Muḥammad bin ʿAbdul Wahhāb at-Tamīmī (/wəˈhɑːb/; bahasa Arab: محمد بن عبد الوهاب التميمي; 1703 – 1792) adalah seorang Ulama Islam, pemimpin agama,[16] pembaharu,[17] aktivis,[18] dan teolog dari Najd di Arabia tengah.[19][20][21] Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Abdul Wahhab bin Sulaiman bin Ali.[22] Murid-muridnya yang terkenal termasuk putranya Ḥusain, ʿAbdullāh, ʿAlī, dan Ibrāhīm, cucunya ʿAbdur-Raḥman bin Ḥasan, menantunya ʿAbdul-ʿAzīz bin Muḥammad bin Saʿūd, Ḥamād ibn Nāṣir bin Muʿammar, dan Ḥusayn āl-Ghannām. Beliau menghafal Al-Qur'an ketika masih kecil dan belajar kepada ayahnya, yang menjadi hakim di Uyainah pada waktu itu, dan kepada yang lain di antara tokoh-tokoh ulama Najd, Al-Madinah, Al-Ahsa, dan Al-Bashrah.[22]
Label "Wahhabi" tidak diklaim oleh para pengikutnya melainkan digunakan oleh para cendekiawan Barat serta para kritikusnya.[16][23][24][25] Lahir dari keluarga ahli fikih,[4] pendidikan awal Ibnu ʿAbd al-Wahhab terdiri dari mempelajari kurikulum fikih yang cukup standar menurut mazhab hukum Islam Hanbali, yang merupakan mazhab yang paling umum di wilayah kelahirannya.[4] Dia mempromosikan kepatuhan ketat terhadap hukum Islam tradisional, menyatakan perlunya kembali langsung ke Quran dan Hadis daripada mengandalkan interpretasi abad pertengahan, dan bersikeras bahwa setiap Muslim – pria dan wanita – secara pribadi membaca dan mempelajari Quran.[26] Dia menentang taqlid (pengikutan buta) dan menyerukan penggunaan ijtihad (penalaran hukum independen melalui penelitian kitab suci).[27][28] Dia memiliki pelatihan dasar awal dalam tradisiMuslim Suni klasik, Ibnu ʿAbdul Wahhab secara bertahap menjadi menentang banyak populer, namun diperebutkan, praktik keagamaan seperti kunjungan ke dan pemujaantempat suci dan makam orang-orang suci Muslim,[2][4][9][29] yang menurutnya merupakan bid'ah atau bahkan penyembahan berhala.[4][9][10][29][30] Seruannya untuk reformasi sosial dalam masyarakat didasarkan pada doktrin kunci tauhid (keesaan Tuhan).[25][31][32]
Meskipun ajarannya ditolak dan ditentang oleh banyak Ulama Muslim Suni terkemuka pada masa itu,[1][4][30][33] termasuk ayah dan saudara lelakinya sendiri,[1][4][30][33][34] Ibnu ʿAbdul Wahhab membuat perjanjian politik agama dengan Muhammad bin Saud untuk membantunya mendirikan Emirat Diriyah, negara Saudi pertama,[2][35] dan memulai aliansi dinasti dan pengaturan pembagian kekuasaan antara keluarga mereka yang berlanjut hingga hari ini di Kerajaan Arab Saudi.[2][16][36] Al asy-Syekh, keluarga agama terkemuka Arab Saudi, adalah keturunan Ibnu ʿAbdul Wahhab,[16][25][36] dan secara historis memimpin ulama di negara Saudi,[36][37] mendominasi lembaga ulama negara.[36][38]
Genealogi
Syekh Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb memiliki nama lengkap Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb bin Sulaiman bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Rasyid bin Barid bin Muhammad bin al-Masyarif at-Tamimi al-Hambali an-Najdi. Dari nama lengkapnya ini diperoleh silsilah keluarganya.
Jalur sanad kepada Syekh al-Islam Ibnu Taimiyah
Sanad kepada Syekh al-Islam Ibnu Taimiyah banyak jalannya sebagian melalui Ibnul Qayyim Al-Jauziyah yang biasanya dari jalur Ibnu Rajab atau Aisyah bintu Abdil Hadi. Bisa juga melalui jalur murid yang lain, misalnya melalui Imam adz-Dzahabi, atau melalui silsilah keluarga Ibnu Muflih, atau melalui al-Mizzi, al-Birzali dan lainnya. Sedangkan jalur sanad syekh Muhammad bin Abdul Wahab seperti dibawah ini:
Syekh Muhammad bin ʿAbdul Wahhāb, adalah seorang ulama yang berusaha membangkitkan kembali dakwah tauhid dalam masyarakat dan cara beragama sesuai dengan tuntunan Rasulullah ﷺ dan para sahabat. Para pendukung gerakan ini menolak disebut Wahabi, karena pada dasarnya ajaran syekh Muhammad bin ʿAbdul Wahhāb adalah ajaran Nabi Muhammad ﷺ, bukan ajaran tersendiri. Karenanya mereka lebih memilih untuk menyebut diri mereka sebagai Salafiyun (mengikuti jejak generasi salaf) atau Muwahhidun yang berarti "Mengesakan Allah".
Istilah Wahabi sering menimbulkan kontroversi berhubung dengan asal usul dan kemunculannya dalam dunia Islam. Umat Islam umumnya keliru menilai mereka dan menyangka bahwa mazhab mereka mengikuti pemikiran Imam Ahmad bin Hanbal dan alirannya saja, al-Hanbaliyyah atau al-Hanabilah yang merupakan salah sebuah mazhab dalam Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Dan ada pula yang menghubungkan mereka dengan gerakan teroris, padahal ajaran mereka sangat antiteroris.
Nama Wahabi atau al-Wahhabiyyah kelihatannya dihubung-hubungkan kepada nama 'Abdul Wahhab yaitu ayahanda penggagas gerakan ini, syekh Muhammad bin 'Abdul Wahhab al-Najdi. Bagaimanapun, istilah Wahabi ini tidaklah sah dinisbatkan untuk nama suatu kelompok, karena sejatinya nama Wahhab adalah nama hanya untuk Allah Ta'ala. Oleh karena itu mereka menisbatkan diri mereka sebagai golongan al-Muwahhidun (Orang-orang yang Mengesakan Allah) karena mereka ingin mengembalikan ajaran-ajaran tauhid ke dalam Islam dan cara beragama menurut sunnah Rasulullah ﷺ yang semakin asing di masyarakat.
Dia mengikat perjanjian dengan Imam Muhammad bin Saud, seorang pemimpin suku di wilayah Najd. Sesuai kesepakatan, Ibnu Saud ditunjuk sebagai pengurus administrasi politik, sementara Syekh Muhammad bin ʿAbdul Wahhāb menjadi pemimpin spiritual. Sampai saat ini, gelar "keluarga kerajaan" negara Arab Saudi dipegang oleh keluarga Saud. Namun mufti umum tidak selalu dari keluarga syekh Muhammad bin ʿAbdul Wahhāb misalnya syekh 'Abdul 'Aziz bin Abdillah bin Baaz.
