Bapak Pendidikan Nasional, Pahlawan Revolusi Kemerdekaan, Menteri Pengajaran Indonesia, Aktivis Pergerakan Kemerdekaan Indonesia, Pendiri Taman Siswa, Pelopor Pendidikan bagi Kaum Bumiputra.
Raden MasSoewardi Soerjaningrat (EYD: Suwardi Suryaningrat, sejak 1923 menjadi Ki Hadjar Dewantara, EYD: Ki Hajar Dewantara, beberapa menuliskan bunyi bahasa Jawanya dengan Ki Hajar Dewantoro; 2 Mei 1889 – 26 April 1959;[1] selanjutnya disingkat sebagai "Soewardi" atau "KHD") adalah bangsawan Jawa, aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia, guru bangsa, agent, kolumnis, politisi, dan pelopor pendidikan bagi kaum pribumiIndonesia dari zaman penjajahan Belanda. Dia adalah pendiri Perguruan Taman Siswa, yaitu suatu lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan bagi para pribumi untuk bisa memperoleh hak pendidikan seperti halnya para priayi maupun orang-orang Belanda.
Pada 1959, atas jasa-jasanya dalam mengembangkan pendidikan di Indonesia, dia dianugerahi gelar sebagai Bapak Pendidikan Nasional oleh Presiden Soekarno. sedangkan tanggal kelahirannya sekarang diperingati di Indonesia sebagai Hari Pendidikan Nasional Indonesia. Bagian dari semboyan ciptaannya, tut wuri handayani, menjadi sloganKementerian Pendidikan Nasional Indonesia. Namanya diabadikan sebagai salah satu nama sebuah kapal perang Indonesia, KRI Ki Hajar Dewantara. Potret dirinya juga diabadikan pada uang kertas pecahan 20.000 rupiah tahun edisi 1998.[2]
Dia dikukuhkan sebagai pahlawan nasional yang ke-2 oleh Presiden RI, Sukarno, pada 28 November 1959 (Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 305 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959).[3] Dia juga merupakan peletak dan perintis pendidikan nasional berbasis kebudayaan.[4]
Awal karier
Soewardi berasal dari lingkungan keluarga bangsawanKadipaten Pakualaman. Dia merupakan putra dari G.P.H. Soerjaningrat dan cucu dari Paku Alam III. Dia menamatkan pendidikan dasar di Europeesche Lagere School. Sekolah ini merupakan sekolah dasar khusus untuk anak-anak yang berasal dari Eropa. Dia sempat melanjukan pendidikan kedokteran di STOVIA, tetapi tidak diselesaikan dikarenakan kondisi kesehatannya yang buruk.[5]
Dia juga berperan aktif dalam berbagai organisasi baik nasional maupun internasional yang bergerak di ranah pendidikan, seperti UNESCO. Selain itu, beliau pernah menduduki posisi sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1950 [7]
Aktivitas pergerakan
Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, dia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik. Sejak berdirinya Boedi Oetomo (BO) tahun 1908, dia aktif di seksi propaganda untuk menyosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia (terutama Jawa) pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara. Kongres pertama BO di Yogyakarta juga diorganisasi olehnya.
Soewardi muda juga menjadi anggota organisasi Insulinde, suatu organisasi multietnik yang didominasi kaum Indo yang memperjuangkan pemerintahan sendiri di Hindia Belanda, atas pengaruh Ernest Douwes Dekker (DD). Ketika DD mendirikan Indische Partij, Soewardi juga ikut diajak.
Als ik een Nederlander was
Ketika pemerintah Hindia Belanda berniat mengumpulkan sumbangan dari warga, termasuk pribumi, untuk perayaan kemerdekaan Belanda dari Prancis pada 1913, timbul reaksi kritis dari kalangan nasionalis, termasuk Soewardi. Dia kemudian menulis "Een voor Allen maar Ook Allen voor Een" atau "Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga". Namun kolom KHD yang paling terkenal adalah "Seandainya Aku Seorang Belanda" (judul asli: "Als ik een Nederlander was"), dimuat dalam surat kabarDe Expres pimpinan DD, 13 Juli 1913. Isi artikel ini terasa pedas sekali di kalangan pejabat Hindia Belanda. Kutipan tulisan tersebut antara lain sebagai berikut.
"Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas sendiri kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Ide untuk menyelenggaraan perayaan itu saja sudah menghina mereka, dan sekarang kita keruk pula kantongnya. Ayo teruskan saja penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda, hal yang terutama menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku ialah kenyataan bahwa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu kegiatan yang tidak ada kepentingan sedikit pun baginya".
Beberapa pejabat Belanda menyangsikan tulisan ini asli dibuat oleh Soewardi sendiri karena gaya bahasanya yang berbeda dari tulisan-tulisannya sebelum ini. Kalaupun benar dia yang menulis, mereka menganggap DD berperan dalam memanas-manasi Soewardi untuk menulis dengan gaya demikian.
