Nama sebagaimana tercantum dalam Sistem Registrasi Nasional Cagar Budaya
Situs Trowulan adalah kawasan kepurbakalaan dari periode klasik sejarah Indonesia yang berada di Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Berbagai temuan yang pernah diangkat di sini menunjukkan ciri-ciri pemukiman yang cukup maju. Berdasarkan kronik, prasasti, simbol, dan catatan yang ditemukan di sekitar kawasan tersebut, diduga kuat situs ini berhubungan dengan ibukota kerajaan Majapahit. Sebuah kemaharajaan yang pernah berdiri sekitar tahun 1293–1527 M.
Kawasan berdirinya struktur-struktur besar (candi, makam, dan kolam) mencakup wilayah sekitar 5 km × 5 km, dipotong oleh jalan negara yang menghubungkan kota Jombang dan Surabaya. Namun demikian, temuan-temuan yang terpendam diketahui berada di luar kawasan tersebut dan mencakup kawasan lebih luas dengan ukuran 11 km × 9 km,[1] hingga mencakup pula wilayah timur Kabupaten Jombang.
Asal nama
Nama "Trowulan" diambil dari nama kecamatan tempat ditemukannya mayoritas struktur besar yang ada. Ada dua pendapat mengenai asal nama ini.[2] Pendapat yang pertama, diajukan oleh Henri Maclaine Pont, adalah dari asal "Setra Wulan". Pendapat lain, disebut dalam Serat Darmagandhul pupuh XX, ada tempat bernama "Sastrawulan", tempat Brawijaya, raja Majapahit, meminta sebagai lokasi makamnya.
Kitab perjalanan dari Tiongkok, Yingyai Shenglan, yang ditulis oleh anak buah Kapiten Cheng Ho, Ma Huan, menyebutkan bahwa Man-The-Po-i (Majapahit) merupakan kota yang sangat besar tempat raja bermukim.[3] Apakah yang dimaksud adalah pemukiman Trowulan tidak ada yang menyebutkan, namun berbagai temuan memberikan dugaan kuat keterkaitan ini.
Deskripsi berdasarkan sumber kontemporer
Menurut Prapanca dalam kitab Negarakertagama; keraton Majapahit dikelilingi tembok bata merah yang tinggi dan tebal. Di dekatnya terdapat pos tempat para punggawa berjaga. Gerbang utama menuju keraton (kompleks istana) terletak di sisi utara tembok, berupa gapura agung dengan pintu besar terbuat dari besi berukir. Di depan gapura utara terdapat bangunan panjang tempat rapat tahunan para pejabat negara, sebuah pasar, serta sebuah persimpangan jalan yang disucikan.
Masuk ke dalam kompleks melalui gapura utara terdapat lapangan yang dikelilingi bangunan suci keagamaan. Pada sisi barat lapangan ini terdapat pendopo yang dikelilingi kanal dan kolam tempat orang mandi. Pada ujung selatan lapangan ini terdapat jajaran rumah yang dibangun di atas teras-teras berundak, rumah-rumah ini adalah tempat tinggal para abdi dalem keraton. Sebuah gerbang lain menuju ke lapangan ketiga yang dipenuhi bangunan dan balairung agung. Bangunan ini adalah ruang tunggu bagi para tamu yang akan menghadap raja.
Kompleks istana tempat tinggal raja terletak di sisi timur lapangan ini, berupa beberapa paviliun atau pendopo yang dibangun di atas landasan bata berukir, dengan tiang kayu besar yang diukir sangat halus dan atap yang dihiasi ornamen dari tanah liat. Di luar istana terdapat kompleks tempat tinggal pendeta Shiwa, biksu Buddha, anggota keluarga kerajaan, serta pejabat dan ningrat (bangsawan). Lebih jauh lagi ke luar, dipisahkan oleh lapangan yang luas, terdapat banyak kompleks bangunan kerajaan lainnya, termasuk salah satunya kediaman Mahapatih Gajah Mada. Sampai disini penggambaran Prapanca mengenai ibu kota Majapahit berakhir.