Propaganda buruk Wahabi itu sendiri bertujuan untuk melawan dakwah tauhid murni yang dibawa Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah. ini disebabkan banyaknya terjadi kesyirikan yang beredar di Saudi saat itu. sementara para tokoh ulama Mekah dan Madinah, tidak berani menyuarakan kebenaran saat itu, dikarenakan orang-orang kuburiyun (penyembah kubur) terkenal sering berbuat kasar dan bahkan membunuh. Maka kemudian syekh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah mulai mengajak ulama lainnya untuk menyuarakan kesalahan umat muslim saat itu yang mengikuti tradisi-tradisi sufi yang banyak bertentangan dengan Ajaran islam itu sendiri. Dengan dibantu Imam Muhammad Bin Saud (raja saudi), Maka pemerintahan saudi pun saat itu mulai menghancurkan setiap tempat kesyirikan. inilah yang menjadi awal bala besar bagi penyembah kubur, yang menjadikan tempat-tempat kubur sahabat dan orang saleh lainnya sebagai mata pencaharian. mereka meradang dan mulailah tersebar isu Wahabi (terutama kaum Syiah) Padahal istilah WAHABI itu sendiri dibawa oleh seorang tokoh khawarij di Maroko, ia bernama Abdul Wahhab bin Rustum seorang tokoh khawarij yang lahir jauh sebelum syekh Muhammad bin Abdul Wahab lahir.'Abdul Wahhāb bin Rustum muncul pada Abad ke-2 H. berakidah aliran khawarij takfiri yang padahal pada hakikatnya akidah/ushuluddin syekh Muhammad bin 'Abdul Wahhāb sangat menentang ajaran akidah khawarij takfiri.
Masa Kecil
Syekh Muhammad bin ʿAbdul Wahhāb dilahirkan pada tahun 1115 H (1701 M) di kampung Uyainah (Najd), lebih kurang 70 km arah barat laut kota Riyadh, ibu kota Arab Saudi sekarang.
Dia tumbuh dan dibesarkan dalam kalangan keluarga terpelajar. Ayahnya adalah seorang tokoh agama di lingkungannya. Sedangkan kakak laki-lakinya adalah seorang kadi, sumber rujukan di mana masyarakat Najd menanyakan segala sesuatu masalah yang bersangkutan dengan agama.[39]
Sebagaimana lazimnya keluarga ulama, maka syekh Muhammad bin ʿAbdul Wahhāb sejak masih kanak-kanak telah dididik dengan pendidikan agama yang diajar sendiri oleh ayahnya, syekh ʿAbdul Wahhāb. Berkat bimbingan orangtuanya, ditambah dengan kecerdasan otak dan kerajinannya, syekh Muhammad bin ʿAbdul Wahhāb berhasil menghafal 30 juz al-Quran sebelum berusia sepuluh tahun. Setelah itu, dia diserahkan oleh orangtuanya kepada para ulama setempat sebelum akhirnya mereka mengirimnya untuk belajar ke luar daerah.
Saudara kandungnya, Sulaiman bin Abdul Wahab, menceritakan betapa bangganya syekh Abdul Wahab, ayah mereka, terhadap kecerdasan Muhammad. Ia pernah berkata, "Sungguh aku telah banyak mengambil manfaat dari ilmu pengetahuan anakku Muhammad, terutama di bidang ilmu fikih".
Setelah mencapai usia dewasa, syekh Muhammad bin ʿAbdul Wahhāb diajak oleh ayahnya untuk bersama-sama pergi ke tanah suci Makkah untuk menunaikan rukun Islam yang kelima - mengerjakan haji di Baitullah. Ketika telah selesai menunaikan ibadah haji, ayahnya kembali ke Uyainah sementara Muhammad tetap tinggal di Makkah selama beberapa waktu dan menimba ilmu di sana. Setelah itu, ia pergi ke Madinah untuk berguru kepada ulama di sana. Di Madinah, ia berguru pada dua orang ulama besar yaitu syekh Abdullah bin Ibrahim bin Saif an-Najdi dan syekh Muhammad Hayah al-Sindi.
Kehidupannya di Madinah
Ketika berada di kota Madinah, ia melihat banyak umat Islam di sana yang tidak menjalankan syariat dan berbuat syirik, seperti mengunjungi makam Nabi Muhammad ﷺ atau makam seorang tokoh agama, kemudian memohon sesuatu kepada kuburan dan penghuninya. Hal ini sangat bertentangan dengan ajaran Islam yang mengajarkan manusia untuk tidak meminta selain kepada Allah.
Hal ini membuat syekh Muhammad semakin terdorong untuk memperdalam ilmu ketauhidan yang murni. Ia pun berjanji pada dirinya sendiri, akan berjuang dan bertekad untuk mengembalikan akidah umat Islam di sana kepada akidah Islam yang murni (tauhid), jauh dari sifat khurafat, takhayul, atau bidah.
Belajar dan berdakwah di Basrah
Setelah beberapa lama menetap di Makkah dan Madinah, ia kemudian pindah ke Basrah. Di sini dia bermukim lebih lama, sehingga banyak ilmu yang diperolehnya, terutama di bidang hadis dan musthalah, fikih dan ushul fikihnya, serta ilmu gramatika (ilmu qawaid). Selain belajar, ia sempat juga berdakwah di kota ini.
Syekh Muhammad bin ʿAbdul Wahhāb memulai dakwahnya di Basrah, tempat di mana dia bermukim dan untuk menuntut ilmu ketika itu. Akan tetapi dakwahnya di sana kurang bersinar, karena menemui banyak rintangan dan halangan dari kalangan para ulama setempat.
Di antara pendukung dakwahnya di kota Basrah ialah seorang ulama yang bernama syekh Muhammad al-Majmu’i. Tetapi syekh Muhammad bin ʿAbdul Wahhāb bersama pendukungnya mendapat tekanan dan ancaman dari sebagian ulama yang menuduhnya sesat. Akhirnya dia meninggalkan Basrah dan mengembara ke beberapa negeri Islam untuk menyebarkan ilmu dan pengalamannya.
Setelah beberapa lama, lalu dia kembali ke al-Ahsa menemui gurunya syekh Abdullah bin `Abd Latif al-Ahsai untuk mendalami beberapa bidang ilmu tertentu yang selama ini belum sempat dipelajarinya. Di sana dia bermukim beberapa waktu, kemudian kembali ke kampung asalnya Uyainah.
Pada tahun 1139H/ 1726M, ayahandanya pindah dari 'Uyainah ke Huraymilah dan dia ikut serta dengan ayahandanya sambil menuntut ilmu dari ayahnya. Tetapi dia masih meneruskan tentangannya yang kuat terhadap amalan-amalan agama di Najd. Hal ini yang menyebabkan ayahnya gusar karena banyak tekanan dari beberapa ulama yang takut kehilangan jemaahnya. Keadaan tersebut terus berlanjut hingga pada tahun 1153H/1740M, ayahandanya meninggal dunia.
