Muhammadiyah (bahasa Arab: محمدية, translit. muḥammadiyyah, har.'pengikut Muhammad'); secara resmi bernama Persyarikatan Muhammadiyah, adalah organisasi keagamaanIslamnon-pemerintah di Indonesia dan salah satu yang terbesar di negara itu.[3] Muhammadiyah atau Moehammadijah adalah nama gerakan Islam yang lahir di Kauman Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912 (8 Dzulhijjah 1330 Hijriyah). Pendiri Muhammadiyah adalah seorang kyai yang dikenal alim, cerdas, dan berjiwa pembaru, yakni Kyai Haji Ahmad Dahlan, yang sebelumnya atau nama kecilnya bernama Muhammad Darwisy.[4]
Muhammadiyah menganjurkan dibukanya keran ijtihad sebagai bentuk penyesuaian detail hukumIslam dengan perkembangan jaman dengan Ideologi mengedepankan Pancasila di bawah payung Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hal ini merupakan antitesis dari pemikiran kebanyakan muslim di masa kolonial yang mencukupkan diri dengan ijtihad ulama 4 mazhab dan menutup diri dari kemungkinan pembaharuan ijtihad.[5]
Muhammadiyah memainkan peran penting dalam perluasan doktrin teologis salafi di Indonesia.[6]Salafiyah merupakan gerakan reformasi di dalam Islam Sunni.[7] Sejak didirikan, Muhammadiyah telah mengadopsi platform reformis yang memadukan pendidikan agama dan pendidikan modern,[8] terutama sebagai cara untuk mempromosikan mobilitas Muslim ke atas menuju komunitas 'modern' dan untuk memurnikan Islam Indonesia dari praktik sinkretis lokal.[8] Sebagai organisasi modernis, Muhammadiyah masih terus mendukung budaya lokal dan mempromosikan toleransi beragama di Indonesia, sementara beberapa perguruan tinggi sebagian besar dimasuki oleh non-Muslim, terutama di provinsi Nusa Tenggara Timur dan Papua. Kelompok ini juga menjalankan rantai besar rumah sakit amal,[3] dan mengoperasikan 162 perguruan tinggi hingga saat ini.[9]
Pada tahun 2019, Muhammadiyah dianggap sebagai organisasi Islam terbesar kedua di Indonesia dengan 60 juta anggota.[5] Meskipun para pemimpin dan anggota Muhammadiyah sering terlibat aktif dalam membentuk politik di Indonesia, Muhammadiyah bukanlah sebuah partai politik. Muhammadiyah lebih mengabdikan dirinya untuk kegiatan sosial dan pendidikan.[10][11]
Sejarah
Pada tanggal 18 November 1912 (8 Zulhijah 1330 H), Ahmad Dahlan—pejabat pengadilan KeratonYogyakarta[12][13] dan seorang Ulama Muslim terpelajar lulusan dari Makkah—mendirikan organisasi Muhammadiyah di Kampung Kauman, Yogyakarta. Ada beberapa motif yang melatarbelakangi berdirinya gerakan ini. Di antara yang penting adalah keterbelakangan masyarakat Muslim, banyaknya muslim yang masih menyukai klenik dan banyaknya Kristenisasi di kawasan penduduk miskin. Ahmad Dahlan, yang banyak dipengaruhi oleh reformis MesirMuhammad Abduh, menganggap modernisasi dan pemurnian agama dari praktik sinkretis sangat vital dalam reformasi agama. Oleh karena itu, sejak awal Muhammadiyah sangat perhatian dalam memelihara tauhid dan menyempurnakan monoteisme di masyarakat.
Dari tahun 1913 hingga 1918, Muhammadiyah mendirikan lima sekolah Islam. Pada tahun 1919 sebuah sekolah menengah Islam, Hooge School Muhammadiyah didirikan.[14] Dalam mendirikan sekolah, Muhammadiyah menerima bantuan yang signifikan dari Boedi Oetomo, sebuah gerakan nasionalis penting di Indonesia pada paruh pertama abad kedua puluh, yang menyediakan guru.[15] Muhammadiyah pada umumnya menghindari politik. Tidak seperti mitra tradisionalisnya, Nahdlatul Ulama dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah, Muhammadiyah tidak pernah membentuk partai politik. Sejak didirikan, ia telah mengabdikan dirinya untuk kegiatan pendidikan dan sosial.
Dalam catatan Adaby Darban, ahli sejarah dari UGM kelahiran Kauman, nama ”Muhammadiyah” pada mulanya diusulkan oleh kerabat dan sekaligus sahabat Kyai Ahmad Dahlan yang bernama Muhammad Sangidu, seorang Ketib Anom Kraton Yogyakarta dan tokoh pembaruan yang kemudian menjadi penghulu Kraton Yogyakarta, yang kemudian diputuskan Kyai Dahlan setelah melalui salat istikharah (Darban, 2000: 34).[16] Pada masa kepemimpinan Kyai Dahlan (1912–1923), pengaruh Muhammadiyah terbatas di karesidenan-karesidenan seperti: Yogyakarta, Surakarta, Pekalongan, dan Pekajangan, sekitar daerah Pekalongan sekarang. Selain Yogya, cabang-cabang Muhammadiyah berdiri di kota-kota tersebut pada tahun 1922. Pada tahun 1925, Abdul Karim Amrullah membawa Muhammadiyah ke Sumatera Barat dengan membuka cabang di Sungai Batang, Agam. Dalam tempo yang relatif singkat, arus gelombang Muhammadiyah telah menyebar ke seluruh Sumatera Barat, dan dari daerah inilah kemudian Muhammadiyah bergerak ke seluruh Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan. Pada tahun 1938, Muhammadiyah telah tersebar ke seluruh Indonesia.
Pada tahun 1925, dua tahun setelah wafatnya KH. Ahmad Dahlan, Muhammadiyah hanya memiliki 4.000 anggota tetapi telah membangun 55 sekolah dan dua klinik di Surabaya dan Yogyakarta.[17] Setelah Abdul Karim Amrullah memperkenalkan organisasi kepada etnis Minangkabau, Muhammadiyah berkembang pesat. Pada tahun 1938, organisasi tersebut mengklaim 250.000 anggota, mengelola 834 masjid, 31 perpustakaan, 1.774 sekolah, dan 7.630 ulama. Pedagang Minangkabau menyebarkan organisasi ke seluruh Indonesia.[18] Akan tetapi, aset Muhammadiyah mayoritas berada di Pulau Jawa, termasuk masjid, sekolah, universitas, tanah wakaf dan rumah sakit. Aset Muhammadiyah diperkirakan sekitar Rp. 400 Triliun diantaranya 172 perguruan tinggi, 122 rumah sakit, 28 ribu lembaga pendidikan (5.346 SD-SMA) dengan 1 Juta siswa dan 214 Juta meter persegi tanah wakaf. [19][20][21][22][23]Aset Muhammadiyah di Jatim mencapai Rp. 150 Triliun diantaranya 29 RS, 72 klinik dan 2.200 sekolah dengan 360 ribu siswa.[24][25]Aset Muhammadiyah di Jateng diantaranya 25 universitas, 52 RS, 97 klinik dan 1.269 sekolah.[26][27][28]
Selama pergolakan dan kekerasan politik 1965–1966, Muhammadiyah menyatakan bahwa pemusnahan Partai Komunis Indonesia merupakan Perang Jihad, pandangan yang didukung oleh kelompok-kelompok Islam lainnya.[29] (Lihat juga: Pembantaian di Indonesia 1965–1966). Selama peristiwa seputar jatuhnya Presiden Soeharto tahun 1998, beberapa bagian Muhammadiyah mendesak pimpinan untuk membentuk sebuah partai. Oleh karena itu, pimpinan, termasuk ketua Muhammadiyah, Amien Rais, mendirikan Partai Amanat Nasional. Meski mendapat dukungan besar dari anggota Muhammadiyah, partai ini tidak memiliki hubungan resmi dengan Muhammadiyah. Pimpinan Muhammadiyah mengatakan anggota organisasinya bebas untuk bersekutu dengan partai politik pilihan mereka, asalkan partai tersebut memiliki nilai-nilai yang sama dengan Muhammadiyah.[30]
