Setelah Kesunanan Surakarta secara resmi menjadi bagian Republik Indonesia pada tahun 1945, kompleks bangunan keraton ini masih berfungsi sebagai tempat tinggal Sri Susuhunan (Sunan) dan rumah tangga istananya yang masih menjalankan tradisi kesunanan hingga sekarang. Keraton Surakarta kini juga merupakan salah satu objek wisata utama di Kota Surakarta. Sebagian kompleks keraton terbuka untuk masyarakat umum, dan di dalamnya terdapat pula museum yang menyimpan berbagai koleksi milik kesunanan, seperti benda-benda pemberian atau hadiah dari raja-raja Eropa, replika pusaka keraton, dan gamelan. Dari segi bangunannya, Keraton Surakarta merupakan salah satu contoh arsitektur istana Jawa yang terbaik, memiliki balairung-balairung mewah dan lapangan serta paviliun yang luas.
Kesultanan Mataram yang kacau akibat pemberontakan Trunajaya pada tahun 1677 ibu kotanya oleh Sri Susuhunan Amangkurat II dipindahkan di Keraton Kartasura. Pada masa Sri Susuhunan Pakubuwana II memegang tampuk pemerintahan, pada tahun 1742, terjadi perang besar hingga menyebabkan Mataram mendapat serbuan dari orang-orang Tionghoa yang mendapat dukungan dari orang-orang Jawa anti VOC, dan Mataram yang berpusat di Kartasura saat itu mengalami keruntuhannya. Kota Kartasura berhasil direbut kembali berkat bantuan Adipati Cakraningrat IV, penguasa Bangkalan yang merupakan sekutu VOC, namun keadaannya sudah rusak parah. Sri Susuhunan Pakubuwana II yang menyingkir ke Ponorogo, kemudian memutuskan untuk membangun istana baru di Desa Sala sebagai ibu kota Mataram yang baru.[1]
Bangunan Keraton Kartasura yang sudah hancur pun kemudian dianggap sudah "tercemar". Sri Susuhunan Pakubuwana II lalu memerintahkan Tumenggung Hanggawangsa bersama Tumenggung Mangkuyudha, serta komandan pasukan Belanda, J.A.B. van Hohendorff, untuk mencari lokasi ibu kota dan tempat pembangunan keraton yang baru. Setelah menemukan lokasi yang tepat, dibangunlah keraton baru berjarak sekitar 20 km ke arah tenggara dari Kartasura, tepatnya di Desa Sala, tidak jauh dari Bengawan Solo.[1] Untuk pembangunan keraton ini, Sri Susuhunan Pakubuwana II membeli tanah seharga selaksa keping emas yang diberikan kepada akuwu (lurah) Desa Sala yang dikenal sebagai Ki Gedhe Sala. Saat keraton dibangun, Ki Gedhe Sala meninggal dan dimakamkan pada salah satu tempat di area Baluwarti, kawasan di dalam tembok kompleks keraton.
Setelah istana kerajaan selesai dibangun dan ditempati, nama Desa Sala kemudian diubah menjadi Surakarta Hadiningrat.[1] Kata sura dalam Bahasa Jawa berarti "keberanian" dan karta berarti "makmur"; dengan harapan bahwa Surakarta menjadi tempat dimana penghuninya adalah orang-orang yang selalu berani berjuang untuk kebaikan serta kemakmuran negara dan bangsa. Dapat pula dikatakan bahwa nama Surakarta merupakan kebalikan kata dari Kartasura. Istana ini pula menjadi saksi bisu penyerahan kedaulatan Kesultanan Mataram oleh Sri Susuhunan Pakubuwana II kepada VOC pada tahun 1749. Setelah Perjanjian Giyanti pada tahun 1755, keraton ini kemudian dijadikan istana resmi bagi Kesunanan Surakarta.
Arsitektur
Keraton Surakarta merupakan salah satu bangunan yang eksotis di zamannya.[butuh rujukan] Arsitektur Keraton Surakarta dirancang oleh Pangeran Mangkubumi, yang kemudian bertakhta sebagai sultan Kesultanan Yogyakarta dengan gelar Sri Sultan Hamengkubuwana I. Pola bangunan Keraton Surakarta mirip dengan Keraton Yogyakarta karena dibangun juga oleh Pangeran Mangkubumi.[2] Tata ruang Keraton Yogyakarta dan Keraton Surakarta banyak memiliki persamaan umum dalam pola dasarnya. Keraton Surakarta sebagaimana yang dapat disaksikan sekarang ini tidaklah dibangun serentak pada 1743-1745, namun dibangun secara bertahap dengan mempertahankan pola dasar tata ruang yang tetap sama dengan awalnya. Pembangunan dan restorasi secara besar-besaran terakhir dilakukan oleh Sri Susuhunan Pakubuwana X yang bertakhta 1893-1939. Sebagian besar keraton ini bernuansa warna putih dan biru dengan arsitekrur gaya campuran Jawa-Eropa.
