Amangkurat IV (bahasa Jawa: ꦲꦩꦁꦏꦸꦫꦠ꧀꧇꧔꧇, translit. amangkurat kapapat, har. 'amangkurat empat', dikenal juga sebagai Sunan Jawi) adalah susuhunan Mataram kedelapan yang memerintah pada tahun 1719 – 1726. Ia kemudian dianggap sebagai leluhur raja-raja Jawa, bapak wangsa Mataram, karena menurunkan trah yang berkuasa di Surakarta dan Yogyakarta.
Silsilah
Sunan Amangkurat IV atau Sunan Jawi memiliki nama asli Raden Mas Suryaputra, dia adalah putra dari Pakubuwana I yang lahir dari permaisuri Ratu Mas Balitar (keturunan Pangeran Juminah, putra Panembahan Senapati dengan Ratna Dumilah).
Seperti raja-raja Mataram lainnya, Amangkurat IV memiliki beberapa orang putra yang kemudian menjadi tokoh penting, diantaranya:
Pemerintahan
Suksesi di Kartasura
Pada tahun 1703 Amangkurat II mangkat, digantikan putranya bernama Raden Mas Sutikna bergelar Amangkurat III.
Dampak serius dari serangan Trunajaya di Plered, menjadikan Amangkurat II memindahkan istana menuju desa Wanakarta, kemudian mendirikan istana baru yang diberi nama Kartasura pada tahun 1680. Karaton Kartasura merupakan pusat istana Mataram setelah Karaton Plered. Namun, Pangeran Puger (adik Amangkurat II) bertahan di Plered untuk menolak bergabung dengan Amangkurat II. Perseteruan terjadi, akhirnya di tahun 1681, Pangeran Puger menyerah dan mengakui kedaulatan kakaknya.
Walau demikian, Pangeran Puger tampaknya mendapat banyak dukungan dari keluarga karaton. Akhirnya pada 1704, Amangkurat III mengirim pasukan untuk memburu Pangeran Puger. Tetapi, dibantu Cakrajaya (Danureja) sebagai mata-mata yang menyamar menjadi tukang sapu rumput. Mengetahui berita penangkapan tersebut Pangeran Puger bergegas melarikan diri menuju Semarang, untuk meminta bantuan kepada Belanda. Oleh mereka, permintaan itu disetujui dan tentu dengan bermacam syarat. Satu tahun kemudian (1705), gabungan pasukan Belanda, Semarang, Madura Barat dan Surabaya bergerak menyerang Kartasura.
Namun, atas saran Arya Mataram, Amangkurat III akhirnya terpaksa mengungsi ke Ponorogo dengan membawa pusaka-pusaka. Pangeran Puger bersama koalisinya akhirnya berhasil menduduki Kartasura, dan kemudian naik takhta dengan gelar Pakubuwana I. Sebagai balas jasa kepada Belanda, Pakubuwana I harus merugi karena wilayah pesisir Semarang dan sekitarnya harus diserahkan dalam kuasa Belanda dengan status gadai.[1]
Kenaikan takhta
Pada tahun 1719 Pakubuwana I mangkat, selanjutnya Raden Mas Suryaputra, menggantikan posisi ayahnya sebagai raja Mataram. Namun, ia tidak mengambil gelar Pakubuwana tetapi bergelar Amangkurat IV, meneruskan gelar saudara sepupuya yaitu Amangkurat III.
Di tengah-tengah era kepemimpinan Amangkurat IV, suksesi takhta Jawa kembali terjadi. Perebutan pucuk penguasa Mataram tak bisa dihindari, berdampak besar bagi Mataram, juga wilayah-wilayahnya di mancanagara. Dan karena kurang berkenannya banyak keluarga karaton atas penobatan Amangkurat IV, rakyat Jawa kemudian terpecah kepercayaannya, menjadi lima kubu, yaitu pihak Amangkurat IV kemudian ketiga saudaranya, yaitu; Pangeran Purbaya, Pangeran Balitar, Arya Dipanagara, dan juga Pangeran Arya Mataram (paman Amangkurat IV).
