Keluarga Maludin Simbolon berasal dari Samosir. Di kemudian hari, kakek buyutnya, Ompu Julius Simbolon, berpindah dari Samosir ke Bakkara. Salah satu anak dari Ompu Julius Simbolon adalah Salamat Simbolon gelar Parseat Manuk, yang menikahi perempuan boru Sianturi dari Muara. Salamat dan istrinya tinggal di Muara. Namun, karena pernah terlibat perkelahian dengan seorang bermarga Sianturi, Salamat memilih meninggalkan Muara dan membawa serta istrinya. Mereka menetap di Tarutung, tempat saudari Salamat tinggal setelah dinikahi pria bermarga Lumbantobing. Salamat memiliki lima orang anak, anak tertuanya adalah Julius Simbolon, ayah Maludin Simbolon. Julius Simbolon menikahi Nursiah Lumbantobing, putri dari seorang sipir penjara dan kontraktor jalan yang bernama Pipin Lumbantobing.[2] Mereka menikah di Pangururan.[3] Julius Simbolon dan Nursiah Lumbantobing memiliki 11 orang anak: 6 laki-laki dan 5 perempuan. Maludin Simbolon merupakan anak kedua dari sebelas bersaudara itu. Saudara laki-lakinya antara lain Johan, Joshua, Jansen, Lodewijk, dan Fridolin. Saudara perempuannya antara lain Maria, Tumiar, Porman, Sorta, dan Dumaris.[4]
Maludin Simbolon lahir di Pearaja, kampung kakeknya dari pihak ibu (bahasa Batak Toba: ompung bao), pada pagi hari di tanggal 13 September 1916. Setelah empat generasi meninggalkan Samosir, keluarga Maludin Simbolon kembali lagi ke Samosir karena Julius Simbolon ditempatkan di sana.[4]
Maludin menempuh pendidikan dasarnya di HISNarumonda, kemudian melanjutkan di Chr. HIK (sekolah guru) Solo dan tamat tahun 1938.[5] Ia bertemu dengan calon istrinya di Solo, dan dari pernikahan mereka lalu dikaruniai 5 orang anak.[5]
Maludin memasuki pendidikan Gyugun di masa Penjajahan Jepang, dan setelah lulus pendidikan ia berpangkat Letnan Dua.[5] Ia kemudian ditugaskan Markas Batalyon Gyugun Sumatera Selatan, pada bagian pendidikan dan pelatihan.[5]
Segera setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, dibentuklah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan diangkat menjadi Komandan Divisi Palembang Ulu, dengan pangkat Kolonel.[5] Dalam reorganisasi antar TKR se-Sumatra, Maludin menjadi Komandan Divisi I/Lahat (1945-46), yang membawahi 4 resimen dan 15 batalyon di Sumatera Selatan.[5][6] Saat TKR dikembangkan menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI), Maludin menjadi Komandan Divisi VIII Garuda di Sumatera Selatan, yang membawahi Lampung, Bengkulu, Palembang, dan Jambi.[5]
Saat terjadi Agresi Militer Belanda II, di Sumatra dibentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia, yang mana AK Gani menjadi gubernur militer dan Maludin Simbolon menjadi wakilnya.[5][6] Pada tahun 1950, Maludin diangkat sebagai panglima Komando Tentara Teritorium-I Bukit Barisan, yang dibentuk bersamaan dengan dibentuknya Propinsi Sumatera Utara yang meliputi Aceh, Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, Sumatera Barat, dan Sumatra Timur.[5]
Keterlibatan dalam PRRI
Maludin Simbolon termasuk di antara pemimpin daerah di Sumatra dan Sulawesi, yang merasa tidak puas terhadap berbagai kebijakan pemerintah pusat akhir tahun 1950-an.[1][7] Antara lain tuntutan perubahan yang diinginkan ialah dalam hal peningkatan kesejahteraan prajurit, otonomi daerah yang lebih besar, serta penggantian para pejabat sipil dan militer pusat di Jakarta.[1][7]
Pada 25 November 1956, Maludin Simbolon memenuhi panggilan KASAD A.H. Nasution ke Jakarta untuk membahas timbang terima jabatan Panglima TT-I yang akan dilaksanakan dengan penggantinya, Jamin Ginting. Maludin menyetujui pelaksanaan timbang terima pada Desember 1956 dengan tanggal yang akan dilaporkan kemudian. Namun, hingga 15 Desember 1956, KASAD belum menerima laporan kembali dari Maludin Simbolon. Oleh karena itu, Ahmad Yani diutus ke Medan pada 17 Desember 1956 untuk menyampaikan instruksi KASAD agar timbang terima jabatan Panglima TT-I dilaksanakan pada hari Natal. Pertemuan antara Ahmad Yani dengan Maludin Simbolon berlangsung pada 18 Desember 1956. Pada saat itu, TNI sebenarnya sudah memutuskan langkah yang akan diambil terhadap Maludin Simbolon.[8]
Maludin kemudian bergabung dalam Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), dan mengumumkan pemutusan hubungan wilayah militer Sumatera Utara dengan pemerintah pusat tanggal 22 Desember 1956 di Medan, walaupun tetap menyatakan setia pada Dwitunggal Soekarno-Hatta.[7] Kabinet Ali Sastroamidjojo di Jakarta pada malam hari itu juga mengadakan rapat darurat, dan pada pagi harinya Presiden Soekarno mengumumkan pencopotan Maludin dari posisinya dan menunjuk wakilnya Letkol. Djamin Gintings untuk mengamankan situasi.[1][7] Selain itu juga sebutkan bahwa Letkol. Abdul Wahab Makmoer adalah sebagai pengganti selanjutnya, apabila Letkol. Gintings tidak berhasil bertindak.[1][7]
Gerak cepat pasukan yang dipimpin Letkol. Gintings dapat segera menguasai posisi penting di Kota Medan.[1][7] Jakarta mengirimkan pasukan payung yang diterjunkan di Medan untuk mendukung pasukan Djamin Gintings, sehingga pasukan yang setia pada Maludin mundur menghindari pertempuran ke utara Medan, lalu melanjutkan Balige, Tapanuli Tengah.[7] Selanjutnya, Maludin dan pasukan yang loyal kepadanya kemudian melanjutkan perlawanan secara bergerilya, dan berkoordinasi dengan kekuatan PRRI lainnya di bawah Letkol. Achmad Husein di Bukittinggi.[1][9] Selain di Medan, pemerintah pusat juga menerjunkan pasukan payung dan melakukan pendaratan pasukan dari laut di Palembang dan Padang, untuk secara efektif menguasai kota-kota pusat perlawanan PRRI di Sumatra tersebut.[10]
Pada tanggal 27 Juli 1961, Maludin Simbolon bersama staff dan pasukannya Divisi Pusuk Buhit menyerahkan diri secara resmi kepada Panglima Kodam II, Letkol. Abdul Manaf Lubis, di Balige, dengan demikian mengakhiri perlawanannya terhadap pemerintah pusat.[11]
Akhir hidup
Maludin Simbolon meninggal dunia pada tanggal 15 April 2000, dalam usia 84 tahun.[12] Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.