Secara umum, pembagian kawasan Keraton Surakarta meliputi: Kompleks Alun-Alun Lor/Utara, Kompleks Pagelaran Sasana Sumewa, Kompleks Siti Hinggil Lor/Utara, Kompleks Kamandungan Lor/Utara, Kompleks Sri Manganti Lor/Utara, Kompleks Kedhaton (Kadhaton), Kompleks Kamagangan dan Sri Manganti Kidul/Selatan, Kompleks Kamandungan Kidul/Selatan, serta Kompleks Siti Hinggil Kidul/Selatan dan Alun-Alun Kidul/Selatan.[1] Kompleks keraton ini juga dikelilingi dengan baluwarti, sebuah tembok atau dinding pertahanan dengan tinggi sekitar tiga sampai lima meter dan tebal sekitar satu meter tanpa anjungan. Dinding ini melingkungi sebuah daerah dengan bentuk persegi panjang. Daerah itu berukuran lebar sekitar lima ratus meter dan panjang sekitar tujuh ratus meter. Kompleks keraton yang berada di dalam dinding adalah dari Kamandungan Lor/Utara sampai Kamandungan Kidul/Selatan.
Kompleks Alun-Alun Lor/Utara
Kompleks ini meliputi Tugu Pamandengan, Gapura Gladag, Pangurakan, Alun-Alun Lor, dan Masjid Agung Surakarta. Gladag yang sekarang dikenal dengan Perempatan Gladag di Jalan Slamet Riyadi Surakarta, dan beberapa meter di sisi utaranya terdapat sebuah tugu yang disebut Tugu Pamandengan, yang berfungsi sebagai titik fokus pandangan Sri Sunan ketika bermeditasi di Siti Hinggil.[3] Pada zaman dahulu, space area di sekitar Gladag dan gapura kedua dipakai sebagai tempat menyimpan binatang hasil buruan sebelum digladag (dipaksa) dan disembelih di tempat penyembelihan. Wujud arsitektur pada kawasan Gladag ini mengandung arti simbolis ajaran langkah pertama dalam usaha seseorang untuk mencapai tujuan ke arah Manunggaling Kawula-Gusti (Bersatunya Rakyat dengan Raja).
Alun-alun merupakan tempat diselenggarakannya upacara-upacara kerajaan yang melibatkan rakyat. Selain itu alun-alun menjadi tempat bertemunya Sri Sunan dan rakyatnya. Di pinggir alun-alun ditanami sejumlah pohon beringin. Di tengah-tengah alun-alun terdapat dua batang pohon beringin (Ficus benjamina; Famili Moraceae) yang diberi pagar. Kedua batang pohon ini disebut Waringin Sengkeran (harfiah: beringin yang dikurung) yang diberi nama Dewadaru dan Jayadaru.
Di sebelah barat Alun-Alun Lor/Utara, berdiri Masjid Agung Surakarta. Masjid raya ini merupakan masjid utama kerajaan dan didirikan oleh Sri Susuhunan Pakubuwana III pada tahun 1750 (Kesunanan Surakarta merupakan kerajaan Islam). Bangunan utamanya terdiri dari atas serambi dan masjid induk. Di sebelah utara alun-alun terdapat bangsal kecil yang disebut Bale Pewatangan dan Bale Pekapalan. Tempat ini pada zaman dahulu dipergunakan oleh prajurit dan kudanya untuk beristiahat setelah berlatih. Beberapa balai lain terdapat disekitar alun-alun yang dipergunakan untuk karyawan-karyawan keraton menempatkan kudanya. Tempat menambatkan kuda sudah tidak dapat dijumpai lagi saat ini. Bangunan-bangunan lain di sekeliling alun-alun sekarang dipergunakan sebagai kios penjual cenderamata. Di sebelah barat daya Alun-Alun Lor (ke arah Pasar Klewer) dan sebelah timur laut (ke arah Pasar Beteng) terdapat dua gapura besar yang berfungsi sebagai pintu keluar dari Alun-Alun Lor, yang bernama Gapura Klewer dan Gapura Batangan.
Kompleks Sasana Sumewa dan Kompleks Siti Hinggil Lor/Utara
Sasana Sumewa merupakan bangunan utama terdepan di Keraton Surakarta. Tempat ini pada zamannya digunakan sebagai tempat untuk menghadap para punggawa (pejabat menengah ke atas) dalam upacara resmi kerajaan. Di kompleks ini terdapat sejumlah meriam, diantaranya diberi nama Kyai Pancawura atau Kyai Sapu Jagad. Meriam ini dibuat pada masa pemerintahan Sri Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma. Di sebelah selatan Sasana Sumewa, terdapat kompleks Siti Hinggil.
Sasana Sumewa sendiri adalah bangunan yang berada di sebelah selatan pohon Waringin Gung dan Waringin Binatur. Bangunan besar ini memiliki citra konstruksi atap kampung tridenta (atap kampung berjajar tiga dengan bagian tengah lebih kecil) yang disangga oleh kolom tembok persegi berjumlah 48 buah. Atap dan langit-langit bangunan ini terbuat dari bahan seng. Sedangkan lantai bangunan ini ditinggikan dan diplester.
