"Bhatara Wisnu (Wisnuwardhana ) mulih ing Suralaya pejah dhinarmata sire Waleri Siwabimba len Sugatwimba munggw i Jajaghu samantara muwah Bhatara Narasinghamurti sira mantuk in surapada hanar sira dhinarmma de haji re Wengker uttama-Siwarcca munggw i Kumitir"
([Raja] Wisnuwardhana wafat [lalu] didharmakan di Waleri dan diwujudkan sebagai Siwa serta di Jajaghu sebagai Sugata (Buddha), sedangkan [Raja] Narasinghamurti didharmakan sebagai raja Wengker dalam wujud Siwa di Kumitir — tafsir oleh J. H. Kern 1919:103-104)
Situs Kumitir adalah kompleks peninggalan kepurbakalaan yang bertapak di Dusun Bendo, Desa Kumitir, Kecamatan Jatirejo, Kabupaten Mojokerto. Situs ini mendapatkan perhatian serius sejak tahun 2017, setelah pemberitaan cukup luas pada bulan April 2017 mengenai kegiatan penggalian dan penjualan bongkahan batu bata kuno oleh penyewa lahan. Akibat ramainya pemberitaan, baik melalui media sosial maupun media massa, kegiatan penggalian tersebut dihentikan.[2][3]
Menurut Wicaksono Dwi Nugroho dari BPCB Jawa Timur, keberadaan suatu bangunan di Kumitir sebelumnya sudah disebutkan dalam Kidung Wargasari, Kitab Desyawarṇana (Negarakrtagama), dan Pararaton. Ketiganya menyebutkan bahwa di Kumitir (atau Kumêpêr, menurut Pararaton) terdapat bangunan pendarmaan bagi Mahisa Campaka (atau Narasinghamurti), raja Tumapel, yang memerintah bersama-sama dengan Ranggawuni (atau Wisnuwardhana).[4][5][6] Mahisa Campaka adalah kakek dari Raden Wijaya, pendiri Majapahit.
Lokasi situs ini berada di dekat Candi Tikus dan diperkirakan menjadi batas timur bagi kotaraja Majapahit di masa lalu.[7] Di dekatnya juga diketahui terdapat bekas waduk kuno yang sekarang berwujud rawa; oleh penduduk setempat disebut Rawa Kumitir.[8]
"Pañjênênganira çrî Rangga wuni ratu tahun 14, moktanira 1194, dhinarma sira ring Jajagu. Sira Mahișa campaka mokta, dhinarma ring Kumêpêr, pamêlêsatanira ring Wudi kuñcir."
(Beliau Sri Ranggawuni bertahta 14 tahun, wafat 1194, didharmakan di Jajagu. Dia, Mahisa Campaka wafat, didharmakan di Kumeper, (sebagian) abunya disimpan di Wudikuncir — alihbahasa bebas)
Terhadap situs ini BPCB Jawa Timur, bekerja sama dengan pihak-pihak terkait, melakukan ekskavasi pada tahun 2019 (Oktober)[10] dan tahun 2020 (Agustus).[4] Sebelum ekskavasi, kondisi situs digunakan sebagai ladang tebu, jagung, dan padi, area pembuatan batu bata, dan pemakaman umum. Tembok talud dan kompleks situs tertimbun oleh material abu vulkanik (diperkirakan dari letusan Gunung Kelud) dan sedimentasi lahar dingin dari Gunung Arjuno melalui Kali Pikatan.[11] Sebelum ekskavasi pertama pada tahun 2019, tim arkeolog telah menemukan bagian talud sisi selatan dan timur. Tembok ini tersusun dari batu bata berukuran besar, khas bangunan dari era Majapahit. Ekskavasi 2019 berhasil menyingkap struktur talud batu bata sepanjang 100 m memanjang dari selatan ke utara pada sisi timur.[12] Sebelum ekskavasi tahun 2020 telah ditemukan tembok talud sisi selatan pada bulan Mei oleh seorang penggali pasir, serta talud sisi barat beserta umpak penyangga tiang di lingkungan situs dalam survai pra-ekskavasi pada bulan Juni.[13][14] Ekskavasi 2020 bertujuan menyingkap seluruh talud (dinding penyangga) yang membatasi suatu kawasan seluas perkiraan 250 meter selatan ke utara dan 400 meter barat ke timur.[4][15] Di tengah kawasan, khususnya di sekitar kawasan pemakaman umum, ditemukan tanda-tanda reruntuhan bangunan. Kompleks memanjang arah barat ke timur, dengan sisi barat lebih rendah daripada sisi timur, menyiratkan dugaan bahwa bangunan ini adalah kompleks pendarmaan terhadap tokoh penting yang sudah meninggal.
Pada ekskavasi tahun 2020, BPCB Jawa Timur melakukan inovasi dengan menyiarkan proses ekskavasi melalui media sosial dalam bentuk vlog.[16]
^Ferdinandus, Peter (1990). "Arca Perwujudan Masa Jawa Kuna"(PDF). Proceedings "Analsiis Hasil Penelitian Arkeologi I: Religi dalam Kaitannya dengan Kematian Jilid II": 20–39.