Akibat tulisan ini dia ditangkap atas persetujuan Gubernur Jenderal Idenburg dan akan diasingkan ke Pulau Bangka (atas permintaan sendiri). Namun demikian kedua rekannya, DD dan Tjipto Mangoenkoesoemo, memprotes dan akhirnya mereka bertiga diasingkan ke Belanda (1913). Ketiga tokoh ini dikenal sebagai "Tiga Serangkai". Soewardi kala itu baru berusia 24 tahun.[8]
Dalam pengasingan
Dalam pengasingan di Belanda, Soewardi aktif dalam organisasi para pelajar asal Indonesia, Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia). Tahun 1913 dia mendirikan Indonesisch Pers-bureau, "kantor berita Indonesia". Ini adalah penggunaan formal pertama dari istilah "Indonesia", yang diciptakan tahun 1850 oleh ahli bahasa asal Inggeris George Windsor Earl dan pakar hukum asal Skotlandia James Richardson Logan.
Di sinilah dia kemudian merintis cita-citanya memajukan kaum pribumi dengan belajar ilmu pendidikan hingga memperoleh Europeesche Akta, suatu ijazah pendidikan yang bergengsi yang kelak menjadi pijakan dalam mendirikan lembaga pendidikan yang didirikannya. Dalam studinya ini Soewardi terpikat pada ide-ide sejumlah tokoh pendidikan Barat, seperti Froebel dan Montessori, serta pergerakan pendidikan India, Santiniketan, oleh keluarga Tagore. Pengaruh-pengaruh inilah yang mendasarinya dalam mengembangkan sistem pendidikannya sendiri.
Taman Siswa
Soewardi kembali ke Indonesia pada bulan September 1919. Segera kemudian dia bergabung dalam sekolah binaan saudaranya. Pengalaman mengajar ini kemudian digunakannya untuk mengembangkan konsep mengajar bagi sekolah yang berencana untuk didirikannya.[butuh rujukan]Pada 3 Juli 1922, dia akhirnya mendirikan Perguruan Nasional Taman Siswa di Yogyakarta.[9] Saat dia genap berusia 40 tahun menurut hitungan penanggalan Jawa, dia mengganti namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara. Dia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya dia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun jiwa.
Semboyan dalam sistem pendidikan yang dipakainya kini sangat dikenal di kalangan pendidikan Indonesia. Secara utuh, semboyan itu dalam bahasa Jawa berbunyi ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. ("di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan"). Semboyan ini masih tetap dipakai dalam dunia pendidikan rakyat Indonesia, terlebih di sekolah-sekolah Perguruan Tamansiswa.
Pengabdian pada masa Indonesia merdeka
Tanggal 17 Agustus 1946 ditetapkan sebagai Maha Guru pada Sekolah Polisi Republik Indonesia bagian Tinggi di Mertoyudan Magelang, oleh P.J.M. Presiden Republik Indonesia.
Ki Hadjar Dewantara juga diditetapkan sebagai Bapak Pendidikan Nasional atas jasa-jasanya dalam mengembangkan pendidikan di Indonesia. Selain itu, tanggal 2 Mei yang merupakan hari kelahirannya, ditetapkan sebagai Hari Pendidikan Nasional.[12] Ketetapan hari tersebut disahkan dalam Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 305 Tahun 1959 bersamaan dengan penetapannya sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.[13] Surat keputusan tersebut diterbitkan tanggal 28 November 1959.
Wafat
Ki Hadjar Dewantara meninggal dunia di Kota Yogyakarta pada 26 April 1959. Lokasi wafatnya di Padepokan Ki Hadjar Dewantara. Jenazahnya kemudian disimpan di Pendapa Agung Taman Siswa untuk kemudian dimakamkan di Taman Wijaya Brata pada tanggal 29 April 1959. Upacara pemakamannya dipimpin oleh Soeharto yang bertindak sebagai inspektur upacara.[14]
Galeri
Potret di Mimbar Umum 18 Oktober 1949.
Pemakaman Ki Hajar Dewantara.
Ki Hajar Dewantara dengan Sukarno.
Ki Hajar Dewantara sedang menulis.
Patung Ki Hajar Dewantara.
Referensi
^Ini adalah versi Perguruan Tamansiswa dan Kepustakaan Presiden Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, tokohindonesia.com menyebutkan 28 April 1959 sebagai tanggal wafat.
^Lohanda, Mona, ed. (2017). Indeks Beranotasi Karya Ki Hadjar Dewantara(PDF). Diterjemahkan oleh Sunjayadi, A., dan Harjosaputra, Karsono. Jakarta: Direktorat Sejarah, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. hlm. 165. ISBN978-602-1289-70-9.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)Pemeliharaan CS1: Banyak nama: translators list (link)
^Wiryopranoto, S., dkk. (2017). Perjuangan Ki Hajar Dewantara: Dari Politik ke Pendidikan(PDF). Museum Semarang Kebangkitan Nasional. hlm. 163. ISBN978-602-61552-0-7.Parameter |editor-frist= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan); Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan); Parameter |first1= tanpa |last1= di Editors list (bantuan)Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)