Persyarikatan Muhammadiyah didirikan untuk mendukung usaha K.H. Ahmad Dahlan untuk memurnikan ajaran Islam yang menurut anggapannya, banyak dipengaruhi hal-hal mistik. Kegiatan ini pada awalnya juga memiliki basis dakwah untuk wanita dan kaum muda berupa pengajian Sidratul Muntaha. Selain itu peran dalam pendidikan diwujudkan dalam penerbitan majalah Suara Muhammadiyah pada 1915,[31][32] pendirian sekolah dasar dan sekolah lanjutan, yang dikenal sebagai Hogere School Moehammadijah dan selanjutnya berganti nama menjadi Kweek School Moehammadijah (sekarang dikenal dengan Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta khusus laki-laki, yang bertempat di Jalan Letjend S. Parman 68, Patangpuluhan, Wirobrajan dan Madrasah Muallimat Muhammadiyah Yogyakarta khusus perempuan, di Suronatan Yogyakarta yang keduanya sekarang menjadi Sekolah Kader Muhammadiyah) yang bertempat di Yogyakarta dan dibawahi langsung oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Muhammadiyah Masa ke Masa
Periode Kepemimpinan Ahmad Dahlan (1912-1923)
Pada masa kepemimpinan Kyai Haji Ahmad Dahlan dimulai dari berdiri tahun 1912 sampai tahun 1923 pada saat Kyai wafat, kendati kelihatan sederhana tetapi memancarkan gerakan pembaruan yang luar biasa cemerlang. Pada masa itu gagasan-gagasan cemerlang dilahirkan seperti mendirikan sekolah (1911), menerbitkan publikasi/majalah Soeara Moehammadijah (1915), mendirikan Sopo Tresno (1914) yang kemudian menjadi ‘Aisyiyah (1917), Pandu Hizbul Wathan (1918), Weisshouse atau Panti Asuhan dan Penolong Kesengsaraan Omeoem atau PKU pada tahun 1922 satu bulan sebelum Kyai meninggal.[33]
Pada era Kyai Dahlan pula lahir gagasan pengorganisasian zakat, shalat Idul Fitri dan Idul Ahda di lapangan, pengorganisasian haji, penerbitan penerbitan brosur dan kegiatan taman pustaka lainnya, pengorganisasian mubaligh dan mubalighat untuk bertabligh yang berkeliling ke masyarakat untuk ”mempropagandakan” (menyiarkan) Islam, merintis membangun masjid/mushala ditempat-tempat umum dan perkantoran, dan ide-ide cerdas lainnya.[33]
Bahkan gagasan mendirikan Universitas Muhammadiyah justru telah muncul dari gagasan M. Hisjam selaku H.B. Muhammadiyah Bahagian Sekolahan, yang disampikan dalam “rapat anggota Muhammadiyah istimewa” pada tanggal 17 malam 18 Juni tahun 1920 yang dipimpin langsung oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan. Belum termasuk pelurusan arah kiblat yang menggemparkan sebelum Muhammadiyah didirikan.[34]
Dalam pertemuan resmi Muhammadiyah tahun 1920 itu dilantik untuk pertama kalinya empat Bahagian Hoofdbestuur Muhammadiyah, yaitu:
H.B. Muhammadiyah Bahagian Sekolahan, diketuai oleh sdr. H.M. Hisjam;
H.B. Muhammadiyah Bahagian Tabligh, diketuai oleh sdr. H.M. Fachruddin;
H.B. Muhammadiyah Bahagian Taman Poestaka, diketuai oleh sdr. H.M. Mochtar.
Ketika M. Hisjam dilantik dan ditanya pimpinan rencana apa yang akan diperbuatnya, Ketua Bahagian Sekolahan itu menjawab sebagai berikut:
“Bahwa saja akan membawa kawan-kawan kita pengurus bahagian sekolahan berusaha memadjukan pendidikan dan pengadjaran sampai dapat menegakan gedung Universiteit Muhammadijahm jang megah untuk mentjitak serdjana-serdjana Islam dan mahaguru-mahaguru Muhammadijah guna kepentingan umat Islam pada umumnja dan Muhammadijah pada chususnya.”[35]
Rencana Bahagian Sekolahan tersebut mendapat sambutan gembira dari para anggota Bahagian Tabligh, dan Bahagian Taman Pustaka yang hadir waktu itu. Namun ketika Suja’ selaku Ketua Bahagian PKO (Penolong Kesengsaraan Oemoem) menggagas tentang rencana mendirikan Hospital (Rumah Sakit), Armeinhais (Rumah Miskin), dan Weeshuis (Rumah Yatim) justru disambut dengan tertawa bernada ejekan. Suja’ sampai meminta waktu kepada pimpinan sidang, Kyai Dahlan, untuk menjelaskan rencana anehnya itu agar dipahami oleh anggota pertemuan Muhammadiyah. Dalam penjelasan panjang lebar, Suja’ memberikan argumentasi antara lain sebagai berikut:
“…..Dalam Al-Qur’an dapat kita lihat masih tertjantum Surat Al-Ma’un dengan njata dan lengkap, tidak sehurufpun jang kurang sekalimatpun berobah arti dan ma’nanja pun tetap sedjak turun diwahjukan oleh Allah sampai kini tetap djuga. Meskipun kitab sutji Al-Qur’an sudah berabad abad dan Surat Al-Ma’un mendjadi batjaan hari-hari dalam sembahjang oleh ummat Islam Indonesia pada umumnja dan di Jogjakarta pada hususnja, namun sampai kini belum ada seorang dari ummat Islam jang mengambil perhatian akan isi intisarinja jang sangat penting itu untuk diamalkan dalam masjarakat. Banjak orang-orang di luar Islam (bukan orang Islam) jang sudah berbuat menjelenggarakan rumah-rumah Panti Asuhan untuk memelihara mereka sifakir miskin dan kanak-kanak jatim jang terlantar dengan tjara jang sebaik-baiknja, hanja karena terdorong dari rasa kemanusiaan sadja, tidak karena merasa tanggung djawab dalam masjarakat dan tanggung djawab di sisi Allah kelak di hari kemudian. Kalau mereka dapat berbuat karena berdasarkan kemanusiaan sadja, maka saja heran sekali kalau ummat Islam tidak berbuat. Padahal agama Islam adalah agama untuk manusia bukan untuk chalajak jang lain. Apakah kita bukan manusia? Kalau mereka dapat berbuat, kena apakah kita tidak dapat berbuat? Hum ridjal wa nahnu ridjal…”.[36]
Dinamika pertemuan atau persidangan Muhammadiyah tersebut menunjukkan proses yang cerdas, demokratis, tetapi sebuah ide baru kadang tidak dengan mudah dipahami umat kala itu. Namun pertemuan Muhammadiyah tersebut tetap memutuskan rencana sebagaimana diagendakan oleh Ketua-Ketua Bahagian Sekolahan, Tabilgh, PKO, dan Taman Pustaka, yang kemudian menjadi tonggak gerakan sosial Muhammadiyah dikemudian hari.
Haji Suja’ sendiri mengakui kendati dirinya sempat kecewa dengan tanggapan peserta pertemuan yang terkesan menyepelekan gagasan barunya, tetapi persidangan tersebut diakuinya sebagai peristiwa istimewa yang tidak pernah terlupakan dan menjadi tonggak bagi Muhammadiyah berikutnya. Dengan dibentuknya Bahagian-bahagian langkah Muhammadiyah semakin terorganisasi dalam melaksanakan kegiatan-kegiatannya.
Kyai Dahlan bersama delapan anggota H.B. Muhammadiyah semakin giat melakukan aktivitas terutama dalam menjalin hubungan dengan pemerintah, dengan organisasi lain, dan dengan daerah binaan baru. H.B. Muhammadiyah pada waktu itu memang berjumlah sembilan orang terdiri atas Kyai Dahlan sendiri sebagai Presiden atau Ketua, disusul oleh Abdullah Sirad sebagai sekretaris serta Ahmad, Abdul Rahman, Sarkawi, Muhammad, Jaelani, Akis, dan Mohammad Fakih sebagai anggota.
Dalam perkembangan awal tersebut Muhammadiyah melakukan perluasan sasaran dan wilayah gerak organisasi ke luar Residensi Yogyakarta tetapi terkendala oleh Anggaran Dasar pertama yang memperoleh pengakuan pemerintah Hindia Belanda 15 Juni tahun 1914.
Pada waktu itu berdatangan tuntutan dari daerah-daerah di luar Yogyakarta yang menjadi donatur dan pembaca majalah Suara Muhammadiyah (Swara Moehammadijah) di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali yang mendukung dan bersetuju dengan Muhammadiyah untuk menyelenggarakan pengajian-pengajian yang akan menjadi anggota Muhammadiyah.
Selain itu, banyak anggota yang pindah ke luar Yogyakarta tetapi ingin tetap menjadi anggota dan melakukan kegiatan Muhammadiyah, namun terkendala oleh batasan wilayah Karesidensi Yogyakarta.
