Daftar pahlawan nasional Indonesia yang beragama Islam
Pahlawan Nasional adalah gelar penghargaan tingkat tertinggi di Indonesia.[1] Gelar anumerta ini diberikan oleh Pemerintahan Indonesia atas tindakan yang dianggap heroik – didefinisikan sebagai "perbuatan nyata yang dapat dikenang dan diteladani sepanjang masa bagi warga masyarakat lainnya atau "berjasa sangat luar biasa bagi kepentingan bangsa dan negara".[2]
Sebanyak 190 pria dan 16 wanita telah diangkat sebagai Pahlawan Nasional, yang paling terbaru adalah Ida Dewa Agung Jambe, Bataha Santiago, M Tabrani, Ratu Kalinyamat, Abdul Chalim dan Ahmad Hanafiah, pada tahun 2023.[3] Pahlawan-pahlawan tersebut berasal dari seluruh wilayah di kepulauan Indonesia, dari Aceh di bagian barat sampai Papua di bagian timur; Untuk kali pertama Kalimantan Timur dan Sulawesi Tengah memiliki Pahlawan Nasional pada tahun 2021, sementara Kalimantan Utara, Papua Barat Daya, Papua Pegunungan, Papua Tengah, dan Papua Selatan sama sekali belum memiliki Pahlawan Nasional. Mereka berasal dari berbagai etnis, meliputi pribumi-Indonesia, peranakan Arab, Tionghoa, India, dan orang Eurasia. Mereka meliputi perdana menteri, gerilyawan, menteri-menteri pemerintahan, prajurit, bangsawan, jurnalis, tokoh keagamaan, pendidik dan seorang uskup.
Pemberian
Kementerian Sosial Indonesia memberikan tujuh kriteria yang harus dimiliki oleh seorang individu, yakni:[2]
Warga Negara Indonesia[a] yang telah meninggal dunia dan semasa hidupnya:
Telah memimpin dan melakukan perjuangan bersenjata atau perjuangan politik/perjuangan dalam bidang lain mencapai/merebut/mempertahankan/mengisi kemerdekaan serta mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa.[4]
Telah melahirkan gagasan atau pemikiran besar yang dapat menunjang pembangunan bangsa dan negara.
Telah menghasilkan karya besar yang mendatangkan manfaat bagi kesejahteraan masyarakat luas atau meningkatkan harkat dan martabat bangsa Indonesia.
Pengabdian dan Perjuangan yang dilakukannya berlangsung hampir sepanjang hidupnya (tidak sesaat) dan melebihi tugas yang diembannya.
Perjuangan yang dilakukan mempunyai jangkauan luas dan berdampak nasional.
Memiliki konsistensi jiwa dan semangat kebangsaan/nasionalisme yang tinggi.
Memiliki akhlak dan moral yang tinggi.
Tidak menyerah pada lawan/musuh dalam perjuangannya.
Dalam riwayat hidupnya tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang dapat merusak nilai perjuangannya.
Pemilihan dijalankan dalam empat langkah dan harus mendapatkan persetujuan pada setiap tingkatan. Sebuah proposal dibuat oleh masyarakat di kota atau kabupaten kepada wali kota atau bupati, yang kemudian harus membuat permohonan kepada gubernur di provinsi tersebut. Gubernur kemudian membuat rekomendasi kepada Kementerian Sosial, yang kemudian diteruskan kepada Presiden, yang diwakili oleh Dewan Gelar;[2] dewan tersebut terdiri dari dua akademisi, dua orang dari latar belakang militer, dan tiga orang yang sebelumnya telah menerima sebuah penghargaan atau gelar.[1] Pada langkah terakhir, pemilihan dilakukan oleh Presiden, yang diwakili oleh Dewan, yang menganugerahi gelar tersebut pada sebuah upacara di ibu kota Indonesia Jakarta.[2] Sejak 2000, upacara diselenggarakan setiap Hari Pahlawan pada tanggal 10 November.[5]
Kerangka undang-undang untuk gelar tersebut awalnya menggunakan nama Pahlawan Kemerdekaan Nasional yang dibuat pada saat dikeluarkannya Dekret Presiden No. 241 Tahun 1958. Gelar pertama dianugerahi pada 30 Agustus 1959 kepada politisi yang menjadi penulis bernama Abdul Muis, yang meninggal dunia pada bulan sebelumnya.[6][7][8] Gelar ini digunakan saat pemerintahan Sukarno. Ketika Suharto berkuasa pada pertengahan 1960-an, gelar tersebut berganti nama menjadi Pahlawan Nasional. Gelar khusus pada tingkat Pahlawan Nasional juga dianugerahkan. Pahlawan Revolusi diberikan pada tahun 1965 oleh Presiden Soekarno (dalam kapasitasnya sebagai Panglima Komando Operasi Tertinggi/KOTI) kepada sepuluh korban peristiwa Gerakan 30 September, sementara Sukarno dan mantan wakil presiden Mohammad Hatta diberikan gelar Pahlawan Proklamator pada 1988 karena peran mereka dalam membacakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.[5][6][8]
^Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2009 memberikan ketentuan pada orang-orang yang meninggal dunia sebelum kemerdekaan Indonesia pada 1945, memungkinkan mereka yang "berjuang melawan penjajahan di wilayah yang sekarang menjadi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia" untuk menerima gelar tersebut.
^Beberapa sumber menyatakan bahwa tahun kelahirannya adalah 1886 atau 1890.
^ ab Sebelumnya digelari sebagai Pahlawan Proklamator pada tahun 1986
^Umumnya disebut sebagai Nyai Ahmad Dahlan, yang berarti "istri Ahmad Dahlan"
^1916 adalah tahun pengakuan dari pemerintahan Indonesia. Tanggal sebenarnya mungkin berbeda. Contohnya, sejumlah sumber menyatakan bahwa peristiwa tersebut terjadi pada tahun 1912 (Said 1991, hlm. 80).
^Tanggal kematian tidak diketahui; ia menghilang pada tahun 1945.