Aksi 5 Agustus 1989Aksi 5 Agustus 1989 terjadi pada 5 Agustus 1989 ketika sekelompok mahasiswa Institut Teknologi Bandung melakukan unjuk rasa di Gedung Serba Guna ITB Bandung, Jawa Barat untuk memboikot kedatangan Menteri Dalam Negeri Rudini karena terlibat dalam konflik tanah dan penggusuran permukiman rakyat di berbagai daerah, antara lain di Pulau Panggung, Lampung Selatan. Latar belakangTanggal 5 Agustus 1989, pihak rektorat mengundang para ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan di ITB untuk menghadiri acara Penerimaan Mahasiswa Baru dan Pembukaan Penataran P4 Angkatan 1989. Menurut rencana, acara itu dihadiri Menteri Dalam Negeri Jenderal TNI (Purn.) Rudini yang akan membuka penataran P4. Ketua Himpunan Mahasiswa Biologi "Nymphaea", Affan Hidayat membawa surat undangan itu dalam pertemuan di Jalan Kanayakan Bawah, Bukit Dago pada 3 Agustus 1989. Rumah di Jalan Kanayakan Bawah disewa Ondos (Theodorus Jacob Koekertis) setelah Andar Manik, penyewa sebelumnya, pindah ke Bukit Dago Utara. Saat itu istri Andar, Marintan Sirait, sedang menantikan kelahiran putra pertama mereka. Ondos menyewa rumah itu agar dapat konsentrasi penuh untuk menyelesaikan tugas akhir. Selepas aksi advokasi mahasiswa untuk kasus Badega dan Kacapiring, Ondos dan Didi sibuk menyelesaikan tugas akhir perkuliahan. Namanya juga aktivis, mereka yang saat itu sedang ada di Bandung merasa perlu memberikan penyambutan kepada Menteri Dalam Negeri Rudini, mantan Kepala Staf TNI Angkatan Darat. Ammarsjah, Presiden Komite Pembelaan Mahasiswa, yang memimpin diskusi bertanya kepada peserta tentang surat undangan dari Rektorat ITB. "Masak ada pejabat negara masuk ITB dibiarkan begitu aja, sih?" tanya Didi. Pada dekade 1970-an sampai akhir 1980-an sangat jarang pejabat negara dapat berkunjung ke ITB tanpa disambut demonstrasi. Peserta diskusi, kebanyakan para aktivis senior, sepakat Menteri Dalam Negeri Rudini tidak sepantasnya hadir dalam pembukaan Penataran P4 di kampus ITB. Alasannya, banyak sorotan terhadap Rudini terkait konflik tanah dan penggusuran permukiman rakyat di berbagai daerah, antara lain di Pulau Panggung, Lampung Selatan. Salah satu hasil diskusi, Affan bertugas menghubungi Wijaya (Ketua Forum Komunikasi Himpunan Jurusan) agar FKHJ juga menolak kehadiran Rudini dan meminta Wijaya menyelenggarakan rapat bersama FKHJ-KPM. Tanggal 4 Agustus sore, Ammarsjah membawa hasil diskusi di Jalan Kanayakan Bawah itu ke rapat FKHJ yang berlangsung di kantin Gedung Student Center Barat. Rapat FKHJ sore itu sebenarnya digelar untuk mendiskusikan, mempertanyakan, dan mengambil sikap terhadap kebijakan zero drop-out yang dilansir Wiranto Arismunandar, Rektor ITB yang pada saat itu baru 8 bulan menjabat. Rapat yang dipimpin Bambang Sugianto L.N. (Ketua Badan Eksekutif FKHJ) mengajak FKHJ untuk memboikot kedatangan Rudini. FKHJ yang dipimpin Wijaya Santoso menyetujui usulan tersebut. Kesepakatan, KPM akan menggelar demonstrasi sebelum Menteri Dalam Negeri Rudini memasuki Aula Gedung Serba Guna ITB. Setelah Menteri Dalam Negeri masuk, FKHJ membacakan pernyataan sikap dan melanjutkannya dengan walk-out. Pembagian tugas untuk aksi tersebut adalah sebagai berikut.[a]
