Teuku Nyak Arif (17 Juli 1899 – 4 Mei 1946) adalah Pahlawan Nasional Indonesia yang pernah menjabat sebagai Residen Aceh pertama periode 1945–1946. Pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia, saat Volksraad (parlemen) dibentuk, Teuku Nyak Arif terpilih sebagai wakil pertama dari Aceh.[2]
Teuku Nyak Arief bersekolah di Volksschool (Sekolah Rakyat) Kutaraja, ia melanjutkan pendidikannya di Sekolah Guru Kweekschool di Bukit Tinggi, dan kemudian Sekolah Pamongpraja OSVIA di SerangBanten. Sekolah ini khusus diadakan oleh Belanda untuk anak-anak Raja dan Bangsawan dari seluruh Indonesia.
Masa pergerakan nasional
Teuku Nyak Arief dikenal sebagai orator ulung walaupun selalu berbicara seperlunya saja. Sangat gemar membaca terutama yang menyangkut politik dan pemerintahan serta mendalami pengetahuan Agama. Oleh sebab itu tidak mengherankan kalau dalam usia muda ia telah giat dalam pergerakan.
Teuku Nyak Arief merupakan salah seorang pendiri dan anggota dari Fraksi Nasional di Dewan Rakyat yang diketuai oleh Mohammad Husni Thamrin. Dalam berbagai kesempatan yang diperolehnya ini Ia banyak memberikan sumbangan dalam bentuk perjuangan politik baik untuk kesejahteraan rakyat maupun kemerdekaan[3]
Sejak tahun 1932 T. Nyak Arif memimpin gerakan di bawah tanah menentang penjajahan Belanda di Aceh.
Bersama Mr. T.M Hasan, ia ikut mempelopori berdirinya organisasi Atjehsche Studiefonds (Dana Pelajar Aceh) yang bertujuan untuk membantu anak-anak Aceh yang cerdas tetapi tidak mampu untuk sekolah.
Pada tahun 1939 berdiri Persatuan Ulama Aceh, disingkat PUSA yang diketuai oleh Teungku Daud Beureu'eh. Pemuda-pemuda PUSA mengadakan hubungan dengan Jepang di Malaya sejak 1940 sampai 1942. Kemudian Jepang mempergunakan PUSA untuk melemahkan Belanda di Aceh dengan segala jalan. Teuku Nyak Arif prihatin melihat langkah-langkah PUSA dan menganggapnya sebagai suatu kemunduran bagi pergerakan nasional.
Masa pendudukan Jepang
Diakhir kekuasaan pemerintahan Hindia Belanda di Aceh (awal tahun 1942), Teuku Nyak Arif menuntut untuk diserahkan kekuasaan/pemerintahan kepadanya, tetapi tidak dikabulkan oleh Residen Aceh J. Pauw, maka Nyak Arif pun memberontak kepada pemerintah Hindia Belanda. Kolonel Gosenson memerintahkan KNIL/Marsose untuk menyerang T. Nyak Arif, tetapi dapat dipukul mundur, walau dua kali berturut-turut kediamannya di Lamnyong diserang dengan kekerasan. Peristiwa tersebut sekaligus menandai dimulainya penarikan Belanda dari Aceh Besar.
Jepang mendarat di Aceh pada tanggal 12 Maret 1942 di Ujong Batee, Teluk BalohanPulau Weh dan Kuala BugakPeureulakAceh Timur, disambut oleh rakyat dengan semangat persaudaraan
sesuai dengan propaganda Jepang bahwa mereka datang ke Indonesia untuk membebaskan saudaranya-saudaranya dari cengkraman penjajahan Belanda.