Animo calon anggota Muhammadiyah makin meluas terutama setelah mendengar pidato Kyai Ahmad Dahlan dalam rapat Boedi Oetomo di Kauman Yogyakarta pada tahun 1917 serta peranan Kyai Dahlan sebagai Komiaris dan Penasihat Urusan Agama di Sarekat Islam.[37]
Karena itu H.B. Muhammadiyah mengajukan perubahan Anggaran Dasar pada artikel 2 yang menyangkut wilayah sebaran, dengan artikel baru yaitu:
memajukan dan menggembirakan pengajaran dan pelajaran agama Islam di Hindia Belanda;
memajukan dan menggembirakan cara hidup sepanjang kemauan agama Islam kepada para anggotanya.
Usulan tersebut disetujui pemerintah Hindia Belanda dengan besluit nomor 40 tanggal 16 Agustus 1920. Perubahan artikel 4 dan lima dilakukan lagi yaitu mengubah dari ”Karesidensi Yogyakarta” menjadi ”di Hindia Belanda, yang memperoleh persetujuan dengan besluit nomor 36 tanggal 2 September 1921.
Persetujuan tersebut membuka peluang bagi masyarakat di seluruh wilayah Hindia Belanda untuk menjadi simpatisan dan anggota Muhammadiyah. Karena itu mengingat majalah Suara Muhammadiyah yang menjadi sarana perluasan Muhammadiyah waktu itu masih berbahasa Jawa diterbitkan dengan mengggunakan bahasa Melayu penyebaran informasi agama Islam dan Muhammadiyah secara lebih luas dan cepat ke seluruh wilayah tanah air.
Dengan demikian sejak tahun 1921 itulah terjadi perluasan anggota dan organisasi ke berbagai wilayah/daerah di Hindia Belanda. Sebelum perubahan Angggaran Dasar tahun 1914 yang membatasi Muhammadiyah hanya di wilayah Karesidensi Yogyakarta, pada waktu itu kegiatan Muhammadiyah dilakukan perkumpulan-perkumpulan yang melakukan kegiatan sebagaimana dilakukan oleh Muhammadiyah di Yogyakarta.
Perkumpulan-perkumpulan tersebut antara lain Sidiq Amanah Tabligh Fatahanah di Surakarta, Al-Hidayah di Garut Jawa Barat, Nurul Islam di Pekalongan, dan Al-Munir di Makassar Sulawesi Selatan. Tetapi setelah perubahan Anggaran Dasar sejak tahun 1921 terjadi perkembangan baru dengan perluasan anggota dan organisasi di seluruh Hindia Belanda.
Pada tahun 1921 terbentuk Cabang Muhammadiyah di Srandakan dan Imogiri (Yogyakarta), di Blora Jawa Tengah, dan Surabaya serta Kepanjen (Jawa Timur). Tahun 1922 terbentuk enam Cabang baru yaitu di Surakarta, Purwokerto, Pekalongan, dan Pekajanagan (Jawa Tengah), Garut (Jawa Barat), serta Batavia (Jakarta). Pada tahun 1923 terbentuk tiga Cabang baru yaitu di Purbalingga, Klaten, dan Balapulang semuanya di Jawa Tengah.
Pada waktu itu belum dibentuk Gerombolan atau Ranting Muhammadiyah yang berada di bawah Cabang. Perkembangan Cabang dan Gerombolan terjadi setelah era tahun 1923 pasca ditinggal Kyai Haji Ahmad Dahlan.
Pada rentang tahun 1916 sampai 1922 terjadi pertambahan anggota Muhammadiyah yang cukup signifikan. Tahun 1916 hanya 149 anggota tetapi pada tahun 1922 menjadi 3346 anggota yang sifatnya aktif. Berdasarkan pekerjaan pada umumnya anggota Muhammadiyah waktu itu terdiri dari saudagar/pedagang (38,6%) dan pegawai/ pamong praja/guru (24,6%), disusul pegawai urusan agama (6%), buruh (19,4%), wartawan (11%), dan swasta (0,6%).
Pada masa 1920-1923 itu juga berkembang sekolah Muhammadiyah yaitu dibentuknya Sekolah Angka 2 di Kauman/Suranatan, Karangkajen, Pasargede/Kotagede, dan Lempuyangan; kemudian Sekolah Guru Qismul Arqa Kauman, Sekolah Agama di Suranatan, dan Sekolah Angka 1 HIS Met de Qur’an.
Siswa yang belajar di sekolah Muhammadiyah sampai tahun 1923 tercatat 1.084 orang. Mengingat animo dan jumlah siswa perempuan bertambah maka Siswa Praja yang mengkoordinasikan aktivitas para siswa sekolah-sekolah Muhammadiyah dibagi menjadi Siswa Praja Pria dan Siswa Praja Wanita, yang setiap satu minggu sekali menyelenggarakan latihan kepemimpinan dalam berbagai bentuk kegiatan.
Pada tahun 1921 dibuka Pondok Muhammadiyah untuk tempat tinggal atau asrana siswa-siswi sekolah Muhammadiyah. Siswa laki-laki di Jayangprakosan dan dibina langsung oleh Kyai Dahlan, sedangkan siswa putri di rumah Kyai Dahlan dengan ibu asrama Nyai Dahlan sendiri.
Perkembangan berikutnya agar siswa-siswa itu terbina prestasi sekolahnya, maka dibuka dua asrama untuk siswa perempuan di Kauman dan untuk siswa laki-laki di Ngabean. Pada perkembangan berikutnya asrama Muhammadiyah tersebut tidak hanya menampung siswa-siswa sekolah Muhammadiyah tetapi juga berasal dari para siswa MULO dan AMS pemerintah serta Taman Siswa dengan bayaran yang lebih murah.[39]
Pada era awal kesadaran Muhammadiyah tentang tulis-menulis dan publikasi cukup tinggi dan merupakan hal yang terbilang cerdas untuk ukuran saat itu yang di kalangan umat Islam masih mengandalkan komunikasi langsung dan personal.[40]
Selain menerbitkan selebaran dan buku, pada tahun 1915 diterbitkan Majalah Soeara Moehammadijah yang berbahasa Jawa campuran bahasa Melayu yang diterbitkan Taman Pustaka Muhammadiyah. Pemimpin Redaksinya Fakhruddin, sosok muda yang cerdas, berani, dan penulis yang tajam yang sering mengkritik pemerintah Hindia Belanda, bahkan bersama Soerjopranoto sempat melakukan mobilisasi kaum buruh pabrik gula Madukismo untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial.
Kandungan isi Suara Muhammadiyah (SM) ialah pengajaran Agama Islam, berita Muhammadiyah, tanya jawab masalah, masalah organisasi, dan tulisan-tulisan lainnya. Majalah ini menjadi jembatan atau media yang cukup efektif dan tersebar bukan hanya di wilayah Yogyakarta tetapi juga ke Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali.
Setelah tahun 1923 ketika Muhammadiyah telah menyebarluas ke wilayah lain Hindia Belanda, majalah ini menggunakan bahasa Melayu. Melalui SM itu ide-ide Muhammadiyah dipropagandakan atau disebarluaskan. Hal yang menarik melalui majalah tersebut seperti yang terbit pada nomor 3 tahun 1922, terdapat soal jawab mengenai ”apakah agama Islam cocok dengan akal pikiran manusia” dalam topik ”Agami-Nalar”.
Dalam rubrik tanya jawab berbahasa Jawa di SM nomor tersebut ditanyakan hubungan akal dan agama. Setelah redaksi menjelaskan bagaimana agama-agama lain banyak yang tak bersesuaian dengan akal pikiran manusia, akhirnya disimpulkan bahwa ”...Ananging agami Islam poeniko tamtoetjotjok kalijan ngakaling Manoengsa”, artinya ’’Tetapi agama Islam itu tentu cocok dengan akal pikiran manusia”.[41]
Muhammadiyah generasi awal setelah Kyai Dahlan wafat pada 23 Februari tahun 1923 terus berkembang ke seluruh tanah air. Dalam penyebaran Muhammadiyah yang pesat itu cukup besar peranan orang-orang Muhammadiyah dari Sumatera Barat dalam menyebarluaskan Muhammadiyah ke wilayah-wilayah Indonesia karena mobilitas sosialnya yang cukup tinggi.
Periode Kepemimpinan K.H. Ibrahim (1923 – 1932)
Sebelum Kyai Haji Ahmad Dahlan wafat, ia berpesan kepada para sahabatnya agar tongkat kepemimpinan Muhammadiyah sepeninggalnya diserahkan kepada Kiai Haji Ibrahim, adik ipar KHA. Dahlan. Mula-mula K.H. Ibrahim yang terkenal sebagai ulama besar menyatakan tidak sanggup memikul beban yang demikian berat itu. Namun, atas desakan sahabat-sahabatnya agar amanat pendiri Muhammadiyah bisa dipenuhi, akhirnya dia bisa menerimanya. Kepemimpinannya dalam Muhammadiyah dikukuhkan pada bulan Maret 1923 dalam Rapat Tahunan Anggota Muhammadiyah sebagai Voorzitter Hoofdbestuur Moehammadijah Hindia Timur (Soedja‘, 1933: 232).[1]
Pada masa ini Muhammadiyah makin berkembang dan meluas hingga luar Jawa. Lalu terbentuk Majelis Tarjih, mengadakan penelitian pengembangan hukum-hukum agama. Para pemuda mendapat bentuk organisasi yang nyata. Beridiri Nasyiyatul Aisyiyah dan Pemuda Muhammadiyah.