Ribuan mahasiswa baru memenuhi Gedung Serba Guna ITB pada Sabtu pagi, 5 Agustus 1989. Langkah Menteri Dalam Negeri Rudini dan Gubernur Jawa Barat Letjen TNI (Purn.) Yogie Suardi Memet yang akan memasuki Gedung Serba Guna ITB terhenti. Rombongan pejabat itu dihadang sekelompok mahasiswa yang melakukan unjuk rasa. Arnold Purba yang mengenakan topi petani meminta Menteri Dalam Negeri Rudini membaca isi spanduk. Yogie Suardi Memet hanya tersenyum. Salah satu spanduk berbunyi: "Ganyang Rudini si Antek Rezim Penindas." Ada yang berkomentar, tulisan pada spanduk itu kenceng banget! Ada pula poster bertuliskan: "Kampus ITB buka Tempat Cari Dukungan!" Aksi itu diwarnai dengan membakar ban bekas hingga api menyala dan mengepulkan asap yang membubung. Aksi lapangan itu dipimpin koordinator lapangan Jumhur dan Presiden KPM Ammarsjah. Demonstrasi itu juga ditandai dengan orasi oleh Jumhur dan Fadjroel Rachman untuk memberikan semangat bagi peserta aksi. Setelah Menteri Dalam Negeri memasuki Gedung Serba Guna ITB, para mahasiswa melakukan aksi lanjutan. Ketua FKHJ Wijaya Santoso dan Ketua Badan Eksekutif FKHJ Bambang Sugianto L.N. memimpin pembacaan petisi. Sesudah membaca petisi, 17 ketua himpunan/jurusan walk-out dari Gedung Serba Guna sebagai bentuk protes atas kehadiran Menteri Dalam Negeri. Rektor ITB[b] berang menyaksikan demonstrasi 5 Agustus. Dia segera menerapkan penindasan terhadap pelaku gerakan protes dengan melibatkan aparat Bakorstanasda. Dengan dukungan itu, dia memperketat keamanan kampus. Sikap itu menyemburkan aroma fasis. Baginya, Aksi 5 Agustus dilakukan oleh pelaku "kekacauan", "orang pandai yang jahat", dan merupakan "aksi yang dibayar", atau "melakukan sabotase". Penangkapan, Penyiksaan, dan PemecatanSenin siang, 7 Agustus 1989, Arnold Purba berjalan sendiri di tepi Jalan Ganesha, tak jauh dari pintu gerbang Kampus ITB. Dia hendak mengikuti rapat Forum Komunikasi Himpunan Jurusan ITB di kantin Gedung Student Center Barat. Tiba-tiba, sebuah mobil berhenti. Beberapa orang bertubuh tegap keluar dari mobil dan menyergap Arnold. Dia mencoba bertahan dengan memukul dan menendang-nendang sekuatnya. Orang-orang bertubuh tegap itu memukul dan menendang Arnold. Perlawanan Arnold terhenti saat seseorang menodongkan pistol. Arnold yang babak belur segera dimasukkan ke mobil. Kabar penangkapan Arnold menyebar ke dalam kampus, terdengar juga oleh peserta rapat FKHJ yang akan dihadiri Arnold. Agenda rapat saat itu adalah evaluasi pelaksanaan Aksi 5 Agustus 1989. Wijaya Santoso sebagai Sekjen FKHJ sekaligus koordinator aksi walk-out dan Bambang S.L.N. sebagai koordinator aksi lapangan, memimpin rapat itu. Hadir juga beberapa ketua himpunan mahasiswa jurusan, khususnya yang terlibat dalam aksi tersebut. Rapat yang awalnya berjalan santai di ruangan terbuka mendadak tegang. Mereka tidak menyangka aparat keamanan menyergap Arnold di depan kampus. Mereka bertanya-tanya, instansi apa yang melakukan penculikan itu. Rapat yang tidak dihadiri Arnold dan Jumhur Hidayat akhirnya pindah