Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara VII adalah Adipati ketujuh Mangkunegaran yang memerintah dari tahun 1916 hingga tahun 1944.[1]
Keluarga
Mangkunegara VII terlahir dengan nama Raden Mas Soerjosoeparto. Ia adalah anak ketujuh atau anak lelaki ketiga dari 28 bersaudara anak-anak dari Mangkunegara V.[2]
Mangkunegara VII, dikenal pada zamannya sebagai bangsawan modern yang berkontribusi banyak terhadap kelangsungan kebudayaan Jawa dan gerakan kebangkitan nasional Indonesia. Ia sempat mengenyam pendidikan di Universitas Leiden di Belanda selama tiga tahun, sebelum pulang ke Indonesia untuk menggantikan pamannya, Mangkunegara VI yang mengundurkan diri tahun 1916.
Semangat Mangkunegara VII untuk mencari ilmu pengetahuan sudah tampak sejak muda, ketika pamannya Mangkunegara VI melarangnya untuk masuk HBS, ia memilih untuk berkelana dan menjalani hidup di luar keraton; menjadi penerjemah bahasa Belanda-Jawa dan mantri di tingkat kabupaten. Sedangkan kecintaannya terhadap budaya Jawa ditunjukkan melalui peranannya yang aktif dalam mendirikan lembaga studi Cultuur-Wijsgeerige Studiekring (Lingkar Studi Filosofi-Budaya) dan lembaga kebudayaan Jawa Java-Instituut, tidak luput juga karya ilmiahnya tentang simbolisme wayangOver de wajang-koelit (poerwa) in het algemeen en over de daarin voorkomende symbolische en mystieke elementen (1920).
Ia adalah tokoh di dalam organisasi pergerakan nasional Boedi Oetomo dan penasihat di organisasi pelajar Jong Java. Pada tahun 1933, ia memprakarsai didirikannya radio pribumi pertama di Indonesia yaitu SRV (Solosche Radio Vereniging) yang memancarkan program-program dalam bahasa Jawa.
Selain itu ia juga seorang perwira KNIL dengan jabatan Kolonel pada masa hidupnya, dengan jabatan ini ia juga merangkap sebagai komandan Legiun Mangkunegaran, sebuah tentara kecil yang terdiri dari prajurit Mangkunegaran.
Atas jasa-jasanya dalam memajukan kebudayaan Jawa, khususnya di kawasan eks-ūMangkunegaran, Mangkunegara VII dianugerahi Bintang Budaya Parama Dharma secara anumerta oleh Pemerintah RI melalui Keppres RI nomor 66/TK/ Tahun 2016 yang diserahkan oleh Presiden Joko Widodo kepada perwakilan kerabatnya (Retno Satoeti Yamin, yang adalah cucunya) pada tanggal 15 Agustus 2016.[3]
Pemerintahan
Mangkunegara VII adalah seorang penguasa yang dianggap berpandangan modern pada zamannya. Ia berhasil meningkatkan kesejahteraan di wilayah Praja Mangkunegaran melalui usaha perkebunan (onderneming), terutama komoditas gula. Mangkunegara VII juga seorang pencinta seni dan budaya Jawa, dan terutama mendukung berkembangnya musik dan drama tradisional.[1]
Pembaruan budaya Jawa
Mangkunegara VII yang pernah mengenyam pendidkan di Eropa membuat pikirannya menjadi lebih terbuka. Ia tak menolak modernitas, di sisi lain ia juga melakukan pemabaruan budaya Jawa. Hal inilah yang menginspirasi Mangkunegara VII untuk melakukan pembaruan budaya-budaya Jawa agar budaya dan masyarakat Jawa tidak tertinggal dengan bangsa Eropa dan budaya Jawa mampu menyesuaikan perkembangan zaman.[4]
Langkah awal yang diambil adalah menjadikan bahasa Jawa sebagai bahasa ibu. Mangkunegara VII menyadari peran bahasa yang dapat dijadikan sebagai alat komunikasi dan media penyalur aspirasi. Perwujudan gagasan ini adalah dengan dibentuknya Java Instituut (Institut Jawa), sebuah lembaga yang bertanggungjawab dalam pengembangan bahasa, sastra dan budaya Jawa.[4]
Mangkunegara VII juga tertarik dengan dunia pewayangan. Mangkunegara VII sangat menyukai kisah Panji Raden Damarwulan yang kemudian dijadikan naskah cerita wayang krucil. Mangkunegara VII juga mengembangkan pertunjukkan langendriyan yang dikenal sebagai langendriyan pitu, sebuah langedriyan yang dimainkan oleh tujuh orang. Ketujuh orang ini berperan sebagai Damarwulan, Sabdopalon, Noyogenggong, Menakjinggo, Dayun, Wahita dan Puyengan.[4]
