Penembakan Misterius (disingkat Petrus) adalah operasi rahasia pada masa Orde Baru di bawah Soeharto pada tahun 1980-an. [1] Operasi ini bertujuan menanggulangi tingkat kejahatan tinggi dengan melakukan penangkapan dan pembunuhan terhadap individu yang dianggap mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat, terutama di Jakarta dan Jawa Tengah. [1] Pelaku Petrus tidak pernah teridentifikasi, sehingga memunculkan istilah "petrus" sebagai singkatan dari "penembak misterius".
Sejarah
Petrus berawal dari operasi penanggulangan kejahatan di Jakarta. Pada tahun 1982, Soeharto memberikan penghargaan kepada Kapolda Metro Jaya, Mayjen Pol Anton Soedjarwo atas keberhasilan membongkar perampokan yang meresahkan masyarakat. Pada Maret tahun yang sama, di hadapan Rapim ABRI, Soeharto meminta ABRI mengambil langkah pemberantasan yang efektif menekan angka kriminalitas. Hal yang sama diulangi Soeharto dalam pidatonya tanggal 16 Agustus 1982. Permintaannya ini disambut oleh Pangopkamtib Laksamana Soedomo dalam rapat koordinasi dengan Pangdam Jaya, Kapolri, Kapolda Metro Jaya dan Wagub DKI Jakarta di Markas Kodam Metro Jaya tanggal 19 Januari 1983. Dalam rapat itu diputuskan untuk melakukan Operasi Clurit di Jakarta, langkah ini kemudian diikuti oleh ABRI di masing-masing kota dan provinsi lainnya.
Akibat
Pada tahun 1983, tercatat 532 orang tewas, dengan 367 di antaranya akibat luka tembak. Tahun berikutnya, 107 orang tewas, termasuk 15 karena tembakan. Pada 1985, korban tewas mencapai 74 orang, 28 di antaranya karena ditembak.[2]
Para korban Petrus sering ditemukan dalam kondisi tangan dan leher terikat, banyak yang dimasukkan ke dalam karung dan ditinggalkan di pinggir jalan, rumah, sungai, laut, hutan, atau kebun. Pola penculikan oleh orang tak dikenal dan penjemputan oleh aparat keamanan menjadi ciri khas operasi ini.
Petrus pertama kali dilaksanakan di Yogyakarta dan diakui secara terbuka oleh Komandan Kodim 0734 saat itu, M. Hasbi, sebagai operasi pembersihan "preman". Panglima Kowilhan II Jawa-Madura, Letjen TNI Yogie S. Memet, kemudian mengembangkan operasi ini ke berbagai kota lain secara tertutup.
Kontroversi
Operasi Petrus memicu kontroversi dan perdebatan sengit di berbagai kalangan, termasuk ahli hukum, politisi, dan pemegang kekuasaan. Pro dan kontra bermunculan terkait efektivitas dan etika operasi ini. Bahkan, Amnesty International mengirimkan surat mempertanyakan kebijakan pemerintah Indonesia terkait Petrus.
Tanggapan
Tindakan tegas bagaimana? Ya, harus dengan kekerasan. Tetapi, kekerasan itu bukan lantas dengan tembakan.. dor.. dor.. begitu saja, bukan! Yang melawan, mau tidak mau, harus ditembak. Karena melawan, mereka ditembak. Lalu, ada yang mayatnya ditinggalkan begitu saja. Itu untuk shock therapy, terapi goncangan. Ini supaya orang banyak mengerti bahwa terhadap perbuatan jahat masih ada yang bisa bertindak dan mengatasinya. Tindakan itu dilakukan supaya bisa menumpas semua kejahatan yang sudah melampaui batas perikemanusiaan itu. Maka, kemudian meredalah kejahatan-kejahatan yang menjijikkan itu.
— Suharto (Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (1989), yang ditulis Ramadhan K.H.)