Sebuah catatan dari China abad ke-15 menggambarkan istana Majapahit sangat bersih dan terawat dengan baik. Disebutkan bahwa istana dikelilingi tembok bata merah setinggi lebih dari 10 meter serta gapura ganda. Bangunan yang ada dalam kompleks istana memiliki tiang kayu yang besar setinggi 10-13 meter dengan lantai kayu yang dilapisi tikar halus tempat orang duduk. Atap bangunan istana terbuat dari kepingan kayu (sirap), sedangkan atap untuk rumah rakyat kebanyakan terbuat dari ijuk atau jerami.
Sebuah kitab tentang etiket dan tata cara istana Majapahit menggambarkan ibu kota sebagai: "Sebuah tempat disitu kita tidak usah berjalan melalui sawah". Reliefcandi dari zaman Majapahit tidak menggambarkan suasana perkotaan, akan tetapi menggambarkan kawasan permukiman yang dikelilingi tembok. Istilah 'kuwu' dalam Negarakertagama dimaksudkan sebagai unit permukiman yang dikelilingi tembok, tempat penduduk tinggal dan dipimpin oleh seorang bangsawan. Pola pemukiman seperti ini merupakan ciri kota pesisir Jawa abad ke-16 menurut keterangan para penjelajah Eropa. Diperkirakan ibu kota Majapahit tersusun atas kumpulan banyak unit pemukiman seperti ini.
Penemuan
Reruntuhan kota kuno di Trowulan ditemukan pada abad ke-19. Dalam laporan Sir Thomas Stamford Raffles yang menjabat sebagai gubernur Jawa dari 1811 sampai 1816, disebutkan bahwa: "Terdapat reruntuhan candi.... tersebar bermil-mil jauhnya di kawasan ini." Saat itu kawasan ini merupakan hutan jati yang lebat sehingga survei dan penelitian yang lebih rinci tidak mungkin dilaksanakan. Meskipun demikian, Raffles yang sangat berminat pada sejarah dan kebudayaan Jawa terpesona dengan apa yang dilihatnya dan menjuluki Trowulan sebagai 'Kebanggaan Pulau Jawa'.
Situs Arkeologi
Penggalian di sekitar Trowulan menunjukkan sebagian dari permukiman kuno yang masih terkubur lumpur sungai dan endapan vulkanik beberapa meter di bawah tanah akibat meluapnya Kali Brantas dan aktivitas Gunung Kelud. Beberapa situs arkeologi tersebar di wilayah Kecamatan Trowulan. Beberapa situs tersebut dalam keadaan rusak, sedangkan beberapa situs lainnya telah dipugar. Kebanyakan bangunan kuno ini terbuat dari bahan bata merah.
Candi Tikus adalah kolam pemandian ritual (petirtaan). Kolam ini mungkin menjadi temuan arkeologi paling menarik di Trowulan. Nama 'Candi Tikus' diberikan karena pada saat ditemukan tahun 1914, situs ini menjadi sarang tikus. Dipugar menjadi kondisi sekarang ini pada tahun 1985 dan 1989, kompleks pemandian yang terbuat dari bata merah ini berbentuk cekungan wadah berbentuk bujur sangkar. Di sisi utara terdapat sebuah tangga menuju dasar kolam. Struktur utama yang menonjol dari dinding selatan diperkirakan mengambil bentuk gunung legendaris Mahameru. Bangunan yang tidak lagi lengkap ini berbentuk teras-teras persegi yang dimahkotai menara-menara yang ditata dalam susunan yang konsentris yang menjadi titik tertinggi bangunan ini.