Pada masa Mangkunegara VII berkuasa, masyarakat dapat menikmati seni keraton yang sebelumnya terbatas hanya dapat dinikmati oleh orang dalam keraton. Seperti pada seni waranggana, sebuah seni menyanyi tradisional Jawa, dengan membuka kursus kepada masyarakat umum dan menampilkan pentas wayang wong di luar tembok keraton.[4]
Kebijakan terkait pengelolaan hutan
Mangkunegara VII dikenal sebagai raja yang menerapkan kebijakan reboisasi hutan-hutan milik Mangkunegaran. Kebijakan ini diambil terkait dampak eksploitasi besar-besaran hutan milik Mangkunegaran untuk berbagai keperluan, seperti industri perkebunan dan infrastruktur. Ekspolitasi ini berdampak buruk bagi wilayah Mangkunegaran, khususnya bagi wilayah Surakarta dan Wonogiri. Surakarta yang secara geografis berada di wilayah cekungan menjadi wilayah rawan banjir sementara Wonogiri menjadi wilyah yang rawan kekeringan pada musim kemarau karena hutan yang rusak tidak dapat menampung air ketika musim penghujan tiba.[5]
Pada 21 Februari 1917 Praja Mangkunegaran menyatakan reboisasi sebagai program untuk kepentingan umum. Menanggapi hal tersebut, Praja membentuk jawatan khusus yang diberi nama Opperhoutvester. Praja juga melibatkan rakyat dalam kegiatan reboisasi dengan cara memberikan tanah kepada rakyat untuk dijadikan tegalan dengan kewajiban untuk menyemai bibit pohon yang nantinya ditanam di hutan.[5]
Mangkunegara VII juga mengeluarkan aturan mengenai pengelolaan hutan. Aturan ini tercantum dalam Lembaran Kerajaan (Rijksblad) Tahun 1920 No. 22,Rijksblad No. 6 Tahun 1923 dan Rijksblad No.3 Tahun 1940.
Rijksblad No. 22 Tahun 1920 memuat beberapa hal, yaitu: hak kepemilikan hutan jati berada di tangan Praja, tentang perizinan dan pemanfaatan hutan, pemanfaatan kayu hutan dan penindakan bagi pelanggar aturan. Aturan ini menjadi payung hukum bagi pihak Mangkunegaran dalam hal pemanfaatan hutan sebagai komoditas perdagangan.[6]
Berselang tiga tahun kemudian, Rijksblad No. 6 Tahun 1923 dikeluarkan. Aturan ini mengatur tentang pencegahan kebakaran hutan. Tindakan pencegahan biasanya dilakukan pada bulan April hingga Desember karena pada waktu tersebut masih berada pada musim kemarau. Aturan ini juga menyebutkan beberapa hutan di wilayah Wonogiri adalah hutan milik Praja. Aturan ini muncul ketika angka pencurian di dalam hutan milik Praja mengalami peningkatan. Untuk mencegah hal ini, dalam beberapa pasal mengatur tentang benda apa saja yang boleh dibawa oleh warga jika masuk ke hutan milik Praja.[6]
Rijksblad No. 3 Tahun 1940 mengatur tentang jenis hutan yang dikelola oleh Praja, yaitu: hutan jati dan hutan taun. Aturan ini juga mengatur langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk pelestarian dan pemanfaatan hutan.[6]
Selain mengeluarkan peraturan-peraturan mengenai pengelolaan dan pemanfaatan hutan, Praja Mangkunegaran juga memerintahkan rakyat di wilyahnya untuk menanam pohon jati di pekarangan masing-masing untuk mencegah pencurian jati di hutan-hutan milik Praja. Upaya-upaya yang dilakukan Praja berhasil memulihkan keseimbangan ekologis di wilayah Praja Mangkungeran. Selain itu, luas hutan juga mengalami peningkatan. Pada tahun 1917 luas hutan tercatat 23.567 hektar, pada tahun 1923 tercatat 24.561 hektar dan pada tahun 1940 tercatat 26.002 hektar.[5]
Penerapan gaya hidup bersih dan sehat
Kali Pepe adalah kali yang terletak di tengah kota dan terhubung dengan Sungai Bengawan Solo. Kali Pepe digunakan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan air sehari-hari. Pada masa itu, dikarenakan rendahnya kesadaran masyarakat tentang gaya hidup bersih dan sehat, kehadiran Kali Pepe oleh masyarakat juga dianggap sebagai saluran pembuangan limbah yang telah disediakan oleh alam. Baik limbah rumah tangga maupun limbah buangan toilet sehingga mengakibatkan lingkungan menjadi kotor, bau dan kumuh. Kondisi ini diperburuk dengan fasilitas toilet yang layak hanya dapat dinikmati oleh kalangan tertentu, seperti bangsawan dan pejabat kolonial.[7]