Sesuai dengan namanya (pagelaran = area terbuka; sasana = tempat = rumah; sumewa = menghadap), fungsi Sasana Sumewa pada zaman dulu adalah sebagai tempat melantik Pepatih Dalem, tempat menghadapnya para pejabat tinggi seperti Pepatih Dalem, para Bupati, dan atau Bupati Anom kebawah golongan luar. Kegiatan menghadap Sri Sunan tersebut biasanya dilakukan pada saat-saat seperti hari besar keagamaan, upacara grebeg yang diadakan tiga kali dalam setahun, ulang tahun Sri Sunan, peringatan kenaikan takhta Sri Sunan, dan sebagainya.
Siti Hinggil Lor/Utara merupakan suatu kompleks yang dibangun di atas tanah yang lebih tinggi dari sekitarnya. Kompleks ini memiliki dua gerbang, satu disebelah utara yang disebut dengan Kori Wijil dan satu disebelah selatan yang disebut dengan Kori Renteng dan Kori Mangu.[4] Pada salah satu anak tangga Siti Hinggil sisi utara terdapat sebuah batu yang dahulu digunakan sebagai tempat pemenggalan kepala para tersangka yang menerima hukuman mati, disebut dengan Sela Pamecat. Di sekitar pagar pembatas antara kompleks Siti Hinggil dengan Sasana Sumewa terdapat delapan meriam, yang antara lain bernama Meriam Kyai Bringsing, Kyai Bagus, Kyai Nangkula (Nakula), dan Kyai Sadewa.[4]
Bangunan utama di kompleks Siti Hinggil ini adalah Sasana Sewayana, yang digunakan para pembesar dalam menghadiri upacara kerajaan. Selain itu terdapat pula Bangsal Manguntur Tangkil. Bangsal ini berfungsi sebagai tempat singgasana takhta Sri Sunan saat menerima para pimpinan. Kemudian di sebelah selatan Sasana Sewayana terdapat Bangsal Witana, tempat persemayaman pusaka kebesaran kerajaan selama berlangsungnya upacara. Bangsal yang terakhir ini memiliki suatu bangunan kecil di tengah-tengahnya yang disebut dengan Krobongan Bale Manguneng, tempat persemayaman pusaka keraton yang bernama Kangjeng Nyai Sentomi, sebuah meriam yang konon dirampas oleh tentara Mataram dari VOC saat menyerbu Batavia. Di sebelah timur Sasana Sewayana dan Witana, terdapat dua bangunan bangsal, yaitu Bangsal Gandekan Tengen di bagian utara dan Bangsal Angun-Angun di bagian selatan. Sementara di sebelah baratnya terdapat bangunan Bangsal Gandekan Kiwa di bagian utara dan Bale Bang di bagian selatan. Sisi luar timur-selatan-barat kompleks Siti Hinggil Lor merupakan jalan umum yang dapat dilalui oleh masyarakat, yang disebut dengan nama Supit Urang (capit udang).
Kompleks Kamandungan Lor/Utara
Kori Brajanala Lor atau Kori Gapit merupakan pintu gerbang masuk utama dari arah utara ke dalam halaman Kamandungan Lor. Gerbang ini sekaligus menjadi gerbang cepuri (kompleks dalam istana yang dilingkungi oleh dinding istana yang disebut baluwarti) yang menghubungkan Jalan Supit Urang dengan halaman dalam istana. Gerbang ini dibangun oleh Sri Susuhunan Pakubuwana III dengan gaya Limasan Semar Tinandu. Semar Tinandu merupakan gerbang yang memiliki atap trapesium, seperti joglo, tanpa tiang dan hanya ditopang oleh dinding yang menjadi pemisah satu kompleks dengan kompleks berikutnya.
Pada sisi kanan dan kiri (barat dan timur) dari Kori Brajanala Lor terdapat dua Bangsal Brajanala dan di sebelah dalamnya terdapat dua Bangsal Wisamarta, yang berfungsi sebagai tempat jaga pengawal istana. Selain itu di timur gerbang ini terdapat menara lonceng yang disebut Jam Panggung.[5] Di tengah-tengah kompleks ini hanya terdapat halaman kosong. Bangunan yang terdapat dalam kompleks ini hanya di bagian tepi halaman. Dari halaman ini pula dapat dilihat sebuah menara megah yang disebut dengan Panggung Sangga Buwana, yang terletak di kompleks berikutnya, yaitu Kompleks Sri Manganti.[6]
Bangunan utama dan paling menonjol di kawasan ini adalah Kori Kamandungan Lor, yang memiliki topengan (anjungan beranda) berhias motif sulur dan makhluk-makhluk mitologi. Di atas Kori Kamandungan Lor bagian dalam terdapat ukiran gambar bendera merah putih (gendera gula klapa) dan bermacam senjata perang, di mana di tengah terdapat gambar daun kapas, dan di atasnya terdapat gambar mahkota; gambar tersebut secara keseluruhan disebut Sri Makutha Raja, yang merupakan simbol dari Keraton Mataram sebagai pendahulunya. Di depan sisi kanan dan kiri gerbang yang bernuansa warna biru dan putih ini terdapat dua arca Dwarapala. Di sebelah kiri dan kanan Kori Kamandungan Lor terdapat bangunan Balerata, yaitu los-los sebagai tempat parkir kereta-kereta dan kendaraan-kendaraan yang akan digunakan oleh Sri Sunan.