Sementara itu Pangeran Balitar mencoba mendirikan kembali bekas istana Sultan Agung, yang diberi nama Kartasekar dan mengkuhkan diri sebagai Sultan Ibnu Mustafa Pakubuwana. Disusul Arya Dipanagara mengukuhkan diri bergelar Panembahan Herucakra, beristana di Madiun. Sementara itu, Arya Mataram memilih mengungsi dari Kartasura menuju pesisir utara. Setelah sampai di Santenan (Cengkal Sewu), pasukan Arya Mataram bergerak dan menyerang wilayah Grobogan, Warung, Blora dan Sesela.[1]
Meredamkan pemberontakan
Perang saudara memperebutkan takhta Mataram yang oleh para sejarawan disebut perang suksesi Jawa jilid II ini menyebabkan rakyat Jawa terpecah belah. Sebagian memihak Amangkurat IV, sebagian memihak Pangeran Balitar, sebagian memihak Arya Dipanagara, dan sebagian lagi memihak Arya Mataram.
Pangeran Balitar berhasil membuat Jayapuspita (sekutu Arya Dipanagara) memihak kepadanya dan menggunakan kekuatan Mojokerto itu untuk menggempur Madiun. Arya Dipanagara kalah dan menyingkir ke Baturrana. Di sana ia ganti dikejar oleh pasukan Mataram dari Kartasura. Akhirnya, Arya Dipanagara pun menyerah pada Pangeran Balitar dan bergabung bersamanya di Kartasekar.
Pada bulan Oktober 1719 pihak Mataram dibantu VOC menumpas Arya Mataram lebih dahulu, yang memberontak di Pati. Kemudian ditangkap dan dijatuhi hukuman gantung di Jepara.
Pada bulan November 1720 gabungan pasukan Mataram dan VOC menyerang Kartasekar. Kemudian Kartasekar berhasil dihancurkan sehingga kelompok Pangeran Balitar menyingkir ke timur.
Satu persatu kekuatan pemberontak berkurang. Jayapuspita meninggal karena sakit tahun 1720 sebelum jatuhnya Kartasekar. Pangeran Balitar sendiri juga meninggal tahun 1721 akibat wabah penyakit saat dirinya berada di Malang.
Perang akhirnya berhasil dihentikan pada tahun 1723. Kelompok pemberontak ditangkap. Pangeran Purbaya dibuang ke Batavia, Arya Dipanagara (Panembahan Herucakra) dibuang ke Tanjung Harapan, sedangkan Panji Surengrana (adik Jayapuspita) dibuang ke Sri Langka.
Akhir pemerintahan
Amangkurat IV berselisih dengan Cakraningrat IV bupati Madura Barat. Cakraningrat IV ini ikut berjasa memerangi pemberontakan Jayapuspita di Surabaya tahun 1718 silam. Ia pernah memiliki keyakinan bahwa Madura akan lebih makmur jika berada di bawah kekuasaan VOC daripada Mataram.
Hubungan dengan Cakraningrat IV kemudian membaik setelah ia diambil sebagai menantu Amangkurat IV. Kelak Cakraningrat IV ini berselisih terhadap Raden Mas Prabasuyasa, putra Amangkurat IV.
Amangkurat IV sendiri jatuh sakit bulan Maret 1726 akibat diracun. Sebelum sempat menemukan pelakunya, ia lebih dulu meninggal dunia pada tanggal 20 April 1726.[2]
Amangkurat IV digantikan Raden Mas Prabasuyasa, putranya yang baru berusia 15 tahun bergelar Pakubuwana II sebagai raja selanjutnya. Kelak Pakubuwana II juga berselisih dengan Sunan Kuning (cucu Amangkurat III), Pangeran Mangkubumi (adik) dan Pangeran Sambernyawa (keponakan). Hal tersebut berdampak terhadap kedaulatan Mataram, serta campur tangan Belanda dalam Perjanjian Giyanti disusul Perjanjian Salatiga.
Lihat pula
Referensi
- ^ a b R. Ng. Yasadipura I (1729–1803). Babad Kartasura. Jakarta.
- ^ M.C. Ricklefs (1993). A History of Modern Indonesia Since c. 1300.
Kepustakaan
- Miksic, John (general ed.), et al. (2006) Karaton Surakarta. A look into the court of Surakarta Hadiningrat, central Java (First published: 'By the will of His Serene Highness Paku Buwono XII'. Surakarta: Yayasan Pawiyatan Kabudayan Karaton Surakarta, 2004) Marshall Cavendish Editions Singapore ISBN 981-261-226-2
- Ricklefs, M.C. (1998) The seen and unseen worlds in Java, 1726–49: History, literature and Islam in the court of Pakubuwana II. St. Leonards NSW: The Asian Studies Association of Australia in association with Allen and Unwin; Honolulu : The University of Hawai'i Press.
- Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647. (terj.). 2007. Yogyakarta: Narasi
- M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
- Moedjianto. 1987. Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram. Yogyakarta: Kanisius
- Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu