Perjanjian Salatiga adalah perjanjian yang ditandatangani pada tanggal 17 Maret 1757 di Salatiga. Perjanjian ini diadakan untuk menyelesaikan perselisihan atas Perjanjian Giyanti tahun 1755.
Perjanjian politik ini memutuskan kepada kedua belah pihak antara Pakubuwana III dan Hamengkubuwana I dengan berat hati, membagi untuk kedua kalinya beberapa wilayah Mataram kepada Pangeran Sambernyawa.
Perjanjian Salatiga sebagai hasil keputusan politik pasca berakhirnya Perang Takhta Jawa Ketiga. Perlawanan Pangeran Sambernyawa terus terjadi akibat pengangkatan Pangeran Mangkubumi sebagai sultan bergelar Hamengkubuwana I, melalui perundingan dengan VOC dan mendapat separuh kekuasaan Mataram setelah penandatanganan Perjanjian Giyanti.
Pangeran Sambernyawa yang merasa diakhianati oleh Mangkubumi, tetap melancarkan perlawanannya. Dengan demikian Sambernyawa memerangi ketiganya yaitu VOC, Pangeran Mangkubumi dan Pakubuwana III. Ia tetap dengan pendiriannya dan tidak ingin menyerah kepada salah satu dari mereka.
VOC tidak tinggal diam mereka menyarankan kepada Sambernyawa untuk menyerah kepada salah satu dari saudaranya, Pakubuwana III dan Mangkubumi. Akan tetapi ancaman tersebut tidak dihiraukan oleh Sambernyawa bahkan ia memberi tekanan kepada ketiganya agar Mataram dibagi kembali menjadi tiga kekuasaan. Sementara peperangan tidak menghasilkan pemenang yang unggul atas empat kekuatan di Jawa. Gabungan tiga kekuatan ternyata belum mampu meredamkan perlawanan Sambernyawa, sebaliknya Sambernyawa juga belum mampu mengalahkan ketiganya.
VOC yang saat itu sedang mengalami kesulitan finansial dan ingin mengamankan posisinya di Jawa akibat perang yang tak kunjung usai. VOC berencana untuk memberikan tawaran perdamaian kepada Sambernyawa.
Perundingan
Perjanjian Salatiga pada 17 Maret 1757 di Salatiga adalah solusi dari konflik yang tak kunjung usai untuk mengakhiri peperangan di Jawa. Pakubuwana III dan Hamengkubuwana I yang sama-sama ingin mempertahankan posisinya dengan berat hati melepaskan beberapa wilayahnya untuk Pangeran Sambernyawa.
Perjanjian ini ditengahi oleh VOC dan ditandatangani oleh Pangeran Sambernyawa, Pakubuwana III, dan Hamengkubuwana I yang diwakili oleh Patih Danureja. Perjanjian ini memberi Pangeran Sambernyawa separuh wilayah Surakarta 4000 karya, mencakup daerah yang sekarang adalah Kabupaten Wonogiri dan Kabupaten Karanganyar, eksklave di wilayah Yogyakarta dan menjadi penguasa Kadipaten Mangkunegaran dengan gelar Mangkunegara I. Pangeran Sambernyawa tidak diperbolehkan menyandang gelar susuhunan atau sultan, dan hanya berhak atas gelar adipati.
Isi perjanjian
Setelah disepakati bersama pada tanggal 17 Maret 1757 isi Perjanjian Salatiga mengakui Raden Mas Said sebagai Adipati Mangkunegaran yang memiliki kedaulatan tersendiri. Berikut merupakan isi daripada Perjanjian Salatiga:[2]
Pasal 1
Raden Mas Said diangkat menjadi Pangeran Miji (pangeran yang mempunyai status setingkat penguasa di Jawa).
Pasal 2
Pangeran Miji tidak diperkenankan duduk di Dampar Kencana (singgasana)
Pasal 3
Pangeran Miji berhak untuk meyelenggarakan acara penobatan adipati dan memakai semua perlengkapan adipati.