Kompleks Sri Manganti Lor/Utara
Nama Kori Sri Manganti berasal dari kata sri yang berarti raja dan manganti yang berarti menunggu, jadi kawasan ini berfungsi sebagai tempat para tamu menunggu giliran untuk bisa bertemu atau menghadap raja.[6] Di halaman Sri Manganti terdapat dua bangunan utama yaitu Bangsal Marakata (Smarakata) di sebelah barat dan Bangsal Marcukundha di sebelah timur.
Bangsal Marakata digunakan untuk menghadap para pegawai menengah ke atas dengan pangkat Bupati Lebet ke atas. Tempat ini pula menjadi tempat penerimaan kenaikan pangkat para pejabat senior. Selain itu, Bangsal Marakata juga digunakan untuk tempat latihan menari dan mendalang. Kata marakata atau asmarakata sendiri memiliki arti sebagai dhawuh kang nengsemake, atau perkataan yang menyenangkan.
Bangsal Marcukundha pada masa dahulu digunakan untuk menghadap para opsir prajurit, untuk kenaikan pangkat pegawai dan pejabat yunior, serta tempat untuk menjatuhkan vonis hukuman bagi kerabat Sri Sunan. Sekarang tempat ini untuk menyimpan Krobongan Madirengga, sebuah tempat untuk upacara sunat atau khitan para putra Sri Sunan, serta terkadang digunakan pula untuk tempat belajar-mengajar pawiyatan pambiwara (kursus bahasa). Selanjutnya, di sebelah timur bangunan tersebut terdapat sebuah ruang yang menghadap ke barat, yang digunakan sebagai Kantor Wedana.
Di sisi barat daya Bangsal Marcukundha terdapat sebuah menara bersegi delapan yang disebut dengan Panggung Sangga Buwana. Menara yang memiliki tinggi sekitar tiga puluhan meter ini sebenarnya terletak di dua halaman sekaligus, yaitu di halaman Sri Manganti dan halaman Kedhaton, dengan pintu utamanya yang terletak di halaman Kedhaton. Bangunan ini berfungsi sebagai tempat untuk mengawasi tentara Belanda yang ada di Benteng Vastenburg. Selain itu, bangunan ini memiliki fungsi spiritual yaitu sebagai tempat raja bermeditasi serta untuk lokasi bertemunya raja dengan Kangjeng Ratu Kencana Hadisari alias Ratu Laut Selatan.[7] Bangunan ini sempat terbakar pada 19 November 1954, lalu dibangun kembali dan selesai pada 30 September 1959.[8]
Galeri
Eksterior Kori Kamandungan Lor, sekitar tahun 1880-1890.
Eksterior Kori Kamandungan Lor, sekitar tahun 1900-1930.
Krobongan Madirengga di dalam Bangsal Marcukundha, tahun 1915.
Prajurit keraton berbaris di depan Bangsal Marakata, sekitar tahun 1900-1910.
Interior Kori Sri Manganti Lor, dilihat dari arah utara, tahun 1915.
Kompleks Kedhaton
Kori Sri Manganti Lor menjadi pintu untuk memasuki kompleks Kedhaton (Kadhaton) dari utara. Pintu gerbang yang dibangun oleh Sri Susuhunan Pakubuwana IV pada tahun 1792 ini disebut juga dengan Kori Ageng. Bangunan ini memiliki kaitan erat dengan Panggung Sangga Buwana secara filosofis. Pintu yang memiliki gaya Limasan Semar Tinandu ini digunakan untuk menunggu tamu-tamu resmi kerajaan. Bagian kanan dan kiri gerbang ini memiliki cermin dan sebuah ragam hias di atas pintu. Di sebelah selatan Kori Sri Manganti merupakan kompleks Kedhaton (Kadhaton), dengan halaman yang dialasi dengan pasir hitam dari pantai selatan dan ditumbuhi oleh berbagai pohon langka, antara lain 76 batang pohon Sawo Kecik (Manilkara kauki; Famili Sapotaceae). Sebagian kawasan halaman atau pelataran Kedhaton ini terbuka untuk wisatawan umum. Selain itu halaman ini juga dihiasi dengan patung-patung bergaya Eropa. Kompleks ini memiliki bangunan utama, di antaranya adalah Pendhapa Ageng Sasana Sewaka, Bangsal (Topengan) Maligi, Dalem Ageng Prabasuyasa, Sasana Handrawina, dan Panggung Sangga Buwana.
Pendhapa Ageng Sasana Sewaka aslinya merupakan bangunan peninggalan pendhapa Keraton Kartasura. Pada masa Sri Susuhunan Pakubuwana XII tepatnya pada tahun 1985 tempat ini mengalami musibah kebakaran. Di bangunan ini pula Sri Sunan bertakhta dalam upacara-upacara kebesaran kerajaan, seperti saat grebeg (garebeg), ulang tahun raja, serta peringatan hari kenaikan takhta raja.[9] Di sebelah barat pendhapa ini terdapat Sasana Parasdya, sebuah pringgitan. Di sebelah barat Sasana Parasdya terdapat Dalem Ageng Prabasuyasa. Tempat ini merupakan bangunan inti dan terpenting dari seluruh Keraton Surakarta Hadiningrat. Di tempat inilah disemayamkan pusaka-pusaka dan juga takhta Sri Sunan yang menjadi simbol kerajaan. Di lokasi ini pula Sri Sunan bersumpah ketika mulai bertakhta sebelum upacara penobatan dihadapan khalayak di Siti Hinggil Lor.