ke ruang studio lantai atas Jurusan Seni Rupa dan berlangsung hingga sore hari. Tidak ada keputusan penting dan strategis yang dihasilkan dari pertemuan itu. Semua peserta rapat sepakat untuk terus berkoordinasi, berkomunikasi, dan saling memberi tahu posisi masing-masing. Mereka mempunyai firasat, penculikan Arnold akan menjadi awal dari rangkaian peristiwa berikutnya. Malam harinya terdengar kabar, Jumhur Hidayat ditangkap di rumahnya bersamaan waktunya dengan penyergapan Arnold, sekitar pukul 14.00. Pada malam harinya, para penculik itu datang kembali ke rumah Jumhur untuk mengambil sejumlah berkas dan dokumen. Ternyata, para penculik berasal dari aparat Bakorstanasda. Lembaga ini merupakan bentukan Presiden Soeharto untuk meredam dan mengendalikan kepatuhan masyarakat terhadap rezim Orde Baru. Arnold dan Jumhur dimasukkan ke sel dan diinterogasi Bakorstanasda di Jalan Sumatera Nomor 37, Bandung. Proses penyekapan itu juga melibatkan Polwiltabes Bandung. Pada 10 Agustus 1989, Abdul Sobur (Ketua Keluarga Mahasiswa Seni Rupa - angkatan 1986) disergap di tempat parkir sepeda motor kampus ITB. Enam pria berbadan tegap menyeretnya ke luar kampus, menutup matanya, dan memasukkannya ke mobil CJ-7. Setelah tiga bulan, dia baru tahu tempat penahanannya, di gedung Detasemen Intel Bakorstanasda, Jalan Sumatera Nomor 37, Bandung. Serangkaian penculikan dan penyanderaan mengiringi Jumhur, Arnold, dan Sobur, sampai akhirnya pada 4 September 1989, tercatat 11 mahasiswa berada di sel tahanan Bakorstanasda.
Kabar penculikan dan penangkapan Arnold dan Jumhur dengan cepat beredar sampai ke luar kota. Muncul pernyataan sikap dari mahasiswa-mahasiswa di Jakarta. Dengan mengatasnamakan Presidium Ikatan Mahasiswa Jakarta, mereka menyatakan dukungan dan simpati terhadap peristiwa yang menimpa rekan-rekan mereka di ITB. Pernyataan sikap itu menyerukan agar perguruan tinggi di Indonesia tidak mengundang pejabat negara ke kampus-kampus. Mereka menuntut para rektor untuk bersikap tegas menolak kedatangan para pejabat. Kecaman keras juga disampaikan kepada Bakorstanasda yang menangkap mahasiswa dengan sewenang-wenang tanpa surat izin penangkapan. Pernyataan sikap itu diakhiri dengan pengumuman kepada seluruh mahasiswa di Jakarta untuk menghadiri "Apel Akbar Mahasiswa Jakarta" pada 19 Agustus 1989, di Taman Sastra, IKIP Jakarta. Muhammad Yamin, utusan dari Yogyakarta, berada di Bandung sejak 5 Agustus 1989, ikut menyebarkan berita penangkapan ini. Yamin berkunjung ke Bandung untuk membahas penangkapan mahasiswa: Beathor Suryadi di Jakarta; Bonar Tigor Naipospos, Bambang Isti Nugroho, dan Bambang Subono di Yogyakarta. Beathor ditahan karena aksinya yang menggugat kenaikan tarif listrik. Sementara itu, ketiga aktivis Yogyakarta ditahan dengan tuduhan menyimpan dan mengedarkan buku terlarang. Rencananya, Yamin akan kembali ke Yogyakarta bersama teman-teman Bandung untuk membahas lebih lanjut tentang advokasi penangkapan para aktivis di Jakarta dan Yogyakarta. Namun, rencana itu gagal karena penangkapan beruntun para aktivis mahasiswa di Bandung. Selain diculik dan disandera aparat