Tidak jauh dari Candi Tikus, di desa Temon berdiri Gapura Bajang Ratu, sebuah gapura paduraksa anggun dari bahan bata merah yang diperkirakan dibangun pada pertengahan abad ke-14 M. Bentuk bangunan ini ramping menjulang setinggi 16,5 meter yang bagian atapnya menampilkan ukiran hiasan yang rumit. Bajang ratu dalam bahasa Jawa berarti 'raja (bangsawan) yang kerdil atau cacat.' Tradisi masyarakat sekitar mengkaitkan keberadaan gapura ini dengan Raja Jayanegara, raja kedua Majapahit. Berdasarkan legenda ketika kecil Raja Jayanegara terjatuh di gapura ini dan mengakibatkan cacat pada tubuhnya. Nama ini mungkin juga berarti "Raja Cilik" karena Jayanegara naik takhta pada usia yang sangat muda. Sejarahwan mengkaitkan gapura ini dengan Çrenggapura (Çri Ranggapura) atau Kapopongan di Antawulan (Trowulan), sebuah tempat suci yang disebutkan dalam Negarakertagama sebagai pendharmaan (tempat suci) yang dipersembahkan untuk arwah Jayanagara yang wafat pada 1328.
Gapura Wringin Lawang terletak tak jauh ke selatan dari jalan utama di Jatipasar. Dalam bahasa Jawa, "Wringin Lawang" berarti "Pintu Beringin". Gapura agung ini terbuat dari bahan bata merah dengan luas dasar 13 x 11 meter dan tinggi 15,5 meter. Diperkirakan dibangun pada abad ke-14. Gerbang ini lazim disebut bergaya candi bentar atau tipe gerbang terbelah. Gaya arsitektur seperti ini mungkin muncul pada era Majapahit dan kini banyak ditemukan dalam arsitektur Bali. Kebanyakan sejarahwan sepakat bahwa gapura ini adalah pintu masuk menuju kompleks bangunan penting di ibu kota Majapahit. Dugaan mengenai fungsi asli bangunan ini mengundang banyak spekulasi, salah satu yang paling populer adalah gerbang ini diduga menjadi pintu masuk ke kediaman Mahapatih Gajah Mada.
Di desa Bejijong terdapat Candi Brahu. Candi ini merupakan satu-satunya bangunan suci tersisa yang masih cukup utuh dari kelompok bangunan-bangunan suci yang pernah berdiri di kawasan ini. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, di candi inilah tempat diselenggarakan upacara kremasi (pembakaran jenazah) empat raja pertama Majapahit. Meskipun dugaan ini sulit dibuktikan, namun bukti fisik menunjukkan bangunan ini merupakan bangunan suci peribadatan yang diduga adalah bangunan suci untuk memuliakan anggota keluarga kerajaan yang telah wafat. Mengenai siapakah tokoh atau raja Majapahit yang dimuliakan di candi ini masih belum jelas. Di dekat Candi Brahu terdapat reruntuhan Candi Gentong.
Makam Putri Campa
Makam Putri Campa adalah sebuah makam bercorak Islam yang dipercaya masyarakat setempat merupakan makam salah satu istri atau selir raja Majapahit yang berasal dari Champa. Menurut tradisi lokal, Putri Cempa (Champa) yang wafat tahun 1448 adalah seorang muslimah yang menikahi salah seorang raja Majapahit terakhir yang akhirnya berhasil dibujuknya untuk masuk Islam.[4]
Kolam Segaran
Kolam Segaran adalah kolam besar berbentuk persegi panjang dengan ukuran 800 x 500 meter persegi. Nama 'Segaran' berasal dari bahasa Jawa segara yang berarti laut, mungkin masyarakat setempat mengibaratkan kolam besar ini sebagai miniatur laut. Tembok dan tanggul bata merah setebal 1,60 m dengan kedalaman 2,88 m mengelilingi kolam yang sekaligus memberi bentuk pada kolam tersebut.
Di pintu masuk yang terletak di sebelah barat, terdapat emperan yang menjorok ke tengah kolam. Di sisi dalam emperan terdapat undakan untuk turun ke kolam. Seluruh dinding dan emperan terbuat dari susunan batu bata tanpa bahan perekat. Konon untuk merekatkannya, batu bata yang berdampingan digosokkan satu sama lain.