Pasal 4
Tidak diperbolehkan memiliki Balai Witana.
Pasal 5
Tidak diperbolehkan memiliki alun-alun dan sepasang pohon beringin kembar.
Pasal 6
Tidak diperbolehkan melaksanakan hukuman mati.
Pasal 7
Pemberian tanah lungguh seluas 4000 karya yang tersebar meliputi Kaduwang, Nglaroh, Matesih, Wiroko, Haribaya, Honggobayan, Sembuyan, Gunung Kidul, Kedu, Pajang sebelah utara dan selatan.
Polemik
Perjanjian Salatiga akhirnya memberikan pengakuan kepada Mangkunegara I sebagai penguasa. Pada tahun 1790 Pakubuwana IV naik takhta menggantikan Pakubuwana III yang wafat pada tahun 1788, ia memiliki ambisi untuk menyatukan Mataram kembali seutuhnya. Pakubuwana IV dikenal lebih cakap dalam politik dibandingkan ayahnya. Ia melancarkan strategi politik yang agresif dengan mulai memberi nama untuk saudaranya, Pangeran Arya Mataram. Oleh Pakubuwana IV, Pangeran Arya Mataram dianugrahi gelar Pangeran Mangkubumi.
Pemberian gelar "Mangkubumi" kepada Arya Mataram menimbulkan protes Hamengkubuwana I karena hak nama Mangkubumi adalah miliknya sampai meninggal. Hamengkubuwana I mengajukan protes kepada VOC yang ternyata tidak membuahkan hasil karena Pakubuwana IV tetap pada pendirian dan tidak akan mencabut gelar Mangkubumi untuk saudaranya.
Pakubuwana IV juga menolak hak suksesi adipati anom (putra mahkota) Kesultanan Yogyakarta. Keadaan politik yang sudah memanas itu bertambah lagi dengan tuntutan Mangkunegara I yang melihat suatu peluang ada didepannya. Mangkunegara I menulis surat kepada Yan Greeve, pada bulan Mei 1790 yang isinya Mangkunegara I menagih janji Frederick Christoffeel van Straaldorf yang menjanjikan bahwa Pangeran Mangkubumi yang menjadi Sultan Hamengkubuwana I jika wafat maka Mangkunegara I akan diangkat menjadi Hamengkubuwana II dan berhak menduduki takhta Kesultanan Yogyakarta.
VOC yang tidak ingin terseret kembali dalam pertikaian bersenjata menjadi panik dan mulai memeriksa situasi militernya dan ketiga kerajaan. VOC yang di wakili Yan Greeve menemui dengan perasaan kecewa ketika dilapangan menemukan fakta bahwa Mangkunegara I memiliki 1.400 orang pasukan bersenjata yang siaga. Dalam waktu yang singkat kekuatan 1.400 orang bersenjata dapat dilipatkan dengan memanggil pengikutnya menjadi 4.000 orang pasukan bersenjata.
Tuntutan Mangkunegara I juga menuntut dikembalikannya GKR Bendara istrinya. Jika tuntutan ini tidak dipenuhi sebagai gantinya Mangkunegara I menuntut 4.000 cacah dari Yogyakarta. Mangkunegara I mulai memobilisasi pasukannya dan pertempuran kecil mulai terjadi. Wilayah Gunung Kidul menjadi medan pertempuran, dalam mobilisasi dan pertempuran ini Raden Mas Sulama (calon Mangkunegara II) sudah terlibat dan aktif dalam pertempuran.
Pada 7 Oktober 1790, Yan Greeve mengintimidasi Hamengkubuwana I untuk memberikan 4.000 cacah tetapi ia menolak. Awal November 1790 tuntutan 4.000 cacah diganti dengan upeti Belanda kepada Mangkunegaran sebesar 4.000 real.
Wilayah tersebut saat ini mencakup Banjarsari, Karanganyar, Wonogiri, Ngawen, dan Semin. Kini lokasi penandatanganan Perjanjian Salatiga digunakan sebagai kantor Wali Kota Salatiga.[3]