Pada tahun 1923, Ketua Muhammadiyah Cabang Pekalongan mengundurkan diri karena tidak tahan menerima serangan kanan-kiri dari pihak-pihak yang tidak suka dengan Muhammadiyah kemudian digantikan Sutan Mansur. Sutan Mansur juga memimpin Muhammadiyah Cabang Pekajangan, Kedung Wuni, dan tetap aktif mengadakan tabligh dan menjadi guru agama.
Pada akhir 1925, Ketika terjadi ancaman dan konflik antara Muhammadiyah dengan orang-orang komunis di ranah Minang, Hoofdbestuur Muhammadiyah mengutus Sutan Mansur untuk memimpin dan menata Muhammadiyah yang mulai tumbuh dan bergeliat di bumi Minangkabau. Kepemimpinan dan cara berdakwah yang dilakukannya tidak frontal dan akomodatif terhadap para pemangku adat dan tokoh setempat, sehingga Muhammadiyah pun dapat diterima dengan baik dan mengalami perkembangan pesat.[2]
Pada tahun 1927,Fakhruddin dan Sutan Mansur melakukan tabligh dan mengembangkan Muhammadiyah di Medan dan Aceh. Melalui kebijaksanaan dan kepiawaiannya dengan cara mendekati raja-raja yang berpengaruh di daerah setempat atau bahkan dengan menjadi montir, Muhammadiyah dapat didirikan di Kotaraja, Sigli, dan Lhokseumawe.
Kongres Muhammadiyah ke-19 di Minangkabau (14-26 Maret 1930) memutuskan bahwa di setiap karesidenan harus ada wakil Hoofdbestuur Muhammadiyah yang dinamakan Konsul Muhammadiyah.
Pada 1932, Muhammadiyah telah memiliki 103 Volkschool, 47 Standaardschool, 69 HIS dan 25 Schakelschool.
Ia memimpin Muhamadiyah hanya selama tiga tahun. Pertama kali ia dipilih dalam Kongres Muhammadiyah ke-23 di Yogyakarta tahun 1934, kemudian dipilih lagi dalam Kongres Muhammadiyah ke-24 di Banjarmasin pada tahun 1935, dan berikutnya dipilih kembali dalam Kongres Muhammadiyah ke-25 di Batavia (Jakarta) pada tahun 1936.
Pada periode kepemimpinannya, titik perhatian Muhammadiyah lebih banyak diarahkan pada masalah pendidikan dan pengajaran, baik pendidikan agama maupun pendidikan umum.
Pada periode kepemimpinan Hisyam ini, Muhammadiyah telah membuka sekolah dasar tiga tahun (volkschool atau sekolah desa) dengan menyamai persyaratan dan kurikulum sebagaimana volkschool gubernemen. Setelah itu, dibuka pula vervolgschool Muhammadiyah sebagai lanjutannya. Dengan demikian, maka bermunculan volkschool dan vervolgschool Muhammadiyah di Indonesia, terutama di Jawa. Ketika pemerintah kolonial Belanda membuka standaardschool, yaitu sekolah dasar enam tahun, Muhammadiyah pun mendirikan sekolah yang semacam dengan itu. Bahkan, Muhammadiyah juga mendirikan Hollands Inlandsche School Met de Qur’an Muhammadiyah untuk menyamai usaha masyarakat Katolik yang telah mendirikan Hollands Inlandsche School Met de Bijbel.
Kebijakan K.H. Hisyam dalam memimpin Muhammadiyah saat itu diarahkan pada modernisasi sekolah-sekolah Muhammadiyah, sehingga selaras dengan kemajuan pendidikan yang dicapai oleh sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah kolonial. Ia berpikir bahwa masyarakat yang ingin putra-putrinya mendapatkan pendidikan umum tidak perlu harus memasukkannya ke sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah kolonial, karena Muhammadiyah sendiri telah mendirikan sekolah-sekolah umum yang mempunyai mutu yang sama dengan sekolah-sekolah pemerintah, bahkan masih dapat pula dipelihara pendidikan agama bagi putra-putri mereka. Walaupun harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang berat, sekolah-sekolah yang didirikan Muhammadiyah akhirnya banyak yang mendapatkan pengakuan dan persamaan dari pemerintah kolonial saat itu.
Dalam memajukan pendidikan Muhammadiyah K.H. Hisyam mau bekerjasama dengan pemerintah kolonial dengan bersedia menerima bantuan keuangan dari pemerintah kolonial, walaupun jumlahnya sangat sedikit dan tidak seimbang dengan bantuan pemerintah kepada sekolah-sekolah Kristen saat itu. Hal inilah yang menyebabkan K.H. Hisyam dan Muhammadiyah mendapatkan kritikan keras dari Taman Siswa dan Syarikat Islam yang saat itu melancarkan politik non-kooperatif. Namun, Hisyam berpendirian bahwa subsidi pemerintah itu merupakan hasil pajak yang diperas dari masyarakat Indonesia, terutama ummat Islam. Dengan subsidi tersebut, Muhammadiyah bisa memanfaatkannya untuk membangun kemajuan bagi pendidikan Muhammadiyah yang pada akhirnya juga akan mendidik dan mencerdaskan bangsa ini. Menerima subsidi tersebut lebih baik daripada menolaknya, karena jika subsidi tersebut ditolak, maka subsidi tersebut akan dialihkan pada sekolah-sekolah Kristen yang didirikan pemerintah kolonial yang hanya akan memperkuat posisi kolonialisme Belanda.
Di sekolah-sekolah Muhammadiyah tersebut juga dipakai bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Sekolah-sekolah Muhammadiyah saat itu merupakan lembaga pendidikan pribumi yang dapat menyamai kemajuan pendidikan sekolah-sekolah Belanda, sekolah-sekolah Katolik, dan sekolah-sekolah Protestan. Berkat jasa-jasa K.H. Hisyam dalam memajukan pendidikan untuk masyarakat, ia mendapatkan penghargaan dari pemerintah kolonial Belanda saat itu berupa bintang tanda jasa, yaitu Ridder Orde van Oranje Nassau. Ia dinilai telah berjasa kepada masyarakat dalam pendidikan Muhammadiyah yang dilakukannya dengan mendirikan berbagai macam sekolah Muhammadiyah di berbagai tempat di Indonesia.[3]
Periode Kepemimpinan K.H. Mas Mansur (1936 – 1942)
Dalam Kongres Muhammadiyah ke-26 di Yogyakarta pada Oktober 1937,Mas Mansur resmi ditunjuk menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah. Di bawah kepemimpinan Mas Mansur, Persyarikatan Muhammadiyah mengalami kemajuan yang sangat pesat baik dalam dakwah, pendidikan, kaderisasi, maupun dalam pergerakan nasional.
Sebagai organisasi federasi partai politik, GAPI secara aktif menuntut kepada Hindia Belanda untuk menerapkan pemerintahan demokratis bagi Indonesia. Berdasarkan anggaran dasar organisasinya, GAPI memiliki tujuan untuk: Menyatukan partai politik Indonesia dalam perjuangan kedaulatan pemerintahan Indonesia; Demokratisasi pemerintahan Indonesia; Mencegah konflik antar partai politik Indonesia dalam melakukan perjuangan kemerdekaan.
Mas Mansur pernah menolak tawaran menjadi Ketua Hod van Islamietische Zaken, yaitu lembaga yang bertugas memberikan nasihat-nasihat keagamaan Islam kepada Pemerintah Hindia Belanda. Meski akan memperoleh gaji sebesar seribu gulden setiap bulan, setara gaji bupati kala itu, ia tetap tegak pada pendirian tidak ingin menjadi alat pemerintahan penjajah. [4]
Dalam periode ini dirumuskan “Masalah Lima” mengenai dunia, agama, qiyas, sabilillah dan ibadah. Dan disusun pula “Langkah Dua Belas”:
Sukarno aktif menjadi Ketua Majelis Pengajaran Muhammadiyah dan Direktur Sekolah Menengah Muhammadiyah Bengkulu ketika menjalani pengasingan dari Ende ke Bengkulu pada 14 Februari 1938.