Di sisi tenggara terdapat saluran yang merupakan jalan masuk air ke dalam kolam, sedangkan di sisi barat laut terdapat saluran jalan keluar air. Air yang keluar mengalir ke Balongdawa (empang panjang) yang letaknya di barat laut dan Balongbunder (empang bundar) di selatan. Menilik adanya saluran masuk dan keluar air, diduga Kolam Segaran dahulunya juga berfungsi sebagai waduk dan penampung air. Para ahli memperkirakan bahwa kolam ini adalah yang disebut sebagai telaga dalam Kitab Negarakertagama.[5]
Saat ditemukan oleh Henry Maclaine Pont pada tahun 1926, struktur tanggul dan tembok bata merah tertimbun tanah dan lumpur. Pemugaran dilakukan beberapa tahun kemudian dan kini Kolam Segaran difungsikan oleh masyarakat setempat sebagai tempat rekreasi dan kolam pemancingan. Kolam Segaran ditemukan pada tahun 1926, dalam keadaan teruruk tanah. Pada tahun 1966 kolam ini mengalami pemugaran sekadarnya. Baru pada tahun 1974 dimulai pelaksanaan pemugaran yang lebih terencana dan menyeluruh, yang memakan waktu sepuluh tahun.
Fungsi asli kolam ini belum diketahui, akan tetapi penelitian menunjukkan bahwa kolam ini memiliki beberapa fungsi, antara lain sebagai kolam penampungan untuk memenuhi kebutuhan air bersih penduduk kota Majapahit yang padat, terutama pada saat musim kemarau. Dugaan populer lainnya adalah kolam ini digunakan sebagai tempat mandi dan kolam latihan renang prajurit Majapahit, di samping itu kolam ini diduga menjadi bagian taman hiburan tempat para bangsawan Majapahit menjamu para duta dan tamu kerajaan.
Candi Menak Jingga
Di sudut timur laut kolam Segaran terdapat reruntuhan Candi Menak Jingga. Bangunan ini kini hanya tersisa reruntuhannya berupa bebatuan yang terpencar dan fondasi dasar bangunan yang masih terkubur di dalam tanah. Pemugaran candi ini tengah berlangsung. Keunikan bangunan ini adalah bangunan ini terbuat dari batu andesit pada lapisan luarnya, sedangkan bagian dalamnya terbuat dari bata merah. Hal yang paling menarik dari bangunan ini adalah pada bagian atapnya terdapat ukiran makhluk ajaib yang diidentifikasi sebagai Qilin, makhluk ajaib dalam mitologi China. Temuan ini mengisyaratkan bahwa terdapat hubungan budaya yang cukup kuat antara Majapahit dengan Dinasti Ming di China. Tradisi setempat mengkaitkan reruntuhan ini dengan pendopo (paviliun) Ratu Kencana Wungu, ratu Majapahit dalam kisah Damarwulan dan Menak Jingga.
Situs Watu Umpak
Di Situs Watu Umpak, terdapat beberapa alas batu tempat mendirikan tiang kayu. Diperkirakan merupakan bagian dari bangunan kayu. Karena terbuat dari bahan organik, bangunan kayu telah musnah dan hanya menyisakan alas batu.
Makam Troloyo
Di kompleks Makam Troloyo Desa Sentonorejo ditemukan beberapa batu nisan bercorak Islam. Kebanyakan batu nisan tersebut berangka tahun 1350 dan 1478. Temuan ini membuktikan bahwa komunitas muslim bukan hanya telah hadir di Jawa pada pertengahan abad ke-14, tetapi juga sebagai bukti bahwa agama Islam telah diakui dan dianut oleh sebagian kecil penduduk ibu kota Majapahit. Penduduk setempat percaya bahwa di makam Troloyo terdapat makam Raden Wijaya. Setiap hari Jumat Legi diadakan ziarah di makam ini.[6]
Situs Sentono Rejo
Situs Sentono Rejo terletak di Desa Sentonorejo, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Peninggalan kerajaan Majapahit ini berbentuk hamparan ubin (lantai) dan sisa dinding bangunan. Lantai bangunan kuno tersebut berada kurang lebih 1,80 m. Di bawah permukaan tanah sekitarnya dan berorientasi ke barat-timur dengan azimut 80.
Candi Gentong
Candi Gentong terletak di Desa Jambumente, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Candi ini berada di sebelah timur berjarak kurang lebih 360 m dari arah Candi Brahu.