Perjuangan memurnikan aqidah Islam
Sejak dari itu, Syekh Muhammad tidak lagi terikat. Dia bebas mengemukakan aqidah-aqidahnya sekehendak hatinya, menolak dan mengesampingkan amalan-amalan agama yang dilakukan umat islam saat itu dengan sikap toleransi dan saling menghargai perbedaan pendapat .
Melihat keadaan umat islam yang sudah melanggar akidah, ia mulai merencanakan untuk menyusun sebuah barisan ahli tauhid (muwahhidin) yang diyakininya sebagai gerakan memurnikan dan mengembalikan akidah Islam. Oleh lawan-lawannya, gerakan ini kemudian disebut dengan nama gerakan Wahabiyah.
Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab memulai pergerakan di kampungnya sendiri, Uyainah. Ketika itu, Uyainah diperintah oleh seorang Amir (penguasa) bernama Usman bin Muammar. Amir Usman menyambut baik ide dan gagasan Syekh Muhammad, bahkan dia berjanji akan menolong dan mendukung perjuangan tersebut.
Suatu ketika, Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab meminta izin pada Amir Usman untuk menghancurkan sebuah bangunan yang dibangun di atas maqam Zaid bin al-Khattab Radhiyallahu Anhu. Zaid bin al-Khattab Radhiyallahu Anhu adalah saudara kandung Umar bin al-Khattab Radhiyallahu Anhu, Khalifah Rasulullah ﷺ yang kedua. Menurut pendapatnya, membuat bangunan di atas kubur dapat menjurus kepada kemusyrikan.
Amir menjawab "Silakan, tidak ada seorang pun yang boleh menghalangi tujuan yang mulia ini". Khawatir akan terjadi aksi penghalangan oleh penduduk yang tinggal berdekatan maqam tersebut, lalu Amir menyediakan 600 orang tentara untuk mengawal bersama-sama Syeikh Muhammad untuk merobohkan bangunan diatas makam yang dikeramatkan itu.
Sebenarnya apa yang mereka sebut sebagai makam Zaid bin al-Khattab. yang gugur sebagai syuhada’ Yamamah ketika menumpaskan gerakan Nabi Palsu (Musailamah al-Kazzab) di negeri Yamamah suatu waktu dulu, hanyalah berdasarkan prasangka belaka. Karena di sana terdapat puluhan syuhada’ (pahlawan) Yamamah yang dikebumikan tanpa jelas lagi pengenalan mereka.
Bisa saja yang mereka anggap makam Zaid bin al-Khattab itu adalah makam orang lain. Tetapi oleh karena masyarakat setempat di situ telah telanjur beranggapan bahwa itulah makam Zaid, mereka pun mengeramatkannya dan membangun sebuah bangunan di atasnya. Bangunan di atas makam tersebut kemudian dihancurkan oleh Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab atas bantuan Amir Uyainah, Usman bin Muammar.
Pergerakan Syekh Muhammad tidak berhenti sampai disitu, ia kemudian menghancurkan beberapa bangunan yang dikeramatkan yang dipandangnya berbahaya bagi ketauhidan. Hal ini menurutnya adalah tindakan pencegahan agar tempat tersebut tidak dijadikan objek peribadatan oleh masyarakat Islam setempat.
Berita tentang pergerakan ini akhirnya tersebar luas di kalangan masyarakat Uyainah maupun di luar Uyainah.
Ketika pemerintah al-Ahsa' mendapat berita bahwa Syekh Muhammad bin'Abdul Wahhab mendakwahkan pendapat, dan pemerintah 'Uyainah pula menyokongnya, maka al-Ahsa' kemudian memberikan peringatan dan ancaman kepada pemerintahan 'Uyainah. Hal ini rupanya berhasil mengubah pikiran Amir Uyainah. Ia kemudian memanggil Syekh Muhammad untuk membicarakan tentang cara tekanan yang diberikan oleh Amir al-Ahsa'. Amir Uyainah berada dalam posisi serba salah saat itu, di satu sisi dia ingin mendukung perjuangan syeikh Muhammad tapi di sisi lain ia tak berdaya menghadapi tekanan Amir al-Ihsa. Akhirnya, setelah terjadi perdebatan antara syeikh dengan Amir Uyainah, di capailah suatu keputusan: Syeikh Muhammad harus meninggalkan daerah Uyainah dan mengungsi ke daerah lain.
Dalam sebuah buku yang berjudul "Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab, Da'watuhu Wasiratuhu", karangan Syekh Muhammad bin `Abdul `Aziz bin `Abdullah bin Baaz, ia berkata: "Demi menghindari pertumpahan darah, dan karena tidak ada lagi pilihan lain, di samping beberapa pertimbangan lainnya maka terpaksalah Syekh meninggalkan negeri Uyainah menuju negeri Dariyah dengan menempuh perjalanan secara berjalan kaki seorang diri tanpa ditemani oleh seorangpun. Ia meninggalkan negeri Uyainah pada waktu dini hari, dan sampai ke negeri Dariyah pada waktu malam hari." (Ibnu Baz, Syeikh `Abdul `Aziz bin `Abdullah, m.s 22)
Tetapi ada juga tulisan lainnya yang mengatakan bahwa: Pada mulanya Syeikh Muhammad mendapat dukungan penuh dari pemerintah negeri Uyainah Amir Usman bin Mu’ammar, namun setelah api pergerakan dinyalakan, pemerintah setempat mengundurkan diri dari percaturan pergerakan karena alasan politik (besar kemungkinan takut dipecat dari kedudukannya sebagai Amir Uyainah oleh pihak atasannya). Dengan demikian, tinggallah Syekh Muhammad dengan beberapa orang sahabatnya yang setia untuk meneruskan dakwahnya. Dan beberapa hari kemudian, Syekh Muhammad diusir keluar dari negeri itu oleh pemerintahnya.
Syekh Muhammad bin `Abdul Wahhāb kemudian pergi ke wilayah Diriyah.
Kehidupannya di Dir'iyyah
Sesampainya Syekh Muhammad di sebuah kampung wilayah Dir'iyyah yang tidak berapa jauh dari tempat kediaman Amir Muhammad bin Saud Al Muqrin (pemerintah wilayah Dir’iyyah), Syekh menemui seorang penduduk di kampung itu, orang tersebut bernama Muhammad bin Suwailim al-`Uraini. Ibn Suwailim ini adalah seorang yang dikenal soleh oleh masyarakat setempat. Syeikh kemudian meminta izin untuk tinggal bermalam di rumahnya sebelum ia meneruskan perjalanannya ke tempat lain. Pada awalnya ia ragu-ragu menerima Syekh di rumahnya, karena suasana Dir'iyyah dan sekelilingnya pada waktu itu tidak aman. Namun, setelah Syeikh memperkenalkan dirinya serta menjelaskan maksud dan tujuannya datang ke negeri Dir’iyyah, yaitu hendak menyebarkan dakwah Islamiyah dan membenteras kemusyrikan, barulah Muhammad bin Suwailim ingin menerimanya sebagai tamu di rumahnya.