Sukarno mendebat penggunaan tabir di suatu rapat Muhammadiyah Bengkulu pada bulan Januari 1939. Sikap protes Sukarno ditunjukkan dengan cara walk out (meninggalkan) rapat tersebut.
Dalam protesnya, Sukarno menganggap penggunaan tabir melambangkan cara pandang Islam yang mundur. Tabir sendiri adalah pembatas perempuan dan laki-laki yang membuat jamaah perempuan tidak dapat melihat penceramaah atau jamaah lain dari lawan jenis.
pasca kejadian itu, Sukarno bertemu dengan tokoh Muhammadiyah Haji Syudjak dan Samaun Bakri. Keduanya sepakat dengan pandangan Sukarno. Haji Syudjak sendiri menyebut tabir memang tidak diperlukan dalam rapat Muhammadiyah, karena Kiai Ahmad Dahlan pun berpendapat demikian.
Protes Sukarno terhadap masalah tabir nyatanya karena Sukarno menaruh harapan besar untuk agar Muhammadiyah berhasil mengangkat umat dari pandangan kolot yang membelenggu untuk maju. Pada wawancara dengan koresponden Surat Kabar Antara yang dimuat di Surat Kabar Pandji Islam tahun itu, Sukarno berkata:
“… Saya adalah murid dari Historische School van Marx. Hal tabir itu saya pandang historisch pula, zuiver onpersoonlijk (bukan hal personal). Tampaknya seperti soal kecil, soal kain yang remeh. Tapi pada hakekatnya, soal mahabesar dan mahapenting, soal yang mengenai segenap maatsschappelijke positie (posisi sosial) kaum perempuan. Saya ulangi: tabir ialah simbol dari perbudakan kaum perempuan! Meniadakan perbudakan itu adalah pula satu historische plicht (tugas sejarah)!”
Tak cukup dengan uraian dari Haji Syudjak yang dikenal sebagai periwayat KH. Ahmad Dahlan, Sukarno meminta ketegasan soal hukum Islam dan pandangan Muhammadiyah ke tokoh Muhammadiyah lain yang juga sahabatnya, Kiai Haji Mas Mansur.
Dalam pandangannya Sukarno menganggap perintah Allah menundukkan pandangan (ghaddul bashar) sudah cukup sebagai pedoman dalam relasi muamalah laki-laki dan perempuan sehingga tidak perlu tambahan seperti tabir yang justru membuat perempuan terkungkung.
Surat Terbuka Sukarno bertajuk “Minta Hukum yang Pasti dalam Soal ‘Tabir” dimuat dalam bukunya, Di Bawah Bendera Revolusi (1959).
Kejadian lain pada periode ini, Pada Mei tahun 1940, Kasman singodimejo masuk penjara setelah meneriakkan kalimat “Untuk Indonesia Merdeka!” di ujung pidato dalam Konferensi Muhammadiyah se-Jawa Barat di Bogor.
Mas Mansoer bersama dengan Soekarno, Mohammad Hatta, dan Ki Hajar Dewantoro ditunjuk sebagai pimpinan PUTERA yang kemudian dikenal dengan sebutan Empat Serangkai. Keempat tokoh ini dianggap Jepang sebagai kelompok yang paling berpengaruh di Indonesia.
Keterlibatannya dalam Empat Serangkai mengharuskan Mas Mansoer pindah ke Jakarta, sehingga Ketua PB Muhammadiyah diserahkan kepada Ki Bagoes Hadikoesoemo.
Kepemimpinan Ki Bagus Hadi Kusumo (1944-1955)
Munculnya Ki Bagus Hadikusumo sebagai Ketua PB Muhammadiyah adalah pada saat terjadi pergolakan politik internasional, yaitu pecahnya perang dunia II. Kendati Ki Bagus Hadikusuma menyatakan ketidaksediaannya sebagai Wakil Ketua PB Muhammadiyah ketika diminta oleh Mas Mansur pada Kongres ke-26 tahun 1937 di Yogyakarta, ia tetap tidak bisa mengelak memenuhi panggilan tugas untuk menjadi Ketua PB Muhammadiyah ketika Mas Mansur dipaksa menjadi anggota pengurus Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA) di Jakarta pada tahun 1942.[5]
Pada 10 November 1943, Ki Bagus Hadikusumo, Soekarno dan Moh. Hatta mendapatkan undangan menghadap Kaisar Jepang. Kunjungan tiga delegasi Indonesia ke Jepang tersebut berjalan selama 17 hari. Pertemuan utamanya dilakukan untuk mempercepat proses kemerdekaan Indonesia.
Setelah sampai di Jepang, tiga utusan Indonesia ini diminta mengikuti sembahyang di Kuil upacara termulia bersama Kaisar Jepang. Salah satu rukun upacara sakral itu adalah harus meminum air sake (arak) dalam cangkir.
Ki Bagus Hadikusumo tidak mau minum sakai [sake, red] karena ajaran agama Islam mengharamkan minuman keras. Kemudian, Ki Bagus Hadikusumo menumpahkan arak itu ke lantai (karena tangannya gemetar). Tentu saja hadirin menjadi berdebar-debar, termasuk pembesar-pembesar militer Jepang,
Kekhawatiran hadirin tentu saja berkaitan dengan sikap keras prajurit Jepang untuk memenggal siapa pun yang menolak perintah. Apalagi yang ditolak Ki Bagus bukan permintaan biasa, melainkan dari seorang Kaisar.
Ki Bagus Hadikusumo menjelaskan alasannya menolak minum sake kepada Kaisar dan pejabat militer Jepang.
Atas kepandaiannya memberi penjelasan, Kaisar Hirohito pun tidak marah dan merasa takjub sehingga menghadiahkan cangkir dan cawan yang dipakai tempat Sake kepada Ki Bagus Hadikusumo.
Tak hanya mendapatkan hadian cawan, Ki Bagus Hadikusumo bersama Soekarno dan Hatta mendapatkan kehormatan untuk bertemu langsung dan berjabatan tangan dengan Kaisar.
Ki Bagus, Soekarno dan Hatta juga mendapatkan penghargaan Bintang Ratna Suci dari Kaisar. Soekarno mendapatkan lencana kelas dua (Kun Nito Juiho-Sho), sementara Ki Bagus Hadikusumo dan Hatta mendapatkan lencana kelas tiga (Kun Santo Juiho-Sho).[6]
Ki Bagus Hadikusuma gigih menentang instruksi “Sei Kerei” dari Jepang. Sei Kerei adalah membungkukkan badan ke arah timur (Negeri Jepang) menghormati Dewa Matahari, sebagai “Dewa penitis para Kaisar Jepang”. Upacara ini wajib dilakukan para siswa setiap pagi.
Melalui debat yang seru dengan Pemerintah Jepang, akhirnya pemerintah Jepang memberikan dispensasi. Khusus bagi semua sekolah Muhammadiyah untuk tidak melakukan upacara Sei Kerei. Ki Bagus Hadikusumo juga tercatat sebagai anggota Chuo Sangiin (Dewan Penasehat Pusat) buatan Jepang.
Memasuki masa orde lama awal, Persyarikatan Muhammadiyah masih berada dibawah kepemimpinan Ki Bagus Hadikusumo.
Muhammadiyah ikut mendirikan Pasukan Hizbullah Sabilillah, Majelis Syurau Muslimin Indonesia (Masjumi) pengganti MIAI, dan mendirikan Asykar Perang Sabil (APS). Ketika opsir Jepang mewakili Indonesia bagian Timur minta penghapusan 7 kata dalam Piagam Jakarta yang sudah disepakati untuk pembukaan UUD 1945, dan mengancam akan memisahkan diri dari RI, maka ki Bagus Hadikusuma mencarikan solusi dengan mengganti dengan kata “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Pada Sidang kedua BPUPKI 10-17 Juli 1945, salah satu hal yang menyita perhatian adalah upaya Ki Bagus untuk meminta Ketua Panitia UUD Ir. Soekarno mengubah frasa dalam bagian akhir naskah preambul Pernyataan Kemerdekaan yang berbunyi “Dengan berdasar kepada ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” untuk diperjelas menjadi “Berdasar kepada Ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam” atau dihilangkan sama sekali. Soekarno bergeming untuk menerima usulan Ki Bagus yang disampaikan beberapa kali.[7]
Sambil menggebrak meja, anggota BPUPKI lainnya Abdul Kahar Muzakir mendukung pernyataan Ki Bagus agar potensi mudharat atas kalimat tersebut dipertimbangkan sebaik mungkin. Tujuan Ki Bagus semata demi menjaga rasa keadilan di antara umat beragama dan menjaga persatuan bangsa Indonesia, selain menghindari kesan yang tidak baik dan adanya infiltrasi dari agen-agen musuh meski pada akhirnya, usulan tersebut tidak diterima dan perdebatan diakhiri pada 16 Juli 1945, demikian yang tercatat dalam Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945 (1995).
