Konflik Wadas
Konflik Wadas adalah konflik yang timbul antara pihak warga Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah dan pihak Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Tentara Nasional Indonesia yang terjadi sejak tahun 2019 hingga saat ini. Konflik ini berlatar belakang rencana pemerintah dalam membuka penambangan terbuka batuan andesit yang berada di wilayah desa tersebut untuk dijadikan bahan baku pembangunan Bendungan Bener yang masih satu kecamatan dengan wilayah desa ini. Menurut masyarakat setempat, penambangan batu ini akan merusak lingkungan desa.[1][2] Sementara, pemerintah berdalih bahwa penambangan batu ini hanya untuk kebutuhan pembangunan bendungan saja dan akan direklamasi kembali.[3][4] Latar belakangPada 2017, pemerintah menetapkan pembangunan Bendungan Bener sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) melalui Perpres Nomor 58 Tahun 2017.[5] Bendungan tersebut rencananya akan mengairi lahan seluas 15.069 hektar dan menyediakan pasokan air baku sebesar 1,60 meter kubik per detik. Selain itu, Bendungan Bener juga akan digunakan sebagai pembangkit listrik yang diperkirakan akan mampu menghasilkan daya sebesar 6 megawatt.[6] Proyek tersebut rencananya menggunakan material andesit dari bukit di Desa Wadas,[7] yang disebut sebagai "batu lemosoh" oleh warga setempat.[8] Dari 4.391 bidang tanah yang perlu dibebaskan untuk pembangunan Bendungan Bener, 769 di antaranya berada di Wadas.[9] Penolakan wargaPada tanggal 27 Maret 2018, warga Wadas melakukan penolakan rencana tersebut dengan berdemo di depan kantor Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak.[10] Demonstrasi tersebut dilakukan ketika 100 orang yang terdampak pembebasan lahan menerima sosialisasi dari pihak BBWS.[11] Beberapa orang yang tidak setuju terhadap rencana tersebut langsung meninggalkan sosialisasi dan bergabung dalam aksi demonstrasi.[10][11] Pada 7 Juni 2021, Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, mengeluarkan Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 590/20 Tahun 2021 tentang Pembaruan Atas Penetapan Lokasi Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Bendungan Bener di Kabupaten Purworejo dan Kabupaten Wonosobo Provinsi Jawa Tengah. Pada 15 Juli 2021, warga Desa Wadas melalui Gerakan Peduli Alam Desa Wadas (Gempadewa) menuntut Ganjar Pranowo ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang atas diterbitkannya SK Gubernur tentang lokasi pengadaan tanah Bendungan Bener. Tuntutan tersebut ditolak oleh PTUN Semarang melalui putusan pada 30 Agustus 2021.[12][13][14] Pada 14 September 2021, warga Wadas melakukan kasasi atas putusan tersebut. Kuasa hukum Wadas, Hasrul Buamona, beranggapan bahwa putusan tersebut tidak memiliki dasar hukum dan menganggap bahwa majelis hakim tidak mempertimbangkan aspek pengelolaan ruang hidup yang baik dan sehat.[13][15] Konflik di antara kedua pihak membesar pada April 2021[16][17] dan Februari 2022, dengan laporan dari masyarakat bahwa beberapa warga mengalami tindak kekerasan yang dilakukan oleh tentara dan polisi.[18][19] Dari kedua peristiwa itu, sedikitnya total 78 orang dari pihak warga Desa Wadas ditahan oleh pihak kepolisian.