Peraturan di Dir'iyyah ketika itu mengharuskan setiap pendatang melaporkan diri kepada penguasa setempat, maka pergilah Muhammad bin Suwailim menemui Amir Muhammad untuk melaporkan kedatangan Syeikh Abdul Wahab yang baru tiba dari Uyainah serta menjelaskan maksud dan tujuannya kepada dia. Namun mereka gagal menemui Amir Muhammad yang saat itu tidak ada di rumah, mereka pun menyampaikan pesan kepada amir melalui istrinya.
Istri Ibnu Saud ini adalah seorang wanita yang soleh. Maka, tatkala Ibnu Saud mendapat giliran ke rumah isterinya ini, sang istri menyampaikan semua pesan-pesan itu kepada suaminya. Selanjutnya ia berkata kepada suaminya: "Bergembiralah kakanda dengan keuntungan besar ini, keuntungan di mana Allah telah mengirimkan ke negeri kita seorang ulama, juru dakwah yang mengajak masyarakat kita kepada agama Allah, berpegang teguh kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya Shallallahu Alaihi Wa Sallam . Inilah suatu keuntungan yang sangat besar, janganlah ragu-ragu untuk menerima dan membantu perjuangan ulama ini, mari sekarang juga kakanda menjemputnya kemari."
Namun baginda bimbang sejenak, ia bingung apakah sebaiknya Syekh itu dipanggil datang menghadapnya, atau dia sendiri yang harus datang menjemput Syekh untuk dibawa ke tempat kediamannya? Baginda pun kemudian meminta pandangan dari beberapa penasihatnya tentang masalah ini. Isterinya dan para penasihatnya yang lain sepakat bahwa sebaiknya baginda sendiri yang datang menemui Syeikh Muhammad di rumah Muhammad bin Sulaim. Baginda pun menyetujui nasihat tersebut. Maka pergilah baginda bersama beberapa orang pentingnya ke rumah Muhammad bin Suwailim, di mana Syekh Muhammad bermalam.
Sesampainya baginda di rumah Muhammad bin Suwailim, amir Ibnu Saud memberi salam dan dibalas dengan salam dari Syeikh dan bin Suwalim. Amir Ibnu Saud berkata: "Ya Syekh! Bergembiralah anda di negeri kami, kami menerima dan menyambut kedatangan anda di negeri ini dengan penuh gembira. Dan kami berjanji untuk menjamin keselamatan dan keamanan anda di negeri ini dalam menyampaikan dakwah kepada masyarakat Dir'iyyah. Demi kejayaan dakwah Islamiyah yang anda rencanakan, kami dan seluruh keluarga besar Ibnu Saud akan mempertaruhkan nyawa dan harta untuk berjuang bersama-sama anda demi meninggikan agama Allah dan menghidupkan sunnah RasulNya, sehingga Allah memenangkan perjuangan ini, Insya Allah!"
Kemudian Syekh menjawab: "Alhamdulillah, anda juga patut gembira, dan Insya Allah negeri ini akan diberkati Allah Subhanahu wa Ta'ala. Kami ingin mengajak umat ini kepada agama Allah. Siapa yang menolong Islam/agama ini, Allah akan menolongnya. Dan siapa yang mendukung agama ini, nescaya Allah akan mendukungnya. Dan Insya Allah kita akan melihat kenyataan ini dalam waktu yang tidak begitu lama." Demikianlah seorang Amir (penguasa) tunggal negeri Dir'iyyah yang bukan hanya sekadar membela dakwahnya saja, tetapi juga sekaligus melindungi darahnya bagaikan saudara kandung sendiri yang berarti di antara Amir dan Syekh sudah bersumpah setia sehidup-semati, dan senasib-sepenanggungan, dalam menegakkan hukum Allah dan RasulNya di bumi Dir'iyyah. Ternyata apa yang diikrarkan oleh Amir Ibnu Saud itu benar-benar ditepatinya. Ia bersama Syekh seiring sejalan, bahu-membahu dalam menegakkan kalimah Allah, dan berjuang di jalanNya.
Nama Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab dengan ajaran-ajarannya itu sudah begitu terdengar di kalangan masyarakat, baik di dalam negeri Dir'iyyah maupun di negeri-negeri tetangga. Masyarakat luar Dir'iyyah pun berduyun-duyun datang ke Dir'iyyah untuk menetap dan tinggal di negeri ini, sehingga negeri Dir'iyyah penuh sesak dengan kaum muhajirin dari seluruh pelosok tanah Arab. Ia pun mulai membuka madrasah dengan menggunakan kurikulum yang menjadi modal utama bagi perjuangan dia yang meliputi disiplin ilmu Aqidah al-Qur’an, tafsir, fiqh, usul fiqh, hadith, musthalah hadith, gramatikanya (nahwu-shorof) dan lain-lain.
Dalam waktu yang singkat, Dir'iyyah telah menjadi kiblat ilmu dan tujuan mereka yang hendak mempelajari Islam. Para penuntut ilmu, tua dan muda, berduyun-duyun datang ke negeri ini. Di samping pendidikan formal (madrasah), diadakan juga dakwah yang bersifat terbuka untuk semua lapisan masyarakat. Gema dakwah dia begitu membahana di seluruh pelosok Dir'iyyah dan negeri-negeri jiran yang lain. Kemudian, Syeikh mulai menegakkan jihad, menulis surat-surat dakwahnya kepada tokoh-tokoh tertentu untuk bergabung dengan barisan Muwahhidin yang dipimpin oleh dia sendiri. Hal ini dalam rangka pergerakan pembaharuan tauhid demi membasmi syirik, bidah dan khurafat di negeri mereka masing-masing. Untuk langkah awal pergerakan itu, dia memulai di negeri Najd. Ia pun mula mengirimkan surat-suratnya kepada ulama-ulama dan penguasa-penguasa di sana.
Berdakwah Melalui Surat-menyurat
Syekh menempuh berbagai macam dan cara, dalam menyampaikan dakwahnya, sesuai dengan keadaan masyarakat yang dihadapinya. Di samping berdakwah melalui lisan, dia juga tidak mengabaikan dakwah secara pena dan pada saatnya juga jika perlu dia berdakwah dengan besi (pedang).
Maka Syekh mengirimkan suratnya kepada ulama-ulama Riyadh dan para umaranya, salah satunya adalah Dahham bin Dawwas. Surat-surat itu dikirimkannya juga kepada para ulama dan penguasa-penguasa. Ia terus mengirimkan surat-surat dakwahnya itu ke seluruh penjuru Arab, baik yang dekat ataupun jauh. Di dalam surat-surat itu, dia menjelaskan tentang bahaya syirik yang mengancam negeri-negeri Islam di seluruh dunia, juga bahaya bid’ah, khurafat dan takhayul.
Berkat hubungan surat menyurat Syekh terhadap para ulama dan umara dalam dan luar negeri, telah menambahkan kemasyhuran nama Syekh sehingga dia disegani di antara kawan dan lawannya, hingga jangkauan dakwahnya semakin jauh berkumandang di luar negeri, dan tidak kecil pengaruhnya di kalangan para ulama dan pemikir Islam di seluruh dunia, seperti di Hindia, Indonesia, Pakistan, Afganistan, Afrika Utara, Maghribi, Mesir, Syria, Iraq dan lain-lain lagi.