Perilaku serta kebiasaan mandi, cuci dan kakus yang mengandalkan sungai memberi dampak buruk seperti lingkungan yang tercemar dan munculnya berbagai penyakit. Melihat keadaan ini Mangkunegara VII membangun fasilitas toilet umum yang diberi nama Badplaats Ngebrusan atau masyarakat setempat mengenalnya dengan Ponten. Bangunan yang kini terletak di Kampung Ngebrusan, Kelurahan Stabelan ini dibangun oleh Thomas Karsten pada tahun 1936. Kehadiran ponten menjadi revolusi perilaku serta kebiasaan masyarakat dalam hal mandi, cuci dan kakus. Pembangunan ponten mengubah perilaku masyarakat menjadi lebih bersih dan sehat.[7]
Mendirikan Javanese Padvinders Organisatie
Gerakan kepanduan di Indonesia dimulai pada tahun 1916 dengan berdirinya Nederlands-Indische Padvinders Vereenenging. Keanggotaanya bersifat ekslusif hanya untuk kalangan Eropa saja. Pada September 1917, Mangkunegara VII mendirikan Javanese Padvinders Organisatie (JPO). Organisasi ini muncul setelah perayaan penobatan Mangkunegara VII. Perayaan itu menampilkan murid-murid sekolah yang melakukan baris-berbaris, senam dan latihan ketertiban. Hingga muncul pemikiran di luar pendidikan sekolah anak-anak juga mendapat pendidikan secara kepanduan. Organisasi kepanduan ini menjadi penanda awal berdirinya gerakan-gerakan serupa di Indonesia. Selepas berdirinya JPO muncul organisasi kepanduan lain, seperti Padvinder Muhammadiyah, Syarikat Islam Afdeling Padvinderij dan Indonesisch Nationale Padvinders Organisatie.[8]
Kaum perempuan juga mengambil peran dalam organisasi ini. Pasoekan Poetri JPO yang merupakan sayap dari organisasi kepanduan JPO menjadi wujud nyata emansipasi wanita. JPO secara tak langsung menjadi pendobrak sekat-sekat budaya Jawa yang pada saat itu masih memandang wanita tak lebih sebagai pelengkap pria saja. Dalam organisasi ini kedudukan wanita setara dengan pria meskipun masih terdapat perbedaan dalam beberapa kegiatan, misalnya aktivitas fisik.[8]
Pembaruan jabatan dan birokrasi Mangkunegaran
Mangkunegara VII melakukan pembaruan jabatan dan birokrasi Mangkunegaran. Pembaruan-pembaruan ini dituangkan dalam Rijksblad Nomor 37 tahun 1917 dan Rijksblad Nomor 10 tahun 1923. Melalui kedua peraturan tersebut, maka ada perubahan dalam struktur birokrasi dan jabatan-jabatan yang ada di dalamnya. Perbedaan struktur birokrasi dan pemerintahan Mangkunegaran pada masa pemerintahan Mangkunegara IV dengan Mangkunegara VII, yaitu:[9]
Penghapusan Reh Jaba dan Reh Jero
Jabatan Kawedanan yang dipimpin oleh seorang Wedana diubah menjadi Kabupaten yang dipimpin oleh seorang Bupati. Naiknya jabatan ini menimbulkan konsekuensi naiknya jabatan-jabatan yang ada di bawahnya dan pembentukan jabatan-jabatan baru pada tingkat paling bawah. Jabatan yang dahulu hanya setingkat Kepawonan menjadi Kawedanan, jabatan menteri tingkat I menjadi Panewu, dan seterusnya.
Penghapusan beberapa Kawedanan lama dan diganti dengan jabatan baru yang fungsinya mirip. Kawedanan-kawedanan yang dihapus adalah: Kawedanan Reksa Praja, Reksawibawa, Mandrapura, Martapraja, dan Purabaksana.
Pembentukan jabatan-jabatan baru sesuai dengan kebutuhan Mangkunegaran yang sesuai dengan perkembangan masyarakat Mangkunegaran. Jabatan-jabatan baru tersebut adalah: Kabupaten Pangreh Praja, Kabupaten Paripurna, Kabupaten Sindumarto, Kabupaten Wanamarta, Kawedanan Sinatriyo, Paprentahan Pajeg Siti, Paprentahan Kedokteran, Papentrahan Martanimpuna, dan Papentrahan Pasinaon Dusun.