Dalam penelitian Maclaine Pont menyebutkan bahwa Candi Gentong merupakan salah satu dari tiga candi yang berderet dengan arah bujur barat ke timur yaitu Candi Gedong, Candi Tengah, dan Candi Gentong.
Situs Kumitir
Situs Kumitir adalah kompleks peninggalan kepurbakalaan yang terdapat di Dusun Bendo, Desa Kumitir, Kecamatan Jatirejo, Kabupaten Mojokerto. Situs ini mendapatkan perhatian serius sejak tahun 2017, setelah pemberitaan cukup luas pada bulan April 2017 mengenai kegiatan penggalian dan penjualan bongkahan batu bata kuno oleh penyewa lahan. Akibat ramainya pemberitaan, baik melalui media sosial maupun media massa, kegiatan penggalian tersebut dihentikan.[7][8]
Menurut Wicaksono Dwi Nugroho dari BPCB Jawa Timur, keberadaan suatu bangunan di Kumitir sebelumnya sudah disebutkan dalam Kidung Wargasari, Kitab Desyawarṇana (Negarakrtagama), dan Pararaton. Ketiganya menyebutkan bahwa di Kumitir (atau Kumêpêr, menurut Pararaton) terdapat bangunan pendarmaan bagi Mahisa Campaka (atau Narasinghamurti), raja Tumapel, yang memerintah bersama-sama dengan Ranggawuni (atau Wisnuwardhana).[9][10][11] Mahisa Campaka adalah kakek dari Raden Wijaya, pendiri Majapahit.
Lokasi situs ini berada di dekat Candi Tikus dan diperkirakan menjadi batas timur bagi kotaraja Majapahit di masa lalu.[12] Di dekatnya juga diketahui terdapat bekas waduk kuno yang sekarang berwujud rawa; oleh penduduk setempat disebut Rawa Kumitir.
Penggalian arkeologi mengungkapkan lantai bata dan dinding permukiman. Dalam beberapa kasus ditemukan dua atau tiga lapisan bangunan yang bertumpuk. Permukiman ini dilengkapi dengan sumur dan saluran air. Ditemukan pula tempat penyimpanan air dan sumur yang dibatasi susunan bata dan tembikar.
Industri
Banyak perhiasan emas yang berasal masa ini telah ditemukan di Jawa Timur. Meskipun tidak terdapat banyak tambang emas di Jawa, impor emas dari Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi memungkinkan pengrajin emas untuk berproduksi dan bekerja di Jawa.
Salah satu desa di Trowulan disebut Kemasan, yang berasal dari kata mas yang berarti emas. Perhiasan emas serta peralatan pengrajin emas ditemukan di dekat daerah ini. Mangkuk tembikar kecil yang mungkin pernah digunakan untuk melumerkan emas, alas tempa perunggu serta batu rata bundar berkaki tiga yang digunakan sebagai alas untuk menempa dan mengukir logam. Sejumlah besar tanah liat yang digunakan untuk melumerkan dan mencetak perunggu juga ditemukan di dusun Pakis. Beberapa perunggu digunakan untuk mencetak uang gobog, koin besar yang sering digunakan sebagai azimat. Beberapa benda logam lain juga ditemukan, diantaranya lampu perunggu berukir, wadah air, genta, dan benda-benda lain yang mungkin digunakan untuk upacara keagamaan dan instrumen musik gendang perunggu. Benda serupa yang terbuat dari kayu dan bambu masih dapat ditemukan di Jawa dan Bali. Banyak juga ditemukan peralatan besi yang mungkin didatangkan ke Jawa karena Jawa memiliki sedikit tambang bijih besi.