Bangunan berikutnya adalah Sasana Handrawina. Tempat ini digunakan sebagai tempat perjamuan makan resmi kerajaan. Selain itu, kini bangunan ini biasa digunakan sebagi tempat seminar maupun gala dinner. Pada sisi tenggara Sasana Handrawina terdapat bangunan Sasana Pustaka yang menjadi tempat penyimpanan arsip dan naskah keraton. Di depan Sasana Handrawina (dari arah selatan) terdapat tiga bangunan kecil yaitu Bangsal Bujana (tempat menjamu pengikut tamu agung), Bangsal Pradangga Kidul atau Bangsal Musik (untuk musik atau orkes) dan Bangsal Pradangga Lor (tempat memainkan gamelan).
Bangunan utama lainnya adalah Panggung Sangga Buwana atau Reksa Tengara.[10] Menara ini digunakan sebagai tempat meditasi Sri Sunan, sekaligus untuk mengawasi Benteng Vastenburg milik Belanda yang berada tidak jauh dari istana. Bangunan yang memiliki lima lantai ini juga digunakan untuk melihat posisi bulan untuk menentukan awal suatu bulan. Panggung Sangga Buwana didirikan tahun 1777 saat pemerintahan Sri Susuhunan Pakubuwana III. Pembangun Panggung Sangga Buwana adalah Kyai Baturetna, seorang tukang batu, dan Kyai Nayawreksa, seorang tukang kayu (kalang) pada saat itu. Di atas atap menara terdapat penunjuk arah angin berbentuk seseorang menaiki seekor naga yang sekaligus sebagai sengkalaNaga Muluk Tinitihan Janma. Arti sengkala tersebut adalah tahun 1708 Jawa, tahun pembangunan menara.
Bagian timur kompleks Kedhaton merupakan sebuah bangunan yang memanjang utara-selatan dengan halaman luas di tengah-tengahnya. Di masa pemerintahan Sri Susuhunan Pakubuwana XII pada tahun 1963, bangunan tersebut difungsikan sebagai Museum Keraton Surakarta.[11] Di sisi selatan halaman museum terdapat sebuah sumur bernama Sumur Sanga. Sebelum dijadikan museum, kawasan ini pernah berfungsi sebagai tempat tinggal Adipati Anom (putra mahkota) dan kantor-kantor administrasi kerajaan. Kawasan museum inilah yang menjadi akses utama bagi wisatawan umum untuk memasuki pelataran Kedhaton. Di sebelah selatan-tenggara museum terdapat kompleks Gandarasan yang merupakan dapur istana.
Di sebelah barat kawasan Kedhaton terdapat beberapa kompleks bangunan antara lain Sasana Putra, Sasana Narendra (kediaman resmi Sri Susuhunan Pakubuwana XIII), Sasana Hadi, Gedhong Langen Katong, Keputren, Keraton Kilen (istana barat) atau secara lengkap bernama Keraton Kilen ing Prabasana yang dibangun pada masa Sri Susuhunan Pakubuwana X, serta berbagai bangunan lainnya.[5] Area di bagian barat kawasan Kedhaton tersebut merupakan tempat tertutup bagi masyarakat umum dan jarang terpublikasi sehingga tidak banyak yang mengetahui kepastian sesungguhnya. Kawasan ini merupakan tempat tinggal resmi Sri Sunan dan keluarga kerajaan yang masih digunakan hingga sekarang.
Di belakang tempat tinggal keluarga Sri Sunan, terdapat Taman Sari Bandengan.[5] Pada kawasan tersebut, terdapat kolam buatan dan di tengah-tengahnya berdiri sebuah bangunan yang digunakan sebagai tempat meditasi. Di pinggiran kolam, terdapat sebuah tempat yang berisi batu meteor keramat serta tangga dari batu untuk menuju ke bangunan tempat meditasi. Di dekat taman air dan bangunan tempat keluarga Sri Sunan terdapat Masjid Pujasana (Pudyasana),[5] dan tidak jauh darinya juga terdapat sebuah bukit buatan yang dipenuhi rerumputan, yang diatasnya berdiri bangunan paviliun kecil dengan terasnya. Tempat ini disebut Argapura dan dipakai sebagai tempat istirahat Sri Sunan.[5]
Galeri
Pelataran Kedhaton dengan deretan pohon sawo kecik, dilihat dari arah timur, tahun 1988.
Interior bangunan Pendhapa Ageng Sasana Sewaka, sekitar tahun 1900-1920.
Ruangan utama Dalem Ageng Prabasuyasa, sekitar tahun 1900-1910.
Eksterior bangunan Sasana Handrawina, dilihat dari pelataran timur, tahun 1915.
Beranda Sasana Pustaka, gedung perpustakaan keraton, tahun 1988.
