Pangkat terakhirnya adalah Letnan JenderalTNI, tetapi karena gugur dalam tugas, maka diberikan Kenaikan Pangkat Luar Biasa (KPLB) menjadi JenderalTNI (Anumerta).
Ahmad Yani lahir di Jenar, Purwodadi, Purworejo pada tanggal 19 Juni 1922 dari pasangan M. Wongsorejo dan istrinya Murtini[1]. Keluarga ini bekerja di sebuah pabrik gula yang milik seorang Belanda.[2] Mulanya Ahmad Yani menempuh pendidikan HIS di Purworejo hanya sampai kelas I, Ia pindah ke HIS Magelang sejak kelas II. Ahmad Yani menamatkan HIS pada 1935 di Bogor dan meneruskan hingga MULO. Ia pindah ke Jakarta untuk menempuh sekolah AMS tapi terhenti karena perang dunia II.[1]
Pada tahun 1940, Yani meninggalkan sekolah menengah untuk menjalani pendidikan wajib militer sebagai tentara Hindia Belanda. Sebagai calon perwira, ia mengambil kecabangan/bidang topografi militer di Malang, Jawa Timur, tetapi pendidikan ini terputus karena invasi Jepang pada tahun 1942. Di tahun yang sama, Yani dan keluarganya pindah kembali ke Jawa Tengah.[butuh rujukan]
Ketika Hindia Belanda jatuh ke tangan Jepang, Ia sempat ditangkap oleh pasukan Dai Nippon di Cimahi. Namun ia bebas dan Ahmad Yani kembali ke Purworejo.[1] Pada tahun 1943, ia bergabung menjadi anggota PETA (Pembela Tanah Air) yang dibentuk oleh penguasa Jepang waktu itu dan menjalani pelatihan lanjut di Magelang. Setelah menyelesaikan pelatihan ini, Yani meminta untuk dilatih sebagai komandan peleton PETA dan menerima pendidikan di Bogor, Jawa Barat. Setelah selesai, ia dikirim kembali ke Magelang sebagai instruktur tentara.[butuh rujukan]
Pada tanggal 5 Desember1944, ia menikah dengan Bandiah Yayu Ruliah, yang dulu pernah menjadi guru mengetiknya. Dari perkawinan ini kelak mereka dianugerahi delapan orang anak.[butuh rujukan]
Karier militer
Setelah Kemerdekaan Indonesia, Yani bergabung dengan tentara republik yang baru terbentuk untuk berjuang melawan Belanda yang membonceng sekutu. Selama bulan-bulan pertama setelah Proklamasi Kemerdekaan, Yani memimpin batalion tentara dan menang dalam pertempuran melawan tentara Inggris di Magelang. Yani kemudian juga mempertahankan Magelang dari tentara Belanda dan mendapat julukan "Juruselamat Magelang". Pencapaian yang juga menonjol dari karier Yani di masa ini adalah serangkaian serangan gerilya yang digencarkan pada awal tahun 1949 untuk mengalihkan perhatian tentara Belanda, sementara Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Letnan Kolonel Soeharto mempersiapkan rencana Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta.[butuh rujukan]
Setelah pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda tahun 1949, Yani pindah ke Tegal, Jawa Tengah. Pada tahun 1952, ia mendapatkan tugas untuk memadamkan pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang ingin mendirikan negara agama berdasarkan syariat Islam di Indonesia. Untuk menghadapi DI/TII, Yani membentuk pasukan khusus bernama Banteng Raiders.[1] Dalam kurun waktu 3 tahun, pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah berhasil dipadamkan.[butuh rujukan]Banteng Raiders juga berperan dalam hal lain, seperti memberantas PRRI, Permesta, dan pembebasan Irian Barat.[1]
Pada Desember 1955, Yani berangkat ke Amerika Serikat untuk belajar di Komando dan Staf Umum College, Fort Leavenworth, Kansas. Kembali pada tahun 1956, Yani dipindahkan ke Markas Besar Angkatan Darat di Jakarta di mana ia menjadi anggota staf Umum untuk Abdul Haris Nasution. Di Markas Besar Angkatan Darat, Yani menjabat sebagai Asisten Logistik Kepala Staf Angkatan Darat sebelum menjadi Wakil Kepala Staf Angkatan Darat untuk Organisasi dan Kepegawaian.[butuh rujukan]
Pada bulan Agustus tahun 1958, ia memerintahkan Operasi 17 Agustus terhadap Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia di Sumatera Barat. Pasukannya berhasil merebut kembali Padang dan Bukittinggi, dan keberhasilan ini menyebabkan ia dipromosikan menjadi wakil kepala Angkatan Darat ke-2 staf pada 1 September 1962, dan kemudian Kepala Angkatan Darat stafnya pada 28 Juni 1962 dan pada tanggal 21 Juli 1962 sebutan Kepala Staff Angkatan diubah menjadi Menteri/Panglima, sehingga menjadi Menteri/Panglima Angkatan Darat yang langsung bertanggung jawab kepada Presiden.[1] Jenderal Abdul Haris Nasution sebagai pendahaulu Jenderal Yani diangkat menjadi Mengko hankam/KASAB - Menteri Koordinator Pertahanan Keamanan / Kepala Staff Angkatan Bersenjata.[butuh rujukan]Ahmad Yani memegang posisi ini hingga ia gugur dalam G30S.[1]