militer, para pelaku demonstrasi dan walk-out juga dijatuhi sanksi akademis. Rezim Wiranto memecat mereka dari status mahasiswa ITB. Mereka yang dicabut statusnya ialah Ammarsjah, Arnold Purba, Bambang Sugianto L.N., Enin Supriyanto, Lendo Novo, M. Fadjroel Rachman, M. Jumhur Hidayat, dan Wijaya Santoso sehingga mereka tidak dapat melanjutkan kuliah, sedangkan tiga lainnya bebas dari pemecatan. Selain pemecatan, Rektor ITB juga mengeluarkan sanksi skors dan peringatan keras terhadap lebih dari 30 mahasiswa dari berbagai jurusan. Kemudian, Rezim Wiranto mengeluarkan keputusan untuk melarang keberadaan KPM sehingga lembaga warisan Dewan Mahasiswa itu tidak boleh melakukan kegiatan di ITB. Sekretariat KPM yang terletak di Student Center Timur juga disegel. Rektor menurunkan aparat Bakorstanasda untuk mengambil dokumen-dokumen KPM yang tidak pernah dikembalikan. Rektor ITB menuduh para pelaku Aksi 5 Agustus sebagai "biadab", "dibayar", "memalukan", dan "merusak citra ITB yang friendly". Dia bahkan menuduh mahasiswa melakukan sabotase dan bertindak subversif. Proses pengambilan dokumen itu berlangsung pada Kamis malam, 10 Agustus 1989. Beberapa mahasiswa yang berjaga di Student Center melihat sejumlah orang berbadan tegap dengan rambut cepak dan berpakaian sipil berada di dalam kampus. Mereka berjalan berpasang-pasangan mengitari lokasi sekitar Student Center, diperkirakan sebanyak 20 orang. Tidak hanya itu, Indra Djati Sidi tampak bersama orang-orang yang tidak jelas identitasnya itu. Suasana tampak tegang saat unit kegiatan Satria Nusantara yang biasanya berlatih di lapangan basket membubarkan diri pada pukul 21.00. Sekitar lokasi Student Center makin lengang, pada saat bersamaan kehadiran Indra Djati dan orang-orang itu tampak mencolok. Tidak lama kemudian, Diyan Subromo, mahasiswa Geofisika dan Meteorologi 1983 dan sebagai wartawan majalah Editor, mendatangi lokasi Student Center. Ia menyampaikan berita bahwa ada beberapa teman yang menjadi target operasi, selain Jumhur dan Arnold yang telah ditangkap. Dia terkejut saat melihat teman-teman target operasi, di antaranya Ammar dan Dwito, ada di Student Center. Berdasarkan dua penangkapan sebelumnya, mereka yang masih bertahan di Student Center menganggap situasi tidak kondusif, akan ada operasi penangkapan di dalam kampus, sesuatu yang tidak pernah terjadi setelah tahun 1978. Kampus tidak dapat diharapkan menjadi benteng pertahanan terakhir untuk menghindari aparat. Mereka segera memutuskan untuk mengevakuasi teman-teman aktivis yang diduga menjadi target operasi penangkapan. Ammar meminta Dwito dan mahasiswa lain untuk memusnahkan (dengan membakar) sebisa mungkin dokumen di Student Center. Kemudian, Ammar mengatur strategi untuk keluar dari kampus. Ia menyerahkan jaketnya untuk dikenakan oleh Lianda. Ia juga memerintahkan Ipung dan Lianda untuk segera keluar dari kampus dengan menumpang mobil Ipung. Ammar dan Dwito keluar dari kampus dengan membonceng sepeda motor. Upaya mengelabui aparat ini ternyata berhasil. Mobil Ipung dibuntuti dan dikejar oleh mobil aparat. Namun, mereka berhasil menghentikan mobil