Jamin Ginting dilahirkan di Desa Suka, Kecamatan Tigapanah, Kabupaten Karo, pada 12 Januari 1921.[3] Setelah menamatkan pendidikan sekolah menengah, ia bergabung dengan satuan militer yang diorganisir oleh opsir-opsir Jepang. Pemerintah Jepang membangun kesatuan tentara yang terdiri dari anak-anak muda di Taneh Karo guna menambah pasukan Jepang untuk mempertahankan kekuasaan mereka di Benua Asia. Jamin Ginting muncul sebagai seorang komandan pada pasukan bentukan Jepang itu.
Karier militer
Memimpin pasukan setelah kekalahan Jepang
Rencana Jepang untuk memanfaatkan putra-putra Karo memperkuat pasukan Jepang kandas setelah Jepang menyerah kepada sekutu pada Perang Dunia II. Jepang menelantarkan daerah kekuasaan mereka di Asia dan kembali pulang ke Jepang. Sebagai seorang komandan, Jamin Ginting bergerak cepat untuk mengkonsolidasi pasukannya. Ia bercita-cita untuk membangun satuan tentara di Sumatera Utara. Ia menyakinkan anggotanya untuk tidak kembali pulang ke desa masing masing. Ia memohon kesediaan mereka untuk membela dan melindungi rakyat Karo dari setiap kekuatan yang hendak menguasai daerah Sumatera Utara. Situasi politik ketika itu tidak menentu. Pasukan Belanda dan Inggris masih berkeinginan untuk menguasai daerah Sumatra.
Pionir pejuang
Di kemudian hari, Jendral Ronald Pakpahan dan pasukan Jamin Ginting ini muncul sebagai pionir-pionir pejuang Sumatra bagian utara. Kapten Bangsi Sembiring, Kapten Selamat Ginting, Kapten Mumah Purba, Mayor Rim Rim Ginting, Kapten Selamet Ketaren, dan lainnya adalah cikal bakal Kodam II/Bukit Barisan yang kita kenal sekarang ini.
Ketika Jamin Ginting menjadi wakil komandan Kodam II/Bukit Barisan, ia berselisih paham dengan Kolonel Maludin Simbolon, yang ketika itu menjabat sebagai Panglima Kodam II/Bukit Barisan. Jamin Ginting tidak sepaham dengan tindakan Kolonel Maludin Simbolon untuk menuntut keadilan dari pemerintah pusat melalui kekuatan bersenjata. Perselisihan mereka ketika itu sangat dipengaruhi oleh situasi politik dan ekonomi yang melanda Indonesia.
Di satu pihak, Maludin Simbolon merasa Sumatra dianaktirikan oleh pemerintah pusat dalam bidang ekonomi. Di lain pihak, Jamin Ginting sebagai seorang tentara tetap setia untuk membela negara Indonesia.
Operasi Bukit Barisan
Dalam rangka menghadapi gerakan pemberontakan Boyke Nainggolan di Medan, maka Panglima TT I, Letkol Inf. Djamin Ginting melancarkan Operasi Bukit Barisan. Operasi ini dilancarkan pada 7 April 1958. Dengan dilancarkannya operasi Bukit Barisan II ini, maka pasukan Boyke Nainggolan dan Sinta Pohan terdesak dan mundur ke daerah Tapanuli.[4]
Akhir karier
Di penghujung masa baktinya, Jamin Ginting diutus sebagai seorang Duta Besar Indonesia untuk Kanada. Di Kanada pulalah, Jamin Ginting menghembuskan nafas terakhirnya, yakni di Ottawa pada tanggal 23 Oktober 1974. Jenazahnya dibawa pulang ke Indonesia dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Nasional Utama Kalibata.[3]
Riwayat militer
Juni-i, Sumatra Giyugun (masa pendudukan Jepang)[3]
Komandan Resimen I, Komandemen Sumatera, Tentara Rakyat Indonesia, Berastagi (1947)[3]
Kepala Staf Tentara dan Teritorium I/Bukit Barisan[3]
Panglima Tentara dan Teritorium I/Bukit Barisan (27 Desember 1956–April 1959)[3]
Panglima Kodam II/Bukit Barisan (April 1959–4 Januari 1961)[3]
Pendidikan di Staff College, Quetta, Pakistan (1962)[3]
Asisten 2/Operasi Kepala Staf Angkatan Darat (30 Juni 1962–1965)[3]
Inspektur Jenderal Angkatan Darat (Oktober 1965)[3]
Dengan pangkat mayor jenderal, menjabat sebagai Wakil Sekretaris Jenderal Front Nasional, di Kabinet Dwikora II.[5]
Penggerak dari pembentukan Gakari yang nantinya akan membentuk Golkar.[6]
Duta Besar Indonesia untuk Kanada (8 Januari 1972–23 Oktober 1974)[3]
Kehidupan pribadi
Keluarga
Jamin Ginting meninggalkan lima orang anak. Salah satunya adalah Rimenda br. Ginting, yang menjabat sebagai Ketua Umum Himpunan Masyarakat Karo Indonesia.[7]
Karya tulis
Semasa hidupnya, Jamin Ginting menulis beberapa buku, salah satunya adalah "Bukit Kadir" yang dikarangnya bersama Payung Bangun. Buku tersebut mengisahkan perjuangannya di daerah Karo sampai ke perbatasan Aceh dalam melawan Hindia Belanda. Salah seorang anggotanya, Kadir, gugur di sebuah perbukitan di Taneh Karo dalam suatu pertempuran yang sengit dengan pasukan Belanda. Bukit itu sekarang dikenal dengan nama Bukit Kadir. Selain itu, Jamin Ginting juga mengarang satu buku lagi yang berjudul Titi Bambu. Buku ini terbit pada tahun 1975.
Atas jasa besarnya bagi Sumatera Utara, nama Letnan Jenderal Jamin Ginting diabadikan menjadi nama ruas jalan sepanjang 80 kilometer yang membentang dari Kota Medan hingga Kabupaten Karo.[8] Ruas jalan tersebut diberi nama sebagai Jalan Jamin Ginting oleh Wali Kota Medan, Agus Salim Rangkuti.
Patung
Pada 28 Juni 2022, Wali KotaMedan, Bobby Nasution, meresmikan patung Letjen TNI Jamin Gintings untuk menandai kilometer nol Jalan Jamin Ginting di Kota Medan.[9]