Bagaimanapun Ki Bagus tetaplah murid KH Ahmad Dahlan yang ingin memperjuangkan aspirasi hukum Islam di dalam negara sebagaimana yang telah dilakukannya dewan Priestraad Hindia-Belanda, meneruskan perjuangan gurunya. Dirasa tidak ada jalan lain untuk meninggikan kedudukan Hukum Islam, Ki Bagus akhirnya menerima tujuh kata yang pada awalnya tidak disepakatinya tersebut dan berusaha mempertahankannya. Konsekuensi yang tidak diinginkannya justru datang satu hari setelah proklamasi Kemerdekaan Indonesia menjelang penetapan UUD oleh PPKI pada 18 Agustus 1945.
Pernyataan tersebut dianggap menusuk hati orang non-muslim meskipun salah satu anggota Panitia Sembilan yang beragama Kristen, AA Maramis tidak merasa demikian dan mengganggap wajar bagi Indonesia yang 90 persen penduduknya adalah umat Islam. Tidak tanggung-tanggung, ancaman yang diberikan jika pemerintah tidak menghapus kalimat tersebut adalah lepasnya wilayah timur dari Republik Indonesia. Dalam suasana yang genting sehari setelah Kemerdekaan, kunci utama untuk memperbolehkan tujuh kata yang telah disepakati apakah boleh dihapus atau tidak adalah Ki Bagus Hadikusumo.
Soekarno mengutus Hatta dan Mr. Teuku Mohammad Hasan untuk menemui Ki Bagus yang pada akhirnya pulang dengan tangan kosong, menyusul demikian KH Wahid Hasyim yang bernasib sama. Ki Bagus pada akhirnya luluh setelah Kasman Singodimedjo datang membujuk dalam bahasa Jawa halus.
“Kalau bangsa Indonesia, terutama pemimpin-pemimpinnya cekcok, lantas bagaimana?”, “Kiai, tidakkah bijaksana jikalau kita sekarang sebagai umat Islam yang mayoritas ini sementara mengalah, yakni menghapus tujuh kata termaksud demi kemenangan cita-cita kita bersama, yakni tercapainya Indonesia Merdeka sebagai negara yang berdaulat, adil, makmur, tenang, tenteram, diridhai Allah swt,” dan tujuh kata dalam Piagam Jakarta itu pun dihapus.[8]
Pada Sidang Tanwir 1951 di Yogyakarta, diputuskan antara lain, Muhammadiyah tetap konsisten tidak akan berubah menjadi partai politik, “Sekali Muhammadiyah Tetap Muhammadiyah”. Selain itu juga menetapkan batas-batas otonomi Aisyiyah.
Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamirkan pada tahun 1945, masalah utama yang tersisa adalah pengakuan kedaulatan. Tanpa pengakuan dari negara lain yang telah berdaulat, proklamasi sebuah bangsa dianggap tidak berkekuatan hukum di mata internasional, hanya dianggap main-main belaka.
Memenuhi kebutuhan itu, tiga tokoh Muhammadiyah yakni Haji Agus Salim (ketua), H.M. Rasjidi, A. R Baswedan bertandang ke dunia Arab sebagai tim delegasi Pemerintah Indonesia. Selain tiga nama tersebut, turut bergabung Nazir St. Pamuntjak dan Abdul Kadir sebagai anggota. Misi diplomatik yang dilakukan selama April-Juli 1947 itu berhasil menggaet dukungan dari Mesir, Suriah, Lebanon, Arab Saudi, dan Yaman. [9]
Pada Sidang Tanwir di Bandung tahun 1952, ditetapkan mempertahankan Muhammadiyah menjadi anggota Istimewa Partai Masjumi, dan mengadakan peremajaan dilingkungan Muhammadiyah. Pada Sidang Tanwir di Solo, 1953, diputuskan anggota Muhammadiyah hanya boleh memasuki partai yang berdasarkan Islam.
Kasman menyesal karena tidak terwujudnya janji yang dia jaminkan kepada Ketua PP Muhammadiyah Ki Bagus Hadikusumo saat merayunya mau menghapus tujuh kata Piagam Jakarta.
Soekarno sendiri menjanjikan akan mengakomodir kembali tujuh kata itu dalam sidang MPR pada Februari 1946. Hingga Ki Bagus wafat pada 4 November 1954, janji tersebut belum terwujud meski Kasman menagih secara keras pada Sidang Konstituante 2 Desember 1957, termasuk hingga wafatnya Soekarno pada tahun 1970.
“Sayalah yang bertanggung jawab dalam masalah ini, dan semoga Allah mengampuni dosa saya,” ucap Kasman sambil menangis di depan anggota Muhammadiyah Lukman Harun.[10]
Periode Kepemimpinan AR Sutan Mansur (1953-1959)
Ahmad Rasyid Sutan Mansur atau lebih dikenal sebagai AR Sutan Mansur terpilih sebagai Ketua Pusat Pimpinan (PP) Muhammadiyah ketika berlangsung Kongres Muhammadiyah ke-32 di Purwokerto tahun 1953. Tiga tahun berikutnya yakni pada Kongres ke-33 di Yogyakarta, dia terpilih kembali sebagai ketua PP Muhammadiyah. Lantas pada kongres ke-35 tahun 1962 di Yogyakarta, Sutan Mansur diangkat sebagai Penasehat PP Muhammadiyah sampai 1980.
Tercatat selama masa kepemimpinannya dua periode (1953-1959) dia berhasil merumuskan khittah (garis perjuangan) Muhammadiyah. Antara lain mencakup usaha-usaha menanamkan dan mempertebal jiwa tauhid, menyempurnakan ibadah dengan khusyuk dan tawadlu, mempertinggi akhlak, memperluas ilmu pengetahuan, menggerakkan organisasi dengan penuh tanggung jawab, memberikan contoh dan suri tauladan kepada umat, konsolidasi administrasi, mempertinggi kualitas sumber daya manusia, serta membentuk kader handal.
Dalam bidang fikih, Sutan Mansur dikenal sangat toleran. Dia misalnya tidak terlalu mempermasalahkan perbedaan pendapat dalam masalah furu'iyyah (hukum agama yang tidak pokok). Hasil Putusan Tarjih Muhammadiyah dipandangnya hanya sebagai sikap organisasi Muhammadiyah terhadap suatu masalah agama, itu pun sepanjang belum ditemukan pendapat yang lebih kuat. Karenanya HPT menurut dia tidak mengikat anggota Muhammadiyah.[42]
Periode Kepemimpinan H.M. Yunus Anies (1959 – 1962)
Pembubaran Masyumi membawa implikasi buruk terhadap ummat Islam. Ummat Islam nyaris tidak terwakili di parlemen (DPR GR). Dalam kondisi demikian itu, Yunus Anis kemudian diminta oleh berbagai kalangan, termasuk A.H. Nasution, agar bersedia menjadi anggota DPR GR yang sedang disusun Presiden Soekarno. Kesediaannya menjadi anggota DPR GR sebenarnya mengundang banyak kritik dari tokoh-tokoh Muhammadiyah lainnya, sebab disadari Muhammadiyah saat itu tidak mendukung kebijakan Presiden Soekarno yang membubarkan Masyumi, serta bertindak secara otoriter menyusun anggota parlemen. Namun, kritik itu dijawabnya dengan ungkapan sederhana: bahwa keterlibatannya dalam DPR GR bukanlah untuk kepentingan politik jangka pendek, melainkan untuk kepentingan jangka panjang. Yakni, mewakili ummat Islam yang nyaris tidak terwakili dalam parlemen.
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menandai era berlakunya kembali UUD 1945 dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), kemudian menyulut timbulnya berbagai macam peristiwa politik yang tidak sehat. Tak sedikit manuver dan intrik dilakukan oleh partai politik, terutama Partai Komunis Indonesia yang sangat membahayakan bagi instabilitas kondisi politik Tanah Air saat itu. Dalam situasi seperti itulah Yunus Anis terpilih sebagai Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 1959-1962 pada Muktamar Muhammadiyah ke-34 di Yogyakarta.