Ipung saat tiba di Lembang. Aparat melepas Ipung dan Lianda karena target operasi tidak ada di mobil. Kesigapan merespons informasi membuat aparat gagal melakukan penangkapan di kampus. Ternyata, operasi malam itu bukan hanya untuk penangkapan. Aparat yang berada di dalam kampus juga menyerbu Sekretariat KPM yang tidak sempat dibersihkan karena letaknya jauh di belakang, sedangkan para aktivis berkumpul di Student Center. Ruang Sekretariat KPM diobrak-abrik. Berkas, dokumen, dan semua yang terkait dengan aktivitas KPM diangkut, bahkan mesin ketik. Setelah puas mengobrak-abrik dan membawa semua dokumen, pintu Sekretariat KPM pun digembok. Penggeledahan itu menyebabkan hilangnya dokumen-dokumen penting sejarah kemahasiswaan ITB sejak dekade 1970-an, termasuk dokumentasi foto aksi-aksi mahasiswa pada tahun 1978 dan peristiwa penembakan Rene L. Conrad pada tanggal 6 Oktober 1970. Tak puas dengan aksi pembersihan KPM, Jumat siang 11 Agustus 1989, rombongan dari rektorat menggeledah dan mengobrak-abrik Sekretariat Program Pengenalan Lingkungan Kampus dan FKHJ. Sejumlah spanduk saat Aksi 5 Agustus masih tersimpan di ruang FKHJ dan belum sempat diselamatkan, ikut diambil. Spanduk ini kemudian digunakan sebagai barang bukti untuk menuntut aktor aksi 5 Agustus di pengadilan. Para aktivis segera bertindak saat mengetahui Sekretariat FKHJ diberangus. Mereka buru-buru memindahkan sebagian besar dokumen dan barang-barang dari Sekretariat PSIK ke tempat aman di luar kampus. Sebuah mobil Chevrolet Bel Air kuning mondar-mandir untuk mengangkut barang-barang itu. Akibat penggembokan Sekretariat KPM dan FKHJ, menimpa dua sekretariat kegiatan mahasiswa, yaitu Sekretariat UKM Bridge yang menjadi satu dengan Sekretariat KPM dan Grup Apresiasi Sastra yang menjadi satu dengan Sekretariat PPLK/FKHJ. Tragedi pendudukan Kampus ITB oleh tentara pada 15 Januari dan 6-8 Februari 1978 terulang kembali. Namun, pendudukan tentara kali ini mendapat persetujuan rektorat. Wiranto Arismunandar akan dikenang sebagai Rektor ITB pertama yang tidak hanya membiarkan, tetapi juga bekerja sama dengan tentara untuk mengambil alih sekretariat gerakan mahasiswa dan memberangus kebebasan para aktivisnya. Peristiwa penyerbuan itu segera direspons mahasiswa. Tanggal 12 Agustus 1989, sehari setelah penyerbuan, perlawanan muncul kembali dalam bentuk peredaran selebaran pernyataan sikap. Kali ini selebaran dikeluarkan oleh "Komisi Mahasiswa Penanggulangan Kebiadaban Militer". Mereka menyatakan bahwa pendudukan tentara tak ubahnya "sebuah agresi militer" sekaligus menjadi "penghinaan terbesar bagi kampus yang terinjak-injak otonominya". Berondongan kecaman terhadap Orde Baru juga berhamburan di sepanjang isinya. Bagi mereka, rangkaian peristiwa di ITB dalam beberapa hari terakhir adalah pameran kekerasan yang dipraktikkan Orde Baru sekaligus menjadi ilustrasi "betapa congkaknya kekuasaan dan senjata dipamerkan oleh Orba". Selebaran itu diakhiri dengan sebaris kalimat: "Dengan mengucap bismillahirrahmanirrahim, kita langkahkan kaki kita melawan kezaliman". Rezim Wiranto juga menerapkan kebijakan yang beraroma