Pada awal kehadiran Jepang di Aceh, rakyat beranggapan bahwa juru selamat telah tiba. Namun tidak lama kemudian tindakan-tindakan berupa tekanan terhadap organisasi dan partai-partai politik mulai dilakukan. Akibatnya organisasi seperti Muhammadiyah, PUSA, Parindra mengalami kemunduran bahkan
Taman Siswa dibubarkan oleh Gunseibu, hal ini mengurangi simpati rakyat terhadap Jepang. Kebencian rakyat semakin bertambah setelah Jepang memeras tenaga rakyat
untuk kepentingan proyek mereka, seperti membuat jalan rayaTakengon-Blangkeujeren, kubu pertahanan Gunung Setan. Lapangan Udara dan lain-lain. Akibatnya rakyat tidak mempunyai waktu untuk mengurus kepentingan pribadi, sehingga keadaan sosial-ekonomi mereka sangat menyedihkan.
Kemerosotan yang dialami oleh tentara Jepang dalam Perang Asia Timur Raya, mendorong pemerintah pendudukan mendirikan Atjeh Shu Sangi Kai (Dewan penasehat Daerah Aceh) pada tanggal 17 November 1943 untuk menarik simpati para elit dan berbagai macam kelompok di Aceh. Badan semacam legislatif ini dipimpin Teuku Nyak Arief, beranggotakan 30 orang, anggotanya terdiri dari berbagai kelompok elit di Aceh. Setahun kemudian keanggotaan Shu Sangi Kai diperluas oleh Shu Tjokan (Residen Aceh) S. Iinoo.
Sejalan dengan politik ingin mendekati rakyat dari berbagai golongan, maka pada bulan Juli 1945 para pembesar Jepang menghubungi tokoh-tokoh pemuda yang ada di Kutaraja. Dalam pertemuan itu pihak Jepang kembali menegaskan bahwa Dai Nippon pasti akan memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia. Oleh karena itu mereka diminta untuk mengkoordinir pemuda-pemuda sehingga lahir suatu angkatan pemuda yang kuat di Aceh.
Pada tanggal 14 Agustus 1945 yang bertempat di Atjeh Bioscoop Kutaradja diadakan rapat pemuda yang dihadiri juga oleh unsur masyarakat. Suatu hal yang mengejutkan para pemuda, Syu Tjokan tidak hadir. Tidak diketahuinya Jepang telah menyerah kalah ditandai dengan tidak hadirnya Syu Tjokan pada rapat tersebut. Satu-satunya yang hadir dari pihak Jepang adalah Matsyubushi yang mengucapkan pidato singkat tanpa bersemangat. Sedangkan di pihak pemuda telah menyampaikan pidatonya dengan membakar semangat rakyat, tidak saja dari unsur pemuda seperti Ali Hasjmy, Tuanku Hasyim, tetapi
turut berbicara dengan bersemangat sekali dua orang pimpinan Aceh yaitu Teuku Nyak Arief dan Teungku Muhammad Daud Beureueh.
Rapat pemuda yang diadakan tepat pada hari menyerahnya Jepang kepada sekutu telah memberikan arti yang penting bagi para pemuda terutama yang berada di Kutaradja dan Aceh Besar. Mereka telah mendengar langsung pengarahan-pengarahan yang diberikan oleh para pemimpin mereka waktu itu. Setelah Indonesia merdeka para pemuda-pemuda tersebut mengorganisir dirinya dalam satu barisan yang diberi nama Ikatan Pemuda Indonesia.
Masa kemerdekaan Indonesia
Pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang menyerah kepada sekutu tanpa syarat. Soekarno dan Hatta mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh Indonesia lainnya, untuk mengadakan persiapan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Sesuai dengan rencana yang ditetapkan dan dipersiapkan dengan matang, maka pada tanggal 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta, tepatnya jam 10.00 pagi diproklamasikanlah kemerdekaan Indonesia ke seluruh pelosok tanah air.[4] Namun berita proklamasi ini terlambat beberapa hari diterima di Aceh.[5]
Berita proklamasi kemudian diterima oleh pemuda Gazali dan Rajalis yang kemudian disampaikan pada Teuku Nyak Arief. Berita selanjutnya diterima melalui telegram dari Bukit Tinggi yang dikirim oleh Adionegoro. Teuku Nyak Arief memanggil tokoh-tokoh penting sesudah menerima berita tersebut. Dihadapan pemimpin-pemimpin itu Teuku Nyak Arief menyatakan sumpah setia kepada Negara Republik Indonesia. dan dilakukanlah pengibaran Sang Merah Putih pada tanggal 24 Agustus 1945 di depan Kantor Polisi Kepang (Kantor Baperis sekarang) oleh para pegawai bangsa Indonesia.