Kompleks Kamagangan, Sri Manganti Kidul/Selatan, Kamandungan Kidul/Selatan, serta Siti Hinggil Kidul/Selatan
Dari Kompleks Kedhaton ke arah selatan, terdapat Kori Sri Manganti Kidul yang merupakan akses utama untuk menuju Kompleks Magangan atau Kamagangan. Di tempat ini terdapat sebuah pendhapa di tengah-tengah halaman yang disebut Bangsal Magangan, yang digunakan sebagai tempat pelatihan para para calon pegawai kerajaan dan prajurit keraton. Di sekeliling halaman ini, ada kantor-kantor dan bangunan-bangunan yang digunakan untuk menyimpan beberapa perangkat wayang kulit pusaka serta menempatkan benda-benda perlengkapan prajurit, seperti keris, pedang, pistol, dan seragam prajurit untuk hari-hari besar kerajaan. Kompleks berikutnya, Sri Manganti Kidul/Selatan dan Kamandungan Kidul/Selatan, hanyalah berupa halaman yang digunakan saat upacara pemakaman Sri Sunan maupun permaisuri. Di sekitar Kori Kamandungan Kidul adalah pelataran yang bersifat lebih terbuka untuk umum. Di sebelah selatannya, terdapat pintu gerbang besar yang disebut Kori Brajanala Kidul/Selatan, yang memberikan akses ke kompleks Siti Hinggil Kidul/Selatan dan Alun-Alun Kidul/Selatan.
Kompleks terakhir, Siti Hinggil Kidul/Selatan, memiliki sebuah bangunan kecil. Kini kompleks tersebut digunakan untuk memelihara pusaka keraton yang berupa kerbau albino keturunan Maesa (Kerbau) Kyai Slamet. Siti Hinggil Kidul sendiri adalah suatu kompleks bangunan pendhapa terbuka, yang dikelilingi oleh barisan pagar besi pendek. Pada zaman dahulu di sekitarnya terdapat empat meriam, dua di antaranya kemudian diambil pemerintah untuk diletakkan di Akademi MiliterMagelang. Berbeda dengan kompleks Siti Hinggil Lor yang megah, kompleks Siti Hinggil Kidul dan bangunan maupun kori lain di sebelah selatan keraton berbentuk lebih sederhana dan dibuat dari material yang lebih sederhana pula.
Di sebelah selatan Siti Hinggil Kidul dapat dijumpai Alun-Alun Kidul/Selatan. Alun-Alun Kidul dikelilingi oleh tembok benteng yang tinggi dan di sekitarnya terdapat beberapa rumah bangsawan dan juga masyarakat umum yang mencari nafkah di area tersebut. Sementara sebagian sisi selatannya juga digunakan sebagai tempat penangkaran kerbau albino keturunan Maesa Kyai Slamet, di sisi utara Alun-Alun Kidul ini terdapat dua buah bangunan yang berfungsi sebagai tempat disemayamkannya dua gerbong kereta; masing-masing adalah gerbong kereta pesiar serta gerbong kereta yang digunakan untuk membawa jenazah Sri Susuhunan Pakubuwana X menuju ke pemakaman Astana Imogiri pada tahun 1939.
Tembok yang mengelilingi alun-alun mempunyai pintu gerbang di tengah ujung selatan yang bernama Gapura Gading. Gapura ini berbentuk gerbang candi bentar, seperti halnya Gapura Gladag. Pada tahun 1932, Sri Susuhunan Pakubuwana X, menambahkan pintu gerbang di sebelah selatan Gapura Gading, dengan bentuk mengikuti bentuk gerbang masuk Alun-Alun Kidul dari arah barat dan timur. Ketiga gerbang di Alun-Alun Kidul ini dikenal dengan sebutan Tri Gapurendra (tiga gerbang raja).
Galeri
Kori Sri Manganti Kidul, dilihat dari arah selatan, sekitar tahun 1910-1930.
Bangsal Magangan dan Kori Sri Manganti Kidul, dilihat dari arah tenggara, sekitar tahun 1910-1930.
Bangsal Siti Hinggil Kidul, dilihat dari arah selatan (Alun-Alun Kidul), sekitar tahun 1910-1930.
Gapura Gading dengan lambang Sri Radya Laksana, tahun 1939.
Warisan Budaya
Selain memiliki kemegahan bangunan, Keraton Surakarta juga memiliki suatu warisan budaya yang tak ternilai. Di antaranya adalah upacara-upacara adat, tari-tarian sakral, musik, dan pusaka. Upacara adat yang terkenal adalah upacara peringatan hari kenaikan takhta Sri Sunan (Tingalan Dalem Jumenengan) upacara Grebeg, upacara Sekaten, dan upacara Malem Siji Sura (1 Sura). Upacara yang berasal sejak zaman lampau ini, hingga sekarang terus dilaksanakan dan merupakan warisan budaya Indonesia yang dilindungi.
Grebeg
Upacara Garebeg atau Grebeg diselenggarakan tiga kali dalam satu tahun penanggalan Jawa, yaitu pada peringatan hari kelahiran Kangjeng Nabi Muhammad, pada hari raya Idul Fitri, dan pada hari raya Idul Adha. Pada hari-hari tersebut, Sri Sunan mengeluarkan sedekahnya sebagai perwujudan rasa syukur kepada Allah atas kemakmuran kerajaan. Sedekah ini, yang disebut dengan Hajad Dalem, berupa pareden atau gunungan (kumpulan sayur dan berbagai makanan yang disusun membentuk seperti sebuah gunung) yang terdiri dari gunungan kakung dan gunungan estri (lelaki dan perempuan).