fasis. Kampus ITB dinyatakan sebagai kawasan tertutup. Sebanyak 125 staf pengajar dikerahkan menjadi penjaga keamanan bersama Satuan Pengamanan. Mereka diperintahkan untuk bertugas menjaga enam pintu masuk dan keluar kampus pada tanggal 16-18 Agustus 1989. Tiap orang, terutama mahasiswa, yang masuk dan keluar kampus diperiksa dengan penjagaan ketat. Rangkaian tindakan Rektor ITB menimbulkan suasana mencekam di kampus. Direktur Komunikasi dan Program Khusus YLBHI Hendardi bersama Paskah Irianto turun tangan membantu Didi Yakub dan teman-teman dalam menghadapi penindasan rektorat dan aparat militer. Beberapa aktivis mahasiswa yang diincar aparat Bakorstanasda terpaksa bersembunyi supaya tidak diciduk. Nila Oktaviany menggagas langkah untuk mengantisipasi gelombang penangkapan dan penahanan sesudah 5 Agustus 1989. Pada 16-17 Agustus 1989, mereka berhasil mengumpulkan sekitar 50 aktivis di Cilembu. Ondos termasuk yang paling depan menggagas perlawanan atas serentetan tindakan penangkapan, penahanan, dan pemecatan mahasiswa. Bakorstanasda menangkap dan menahan para pelaku Aksi 5 Agustus secara sewenang-wenang. Di sisi lain Rektor ITB memecat atau mencabut status mahasiswa terhadap delapan demonstran sehingga mereka tidak dapat melanjutkan kuliah di ITB. Rektor juga memberlakukan ketentuan sendiri bahwa kebebasan berekspresi (freedom of expression) sama saja dengan nilai terburuk di bidang akademis atau bentuk tindakan tercela yang mencoreng ITB[c]. Jelas kiranya bahwa rezim Wiranto menggunakan rambu-rambu pribadi untuk menjatuhkan sanksi bagi aktivis mahasiswa yang melakukan demonstrasi. Selain sanksi pemecatan dari Kampus ITB, para aktivis Aksi 5 Agustus juga mengalami penyiksaan (torture) oleh aparat Bakorstanasda. Arnold Purba membeberkan penyiksaan yang dialaminya, Pada hari pertama penangkapan, 7 Agustus 1989, dia menjalani proses interogasi selama 24 jam yang diiringi intimidasi dan penyiksaan. Para petugas intelijen militer memaksanya memakan cacing dan meminum air seni. Mereka juga membentur-benturkan kepada Arnold ke tembok. Akibatnya, Arnold menderita sakit kepala berkepanjangan dan harus dirawat, tetapi tetap kambuh lagi.[d] Dalam eksepsinya, Ammarsjah juga mengakui mereka mengalami intimidasi dan penyiksaan selama disandera di Bakorstanasda. Tidak ada surat penahanan dan perpanjangan masa penahanan bagi pelaku Aksi 5 Agustus yang ditangkap Bakorstanasda. Pengadilan dan Kriminalisasi MahasiswaSetelah lebih dari 100 hari disandera, para aktivis mahasiswa Aksi 5 Agustus diseret ke pengadilan. Wewenang, tugas, dan tanggung jawab dialihkan kepada ketua pengadilan dan majelis hakim yang mengadili mereka. Jumhur Hidayat merasa bahwa jaksa yang menuntut mereka dan hakim yang menjatuhkan hukuman hanyalah kepanjangan tangan dari penguasa. Dia menyaksikan para jaksa penuntut umum yang secara organisasi tergabung dalam Korps Pegawai Republik Indonesia, bergetar ketika membacakan surat dakwaan. Bambang Sugianto L.N. juga mencatat kesalahan dan keteledoran jaksa, serta meragukan pengadilan atas dirinya dan teman-temannya yang dipimpin majelis hakim itu digelar