[20] Pada 31 Agustus 2023, situs web Pemerintah Provinsi Jawa Tengah mengumumkan bahwa warga Wadas telah menyepakati pembebasan lahan. Menurut Wakil Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah, Sumarsono, 56 dari 59 warga yang lahannya belum dibebaskan telah menandatangani dan menyetujui besar ganti untung yang diterima dan ia yakin pembebasan lahan bisa selesai pada bulan September. Pengumuman tersebut mengatakan bahwa Ketua Gampadewa, Sudiman, sudah menyetujui pembebasan lahan dan menginginkan musyawarah lanjutan untuk menyesuaikan besar ganti untung.[21][22] Namun, terdapat tudingan bahwa pengumuman tersebut menyebarkan berita palsu.[23] Dalam keterangannya pada 1 September 2023, Sudirman mengatakan bahwa warga Wadas yang sebelumnya menolak ganti rugi diancam dikonsinyasi jika menolak.[24] Laporan bahwa bahwa warga yang tidak hadir akan dianggap menyetujui besar dan bentuk ganti ruginya dilaporkan oleh salah satu pimpinan pemuda Wadas, Siswanto,[24] aktivis Gampadewa, Talabudin,[25] dan kelompok Akademisi Peduli Wadas.[26] Siswanto juga mengatakan bahwa musyawarah tersebut hanya menetapkan bentuk dan besaran ganti rugi dan bukan menyetujui pelepasan tanah.[24] Akademisi Peduli Wadas juga menilai bahwa ancaman konsinyasi tersebut tidak memiliki legitimasi hukum karena Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 590/20 Tahun 2021 sudah habis masa berlakunya pada 7 Juni 2023.[26] Setelah pertemuan tanggal 31 Agustus, penyerahan uang ganti rugi kepada sejumlah warga Wadas dijadwalkan dilaksanakan pada 29 September.[a] Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Purworejo, Andri Kristrianto menyebut bahwa setelah penyerahan ganti rugi ini dilaksanakan, pembebasan lahan untuk pembangunan Bendungan Bener sudah selesai.[9] Namun, pada 29 September, warga-warga Wadas tersebut hanya menyampaikan surat penolakan kepada BPN di balai desa.[28][27] Siswanto sebagai perwakilan mereka mengatakan bahwa mereka menolak karena mereka menilai proyek tidak memperhatikan efek lingkungan, jaminan keselamatan, dan jaminan kesejahteraan ekonomi warga.[28] Siswanto menyebut bahwa masih ada sengketa tanah yang belum diselesaikan dan meminta pemerintah mengembalikan tanah warga yang dihilangkan Pelaksana Pengadaan Tanah,[28] serta mengatakan bahwa belum ada kesepakatan terkait permintaan mereka, yaitu jarak blasting minimal 500 meter dan kejelasan terkait jumlah galian.[27] Sementara itu, Andri Kristianto mengatakan bahwa masalah sengketa lahan sudah diluruskan,[28] sedangkan Kepala Bidang Pelaksanaan Jaringan Sumber Air BBWS Serayu Opak, Andi Arwik, membantah pernyataan bahwa tidak ada kesepakatan terkait jarak aman dan mengatakan bahwa mereka sudah mengukur, merevisi tiga kali, dan mematok jarak aman sesuai kesepakatan bersama warga.[27] Karena pembayaran uang ganti rugi tidak jadi dilaksanakan sesuai jadwal, jadwalnya dipindahkan ke bulan Oktober.[b] TanggapanBeberapa pihak mengritisi masalah yang terjadi di Wadas. Agung Wardana, dosen hukum lingkungan Universitas Gadjah Mada, menilai bahwa alasan pengadaan tanah sebagai kepentingan umum tidak tepat digunakan untuk kepentingan penambangan. Ia menilai bahwa proyek bendungan dan tambang merupakan dua proyek yang berbeda sehingga tidak dapat menggunakan skema pengadaan tanah yang sama.[6] Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta menilai bahwa material proyek bendungan tidak harus berasal dari Desa Wadas sehingga tindakan BBWSO yang memaksakan penambangan di Wadas patut dicurigai.[29] Pemerintah Kabupaten Purworejo menyatakan akan bertanggung jawab dalam meredakan situasi yang memanas di Wadas, meskipun permasalahan proyek bendungan dan tambang diserahkan sepenuhnya ke pemerintahan pusat.[30] Catatan
Referensi
|