Selama periode kepemimpinannya, Yunus Anis mengawal gagasan tentang Kepribadian Muhammadiyah. Perumusan tersebut digarap oleh sebuah tim yang dipimpin oleh K.H. Faqih Usman, dan akan diputuskan dalam Muktamar Muhammadiyah ke-35 tahun 1962 yang bertepatan dengan setengah abad Muhammadiyah.[11]
Periode K.H. Ahmad Badawi (1962 – 1968)
K.H. Ahmad Badawi dipilih dalam Muktamar ke-35 di Jakarta tahun 1962. Muhammadiyah berjuang keras untuk mempertahankan eksistensinya agar tidak dibubarkan. Karena waktu itu politik dikuasai oleh PKI dan Bung Karno tahun 1965.[43]
Citra politik Muhammadiyah pada masa kepemimpinan Badawi memang sedang tersudut, karena banyaknya anggota Muhammadiyah yang menjadi anggota dan pengurus Masyumi yang saat itu sedang menjadi target penghancuran oleh rezim Orde Lama. Citra ini memang sengaja dihembus-hembuskan oleh PKI, bahwa Muhammadiyah dituduh anti-Pancasila, anti-NASAKOM, dan pewaris DI/TII. Muhammadiyah pada saat itu berhadapan dengan adanya banyak tekanan politik masa Orde Lama.
Menghadapi realitas politik seperti itu, Muhammadiyah akhirnya dipaksa berhadapan dengan urusan-urusan politik praktis. Muhammadiyah sendiri kurang leluasa dalam beradaptasi dan berinteraksi dengan sistem politik yang dibangun Orde Lama. Akhirnya, Muhammadiyah mengambil kebijakan politik untuk turut serta terlibat dalam urusan-urusan kenegaraan. Meski demikian, realitas menunjukkan bahwa Muhammadiyah hanya mampu mengerem laju pengaruh komunis di masa Orde Lama yang kurang mengedepankan nilai agama dan moralitas bangsa.
Kebijakan Muhammadiyah seperti itu akhirnya membawa kedekatan Badawi dengan Presiden Soekarno. Semenjak 1963, Badawi diangkat menjadi Penasehat Pribadi Presiden di bidang agama. Perlu diperhatikan bahwa kedekatan Badawi dengan Soekarno bukan untuk mencari muka Muhammadiyah di mata Presiden. KHA. Badawi sangat bijak dan pintar dalam melobi Presiden dengan nuansa agamis. KHA. Badawi tidak menjilat atau menjadi antek Soekarno, seperti yang dilakukan oleh tokoh-tokoh lain. Ia memiliki prinsip agama yang kuat, sehingga Muhammadiyah mengamanatkan kepadanya untuk mendekati Soekarno. Kedekatan ini juga dirasakan oleh Soekarno, bahwa dirinya sangat memerlukan nasehat-nasehat agama. Oleh karenanya, bila KHA. Badawi memberikan masukan-masukan yang disampaikan secara bijak, Soekarno sangat memperhatikannya. Bahkan para menterinya pun diminta turut memperhatikan fatwa Kiai Badawi.
Bagi Muhammadiyah, keadaan ini sangat menguntungkan. Fitnahan terhadap Muhammadiyah yang terus jalan harus diimbangi dengan upaya mengikisnya. Soekarno sendiri sadar bahwa Muhammadiyah pada masa itu senafas dan seirama dengan Masyumi, namun ia tetap membutuhkan kehadiran Muhammadiyah. Bahkan Soekarno sepertinya semakin menyukainya untuk balance of power policy (PP. Muhammadiyah, t.t., halaman 6). Iktikad baik Soekarno ini menunjukkan bahwa dirinya sangat memerlukan kehadiran Muhammadiyah untuk mengimbangi keberadaan PNI, NU, dan PKI yang dirasanya lebih dekat.
Nasehat-nasehat politik yang diberikan Badawi sangat berbobot dipandang dari kacamata Islam. Secara relatif KHA. Badawi bisa mengendalikan Presiden Soekarno agar tidak terseret terlalu jauh oleh pengaruh komunis yang menggerogotinya. Siraman rohani kepada Soekarno disampaikan oleh Kiai Badawi tidak terikat oleh ruang dan waktu. Di mana ada kesempatan, Kiai Badawi memberikan nasehatnya kepada Presiden.[12]
Pada saatnya berhadapan dengan PKI, KHA Badawi dengan tegas menyatakan bahwa “Membubarkan PKI adalah ibadah”. Pada saat PKI berontak tahun 1965, Muhammadiyah telah siap menghadapinya dengan Tapak Suci (1963) dan pasukan KOKAM (1964), sehingga Muhammadiyah ikut aktif bersama pemerintah yang anti komunis untuk menumpas G.30 S/PKI.
Oleh pemerintah Muhammadiyah diberikan fungsi politik dapat duduk dalam DPR GR dan MPRS, dan para fungsionarisnya juga ada yang didudukkan dalam eksekutif. Namun kemudian, setelah situasi mereda, Muhammadiyah kembali pada khittahnya semula sebagai organisasi sosial keagamaan.
Periode K.H. Faqih Usman (1968-1971)
K.H Faqih Usman dikukuhkan sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada Muktamar Muhammadiyah ke-37 tahun 1968 di Yogyakarta untuk periode 1968-1971. Namun, jabatan itu sempat diemban hanya beberapa hari saja, karena ia segera dipanggil menghadap Yang Maha Kuasa pada tanggal 3 Oktober 1968. Selanjutnya kepemimpinan Muhammadiyah dilanjutkan oleh Abdul Rozak Fachruddin yang masih sangat muda.[13]
Periode K.H. Abdur Rozak Fachrudin (1968 – 1990)
Pak AR menjadi Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah sejak tahun 1968 setelah di-fait accomply untuk menjadi Pejabat Ketua PP Muhammadiyah sehubungan dengan wafatnya K.H. Faqih Usman. Dalam Sidang Tanwir di Ponorogo (Jawa Timur) pada tahun 1969, akhirnya Pak AR dikukuhkan menjadi Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah sampai Muktamar Muhammadiyah ke-38 di Makassar pada tahun 1971. Sejak saat itu ia terpilih secara berturut-turut dalam empat kali Muktamar Muhammadiyah berikutnya untuk periode 1971-1974, 1974-1978, 1978-1985 dan terakhir 1985-1990.[14]
Pada Sidang Tanwir Muhammadiyah tanggal 16-20 Desember 1981 di Yogyakarta, Muhammadiyah mendukung penuh kebijakan pemerintah yang melarang pembuatan dan penjualan minuman keras.[15]
Periode K.H. Ahmad Azhar Basyir, MA (1990 – 1995)
Pada Muktamar Muhammadiyah ke-42 di Yogyakarta tahun 1995, Azhar Basyir terpilih sebagai Ketua Muhammadiyah menggantikan KH AR Fakhruddin. Berkenaan dengan dimensi tasawuf dalam Muhammadiyah, Azhar Basyir menyatakan bahwa Muhammadiyah juga menganut tasawuf, seperti yang ditulis Buya Hamka dalam buku Tasauf Modern. Menurutnya, orang dapat saja melakukan kegiatan yang berorientasi dunia tanpa meninggalkan dzikir.
Dapatlah dikata, Azhar Basyir merupakan sosok perpaduan ulama dan intelektual. Oleh karenanya, Muhammadiyah di bawah kepemimpinannya cukup intens memunculkan kegiatan yang berbentuk pengajian dan kajian dalam mengurai berbagai persoalan keummatan dan pemikiran keislaman.
Periode Amien Rais (1990 – 1995)
Periode Buya Syafii Maarif (1998 – 2005)
Buya Syafii Maarif menjadi Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah selama tujuh tahun dari 1998-2005.
Periode Din Syamsudin (2005 – 2015)
Periode Haedar Nashir (2015 – 2024)
Muktamar 2015 – 2020 (Diperpanjang sampai 2022)
Muktamar Muhammadiyah ke-47 yang diselenggarakan pada tanggal 18-22 Syawal 1436 H bertepatan dengan 3-7 Agustus 2015 M bertempat di Kota Makassar mengesahkan hasil pemilihan Anggota Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 2015 - 2020 sebanyak 13 orang dari hasil pemilihan 39 calon yang diajukan oleh Tanwir, sesuai urutan perolehan suara, sebagai berikut:
Kemudian menetapkan Dr. H. Haedar Nashir, M.Si. sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 2015 – 2020, dan Mengumumkan Dr. H. Abdul Mu`ti, M.Ed. sebagai Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 2015 – 2020.
