Teungku Muhammad Saman adalah putra dari Teungku Syekh Ubaidillah. Sedangkan ibunya bernama Siti Aisyah, putri Teungku Syekh Abdussalam Muda Tiro. Ia lahir pada 1 Januari1836, bertepatan dengan 1251 Hijriah di Dayah Jrueng kenegerian Cumbok Lam Lo, Tiro, daerah Pidie, Aceh. Ia dibesarkan dalam lingkungan agama yang ketat.
Ketika ia menunaikan ibadah haji di Mekkah, ia memperdalam lagi ilmu agamanya. Selain itu tidak lupa ia menjumpai pimpinan-pimpinan Islam yang ada di sana, sehingga ia mulai tahu tentang perjuangan para pemimpin tersebut dalam berjuang melawan imperialisme dan kolonialisme. Sesuai dengan ajaran agama yang diyakininya, Muhammad Saman sanggup berkorban apa saja baik harta benda, kedudukan, maupun nyawanya demi tegaknya agama dan bangsa. Keyakinan ini dibuktikan dengan kehidupan nyata, yang kemudian lebih dikenal dengan Perang Sabil.[1]
Memimpin perjuangan
Pada 1880, ketika pasukan Belanda dipimpin Jenderal Karen van der Heyden telah menaklukkan daerah Aceh Besar, pejuang Aceh yang bersembunyi di kaki Gunung Seulawah datang berkumpul di Gunung Biram, Lamtamot. Mereka memikirkan langkah yang harus diambil: menyerah atau melawan. Hasil pertemuan itu adalah mereka meminta bantuan dengan mengirim utusan ke daerah Pidie.
Ketika utusan Gunung Biram tiba di Pidie, mereka mendapat kesan dari ulama dan uleebalang Pidie bahwa pusat pimpinan ulama Pidie adalah di Tiro. Mereka kemudian menemui Teungku Chik di Tiro Muhammad Amin Dayah Cut, paman Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman. Kepadanyalah utusan Gunung Biram menyampaikan amanat yang dibawanya itu.
Setelah kedatangan utusan Gunung Biram, ulama Tiro menggelar rapat dua kali di Dayah Krueng dan Daya Lampoh Raja. Hasil pertemuan itu menyepakati bahwa ulama Tiro harus segera membantu perjuangan di Aceh Besar. Namun, utusan Gunung Biram meminta seorang pemimpin dari Tiro, karena semangat perlawanan di sana sudah luntur sehingga membutuhkan pemimpin yang dapat membangkit kembali semangat mengusir Belanda. Pemimpin itu juga harus ikut ke medan perang.
Orang-orang yang hadir dalam rapat itu tidak ada yang ingin mengemukakan diri menjadi sosok pemimpin perlawanan terhadap Belanda di Aceh Besar. Tiba-tiba, Teungku Chik di Tiro Muhammad Amin Dayah Cut mengatakan bahwa keponakannya, Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman yang baru pulang dari Mekkah, hendak berbicara. Dia mengatakan bersedia memimpin perang di Aceh Besar.[2]
Di bawah pimpinan Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman dalam perang sabil, satu persatu benteng Belanda dapat direbut. Begitu pula wilayah-wilayah yang selama ini diduduki Belanda jatuh ke tangan pasukannya. Pada bulan Mei tahun 1881, pasukan Muhammad Saman dapat merebut benteng Belanda Lam Baro, Aneuk Galong dan lain-lain. Belanda akhirnya terjepit di sekitar kota Banda Aceh dengan mempergunakan taktik lini konsentrasi (concentratie stelsel) yaitu membuat benteng yang mengelilingi wilayah yang masih dikuasainya.