Memang cukup banyak para da’i dan ulama di negeri-negeri tersebut, tetapi pada waktu itu kebanyakan dari mereka tidak fokus untuk membasmi syirik dalam dakwahnya, meskipun mereka memiliki ilmu-ilmu yang cukup memadai.
Demikian banyaknya surat-menyurat di antara Syekh dengan para ulama baik di dalam dan luar Jazirah Arab, sehingga menjadi dokumen yang amat berharga sekali. Akhir-akhir ini semua tulisan dia yang berupa risalah, maupun kitab-kitabnya, sedang dihimpun untuk dicetak dan sebagian sudah dicetak dan disebarkan ke seluruh pelosok dunia Islam, baik melalui Rabithah al-`Alam Islami atau Liga Muslim Dunia, maupun dari pihak kerajaan Saudi sendiri (pada masa mendatang). Begitu juga dengan tulisan-tulisan dari putera-putera dan cucu-cucu dia serta tulisan-tulisan para murid-muridnya dan pendukung-pendukungnya yang telah mewarisi ilmu-ilmu dia. Di masa kini, tulisan-tulisan dia sudah tersebar luas ke seluruh pelosok dunia Islam.
Dengan demikian, jadilah Dir'iyyah sebagai pusat penyebaran dakwah kaum Muwahhidin (gerakan pemurnian tauhid) oleh Syekh Muhammad bin `Abdul Wahhāb yang didukung oleh penguasa Amir Ibnu Saud. Kemudian murid-murid keluaran Dir'iyyah juga menyebarkan ajaran-ajaran tauhid murni ini ke seluruh penjuru dunia dengan membuka madrasah atau kajian umum di daerah mereka masing-masing.
Sejarah pembaharuan yang digerakkan oleh Syekh Muhammad bin `Abdul Wahhāb ini tercatat dalam sejarah dunia sebagai yang paling hebat dari jenisnya dan amat cemerlang.
Di samping itu, hal ini merupakan suatu pergerakan perubahan besar yang banyak memakan korban manusia maupun harta benda. Hal ini terjadi karena banyaknya perlawanan dari luar maupun dari dalam. Perlawanan dari dalam terutama dari tokoh-tokoh agama Islam sendiri yang takut akan kehilangan pangkat, kedudukan, pengaruh dan jamaahnya. Maupun dari Penguasa Turki Utsmani yang khawatir terhadap pengaruh dakwah Ibnu Abdil Wahhab yang telah merambah dua kota suci umat Islam, Mekkah dan Madinah. Karenanya, demi mempertahankan kekuasaan mereka, mereka mengirim pasukan besar di bawah komando Muhammad Ali Basya (Gubernur Mesir) untuk menaklukkan Dir'iyyah beberapa kali, hingga akhirnya jatuh pada tahun 1233 H.
Banyak di antara tokoh Al Saud dan Al Syekh (anak-cucu Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab) yang ditangkap dan diasingkan ke Mesir pasca jatuhnya ibu kota Dir'iyyah, bahkan sebagiannya dieksekusi oleh musuh, contohnya adalah Syekh Sulaiman bin Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahhab yang merupakan pakar hadits di zamannya. Dia dibunuh dengan cara sangat keji oleh Ibrahim Basya. Demikian pula imam Daulah Su'udiyyah kala itu, yaitu Imam Abdullah bin Su'ud bin Abdul Aziz bin Muhammad bin Saud (cicit Muhammad bin Saud). Dia dieksekusi di Istanbul, Turki.
Inilah periode Daulah Su'udiyyah I (1151-1233 H). Kemudian berdiri Daulah Su'udiyyah II (1240-1309 H), dan yang terakhir ialah Daulah Su'udiyyah III yang kemudian berganti nama menjadi Al Mamlakah Al 'Arabiyyah As Su'udiyyah (Kerajaan Arab Saudi) yang didirikan oleh Abdul Aziz bin Abdurrahman Al Saud (Bapak Raja-raja Saudi sekarang) pada tahun 1319 H hingga kini.
Selain mendapat perlawanan sengit dari Pihak Turki Utsmani, mereka juga sangat dimusuhi oleh kaum Syi'ah Bathiniyyah, baik dari Najran (selatan Saudi) maupun yang lainnya. Salah satu pertempuran besar pernah terjadi antara kaum muwahhidin dengan pasukan Hasan bin Hibatullah Al Makrami dari Najran yang berakidah Syi'ah Bathiniyyah, dan peperangan ini memakan korban jiwa cukup besar di pihak muwahhidin. Bahkan Imam Abdul Aziz bin Muhammad bin Saud konon terbunuh di tangan salah seorang syi'ah yang menyusup ke tengah-tengah kaum muwahhidin, dia ditikam dari belakang ketika sedang mengimami salat berjama'ah.
Selain perlawanan sengit dari mereka yang mengatasnamakan Islam, para pengikut dakwah Syekh Ibnu Abdil Wahhab juga dimusuhi oleh pihak kafir. Imperialis Inggris yang menjajah banyak negeri kaum muslimin kala itu pun khawatir terhadap dampak buruk penyebaran dakwah Syekh Ibnu Abdil Wahhab bagi eksistensi mereka. Sebab dia menghidupkan kembali ajaran tauhid dan berjihad melawan berbagai bentuk syirik dan bid'ah, sedangkan Inggris justeru mempertahankan hal tersebut karena di situlah titik kelemahan kaum muslimin. Artinya, bila kaum muslimin kembali kepada tauhid dan meninggalkan semua bentuk syirik dan bid'ah, niscaya mereka akan angkat senjata melawan para penjajah.
Karenanya, Inggris memunculkan istilah 'Wahhabi' dan merekayasa berbagai kedustaan dan kejahatan yang mereka lekatkan pada pengikut dakwah Syekh Muhammad bin Abdil Wahhab, sehingga banyak dari kaum muslimin di negeri-negeri jajahan Inggris yang termakan hasutan tersebut dan serta merta membenci mereka.
Alhamdulillah, masa-masa tersebut telah berlalu. Umat Islam kini lebih paham tentang apa dan siapa kaum pengikut dakwah Rasulullah ﷺ yang diteruskan Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab (yang difitnah Wahabi) tersebut. Satu persatu kejahatan dan kebusukan kaum orientalis yang sengaja mengadu domba antara sesama umat Islam semenjak awal, begitu juga dari kaum penjajah Barat, semuanya kini terungkap.
Meskipun usaha musuh-musuh dakwahnya begitu hebat, baik dari luar maupun dalam yang dilancarkan melalui pena atau ucapan demi membendung dakwah tauhid ini, namun usaha mereka sia-sia belaka, karena ternyata Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memenangkan perjuangan dakwah tauhid yang dipelopori oleh Syekh Muhammad bin `Abdul Wahhāb yang telah mendapat sambutan bukan hanya oleh penduduk negeri Najd saja, akan tetapi juga sudah menggema ke seluruh dunia Islam dari Ujung barat benua Afrika sampai ke Merauke, bahkan mulai menjamah Eropa dan Amerika.
