Dr.Gerungan Saul Samuel Jacob Ratulangi (5 November 1890 – 30 Juni 1949), atau lebih dikenal dengan nama Sam Ratulangi, adalah seorang politikus, jurnalis, dan guru dari Sulawesi Utara, Indonesia. Ia adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Ratulangi juga sering disebut sebagai tokoh multidimensional. Ia dikenal dengan filsafatnya: "Si tou timou tumou tou" yang artinya: manusia baru dapat disebut sebagai manusia, jika sudah dapat memanusiakan manusia. Ratulangi termasuk anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang menghasilkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia dan merupakan Gubernur Sulawesi pertama.
Riwayat hidup
Kehidupan awal
Ratulangi lahir pada tanggal 5 November 1890 di Tondano, Minahasa yang pada saat itu merupakan bagian dari Hindia Belanda. Ia merupakan putra dari Jozias Ratulangi dan Augustina Gerungan.[1] Jozias adalah seorang guru di Hoofden School (sekolah menengah untuk anak-anak dari kepala-kepala desa) di Tondano. Ia menerima pelatihan guru di Haarlem, Belanda sekitar tahun 1880.[2] Augustina adalah putri dari Jacob Gerungan, Kepala Distrik (Mayoor ) Tondano-Touliang.[3]
Ratulangi mengawali pendidikannya di sekolah dasar Belanda (Europeesche Lagere School), lalu ia melanjutkannya di Hoofden School, keduanya di Tondano.[4] Pada tahun 1904, ia berangkat ke Jawa untuk masuk Sekolah Pendidikan Dokter Hindia (STOVIA) setelah menerima beasiswa dari sekolah tersebut. Namun sesampainya di Batavia (sekarang Jakarta), ia berubah pikiran dan memutuskan untuk belajar di sekolah menengah teknik Koningin Wilhelmina.[5] Ratulangi lulus pada tahun 1908 dan mulai bekerja pada konstruksi rel kereta api di daerah Priangan selatan di Jawa Barat. Di sana ia mengalami perlakuan yang tidak adil dalam hal upah dan penginapan karyawan dibandingkan dengan karyawan Indo (Eurasia).[6]
Waktu di Eropa
Pendidikan di Belanda dan Swiss
Pada tahun 1911, Ratulangi kembali ke Minahasa, karena ibunya sakit parah. Ibunya meninggal pada tanggal 19 November 1911. Ayahnya sudah meninggal waktu ia berada di Jawa. Setelah kematian ibu mereka, Ratulangi dan kedua saudara perempuannya membagi warisan orang tua mereka. Ratulangi berencana menggunakan uang yang dia terima untuk membiayai pendidikannya di Eropa.[7] Dia tiba di Amsterdam pada tahun 1912 dan melanjutkan studinya yang dimulainya di Jawa, tetapi tidak selesai karena sakit ibunya. Pada tahun 1913, ia menerima sertifikat untuk mengajar matematika untuk tingkat sekolah menengah (Middelbare Acte Wiskunde en Paedagogiek).[8]
Ratulangi melanjutkan studinya di universitas[Note 1] di Amsterdam selama dua tahun lagi. Namun, ia tidak dapat menyelesaikan studinya, karena ia tidak diperbolehkan mengikuti ujian. Aturan dari universitas mengharuskan ia memiliki sertifikat tingkat SMA. Sertifikat tersebut tidak dimiliki Ratulangi, karena ia tidak pernah menyelesaikan studinya di Hogere Burgerschool (HBS) atau Algemene Middelbare School (AMS).[9] Atas saran Mr. Abendanon, seorang Belanda yang bersimpati[Note 2] kepada orang-orang dari Indonesia (yang disebut Hindia pada waktu itu), Ratulangi mendaftarkan diri dan diterima di Universitas Zurich di Swiss.[10] Pada tahun 1919, ia memperoleh gelar Doktor der Natur-Philosophie (Dr. Phil.) untuk Ilmu Pasti dan Ilmu Alam dari universitas tersebut.[11][12]
Ratulangi juga aktif dalam menulis artikel-artikel. Dalam satu artikel berjudul "Sarekat Islam" yang diterbitkan di Onze Kolonien (1913), Ratulangi menulis tentang pertumbuhan koperasi pedagang lokal Sarekat Islam dan juga memuji gerakan Boedi Oetomo di Indonesia. Menjelang akhir artikel tersebut, Ratulangi menulis:
Sejarah tidak memiliki catatan tentang bangsa yang dijajah selamanya. Diharapkan bahwa pemisahan yang tak terelakkan (Hindia dan Belanda) akan berlangsung secara damai, yang seharusnya akan memungkinkan interaksi yang baik dari unsur-unsur budaya antara Hindia dan Belanda, yang telah terjalin selama berabad-abad dalam sejarah, bisa dilanjutkan.[15]
Perjuangan pergerakan nasional
Kembali ke Indonesia
