Awalnya dibangun pada 01 Januari 1923 oleh Perhimpunan Bintang Hindia Belanda (NISV) dengan dukungan dana dari Karel Albert Rudolf Bosscha, seorang pengusaha perkebunan teh di Malabar, Observatorium Bosscha diserahkan kepada Pemerintah Indonesia pada 1951 dan saat ini sepenuhnya dikelola oleh Institut Teknologi Bandung (ITB).[4][5]
Pada 2004, Observatorium Bosscha ditetapkan sebagai Benda Cagar Budaya. Pada 2008, Pemerintah menetapkan Observatorium Bosscha sebagai salah satu Objek Vital Nasional.[6] Selanjutnya, Observatorium Bosscha ditetapkan sebagai Bangunan Cagar Budaya tingkat Nasional pada 2017[5] dan peringkat Kabupaten pada 2021.[7][8] Meskipun demikian, Observatorium Bosscha mengalami kesulitan mengamati langit karena adanya polusi cahaya dari aktivitas permukiman di Lembang dalam beberapa dekade terakhir sehingga terancam tutup.[4]
Sejarah
Latar belakang
Pada awal abad ke-20, para astronom mulai menyadari bahwa Matahari dan bintang-bintang lainnya berada dalam suatu grup yang disatukan oleh gravitasi membentuk suatu sistem galaksi. Ketika galaksi mulai menjadi objek penelitian baru astronomi, muncul dorongan untuk merencanakan pengamatan dan membangun teleskop di belahan Bumi selatan karena penelitian astronomi saat itu banyak dilakukan di belahan Bumi utara seperti Amerika Utara dan Eropa, yang demikian pengamatannya terfokus pada langit belahan utara dan praktis membuat penelitian pada langit belahan selatan minim dilakukan. Keinginan juga didorong dengan munculnya para astronom teoris yang membutuhkan data secara lebih menyeluruh, lebih dari di belahan Bumi utara, untuk merumuskan teori.[9]
Ide untuk membangun sebuah observatorium di Hindia Belanda dikemukakan oleh Joan Voûte, astronom Hindia Belanda kelahiran Madiun. Ia memandang bahwa penelitian astronomi terhambat karena kurangnya jumlah observatorium dan pengamat di belahan Bumi selatan. Pada awalnya, Voûte meneliti di Observatorium Kerajaan di Tanjung Harapan, Afrika Selatan untuk mendorong penelitian astronomi di belahan selatan, tetapi kurangnya dukungan pemerintah setempat membuat Voûte kembali ke Hindia Belanda. Voûte berusaha mempengaruhi beberapa astronom di Belanda untuk membangun observatorium di Hindia Belanda. Persahabatan antara Voûte dengan pengusaha kaya Karel Albert Rudolf Bosscha dan Rudolf Albert Kerkhoven (sepupu Bosscha) memperkuat dukungan terhadap pembangunan observatorium.[9]
Pendanaan dan pendirian
Bosscha mengumpulkan pengusaha dan orang-orang terpelajar untuk membentuk Perhimpunan Bintang Hindia Belanda (Nederlandsch Indische Sterrenkundige Vereenigning, disingkat NISV) yang bertujuan untuk menyalurkan uang bagi pembangunan observatorium di Hindia Belanda. Pada 1928, diperkirakan bahwa NISV mampu menyumbangkan 1 juta gulden untuk dana pendirian dan operasional harian observatorium. Pengusaha sapi perah Keluarga Ursone dan Baroe Adjak menyumbangkan sebidang tanah di Lembang kepada NISV.[9]
Bosscha dan Voûte kemudian memberikan mandat kepada Observatorium Leiden untuk mengawasi pembelian instrumen untuk observatorium. Bosscha meminta saran kepada direktur Observatorium Leiden, Ejnar Hertzsprung, mengenai pengadaan teleskop dan juga mengenai sistem pikul teleskop. Bosscha berharap untuk dapat memanfaatkan jatuhnya nilai tukarMark Jerman pasca Perang Dunia I agar dapat memperoleh teleskop Jerman berkualitas baik dengan harga murah. Pada awal 1921, Bosscha memesan sebuah teleskop dengan diameter 0.6 meter dan panjang fokus 10 meter dari perusahaan optik ternama Jerman, Carl Zeiss Jena. Sebagai penghargaan atas jasanya dalam pembangunan observatorium ini, nama Bosscha diabadikan sebagai nama observatorium ini.[9]
Pembangunan Observatorium Bosscha dimulai pada 1923. Pada 1925, pengamatan sudah dimulai dengan instrumen yang ada. Carl Zeiss membutuhkan waktu tujuh tahun untuk membuat dan mengantarkan teleskop 0.6 meter, yang tiba pada tahun 1928. Voûte bersusah payah untuk mengkalibrasi teleskop besar tersebut selama dua tahun berikutnya hingga ia puas dengan kinerjanya. Sejak 1923, Voûte mulai mengundang astronom-astronom Belanda untuk bekerja di observatoriumnya.