Pada tanggal 29 Agustus 1945 Teuku Nyak Arief diangkat menjadi Ketua Komite Nasional Indonesia (K.N.I) daerah Aceh. Untuk memikul biaya perang (perjuangan) yang semakin berat maka Teuku Nyak Arief menjual harta benda pribadinya termasuk segala perhiasan emas milik istrinya, demi kelancaran perjuangan untuk mempertahankan tanah air Indonesia.
Pada bulan Oktober 1945 utusan sekutu tiba di Kutaraja yang bernama Mayor Knotienbelt untuk membicarakan pendaratan Sekutu di Aceh dalam rangka melucuti senjata-senjata Jepang dan mengurus para tawanan perang. Residen Teuku Nyak Arief menolak rencana sekutu ini.
Memasuki bulan Desember 1945 Residen Teuku Nyak Arief sering digantikan oleh Tuanku Mahmud dan Teuku Panglima Polem Moh. Ali sebagai Wakil Residen. Hal ini diakibatkan karena residen sering mengadakan perjalanan dan peninjauan ke daerah-daerah, terutama di daerah yang kurang aman.
Desember 1945 terjadilah peristiwa Perang Cumbok mengakibatkan perpecahan antara golongan bangsawan dan Ulama. Ulama ingin merebut tampuk pemerintahan dari golongan Uleebalang (bangsawan). Pada saat itu Teuku Nyak Arief merasa sedih ketika mendengar peristiwa tersebut, karena Ia telah berusaha mempersatukannya sejak zaman Hindia Belanda dan Jepang, dan berhasil. Namun perpecahan tidak mungkin dielakkan.
Ulama di bawah PUSA dan Pesindo berhasil menguasai Aceh, dan membunuh banyak Uleebalang, dan mengambil alih harta dan tanah mereka. Laskar Ulama (Mujahiddin) yang di dipimpin Husein Al Mujahid mempunyai ambisi untuk menggantikan residen Teuku Nyak Arif, dan mendapat dukungan dari TPR (Tentara Perlawanan Rakyat).
Teuku Nyak Arief di tangkap pada Januari 1946 oleh TPR. Penangkapan terhadap Teuku Nyak Arief dilakukan pada saat ia dalam keadaan sakit. Teuku Nyak Arief membiarkan dirinya untuk ditawan oleh laskar Mujahidin dan tentara perlawanan rakyat (TPR), dan meminta pasukan yang menjaganya untuk tidak memberi perlawanan.[7] Kemudian ia dibawa ke Takengon dan ditahan di sana.
Mangkat
Dalam keadaan sakit, Teuku Nyak Arief masih memikirkan tawanan lainnya dan keadaan rakyat Aceh pada umumnya. T. Nyak Arif meninggal pada tanggal 4 Mei 1946 di Takengon. Ia sempat berpesan kepada keluarganya: "Jangan menaruh dendam, karena kepentingan rakyat harus diletakkan di atas segala-galanya".[8]
Jenazahnya dibawa ke Kutaraja dan dikebumikan di tanah pemakaman keluarga pada tepi sungai Lamnyong di Lamreung, Aceh Besar, dua kilometer dari Lamnyong, Banda Aceh. Sebagai penghormatan, jalan letak makam beliau diberi nama Jalan Makam Teuku Nyak Arief.
Penghargaan
Teuku Nyak Arif dianugerahkan gelar Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 071/TK/1974.
Kutipan
"Indonesia merdeka harus menjadi tujuan hidup kita bersama". (Disampaikan pada pidato bulan Maret 1945, dimana Teuku Nyak Arif menjadi Wakil Ketua DPR Seluruh Sumatra).[9]