Sekembalinya ke Indonesia pada tahun 1919, Ratulangi pindah ke Yogyakarta untuk mengajar matematika dan sains di sekolah teknik Prinses Juliana School.[16] Setelah tiga tahun mengajar, ia pindah ke Bandung dan memulai perusahaan asuransi Assurantie Maatschappij Indonesia dengan Roland Tumbelaka, seorang dokter yang juga berasal dari Minahasa. Ini adalah contoh pertama yang diketahui dari kata "Indonesia" yang digunakan dalam dokumen resmi..[17] Ada yang mencatat bahwa Soekarno pertama kali bertemu Ratulangi ketika ia mengunjungi Bandung untuk sebuah konferensi. Dia melihat nama perusahaan Ratulangi dengan kata "Indonesia". Dia penasaran dengan pemilik usaha ini dan bertemu dengan Ratulangi.[18]
Kembali ke Minahasa
Pada tahun 1923, Ratulangi dicalonkan oleh partai Perserikatan Minahasa untuk menjadi sekretaris badan perwakilan daerah Minahasa di Manado (Minahasa Raad). Dia memegang posisi ini dari tahun 1924 hingga 1927. Selama di Minahasa Raad, Ratulangi memperjuangkan hak-hak yang lebih banyak untuk orang-orang Minahasa. Dia secara luas dikreditkan dengan membuat pemerintah kolonial menghapuskan kerja paksa (Herendiensten) di Minahasa. Dia juga berperan dalam pembukaan daerah Modoinding dan Kanarom di Minahasa Selatan untuk transmigrasi dan pembentukan yayasan untuk membiayai pendidikan siswa-siswa yang membutuhkan.[19]
Pada tanggal 16 Agustus 1927, Ratulangi dan R. Tumbelaka memulai partai Persatuan Minahasa. Pada waktu itu, keanggotaan Perserikatan Minahasa termasuk orang-orang sipil dan militer. Beberapa anggota militer memberontak melawan Belanda dan karena tindakan mereka, mereka dilarang untuk berpartisipasi dalam organisasi politik. Ratulangi dan Tumbelaka memutuskan untuk membentuk partai baru, Persatuan Minahasa, yang hanya memiliki anggota sipil.[20] Keberadaan partai ini yang mewakili suatu wilayah di Sulawesi memberikan identitas lokal kepada anggota-anggotanya, tetapi juga mempunyai tujuan untuk mempromosikan persatuan secara nasional. Partai ini "menyerukan 'solidaritas semua kelompok penduduk Indonesia'".[21] Pada tahun 1939, Persatuan Minahasa adalah salah satu partai politik yang membentuk Gabungan Politik Indonesia. Partai-partai yang lainnya adalah Gerindo, Parindra, Pasundan, PPKI (Persatuan Partai Katolik Indonesia), dan PSII (Persatuan Sarekat Islam Indonesia).[22]
Anggota Volksraad
Ratulangi diangkat menjadi anggota Dewan Rakyat (Volksraad) pada tahun 1927 untuk mewakili rakyat di Minahasa. Ia terus mengusik hak-hak rakyat dan mendukung nasionalisme Indonesia dengan menjadi anggota Fraksi Kebangsaan yang dimulai oleh Mohammad Husni Thamrin. Dia adalah salah satu sponsor dari Petisi Soetardjo yang menyatakan keinginan untuk sebuah negara merdeka melalui reformasi bertahap dalam waktu sepuluh tahun.[23] Petisi ini melewati Volksraad, tetapi tidak diterima oleh pemerintah kolonial. Tanggapan terhadap petisi inilah yang memprakarsai pembentukan GAPI (yang telah dijelaskan sebelumnya).[24] Ratulangi tidak ragu untuk mengkritik pemerintah kolonial dan akhirnya dianggap sebagai risiko bagi mereka. Dia terus melayani di Volksraad sampai 1937, ketika dia ditangkap karena pandangan politiknya. Dia dipenjarakan selama beberapa bulan di Sukamiskin di Bandung.[25]
Pada tahun 1932, Ratulangi adalah salah satu pendiri Persatuan Cendekiwan Indonesia (Vereniging van Indonesische Academici).[14] Ia juga termasuk dalam kelompok pemimpin gereja dan nasionalis (termasuk di antaranya BW Lapian dan AA Maramis) yang menginginkan sebuah denominasi gereja yang bebas dan terpisah dari lembaga gereja resmi Hindia Belanda yang disebut Protestantsche Kerk di Nederlandsch-Indie atau Indische Kerk. Pada bulan Maret 1933, Kerapatan Gereja Protestan Minahasa (KGPM) didirikan.[26]
Pada bulan Juni 1937, buku Ratulangi "Indonesia in de Pacific" diterbitkan.[27] Buku itu dianggap visioner dalam isinya, di mana Sam Ratulangi memperingatkan terhadap militerisasi Jepang dan meramalkan kemungkinan bahwa Jepang mungkin menyerang kepulauan Indonesia karena sumber daya alamnya yang tidak dimiliki Jepang. Dia menggambarkan peran utama Indonesia dan negara-negara lain di Asia Tenggara di sekitar Lingkar Pasifik dapat bermain di mana Samudra Pasifik bisa menyamai pentingnya Samudra Atlantik.