Gunungan kakung berbentuk seperti kerucut terpancung dengan ujung sebelah atas agak membulat. Sebagian besar gunungan ini terdiri dari sayuran kacang panjang yang berwarna hijau yang dirangkaikan dengan cabai merah, telur itik, dan beberapa perlengkapan makanan kering lainnya. Di sisi kanan dan kirinya dipasangi lambang Sri Radya Laksana (lambang Kesunanan Surakarta) serta rangkaian bendera Indonesia dalam ukuran kecil. Gunungan estri berbentuk seperti keranjang bunga yang penuh dengan rangkaian bunga. Sebagian besar disusun dari makanan kering yang terbuat dari beras maupun beras ketan yang berbentuk lingkaran dan runcing. Gunungan ini juga dihiasi lambang Sri Radya Laksana dan bendera Indonesia di bagian atasnya.
Sekaten
Sekaten merupakan sebuah upacara kerajaan yang dilaksanakan selama tujuh hari untuk memperingati kelahahiran Kangjeng Nabi Muhammad. Konon asal usul upacara ini sudah ada sejak Kesultanan Demak. Menurut cerita rakyat, kata sekaten berasal dari istilah credo dalam agama Islam, yaitu Syahadatain. Sekaten dimulai dengan keluarnya dua perangkat Gamelan Sekati, yaitu Kyai Gunturmadu dan Kyai Guntursari, dari keraton untuk ditempatkan di dua bangunan balai yang terletak di depan Masjid Agung Surakarta. Selama enam hari, mulai hari keenam sampai kesebelas bulan Mulud dalam kalender Jawa, kedua perangkat gamelan tersebut dimainkan (Bahasa Jawa: ditabuh), menandai berlangsungnya perayaan Sekaten. Akhirnya, pada hari ketujuh, upacara ditutup dengan keluarnya Gunungan Mulud. Saat ini, selain upacara tradisi, juga diselenggarakan suatu pasar malam di alun-alun, yang dimulai sejak sebulan sebelum penyelenggaraan upacara Sekaten yang sesungguhnya.
Kirab Mubeng Beteng atau Malam Satu Sura
Malam 1 Sura (1 Muharram) dalam masyarakat Jawa adalah suatu perayaan tahun baru menurut kalender Jawa. Malam 1 Sura jatuh mulai terbenam matahari pada hari terakhir bulan terakhir kalender Jawa (30/29 Besar) sampai terbitnya matahari pada hari pertama bulan pertama tahun berikutnya. Di Keraton Surakarta upacara ini diperingati dengan Kirab Mubeng Beteng (Perarakan Mengelilingi Benteng Keraton). Upacara ini dimulai dari kompleks Kamandungan Lor melalui Kori Brajanala Lor kemudian mengitari seluruh kawasan keraton dengan arah berkebalikan arah putaran jarum jam dan berakhir di halaman Kamandungan Lor. Dalam prosesi ini pusaka keraton menjadi bagian utama dan diposisikan di barisan depan kemudian baru diikuti para pembesar keraton, para pegawai dan akhirnya masyarakat. Suatu yang unik adalah di barisan terdepan ditempatkan pusaka yang berupa sekawanan kerbau albino keturunan kerbau pusaka kesayangan Sri Susuhunan Pakubuwana II, yaitu Maesa Kyai Slamet, yang selalu menjadi pusat perhatian masyarakat.
Pusaka (heirloom) dan Tari-Tarian Sakral
Keraton Surakarta memiliki sejumlah koleksi pusaka kerajaan di antaranya berupa singgasana dan regalia Sri Sunan, perangkat musik gamelan, aneka macam koleksi senjata, manuskrip, wayang kulit, serta berbagai benda-benda lainnya, baik yang dipamerkan di Museum Keraton Surakarta maupun yang disimpan di lokasi-lokasi khusus di dalam kompleks keraton. Di antara sekian perangkat koleksi gamelan Keraton Surakarta adalah Kyai Guntursari dan Kyai Gunturmadu, yang hanya dimainkan atau dibunyikan pada saat upacara Grebeg Mulud dan Sekaten.
Selain memiliki berbagai pusaka berwujud benda, di Keraton Surakarta juga terdapat berbagai macam tari klasik (beksan), baik dalam bentuk bedhaya, srimpi, maupun bentuk repertoar lainnya, yang di antaranya berstatus sebagai tarian pusaka dan hanya dipentaskan pada saat upacara-upacara tertentu. Tarian pusaka tertinggi Keraton Surakarta adalah Tari Bedhaya Ketawang, yang hanya dipentaskan pada saat hari penobatan dan hari peringatan kenaikan takhta Sri Sunan yang dilaksanakan di Pendhapa Ageng Sasana Sewaka. Beberapa tari klasik Keraton Surakarta yang terkenal lainnya termasuk pula Tari Bedhaya Pangkur, Tari Bedhaya Sukaharja, Tari Srimpi Ludira Madura (Ludira Madu), serta Tari Srimpi Sangupati.