Perang Dunia II dan Kemerdekaan Indonesia
Pada 1942, di tengah Perang Dunia II, Kekaisaran Jepangmenyerbu dan menduduki Hindia Belanda. Pendudukan Jepang dengan cepat menggantikan pegawai pemerintahan kolonial dengan pejabat berkebangsaan Jepang atau Indonesia. Observatorium Bosscha kemudian dipimpin oleh Masashi Miyadi, seorang kapten muda Angkatan Bersenjata Kekaisaran Jepang yang kemudian menjadi direktur Observatorium Astronomi Tokyo. Direktur sebelumnya, Aernout de Sitter ditahan di kamp konsentrasi Jepang dan meninggal dua tahun kemudian. Miyadi mengakui kerja Voûte di observatorium dan mengizinkan dia untuk membantu mengelola observatorium, bahkan melanjutkan penelitian terhadap bintang biner.[9] Dukungan kepada bidang astronomi dan biologi di Hindia Belanda mengacu pada ideologi politik Kekaisaran Jepang, yaitu Asia Raya. Ideologi ini bercita-cita menciptakan modernitas Asia dengan gaya Jepang sebagai tandingan dari modernitas Barat.[10] Ketika perang berakhir, Miyadi secara resmi menyerahkan observatorium ke Voûte.[11] Namun, setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya, penduduk sekitar mengusir Voûte dari observatorium.[9]
Karena kondisi observatorium yang rusak setelah perang, Dr. Chris H. Hins, direktur selanjutnya, dikirim ke Indonesia oleh Belanda pada 1946 untuk memulihkan observatorium. Dia menemukan bahwa kondisinya seperti hutan dan butuh waktu 3 tahun bagi dia agar observatorium dapat berfungsi kembali seperti semula. Pada 1949, Hins digantikan oleh Gale Bruno van Albada.[11]
Sejak Indonesia merdeka, NISV tidak memiliki dana yang cukup untuk terus mengelola observatorium. Sebuah kesepakatan diadakan pada 1948 antara NISV dengan Dekan Fakultas Ilmu Pasti dan Ilmu Alam Universitas Indonesia Bandung, Th. M. Leeman untuk memindahkan kepemilikan observatorium. Pada 17 Oktober 1951, NISV menyerahkan observatorium ini kepada Pemerintah Indonesia dan Observatorium Bosscha resmi menjadi bagian dari Universitas Indonesia Bandung. Setelah Institut Teknologi Bandung (ITB) berdiri pada 1959, Observatorium Bosscha kemudian menjadi bagian dari ITB. Sejak saat itu, Bosscha difungsikan sebagai lembaga penelitian dan pendidikan formal Astronomi di Indonesia.[11]
Masa Kontemporer
Saat ini, kondisi di sekitar Observatorium Bosscha dianggap tidak layak untuk mengadakan pengamatan. Hal ini diakibatkan oleh perkembangan pemukiman di daerah Lembang dan kawasan Bandung Utara yang tumbuh laju pesat sehingga banyak daerah atau kawasan yang dahulunya rimbun ataupun berupa hutan-hutan kecil dan area pepohonan tertutup menjadi area pemukiman, vila ataupun daerah pertanian yang bersifat komersial besar-besaran. Akibatnya banyak intensitas cahaya dari kawasan pemukiman yang menyebabkan terganggunya penelitian atau kegiatan peneropongan yang seharusnya membutuhkan intensitas cahaya lingkungan yang minimal. Sementara itu, kurang tegasnya dinas-dinas terkait seperti pertanahan, agraria dan pemukiman dikatakan cukup memberikan andil dalam hal ini. Dengan demikian observatorium yang pernah dikatakan sebagai observatorium satu-satunya di kawasan khatulistiwa ini menjadi terancam keberadaannya.[butuh rujukan]