Muktamar 2020 – 2024
Prof Dr Haedar Nashir terpilih menjadi ketua umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode kedua secara aklamasi melalui Muktamar Muhammadiyah ke-48.[44]
Doktrin
Doktrin sentral Muhammadiyah adalah Islam Sunni (ahlussunnah wal-jama'ah). Namun, organisasi ini menekankan otoritas al-Qur'an dan Hadis sebagai hukum Islam tertinggi yang berfungsi sebagai dasar yang sah dari interpretasi keyakinan agama dan praktik. Ini kontras dengan praktik tradisional dengan ditanamkannya hukum syariah dalam mazhab-mazhab agama oleh para ulama. Fokus utama gerakan Muhammadiyah adalah untuk meningkatkan rasa tanggung jawab moral masyarakat, menyucikan iman mereka ke Islam yang benar. Secara teologis, Muhammadiyah menganut doktrin Salafiyah; menyerukan secara langsung kembali ke al-Qur'an dan Sunnah dan pemahaman para imam-imam Salaf (generasi awal), termasuk eponim dari empat MazhabSunni. Ini menganjurkan pemurnian iman dari berbagai adat istiadat setempat yang mereka anggap sebagai bentuk takhayul, sesat, dan syirik. Muhammadiyah secara langsung menelusuri warisan keilmuannya pada ajaran Muhammad Rasyid Ridha (w. 1935 M / 1354 H), Muhammad bin 'Abdul Wahhab (w. 1792 / 1206 H), dan para teolog abad pertengahan seperti Ahmad Ibnu Taimiyyah (w. 1328 M / 728 H) dan Ibnu Qayyim (w. 1350 / 751 H).[45][46]
Muhammadiyah sangat menentang sinkretisme Islam dengan animisme (pemujaan roh) pada zaman sejarah penyebaran Islam di Nusantara dan tidak mengakui unsur Hindu-Buddha dan kepercayaan lokal yang tersebar di kalangan masyarakat dari masa pra-Islam. Muhammadiyah juga menentang tradisi Sufisme yang memungkinkan seorang pemimpin sufi menjadi otoritas formal atas umat Islam. Pada tahun 2006, organisasi tersebut dikatakan telah "belok tajam ke arah Islam yang lebih konservatif" di bawah kepemimpinan Din Syamsuddin ketua Majelis Ulama Indonesia.[47] Namun, beberapa faksi Muhammadiyah cenderung mendukung gerakan modernis dari Muhammad 'Abduh daripada Doktrin Salafi dari Rasyīd Rîdá; yang dideskripsikan sebagai "kaku dan konservatif".[48]
Aktivitas
Muhammadiyah tercatat sebagai organisasi Reformisme adalah keyakinan bahwa perubahan secara bertahap melalui serta di dalam institusi yang ada, secara pasti dapat mengubah sistem ekonomi dan struktur politik fundamental masyarakat. Kegiatan utamanya adalah pengamalan dan pendidikan agama. Ia telah membangun sekolah Islam modern, berbeda dari pesantren tradisional. Beberapa sekolahnya juga terbuka untuk non-Muslim.[49] Pada tahun 2006 ada sekitar 5.754 sekolah milik Muhammadiyah.[50]
Muhammadiyah juga berfungsi sebagai organisasi amal yang terlibat dalam pelayanan kesehatan. Pada 2016, memiliki beberapa ratus klinik dan rumah sakit nirlaba di seluruh Indonesia.[3] Pada 2006, aktif mengkampanyekan bahaya flu burung di Indonesia.[51]
Organisasi
Kelembagaan
Pimpinan Pusat, Kantor pengurus pusat Muhammadiyah awalnya berada di Yogyakarta. Namun pada tahun 1970, komite-komite pendidikan, ekonomi, kesehatan, dan kesejahteraan berpindah ke kantor di ibu kota Jakarta.[52] Struktur Pimpinan Pusat Muhammadiyah 2010–2015 terdiri dari lima orang penasihat, seorang ketua umum yang dibantu dua belas orang ketua lainnya, seorang sekretaris umum dengan dua anggota, seorang bendahara umum dengan seorang anggotanya.
Pimpinan Wilayah, setingkat provinsi, terdapat 35 Pimpinan Wilayah Muhammadiyah dari 38 Provinsi di seluruh wilayah Indonesia.
Pimpinan Daerah, setingkat kabupaten/kota, terdapat 475 Pimpinan Daerah Muhammadiyah dari 514 Kabupaten/Kota di seluruh wilayah Indonesia.
Pimpinan Cabang, setingkat kecamatan, terdapat 3.947 Pimpinan Cabang Muhammadiyah dari 7.277 Kecamatan di seluruh wilayah Indonesia.
Pimpinan Ranting, setingkat Desa/Kelurahan, terdapat 14.670 Pimpinan Ranting Muhammadiyah dari 83.763 Desa/Kelurahan di seluruh wilayah Indonesia.
Pimpinan Cabang Istimewa, untuk luar negeri, terdapat 30 Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah dari 195 Negara di seluruh Dunia.
Pembantu Pimpinan Persyarikatan
Majelis
Majelis Tarjih dan Tajdid (MTT)
Majelis Tabligh (MT)
Majelis Pendidikan Tinggi, Penelitian, dan Pengembangan (DIKTILITBANG)
Majelis Pendidikan Dasar, Menengah dan Pendidikan Nonformal (MPDM-NF)
Majelis Pembinaan Kader dan Sumber Daya Insani (MPK-SDI)
Majelis Pembinaan Kesejahteraan Sosial (MPKS)
Majelis Ekonomi, Bisnis, dan Pariwisata (MEBP)
Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM)
Majelis Pembina Kesehatan Umum (MPKU)
Majelis Pustaka dan Informasi (MPI)
Majelis Lingkungan Hidup (MLH)
Majelis Hukum dan Hak Asasi Manusia (MHH)
Majelis Pendayagunaan Wakaf (MPW)
Lembaga
Lembaga Pengembangan Cabang/Ranting dan Pembinaan Masjid (LPCR-PM)
Lembaga Pengembangan Pesantren (LPP)
Lembaga Kajian dan Kemitraan Strategis (LKKS)
Lembaga Pembina dan Pengawasan Keuangan (LPPK)
Lembaga Seni Budaya (LSB)
Lembaga Resiliensi Bencana (LRB) / Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC)
^Nashir M. Si, Dr. H Haidar (2015). MUHAMMADIYAH: A REFORM MOVEMENT. Jl. A Yani Pabelan Tromol Pos 1 Kartasura Surakarta 57102 Jawa Tengah – Indonesia: Muhammadiyah University Press. hlm. 94. ISBN978-602-361-013-6. From aqidah standpoints, Muhammadiyah may adhere Salafi , as stated by Tarjih in Himpinan Putusan Tarjih (wy: 11), that Muhammadiyah promotes the belief principles referring to the Salaf (al-fi rqat al-najat min al-Salaf).
^ ab"Muhammadiyah". Div. of Religion and Philosophy, St. Martin College, UK. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-09-14. Diakses tanggal 2008-08-28.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Muhtaroom, Ali (August 2017). "STUDY OF INDONESIAN MOSLEM RESPONSES ON SALAFYSHIA ISLAMIC EDUCATION TRANSNATIONAL INSTITUTION". Ilmia Islam Futuria. 17 (1): 73–95 – via Research Gate. the development ofSalafi in Indonesia has inspired the emergence of anumber of organizations reformers of modern Islam in Indonesia. Organizationssuchas Muhammadiyah, Al-Irsyad,shared similar intentions to purify faith with the call back to the Quran and Sunnah, and leave many traditional customs that are claimed to be contaminated by heresy,tahayyul, and superstition... For Muhammadiyah, the purification of faith and the return to the Quran and Sunnah is an obligation... Muhammadiyah doctrine theology agrees with salafi, namely puritanist by going back to Al-Quran and As-Sunnah...
^NASHIR, M. Si, DR. H. HAIDAR (2015). MUHAMMADIYAH: A REFORM MOVEMENT. Jl. A Yani Pabelan Tromol Pos 1 Kartasura Surakarta 57102, Jawa Tengah – Indonesia: Muhammadiyah University Press. hlm. 94. ISBN978-602-361-013-6.
^"Autonomous Organizations". Muhammadiyah. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-09-27. Diakses tanggal 2006-08-10.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Djurdi, S. (2010). 1 abad Muhammadiyah. Penerbit Buku Kompas. ISBN 979-709-498-7.
Alfian (1989). Muhammadiyah: the political behavior of a Muslim modernist organization under Dutch colonialism. Gadjah Mada University Press. ISBN 979-420-118-9.
Burhani, Ahmad Najib. 2005. "Revealing the Neglected Missions: Some Comments on the Javanese Elements of Muhammadiyah Reformism." Studia Islamika, 12 (1): 101–129.
Burhani, Ahmad Najib. 2010. Muhammadiyah Jawa. Jakarta: Al-Wasat.
Peacock, J.L. (1978). Purifying the Faith: The Muhammadijah Movement in Indonesian Islam. Cummings Press.
"Muhammadiyah". Div. of Religion and Philosophy, St. Martin College, UK. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-09-14. Diakses tanggal 2006-08-28.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Ricklefs, M.C. 1991. A History of Modern Indonesia since c.1300. 2nd Edition, Stanford: Stanford University Press. ISBN0-333-57690-X