Pemangku Adat Jawa Surakarta
Semula Keraton Surakarta merupakan Lembaga Istana (Royal House) yang mengurusi Sri Sunan dan keluarga kerajaan disamping menjadi pusat pemerintahan Kesunanan Surakarta. Setelah tahun 1946, peran Keraton Surakarta berpusat sebagai monarki seremonial Pemangku Adat Jawa khususnya budaya Jawagagrag (gaya) Surakarta. Begitu pula Sri Sunan tidak lagi berperan dalam urusan kenegaraan sebagai seorang raja dalam artian politik dan pemerintahan, melainkan sebagai Baginda Yang Dipertuan Pemangku Takhta Adat, simbol dan kepala monarki seremonial serta pemimpin informal kebudayaan. Fungsi keraton pun berubah menjadi pelindung dan penjaga identitas budaya Jawa khususnya gaya Surakarta.
Selain itu, Keraton Surakarta juga aktif memberikan gelar kebangsawanan kehormatan (honoriscausa) pada masyarakat umum yang mempunyai perhatian kepada budaya Jawa, khususnya budaya Jawa gaya Surakarta, maupun perhatian dan sumbangsih mereka terhadap eksistensi Keraton Surakarta, di samping mereka yang berhak karena hubungan darah maupun karena posisi mereka sebagai pegawai (abdi dalem) keraton.
Sebagai kawasan pusat pelestarian dan pengembangan budaya Jawa, Keraton Surakarta menjadi rujukan bagi para pelajar dan peneliti, bahkan yang berasal dari luar negeri, untuk belajar dan meneliti berbagai macam warisan budaya baik benda maupun tak benda yang dimiliki oleh keraton, seperti arsitektur, naskah dan kitab kuno, wayang kulit, tari, gamelan, dan sebagainya. Keraton Surakarta juga menjadi salah satu elemen penting dalam penasehat pembangunan di kota dan kabupaten-kabupaten wilayah Surakarta Raya (yang dikenal dengan akronim Subosukawonosraten). Sebagai contoh yang paling besar adalah sebagai penasehat pembangunan Jalan Tol Yogyakarta-Surakarta dan KRL Jogja-Solo.
Filosofi dan Mitologi seputar Keraton
Setiap nama bangunan maupun upacara, bentuk bangunan maupun benda-benda upacara, letak bangunan, begitu juga prosesi suatu upacara dalam keraton memiliki makna atau arti filosofi masing-masing. Namun, sungguh disayangkan makna-makna tersebut sudah tidak banyak yang mengetahui dan kurang begitu mendapat perhatian.
Cermin besar di kanan dan kiri Kori Kamadungan Lor mengadung makna introspeksi diri. Nama Kamandungan sendiri berasal dari kata mandung yang memiliki arti berhenti. Nama Marcukundha berasal dari kata marcu yang berarti api dan kundha yang berarti wadah atau tempat, sehingga kata Marcukundha berarti melambangkan suatu doa/harapan. Menara Panggung Sangga Buwana adalah simbol lingga dan Kori Sri Manganti di sebelah baratnya adalah simbol yoni. Simbol Lingga-Yoni dalam masyarakat Jawa dipercaya sebagai suatu simbol kesuburan. Dalam upacara garebeg dikenal dengan adanya sedekah Sri Sunan yang berupa gunungan. Gunungan tersebut melambangkan sedekah yang bergunung-gunung. Selain itu Keraton Surakarta juga memiliki mistik dan mitos serta legenda yang berkembang di tengah masyarakat. Sebagai salah satu contoh adalah kepercayaan sebagian masyarakat dalam memperebutkan gunungan saat garebeg. Mereka mempercayai bagian-bagian gunungan itu dapat mendatangkan tuah berupa keuangan yang baik maupun yang lainnya.
Selain itu ada legenda mengenai usia Nagari Surakarta Hadiningrat. Ketika istana selesai dibangun, muncul sebuah ramalan bahwa Kesunanan Surakarta hanya akan berjaya selama dua ratus tahun. Setelah dua ratus tahun maka kekuasaan Sri Sunan hanya akan selebar mekarnya sebuah payung (kari sak megare payung). Legenda ini pun seakan mendapat pengesahan dengan kenyataan yang terjadi.[butuh rujukan] Apabila dihitung dari pembangunan dan penempatan istana secara resmi pada 1745, maka dua ratus tahun kemudian tepatnya pada tahun 1945 negara Indonesia berdiri, dan selanjutnya kekuasaan Kesunanan benar-benar merosot. Setahun kemudian, pada 1946, Daerah Istimewa Surakarta (yang di dalamnya terdapat pemerintahan dan wilayah administratif Kesunanan Surakarta) dibekukan oleh pemerintah Indonesia karena saat itu terjadi kekacauan politik, dan pada akhirnya kekuasaan Sri Sunan hanya tinggal atas tanah adat serta masyarakat adat kerabat dekatnya saja.
Acara budaya dengan judul Pocung dalam episode Wewangunan Karaton Surakarta Hadiningrat disiarkan oleh JogjaTV [1]Diarsipkan 2010-01-29 di Wayback Machine.
1 Masuk ke dalam Daftar Benda Cagar Budaya yang Dilindungi Pemerintah Kota Surakarta, 2 Dicoret dari daftar karena usia pembangunan kurang dari 50 tahun Portal Surakarta ·Wikipedia:Buku/Surakarta