana, Hardjosaputra. Haris Tawaludin. 2011. Cirebon Dalam Lima Zaman. Bandung: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat
^ abKusnandar, Dadang. 2012. Cirebon : Silang Peradaban. Bandung : Gapura Publishing