Polusi cahaya yang semakin mengganggu akibat dari pemukiman penduduk dan pusat bisnis di sekitar Lembang, Bandung melatarbelakangi rencana penambahan observatorium baru yang jauh dari polusi cahaya di Indonesia, sehingga dapat mengompensasi kendala di Observatorium Bosscha. Tim riset astronomi Institut Teknologi Bandung memilih Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur. Alasan dipilihnya Kupang sebagai tempat observatorium yang baru adalah langit malam di sana jauh lebih gelap dibandingkan di Lembang sebagaimana dijelaskan oleh Kepala Observatorium Bosscha saat itu, Dr. Mahesana Putra (2012 - 2018). Dengan rencana pemindahan ini juga diharapkan untuk lebih memajukan lagi bidang antariksa di Indonesia.[12]
Teleskop
Teleskop Refraktor Ganda Zeiss
Teleskop Refraktor Ganda Zeiss yang terpasang di kubah Observatorium Bosscha
Teleskop Refraktor Ganda Zeiss adalah teleskop optik refraktor 0.6 meter yang terdiri dari dua teleskop utama dan satu teleskop pencari. Beroperasi sejak 1928, teleskop ini merupakan teleskop terbesar dan tertua Observatorium Bosscha. Teleskop ini sering digunakan untuk meneliti fisik dan perilaku bintang, terutama bintang biner dan gugus bintang. Selain bintang, teleskop ini juga digunakan untuk mengamati komet dan planetTata Surya melalui teknologi CCD. CCD ditambahkan pada awal 1990-an untuk meningkatkan sensitivitas pengamatan.[1]
Teleskop Bamberg
Teleskop Bamberg adalah teleskop refraktor 0.37 meter yang dipasang pada 1929. Teleskop ini dipasang di sebuah bangunan khusus yang menyebabkan teleskop ini hanya bisa mengamati objek langit yang berada di garis lintang selatan langit 30° atau lebih dan azimutTimur-Selatan-Barat. Teleskop ini digunakan untuk mengamati perubahan kecerahan bintang variabel, untuk mengamati Matahari dan permukaan Bulan, dan fotometri gerhana bintang.[1]
Teleskop Schmidt Bimasakti
Teleskop Schmidt Bimasakti adalah teleskop 0.71 meter yang beroperasi dalam panjang gelombang biru hingga inframerah-dekat. Teleskop ini merupakan sumbangan yang diterima dari UNESCO pada Mei 1960. Dinamakan "Bimasakti" oleh Gale Bruno van Albada, direktor observatorium dari tahun 1951-1958, karena saat itu teleskopnya akan digunakan untuk meneliti Galaksi Bima Sakti, meskipun ia sendiri tidak pernah menggunakannya.[13] Teleskop Schmidt Bimasakti memiliki keunggulan jika dibanding dengan teleskop besar lainnya dalam lama waktu objek yang difoto. Teleskop ini digunakan untuk mengamati bintang dengan emisi garis Hidrogen, bintang kelas M, dan bintang Wolf-Rayet[1]
Teleskop GAO-ITB RTS adalah teleskop 0,279 m yang sepenuhnya digerakkan dengan kompter dan dari jarak jauh. Teleskop ini merupakan hasil kerjasama antara Observatorium Astronomi Gunma (GAO) di Jepang dengan ITB pada 2005. Teknologi jarak jauh yang dipasang memungkinkan pengamat di Jepang bisa mengakses teleskop ini. Pada 2015, teleskop ini ditingkatkan dengan diameter 0.28 meter dan spektograf untuk pengamatan garis emisi komet dan supernova.[1]
Teleskop STEVia