Untuk mencapai tujuan pemurnian ajaran agama Islam, Syekh Muhammad bin `Abdul Wahhāb telah menempuh pelbagai macam cara. Kadangkala lembut dan kadangkala kasar, sesuai dengan sifat orang yang dihadapinya. Ia mendapat pertentangan dan perlawanan dari kelompok yang tidak menyenanginya karena sikapnya yang tegas dan tanpa kompromi, sehingga lawan-lawannya membuat tuduhan-tuduhan ataupun pelbagai fitnah terhadap dirinya dan pengikut-pengikutnya.
Musuh-musuhnya pernah menuduh bahwa Syekh Muhammad bin `Abdul Wahhāb telah melarang para pengikutnya membaca kitab fiqh, tafsir dan hadith. Malahan ada yang lebih keji, yaitu menuduh Syekh Muhammad telah membakar beberapa kitab tersebut, serta menafsirkan Al Qur’an menurut kehendak hawa nafsu sendiri.
Apa yang dituduh dan difitnah terhadap Syekh Muhammad bin `Abdul Wahhāb itu, telah dijawab dengan tegas oleh seorang pengarang terkenal, yaitu al-Allamah Syeikh Muhammad Basyir as-Sahsawani, dalam bukunya yang berjudul Shiyanah al-Insan di halaman 473 seperti berikut:
"Sebenarnya tuduhan tersebut telah dijawab sendiri oleh Syekh Muhammad bin `Abdul Wahhāb sendiri dalam suatu risalah yang ditulisnya dan dialamatkan kepada `Abdullah bin Suhaim dalam pelbagai masalah yang diperselisihkan itu. Diantaranya dia menulis bahwa semua itu adalah bohong dan kata-kata dusta belaka, seperti dia dituduh membatalkan kitab-kitab mazhab, dan dia mendakwakan dirinya sebagai mujtahid, bukan muqallid."
Kemudian dalam sebuah risalah yang dikirimnya kepada `Abdurrahman bin `Abdullah, Syekh Muhammad bin `Abdul Wahhāb berkata: "Aqidah dan agama yang aku anut, ialah mazhab Ahli Sunnah wal Jamaah, sebagai tuntunan yang dipegang oleh para Imam Muslimin, seperti Imam-imam Mazhab empat dan pengikut-pengikutnya sampai hari kiamat. Aku hanyalah suka menjelaskan kepada orang-orang tentang pemurnian agama dan aku larang mereka berdoa (mohon syafaat) pada orang yang hidup atau orang mati daripada orang-orang soleh dan lainnya."
`Abdullah bin Muhammad bin `Abdul Wahhāb (Anak Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab), menulis dalam risalahnya sebagai ringkasan dari beberapa hasil karya ayahnya, Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahhāb, seperti berikut: "Bahwa mazhab kami dalam Ushuluddin (Tauhid) adalah mazhab Ahlus Sunnah wal Jamaah, dan cara (sistem) pemahaman kami adalah mengikuti cara Ulama Salaf. Sedangkan dalam hal masalah furu’ (fiqh) kami cenderung mengikuti mazhab Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah. Kami tidak pernah mengingkari (melarang) seseorang bermazhab dengan salah satu daripada mazhab yang empat. Dan kami tidak mempersetujui seseorang bermazhab kepada mazhab yang luar dari mazhab empat, seprti mazhab Rafidhah, Zaidiyah, Imamiyah dan lain-lain lagi. Kami tidak membenarkan mereka mengikuti mazhab-mazhab yang batil. Malah kami memaksa mereka supaya bertaqlid (ikut) kepada salah satu dari mazhab empat tersebut. Kami tidak pernah sama sekali mengaku bahwa kami sudah sampai ke tingkat mujtahidmutlaq, juga tidak seorang pun di antara para pengikut kami yang berani mendakwakan dirinya dengan demikian. Hanya ada beberapa masalah yang kalau kami lihat di sana ada nash yang jelas, baik dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah, dan setelah kami periksa dengan teliti tidak ada yang menasakhkannya, atau yang mentaskhsiskannya atau yang menentangnya, lebih kuat daripadanya, serta dipegangi pula oleh salah seorang Imam empat, maka kami mengambilnya dan kami meninggalkan mazhab yang kami anut, seperti dalam masalah warisan yang menyangkut dengan kakek dan saudara lelaki; Dalam hal ini kami berpendirian mendahulukan kakek, meskipun menyalahi mazhab kami (Hambali)."
Demikianlah bunyi isi tulisan kitab Shiyanah al-Insan, hal. 474. Seterusnya dia berkata: "Adapun yang mereka fitnah kepada kami, sudah tentu dengan maksud untuk menutup-nutupi dan menghalang-halangi yang hak, dan mereka membohongi orang banyak dengan berkata: `Bahwa kami suka mentafsirkan Qur’an dengan selera kami, tanpa mengindahkan kitab-kitab tafsirnya. Dan kami tidak percaya kepada ulama, menghina Nabi kita Muhammad Shalallahu 'alaihi wassalam’ dan dengan perkataan `bahwa jasad Nabi Shalallahu 'alaihi wassalam itu buruk di dalam kuburnya. Dan bahwa tongkat kami ini lebih bermanfaat daripada Nabi, dan Nabi itu tidak mempunyai syafaat.
Dan ziarah kepada kubur Nabi itu tidak sunat, dan Nabi tidak mengerti makna "La ilaha illallah" sehingga perlu diturunkan kepadanya ayat yang berbunyi: "Fa’lam annahu La ilaha illallah," dan ayat ini diturunkan di Madinah. Dituduhnya kami lagi, bahwa kami tidak percaya kepada pendapat para ulama. Kami telah menghancurkan kitab-kitab karangan para ulama mazhab, karena di dalamnya bercampur antara yang hak dan batil. Malah kami dianggap Mujassimah (menjasmanikan Allah), serta kami mengkufurkan orang-orang yang hidup sesudah abad keenam, kecuali yang mengikuti kami. Selain itu kami juga dituduh tidak mahu menerima bai’ah seseorang sehingga kami menetapkan atasnya `bahwa dia itu bukan musyrik begitu juga ibu-bapaknya juga bukan musyrik.’
Dikatakan lagi bahwa kami telah melarang manusia membaca selawat ke atas Nabi Shalallahu 'alaihi wassalam dan mengharamkan berziarah ke kubur-kubur. Kemudian dikatakannya pula, jika seseorang yang mengikuti ajaran agama sesuai dengan kami, maka orang itu akan diberikan kelonggaran dan kebebasan dari segala beban dan tanggungan atau hutang sekalipun.
Kami dituduh tidak ingin mengakui kebenaran para ahlul Bait Radiyallahu 'anhum. Dan kami memaksa menikahkan seseorang yang tidak kufu serta memaksa seseorang yang tua umurnya dan ia mempunyai isteri yang muda untuk diceraikannya, karena akan dinikahkan dengan pemuda lainnya untuk mengangkat derajat golongan kami.