Jangan mentang-mentang penjahat kerah dekil langsung ditembak, bila perlu diadili hari ini langsung besoknya dieksekusi mati. Jadi syarat sebagai negara hukum sudah terpenuhi. Setiap usaha yang bertentangan dengan hukum akan membawa negara ini pada kehancuran.
— Mantan Wapres Adam Malik (Sinar Harapan, 25 Juli 1983)
Landasan hukum operasi yang ditanganinya adalah Operasi Clurit. Sedang landasan pelaksanaannya adalah tingkat keresahan masyarakat.
— Dandim 0734 Letkol CZI Hasbi Hasan (Kompas, 15 April 1983)
Aparat keamanan bertekad menurunkan angka kejahatan, walaupun harus ditempuh dengan berbagai cara yang lunak sampai tindakan keras. Selama tiga bulan operasi penumpasan kejahatan di Semarang dan Solo, polisi berhasil menangkap 1.091 penjahat. Di antaranya 29 orang tewas tertembak dan empat lainnya tewas dikeroyok massa yang menangkap.
— Kadapol IX/Jateng Mayjen (Pol) Montolalu (Kompas, 23 Juni 1983)
Yang menyebut ada penembakan misterius hanyalah media massa sendiri.
— Pangdam V Jaya/Pangkopkamtibda Mayjen TNI Try Sutrisno bersama Deputy Kapolri Letjen Pol Drs Pamudji dan Kadapol Metro Jaya, Mayjen Pol Drs R Soedjoko (Sinar Harapan dan Berita Harian Gala, 24 Juni 1983).
Setuju mengenai adanya penembak-penembak misterius dalam menumpas pelaku kejahatan. Demi untuk memberikan rasa aman kepada 150 juta rakyat Indonesia, tidak keberatan apabila ratusan orang pelaku kejahatan harus dikorbankan.
— Ketua MPR/DPR Amir Machmud (Sinar Harapan, 21 Juli 1983).
Penjahat mati misterius tidak perlu dipersoalkan , mengenai adanya surat Amnesti Internasional, yang katanya mempersoalkan ini itu, termasuk penjahat terbunuh di Indonesia. Ini merupakan kepentingan yang lebih besar daripada mempersoalkan penjahat yang mati misterius, dan persoalan-persoalan asas yang dipermasalahkan.
Saya melihat sistem konvensional ini sudah tidak bisa mengatasi masalah kriminal yang terjadi di Indonesia, maka ini harus diambil satu pertimbangan, kriminalitas dibasmi atau tidak. Jadi keputusannya dibasmi demi kepentingan rakyat
— Wakil Ketua DPAAli Murtopo (Sinar Harapan, 28 Juli 1983).
Sedikitnya ada empat aspek yang harus diperhatikan, yaitu aspek keamanan, sosial, ekonomi dan politik. Memang aspek keamanan lebih menonjol, tapi tidak berarti aspek lainnya dapat ditinggalkan! Untuk itu para petugas keamanan agar tidak hanya terpukau pada aspek yang menonjol itu saja, tapi harus mendalami keseluruhan permasalahannya.
Jika usaha pemberantasan kejahatan dilakukan hanya dengan main tembak tanpa melalui proses pengadilan maka hal itu tidak menjamin adanya kepastian hukum dan keadilan. Padahal kedua masalah tersebut merupakan tuntutan hakiki yang diperjuangkan orang sejak zaman Romawi Kuno. Jika cara-cara seperti itu terus dilakukan maka lebih baik lembaga pengadilan dibubarkan saja. Jika ada pejabat apapun pangkatnya dan kedudukannya, mengatakan tindakan main dor-doran itu benar, saya tetap mengatakan hal itu adalah salah.
— Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Adnan Buyung Nasution SH (Sinar Harapan, 6 Mei 1983).
Sekalipun mereka penjahat, namun sebagai manusia berhak mendapat keadilan melalui lembaga peradilan. Dan menembak ditempat, walaupun oleh petugas Negara, jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan.
— Ketua Yayasan LBH Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Adnan Buyung Nasution S.H. (Sinar Harapan, 14 Mei 1983).