Teleskop STEVia (Survey Telescope for Exoplanet and Variable star) adalah teleskop reflektor 0.279 meter yang dibangun pada 2013. Teleskop ini digunakan untuk survei pada gugus bintang terbuka dalam rangka mencari planet luar surya dan bintang variabel baru dan mengamati peristiwa langit yang berlangsung singkat seperti supernova dan okultasi bintang.[1]
Bosscha Robotic Telescope
Bosscha Robotic Telescope (BRT) adalah teleskop robotik 0.35 meter yang dipasang pada 2019, menjadikannya teleskop terbaru di Observatorium Bosscha. BRT ini merupakan teleskop robotik Observatorium Bosscha generasi kedua, dengan BRT generasi pertama sudah dipindahkan ke Universitas Nusa Cendana. BRT dimasukkan sebagai salah satu langkah persiapan untuk observatorium nasional yang akan dibangun di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Teleskop ini digunakan untuk mengamati planet luar surya, bintang variabel, dan asteroid yang berjarak dekat dengan Bumi.[14]
Teleskop lainnya
Teleskop Surya
Teleskop ini merupakan teleskop Matahari yang terdiri dari 3 buah telekop Coronado dengan 3 filter yang berbeda, serta sebuah teleskop proyeksi citra Matahari yang sepenuhnya dibuat sendiri. Fasilitas ini merupakan sumbangan dari Kementerian Pendidikan, Sains, dan Kebudayaan, Negeri Belanda, Leids Kerkhoven-Bosscha Fonds, Departemen Pendidikan Nasional, serta Kementerian Negara Riset dan Teknologi.[15]
Teleskop radio 2,3m
Teleskop radio Bosscha 2,3m adalah adalah instrumen radio jenis SRT (Small Radio Telescope) yang didesain oleh Observatorium MIT-Haystack dan dibuat oleh Cassi Corporation. Teleskop ini bekerja pada panjang gelombang 21 cm atau dalam rentang frekuensi 1400-1440 MHz. Dalam rentang frekluensi tersebut terdapat transisi garis hidrogen netral, sehingga teleskop ini sangat sesuai untuk pengamatan hidrogen netral, misalnya dalam galaksi kita, Bima Sakti. Selain itu, teleskop ini dapat digunakan untuk mengamati objek-objek jauh seperti ekstragalaksi dan kuasar. Matahari juga merupakan objek yang menarik untuk ditelaah dalam panjang gelombang radio ini. Objek eksotik, seperti pulsar, juga akan menjadi taget pengamatan dengan teleskop radio ini.[16]
Dalam budaya populer
Observatorium Bosscha menjadi latar sebuah adegan dalam film Petualangan Sherina yang tayang pada tahun 2000.[17] Film tersebut mengisahkan keluarga yang merantau menuju Bandung. Sepanjang perjalanan dari kota asalnya, Jakarta, tokoh utama melintasi kawasan Lembang, termasuk Bosscha dan perkebunan teh di sekitarnya.[18]
Sebuah serial televisi berjudul The Amazing Race 23 yang tayang di Amerika Serikat pada 2013 menggunakan Observatorium Bosscha sebagai pemberhentian babak ke-9.[19] Episode yang menggunakan latar observatorium ini dinominasikan oleh Penghargaan Emmy untuk beberapa kategori dan memenangi penghargaan Outstanding Reality-Competition Program.[20]
Pada 2022, gambaran Observatorium Bosscha muncul sebagai latar awal film Pengabdi Setan 2: Communion. Observatorium ini dikisahkan sebagai tempat penemuan sekte penyembah setan di Indonesia.[21] Menanggapi hal itu, pihak Bosscha menegaskan bahwa film tersebut tidak direkam di kawasan observatorium dan mereka tidak mengetahui perihal adanya gambaran Observatorium Bosscha.[22]
Referensi
Catatan kaki
^ abcdefg"Instrumen". Observatorium Bosscha ITB. Diakses tanggal 23 April 2022.