Akhir hayat
Sebagai Presiden, Soekarno bergerak lebih dekat ke Partai Komunis Indonesia (PKI) di awal 60-an. Yani yang sangat anti-komunis, menjadi sangat waspada terhadap PKI, terutama setelah partai ini menyatakan dukungannya terhadap pembentukan kekuatan kelima (selain keempat angkatan bersenjata dan polisi) dan Soekarno mencoba untuk memaksakannya Nasakom (Nasionalisme-Agama-Komunisme) doktrin di militer. Keduanya, Yani dan Nasution menunda-nunda ketika diperintahkan oleh Soekarno pada tanggal 31 Mei 1965 mempersiapkan rencana untuk mempersenjatai rakyat.[butuh rujukan]
Pada dini hari 1 Oktober 1965, Gerakan 30 September mencoba untuk menculik tujuh anggota staf umum Angkatan Darat. Sebuah tim dari sekitar 200 orang mengepung rumah Yani di Jalan Latuhahary No. 6 di pinggiran Jakarta Menteng, Jakarta Pusat. Biasanya Yani memiliki sebelas tentara menjaga rumahnya. Istrinya kemudian melaporkan bahwa seminggu sebelumnya tambahan enam orang ditugaskan kepadanya. Orang-orang ini berasal dari komando Kolonel Latief, yang diketahui Yani, adalah salah satu komplotan utama dalam Komando Gerakan 30 September. Menurut istri Yani, orang-orang tambahan tersebut tidak muncul untuk bertugas pada malam itu. Yani dan anak-anaknya sedang tidur di rumahnya sementara istrinya keluar merayakan ulang tahunnya bersama sekelompok teman-teman dan kerabat. Dia kemudian menceritakan bahwa saat ia pergi dari rumah sekitar pukul 23.00, ia melihat seseorang duduk di seberang jalan seakan menjaga rumah di bawah pengawas. Dia tidak berpikir apa-apa pada saat itu, tetapi setelah peristiwa pagi itu ia bertanya-tanya berbeda. Juga, dari sekitar jam 9 pada malam 30 September ada sejumlah panggilan telepon ke rumah pada interval, yang ketika menjawab akan bertemu dengan keheningan atau suara akan bertanya apa waktu itu. Panggilan terus sampai sekitar 01.00 dan Ahmad Yani mengatakan dia memiliki firasat sesuatu yang salah malam itu.[butuh rujukan]
Yani menghabiskan malam dengan beberapa pertemuan, pukul 7 malam ia menerima seorang kolonel dari KOTI, Komando Operasi Tertinggi. Jenderal Basuki Rahmat, komandan divisi di Jawa Timur, kemudian tiba dari markasnya di Surabaya. Basuki datang ke Jakarta untuk melaporkan kepada Yani pada keprihatinan tentang meningkatnya aktivitas komunis di Jawa Timur. Memuji laporannya, Yani memintanya untuk menemaninya ke pertemuan keesokan harinya dengan Presiden untuk menyampaikan laporannya.[butuh rujukan]
Ketika para penculik datang ke rumah Yani dan mengatakan kepadanya bahwa ia akan dibawa ke hadapan presiden, ia meminta waktu untuk mandi dan berganti pakaian. Ketika penculik menolak ia menjadi marah, menampar salah satu prajurit penculik, dan mencoba untuk menutup pintu depan rumahnya. Salah satu penculik kemudian melepaskan tembakan, membunuhnya secara spontan. Tubuhnya dibawa ke Lubang Buaya di pinggiran Jakarta dan bersama-sama dengan orang-orang dari jenderal yang dibunuh lainnya, disembunyikan di sebuah sumur bekas.[butuh rujukan]
Tubuh Yani, dan orang-orang korban lainnya, diangkat pada tanggal 4 Oktober, dan semua diberi pemakaman kenegaraan pada hari berikutnya, sebelum dimakamkan di Taman Makam Pahlawan di Kalibata. Pada hari yang sama, Yani dan rekan-rekannya resmi dinyatakan Pahlawan dari Revolusi dengan Keputusan Presiden Nomor 111/KOTI/1965 dan pangkatnya dinaikkan secara anumerta dari Letnan Jenderal untuk bintang ke-4 umum (Indonesia:Jenderal Anumerta).[butuh rujukan]
Ibu Yani dan anak-anaknya pindah dari rumah setelah kematian Yani. Ibu Yani membantu membuat bekas rumah mereka ke Museum publik yang berdiri sebagian besar seperti itu pada Oktober 1965, termasuk lubang peluru di pintu dan dinding, dan dengan perabot rumah itu waktu itu. Saat ini, banyak kota di Indonesia memiliki jalan dengan nama Jenderal Ahmad Yani. Selain itu namanya diabadikan untuk Bandar Udara Jenderal Ahmad Yani di Semarang. Nama besar Jenderal Ahmad Yani juga digunakan sebagai nama 2 buah universitas di Indonesia yaitu Universitas Jenderal Achmad Yani yang berada di Cimahi, Universitas Jenderal Achmad Yani Yogyakarta yang berada di Yogyakarta. Kedua Perguruan Tinggi tersebut berada di bawah naungan Yayasan Kartika Eka Paksi yang merupakan Yayasan yang dimiliki TNI Angkatan Darat dimana beliau mengabdi.[butuh rujukan]