untuk keadilan. Pengadilan atas mereka dapat dinilai sebagai bentuk kriminalisasi kebebasan. Sebelum diadili, pelaku Aksi 5 Agustus ditahan di tiga tempat penahanan, yaitu Bakorstanasda, Polwiltabes, dan Lembaga Pemasyarakatan Kebonwaru. Ketiga tempat itu lebih cocok sebagai tempat penyekapan sandera. Mereka bukan mencuri milik orang lain atau menganiaya Rektor ITB, tetapi tahanan politik mahasiswa yang ditangkap karena mengekspresikan kebebasan berpendapat. Faktanya, mereka diciduk dan disekap dalam tahanan Bakorstanasda tanpa surat penangkapan dan penahanan. Para pelaku Aksi 5 Agustus mulai diadili pada 29 November 1989. Arnold Purba dan Jumhur Hidayat diajukan pertama kali sebagai terdakwa oleh jaksa penuntut umum. Sekitar 5.000 orang menghadiri sidang ini. Kedua terdakwa didampingi para penasehat hukum yang digalang Lembaga Bantuan Hukum Bandung dan Komppak FKHJ-ITB. Selanjutnya empat mahasiswa diajukan ke sidang pengadilan, yaitu Bambang Sugianto L.N., Ammarsjah, Fadjroel Rachman, dan Enin Supriyanto. Mahasiswa yang didakwa dan penasehat hukumnya berhadapan dengan jaksa penuntut umum. Majelis hakim memihak jaksa penuntut umum. Sesudah jaksa penuntut umum membacakan surat dakwaan, para terdakwa diberi kesempatan untuk mengajukan eksepsi atau keberatan atas tuduhan-tuduhan jaksa penuntut umum. Komppak FKHJ-ITB yang dipimpin Suluh Tripambudi R. membantu mereka dalam menyusun eksepsi. Pada 3 Januari 1990, terjadi insiden saat persidangan. Petugas pengadilan menendang seorang mahasiswi pengunjung sidang. Fadjroel Rachman yang didakwa dalam persidangan tidak dapat menerima perlakuan petugas pengadilan tersebut. Dia bersama kuasa hukumnya, yaitu Maqdir Ismail dan Budi Surbakti, segera menyampaikan protes kepada majelis hakim. Karena protes itu tidak dihiraukan, Fadjroel Rachman melakukan aksi walk-out dari ruang sidang yang disusul kedua penasehat hukumnya. Lalu, aksi itu disusul teman-temannya sesama terdakwa sebagai bentuk solidaritas. Sebaliknya, Ketua Pengadilan Bandung menyatakan, sesuai Pasal 176 KUHAP, persidangan tetap dijalankan walau tanpa dihadiri terdakwa dan penasehat hukumnya. Lima mahasiswa pelaku Aksi 5 Agustus yang juga ditangkap dan disekap di Bakorstanasda, Polwiltabes, serta Lembaga Pemasyarakatan Kebonwaru, yaitu Abdul Sobur, Dwito Hermanadi, Lendo Novo, Nur Adi Bijantara, dan Wijaya Santoso tidak diadili karena mereka dibebaskan Kejaksaan Bandung pada 9 Desember 1989. Mereka menghirup udara bebas setelah disekap selama berbulan-bulan dan mengalami penderitaan akibat penyiksaan. Namun, Lendo Novo dan Wijaya Santoso tetap dipecat dari status mahasiswa oleh Rektor ITB. Ketika sidang memasuki tahap pembelaan, mulai 29 November 1989 seluruh pelaku Aksi 5 Agustus menyusun naskah pembelaan pada Januari 1990. Tim yang ikut membantu penyusunan pleidoi itu, antara lain Didi Yakub, Theodorus Jacob Koekerits, Harry Wibowo, Koster Rinaldi, Nelson Napitupulu, Nila Oktaviany, Lianda Lubis, Minsani Lubis, Suluh Tripambudi, Juanito Djamal, Suryadi Radjab, Ricky Pesik, Oskar K.T.G., Priyambudi Sulistiyanto, dan Rocky Gerung. Tim ini bekerja siang-malam di Sekretariat Fressa di Jalan Pangkur III, Turangga, Bandung. Di tengah rasa waswas bakal digerebek, mereka harus menyelesaikan enam naskah pleidoi. Para pelaku Aksi 5 Agustus kemudian membacakan nota pembelaan mereka.