Maka semua tuduhan yang diada-adakan dalam hal ini sungguh kami tidak mengerti apa yang harus kami katakan sebagai jawaban, kecuali yang dapat kami katakan hanya "Subhanaka - Maha suci Engkau ya Allah" ini adalah kebohongan yang besar. Oleh karena itu, maka barangsiapa menuduh kami dengan hal-hal yang tersebut di atas tadi, mereka telah melakukan kebohongan yang amat besar terhadap kami. Barangsiapa mengaku dan menyaksikan bahwa apa yang dituduhkan tadi adalah perbuatan kami, maka ketahuilah: bahwa kesemuanya itu adalah suatu penghinaan terhadap kami yang dicipta oleh musuh-musuh agama ataupun teman-teman syaithan dari menjauhkan manusia untuk mengikuti ajaran sebersih-bersih tauhid kepada Allah dan keikhlasan beribadah kepadaNya.
Kami beri’tiqad bahwa seseorang yang mengerjakan dosa besar, seperti melakukan pembunuhan terhadap seseorang Muslim tanpa alasan yang wajar, begitu juga seperti berzina, riba’ dan minum arak, meskipun berulang-ulang, maka orang itu hukumnya tidaklah keluar dari Islam (murtad), dan tidak kekal dalam neraka, apabila ia tetap bertauhid kepada Allah dalam semua ibadahnya." (Shiyanah al-Insan, m.s 475)
Khusus tentang Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wassalam, Syekh Muhammad bin `Abdul Wahab berkata: "Dan apapun yang kami yakini terhadap martabat Muhammad Shalallahu 'alaihi wassalam bahwa martabat dia itu adalah setinggi-tinggi martabat makhluk secara mutlak. Dan Dia itu hidup di dalam kuburnya dalam keadaan yang lebih daripada kehidupan para syuhada yang telah digariskan dalam Al-Qur’an. Karena Dia itu lebih utama dari mereka, dengan tidak diragukan lagi. Bahwa Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam mendengar salam orang yang mengucapkan kepadanya. Dan adalah sunnah berziarah kepada kuburnya, kecuali jika semata-mata dari jauh hanya datang untuk berziarah ke maqamnya. Namun Sunat juga berziarah ke masjid Nabi ﷺ dan melakukan salat di dalamnya, kemudian berziarah ke maqamnya. Dan barangsiapa yang menggunakan waktunya yang berharga untuk membaca selawat ke atas Nabi, selawat yang datang daripada dia sendiri, maka ia akan mendapat kebahagiaan di dunia dan akhirat."
Tantangan Dakwah dan Pemecahannya
Sebagaimana lazimnya, seorang pemimpin besar dalam suatu gerakan perubahan, maka Syekh Muhammad bin `Abdul Wahhāb pun tidak lepas dari sasaran permusuhan dari pihak-pihak tertentu, baik dari dalam maupun dari luar Islam, terutama setelah Syekh menyebarkan dakwahnya dengan tegas melalui tulisan-tulisannya, berupa buku-buku maupun surat-surat yang tidak terkira banyaknya. Surat-surat itu dikirim ke segenap penjuru negeri Arab dan juga negeri-negeri A'jam (bukan Arab).
Surat-suratnya itu dibalas oleh pihak yang menerimanya, sehingga menjadi beratus-ratus banyaknya. Mungkin kalau dibukukan niscaya akan menjadi puluhan jilid tebalnya.
Sebagian dari surat-surat ini sudah dihimpun, diedit serta diberi ta’liq dan sudah diterbitkan, sebagian lainnya sedang dalam proses penyusunan. Ini tidak termasuk buku-buku yang sangat berharga yang sempat ditulis sendiri oleh Syekh di celah-celah kesibukannya yang luar biasa itu. Adapun buku-buku yang sempat ditulisnya itu berupa buku-buku pegangan dan rujukan kurikulum yang dipakai di madrasah-madrasah ketika dia memimpin gerakan tauhidnya.
Tentangan maupun permusuhan yang menghalang dakwahnya, muncul dalam dua bentuk:
Permusuhan atau tentangan atas nama ilmiyah dan agama,
Atas nama politik yang berselubung agama.
Bagi yang terakhir, mereka memperalatkan golongan ulama tertentu, demi mendukung kumpulan mereka untuk memusuhi dakwah Wahabiyah.
Mereka menuduh dan memfitnah Syekh sebagai orang yang sesat lagi menyesatkan, sebagai kaum Khawarij, sebagai orang yang ingkar terhadap ijma’ ulama dan pelbagai macam tuduhan buruk lainnya.
Namun Syekh menghadapi semuanya itu dengan semangat tinggi, dengan tenang, sabar dan dia tetap melancarkan dakwah bil lisan dan bil hal, tanpa memedulikan celaan orang yang mencelanya.
Pada hakikatnya ada tiga golongan musuh-musuh dakwah dia:
Golongan ulama khurafat yang mana mereka melihat yang haq (benar) itu batil dan yang batil itu haq. Mereka menganggap bahwa mendirikan bangunan di atas kuburan lalu dijadikan sebagai masjid untuk bersembahyang dan berdoa di sana dan mempersekutukan Allah dengan penghuni kubur, meminta bantuan dan meminta syafaat padanya, semua itu adalah agama dan ibadah. Dan jika ada orang-orang yang melarang mereka dari perbuatan jahiliyah yang telah menjadi adat tradisi nenek moyangnya, mereka menganggap bahwa orang itu membenci auliya’ dan orang-orang shaleh yang berarti musuh mereka yang harus segera diperangi.
Golongan ulama taashub yang mana mereka tidak banyak tahu tentang hakikat Syekh Muhammad bin `Abdul Wahhāb dan hakikat ajarannya. Mereka hanya taqlid belaka dan percaya saja terhadap berita-berita negatif mengenai Syekh yang disampaikan oleh kumpulan pertama di atas sehingga mereka terjebak dalam perangkap Ashabiyah (kebanggaan dengan golongannya) yang sempit tanpa mendapat kesempatan untuk melepaskan diri dari belitan ketaashubannya. Lalu menganggap Syekh dan para pengikutnya seperti yang diberitakan, yaitu; anti Auliya’ dan memusuhi orang-orang shaleh serta mengingkari karamah mereka. Mereka mencaci-maki Syekh habis-habisan dan dia dituduh sebagai murtad.
Golongan yang takut kehilangan pangkat dan jawatan, pengaruh dan kedudukan. Maka golongan ini memusuhi dia supaya dakwah Islamiyah yang dilancarkan oleh Syekh yang berpandukan kepada aqidah Salafiyah murni gagal karena ditelan oleh suasana hingar-bingarnya penentang dia.
Demikianlah tiga jenis musuh yang lahir di tengah-tengah nyalanya api gerakan yang digerakkan oleh Syekh dari Najd ini yang mana akhirnya terjadilah perang perdebatan dan polemik yang berkepanjangan di antara Syekh di satu pihak dan lawannya di pihak yang lain. Syekh menulis surat-surat dakwahnya kepada mereka, dan mereka menjawabnya. Demikianlah seterusnya.
Perang pena yang terus menerus berlangsung itu, bukan hanya terjadi pada masa hayat Syekh sendiri, akan tetapi berterusan sampai kepada anak cucunya. Di mana anak cucunya ini juga ditakdirkan Allah menjadi ulama.