Uang dan Pasar
Naskah Nawanatya menyebutkan mengenai pejabat kerajaan yang bertugas untuk melindungi pasar. 'Delapan ribu keping uang tunai tiap harinya' diterima pejabat ini. Uang tunai yang dimaksud dalam naskah ini adalah uang kepeng Tiongkok, yang menjadi mata uang resmi Majapahit sejak tahun 1300, menggantikan sebagian fungsi mata uang emas dan perak yang telah digunakan selama berabad-abad. Uang logam atau koin Tiongkok ini disukai karena tersedia dalam nilai kecil atau uang receh, sangat cocok untuk transaksi sehari-hari di pasar. Temuan ini menggambarkan perubahan ekonomi di Trowulan yang ditandai dengan munculnya usaha dan pekerjaan yang lebih terspesialisasi, pembayaran dengan upah, dan perolehan barang kebutuhan sehari-hari dengan cara jual-beli. Bukti penting persepsi masyarakat Jawa abad ke-14 terhadap uang tergambarkan dalam wujud celengan babi dengan lubang di punggungnya untuk memasukkan uang logam. Hubungan antara figur babi dengan wadah uang sangat jelas. Dalam bahasa Jawa dan bahasa Indonesia, kata 'celengan' dapat berarti wadah tepat menyimpan uang atau menabung. Sedangkan akar katanya sendiri 'celeng' yang berarti babi hutan. Wadah uang dalam bentuk lain juga ditemukan.
Tembikar
Seni tembikar adalah kegiatan utama masyarakat Majapahit. Kebanyakan perabot tembikar digunakan untuk keperluan rumah tangga, seperti untuk memasak atau wadah penyimpanan, dengan hiasan terbatas pada bentuk garis-garis cat merah. Lampu minyak kelapa dari tembikar juga umum ditemukan. Tembikar terhalus buatannya umumnya berupa wadah seperti gentong, guci, dan kendi dengan dinding yang tipis, bentuk yang indah, serta permukaan halus berkilau warna merah yang didapat dengan cara pengampelasan baik sebelum atau sesudah pembakaran. Karya tembikar ini dipastikan sebagai hasil karya pengrajin tembikar yang mahir dan profesional. Wadah air adalah produk tembikar urban utama Majapahit dan banyak gentong air bulat ditemukan. Ada pula wadah air berbentuk kotak yang dihiasi motif pemandangan bawah air dan pemandangan lainnya.
Patung tembikar dari tanah liat diproduksi dalam jumlah besar dan menggambarkan banyak hal, mulai dari figur dewa, manusia, hewan, miniatur bangunan, dan pemandangan. Fungsi pastinya belum diketahui, mungkin memiliki banyak fungsi. Beberapa figur tanah liat mungkin merupakan bagian dari kuil kecil tempat persembahyangan di masing-masing rumah penduduk seperti yang kini ada di Bali. Contoh dari barang tembikar dalam bentuk miniatur bangunan dan hewan juga ditemukan di dekat bangunan suci di Gunung Penanggungan. Beberapa figur lainnya merupakan penggambaran yang jenaka atas orang-orang asing dan pendatang di Majapahit, mungkin secara sederhana juga digunakan sebagai mainan anak-anak.
Taman Majapahit
Menjelang akhir tahun 2008, pemerintah Indonesia menyeponsori eksplorasi besar-besaran di situs yang dipercaya sebagai bekas lokasi istana Majapahit. Jero Wacik, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia menyatakan bahwa Taman Majapahit akan dibangun di kawasan ini dan akan rampung pada tahun 2009. Pembangunan kawasan ini bertujuan untuk mencegah kerusakan situs Trowulan akibat industri pembuatan bata rumahan yang tumbuh banyak di kawasan ini.[13] Taman Majapahit ini memperluas area Museum Trowulan yang telah ada dan menjadi sarana wisata edukasi dan rekreasi yang bertema sejarah Majapahit.
Akan tetapi, proyek ini menimbulkan kontroversi dan mengundang protes dari arkeolog dan sejarahwan karena pembangunan fondasi bangunan Pusat Informasi Majapahit di sebelah selatan Museum Trowulan telah merusak situs arkeologi tersebut. Struktur tembok bata dan sumur jobong yang sangat berharga berserakan dan rusak di lokasi pembangunan. Pemerintah berdalih bahwa metode penggalian yang diterapkan tidak merusak situs jika dibandingkan dengan metode pengeboran.[14] Sejak saat itu pembangunan Taman Majapahit ditunda untuk meneliti dampak pembangunan terhadap situs arkeologi.