Secara umum, pleidoi mereka menggugat eksistensi Orde Baru terkait perenggutan hak-hak manusia oleh militer, penindasan secara kultural, perampasan lahan garapan rakyat, dan sistem politik antidemokrasi. Mereka juga menyebutkan perihal harapan yang sirna dan semangat perjuangan untuk melawan Orde Baru. Dari segi isu, pleidoi mereka telah merangkum keseluruhan bentuk perubahan yang seharusnya dilakukan. Jaksa penuntut umum menuntut hukuman dua tahun sampai dua tahun tiga bulan kepada para pelaku Aksi 5 Agustus. Mereka didakwa dengan Pasal 154 KUHP, ditambah Pasal 207 dan 208 KUHP.[e] Selanjutnya, mereka membacakan pleidoi-pleidoi. Mereka melawan para jaksa dengan mengungkap gugatan mereka terhadap Orde Baru. Tak seorangpun mengaku telah melakukan tindak kriminal terhadap Rektor Wiranto Arismunandar dan Menteri Dalam Negeri Rudini. Namun, mesin pengadilan Orde Baru menampakkan sosok yang tidak berbelas kasihan. Pada Februari 1990, majelis hakim pun menjatuhkan hukuman lebih lama dari tuntutan jaksa. Vonis itu terkesan mengejutkan, tetapi sebenarnya hasil akhirnya dapat ditebak karena pengadilan sebagai institusi negara memiliki cara pandang yang sama dengan penguasa, yaitu antikritik dan antidemokrasi.
Para pelaku Aksi 5 Agustus dipaksa untuk menjalani proses pengadilan sesudah disandera selama beberapa bulan. Selanjutnya mereka dipaksa lagi menjalani hukuman penjara. Sebelum diadili, mereka dipindah dari sel-sel Bakorstanasda ke Lembaga Pemasyarakatan Kebonwaru. Setelah insiden pembuangan ke Nusakambangan, mereka kembali ke Bandung dan disatukan ke Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin. Tidak berapa lama mereka dipisah, empat orang di Sukamiskin dan dua orang di Lembaga Pemasyarakatan Banceuy di Jalan Soekarno-Hatta. Masa di penjara memang terasa sangat berat bagi pelaku Aksi 5 Agustus yang terbiasa dengan kebebasan. Karena tidak berbuat kriminal, mereka tidak ragu untuk mengajukan banding dan kasasi. Namun, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung tidak mengabulkan. Mereka tetap menjadi tahanan politik dan terpaksa menjalani masa hukuman. Peristiwa menegangkan terjadi pada 7 September 1990 pukul 23.00 di Lembaga Pemasyarakatan Kebonwaru. Jumhur Hidayat, Arnold Purba, Enin Supriyanto, Fadjroel Rachman, Ammarsjah, dan Bambang Sugianto L.N. dipaksa masuk ke mobil tahanan tanpa diberi tahu tujuannya. Mereka dikawal beberapa petugas polisi bersenjata laras panjang. Ternyata, sopir mobil tahanan itu membawa mereka ke daerah Cilacap, Jawa Tengah. Selepas subuh pada 8 September 1990, satu per satu dijebloskan ke dalam sel yang berbeda dengan pengamanan paling maksimum (super maximum security). Lalu, tanggal 11 September 1990 mereka dibawa kembali ke Bandung dan masuk ke Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin. Akhirnya, pada 22 Februari 1992 mereka menghirup udara bebas. Catatan Kaki
Referensi
|