Merekalah yang meneruskan perjuangan al-maghfurlah Syekh Muhammad bin `Abdul Wahhāb yang dibantu oleh para muridnya dan pendukung-pendukung ajarannya. Demikianlah perjuangan Syekh yang berawal dengan lisan, lalu dengan pena dan seterusnya dengan senjata, telah didukung sepenuhnya oleh Amir Muhammad bin Saud, penguasa Dar’iyah.
Dia pertama kali yang mengumandangkan jihadnya dengan pedang pada tahun 1158 H. Sebagaimana kita ketahui bahwa seorang da’i ilallah, apabila tidak didukung oleh kekuatan yang mantap, pasti dakwahnya akan surut, meskipun pada tahap pertama mengalami kemajuan. Namun pada akhirnya orang akan jemu dan secara beransur-ansur dakwah itu akan ditinggalkan oleh para pendukungnya.
Oleh karena itu, maka kekuatan yang paling ampuh untuk mempertahankan dakwah dan pendukungnya, tidak lain harus didukung oleh senjata. Karena masyarakat yang dijadikan sebagai objek daripada dakwah kadangkala tidak mampan dengan lisan mahupun tulisan, akan tetapi mereka harus diiring dengan senjata, maka waktu itulah perlunya memainkan peranan senjata.
Alangkah benarnya firman Allah Subhanahu wa Ta'ala: " Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami, dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan Mizan/neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan pelbagai manfaat bagi umat manusia, dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)Nya dan RasulNya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat dan Maha Perkasa." (al-Hadid:25)
Ayat di atas menerangkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala mengutus para RasulNya dengan disertai bukti-bukti yang nyata untuk menumpaskan kebatilan dan menegakkan kebenaran. Di samping itu pula, mereka dibekalkan dengan Kitab yang di dalamnya terdapat pelbagai macam hukum dan undang-undang, keterangan dan penjelasan. Juga Allah menciptakan neraca (mizan) keadilan, baik dan buruk serta haq dan batil, demi tertegaknya kebenaran dan keadilan di tengah-tengah umat manusia.
Namun semua itu tidak mungkin berjalan dengan lancar dan stabil tanpa ditunjang oleh kekuatan besi (senjata) yang menurut keterangan al-Qur’an al-Hadid fihi basun syadid yaitu, besi baja yang mempunyai kekuatan dahsyat. yaitu berupa senjata tajam, senjata api, peluru, senapan, meriam, kapal perang, nuklir dan lain-lain lagi yang pembuatannya mesti menggunakan unsur besi.
Sungguh besi itu amat besar manfaatnya bagi kepentingan umat manusia yang mana al-Qur’an menyatakan dengan Wamanafiu linnasi yaitu dan banyak manfaatnya bagi umat manusia. Apalah lagi jika dipergunakan bagi kepentingan dakwah dan menegakkan keadilan dan kebenaran seperti yang telah dimanfaatkan oleh Syekh Muhammad bin `Abdul Wahhāb semasa gerakan tauhidnya tiga abad yang lalu.
Orang yang mempunyai akal yang sehat dan fikiran yang bersih akan mudah menerima ajaran-ajaran agama, sama ada yang dibawa oleh Nabi, maupun oleh para ulama. Akan tetapi bagi orang zalim dan suka melakukan kejahatan yang diperhambakan oleh hawa nafsunya, mereka tidak akan tunduk dan tidak akan mau menerimanya, melainkan jika mereka diiring dengan senjata.
Demikianlah Syekh Muhammad bin `Abdul Wahhāb dalam dakwah dan jihadnya telah memanfaatkan lisan, pena serta pedangnya seperti yang dilakukan oleh Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam sendiri, di waktu baginda mengajak kaum Quraisy kepada agama Islam pada waktu dahulu. Yang demikian itu telah dilakukan terus menerus oleh Syekh Muhammad selama lebih kurang 48 tahun tanpa berhenti, yaitu dari tahun 1158 Hinggalah akhir hayatnya pada tahun 1206 H.
Wafat
Muhammad bin `Abdul Wahhāb telah menghabiskan waktunya selama 48 tahun lebih di Dar’iyah. Keseluruhan hidupnya diisi dengan kegiatan menulis, mengajar, berdakwah dan berjihad serta mengabdi sebagai menteri penerangan Kerajaan Saudi di Tanah Arab. Muhammad bin Abdul Wahhab berdakwah sampai usia 92 tahun, dia wafat pada tanggal 29 Syawal 1206 H, bersamaan dengan tahun 1793 M, dalam usia 92 tahun. Jenazahnya dikebumikan di Dar’iyah (Najd).
Rahimahullah Rahmatan Wasi'ah.[40][41]
Karya tulis
Beliau termasuk ulama yang banyak menulis, baik itu di bidang hukum agama, tafsir, maupun kompilasi fatwa.[42] Beberapa karya tulis beliau, antara lain:
Beberapa foto yang diduga Muhammad bin Abdul Wahhab menyebar di Internet, tetapi faktanya ia tidak dapat membuktikan fotografinya, karena kamera cahaya pertama kali ditemukan pada tahun 1828 M oleh Louis Daguerre, dan ini terjadi 35 tahun setelah Muhammad bin Abdul Wahab wafat.[43] Foto yang diklaim sebagai fotonya Muhammad bin Abdul Wahab adalah foto dari seorang pengusaha mutiara yang bernama Muhammad bin Abdul Wahhab Al Faihani.[44]
^ abFauzan, Shalih (1443 H/2022 M). AL-MULAKHKHASH Syarh Kitab Tauhid. Makasar: Pustaka As-Sunnah. hlm. 1. ISBN9789793913674.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan); Periksa nilai tanggal di: |date= (bantuan)
^J. Delong-Bas, Natana (2004). Wahhabi Islam:From Revival and Reform to Global Jihad. New York 10016: Oxford University Press. hlm. 29,30,117,28,37. ISBN0195169913.
^J. Delong-Bas, Natana (2004). Wahhabi Islam: From Revival and Reform to Global Jihad. New York: Oxford University Press. hlm. 14, 21, 29. ISBN0195169913.
^"Ibn Abd al-Wahhab, Muhammad (d. 1791 )". Oxford Islamic Studies Online. Diarsipkan dari versi asli tanggal 12 July 2016. Plans for socioreligious reform in society were based on the key doctrine of tawhid (oneness of God)Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^J. Delong-Bass, Natana (2004). Wahhabi Islam: From Revival and Reform to Global Jihad. New York: Oxford University Press. hlm. 13. ISBN0195169913.
^ abcdNawaf E. Obaid (September 1999). "The Power of Saudi Arabia's Islamic Leaders". Middle East Quarterly. Middle East Forum. 6 (3): 51–58. Diarsipkan dari versi asli tanggal 6 August 2011. Diakses tanggal 8 September 2020.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^J. Delong-Bas, Natana (2004). "Introduction". Wahhabi Islam:From Revival and Reform to Global Jihad. New York: Oxford University Press. hlm. 5. ISBN0-19-516991-3.