Setelah dibebaskan dari penjara pada tahun 1938, Ratulangi menjadi editor Nationale Commentaren, sebuah majalah berita berbahasa Belanda.[28] Ia menggunakan majalah ini untuk menulis pendapat-pendapat yang menentang tindakan tidak adil pemerintah kolonial dan juga untuk membuat sesama orang Indonesia sadar akan keadaan pada saat itu. Pelanggan majalah itu termasuk kantor Perdana Menteri Belanda, Kementerian Kolonial Belanda, dan Gubernur Jenderal Hindia Belanda.[29]
Pendudukan Jepang
Setelah Belanda menyerah kepada Jepang, pada 20 Maret 1942, pihak Jepang melarang segala jenis kegiatan politik di Indonesia.[30] Karena semua organisasi politik dibubarkan, Ratulangi berpartisipasi dalam upaya bantuan keluarga tentara kolonial Belanda (KNIL). Pada tahun 1943, Ratulangi ditugaskan sebagai penasihat untuk pemerintah militer pendudukan.[31] Pada tahun 1944, ia dipindahkan ke Sulawesi Selatan untuk menjadi penasihat pemerintah militer di Makassar, yang termasuk wilayah timur yang dikendalikan oleh Angkatan Laut Jepang.[32] Pada bulan Juni 1945, Ratulangi mendirikan sebuah organisasi bernama Sumber Darah Rakyat (SUDARA). Ia menggunakan organisasi ini untuk membangkitkan sentimen nasionalis di Sulawesi dalam mengantisipasi kemungkinan kemerdekaan dalam waktu dekat.[33]
Setelah Kemerdekaan
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
Pada awal Agustus 1945, Ratulangi diangkat sebagai salah satu anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mewakili Sulawesi.[34] Pada saat Soekarno memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia, Ratulangi hadir dalam upacara tersebut karena Ratulangi baru saja tiba di Batavia bersama para anggota PPKI lainnya dari wilayah timur untuk mengikuti rapat PPKI.[35] Rapat PPKI yang diadakan pada hari berikutnya menghasilkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia dan pengangkatan secara aklamasi Soekarno dan Mohammad Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Rapat-rapat itu juga membagi Indonesia ke dalam wilayah-wilayah administratif di mana Ratulangi diangkat menjadi Gubernur Sulawesi.[36]
Gubernur Sulawesi
Setelah kembali ke Makassar dan secara resmi mengumumkan proklamasi kemerdekaan, Ratulangi dihadapkan pada situasi yang sangat sulit. Jepang pada awalnya belum siap menyerahkan senjata mereka.[37] Pasukan Sekutu di bawah pimpinan Brigadir Jenderal Australia Ivan Dougherty tiba pada bulan September 1945. Dougherty ditunjuk sebagai Gubernur Militer oleh pimpinan Sekutu. Kedatangannya mengikutsertakan unsur-unsur pemerintah sipil Hindia Belanda (NICA) dan KNIL yang siap untuk mengambil alih daerah Hindia Belanda seperti sebelum perang. Dengan masuknya semua orang-orang asing tersebut, pemuda daerah di Sulawesi bersiap untuk berjuang dengan segala cara untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.[38] Bersamaan dengan ini, Ratulangi menerima dukungan dari raja-raja adat termasuk dari Kesultanan Bone dan Kedatuan Luwu yang menyatakan dukungan kepada Republik yang baru didirikan.[39]
Ratulangi mampu mengadakan negosiasi dengan pihak-pihak terkait dalam upaya menjaga perdamaian, tetapi keadaan damai hanya bertahan selama dua bulan. Ia mampu membentuk pemerintah daerah yang beroperasi selama sembilan bulan. Pada 5 April 1946, Ratulangi dan beberapa stafnya diambil dari rumah mereka dan ditahan oleh polisi militer Belanda. Mereka dipenjara selama tiga bulan kemudian diasingkan ke Pulau Serui di Kepulauan Yapen di Papua Barat.[40]
Pengasingan di Serui
Ratulangi diasingkan ke Serui bersama enam stafnya dan keluarga mereka: Josef Latumahina, Lanto Daeng Pasewang, Willem Sumampouw Tanod 'Wim' Pondaag, Suwarno, IP Lumban Tobing, dan Intje Saleh Daeng Tompo.[41] Di Serui, mereka berinteraksi dengan masyarakat setempat dengan mendirikan sekolah lokal dan organisasi sosial untuk membantu para wanita dalam komunitas.[42] Secara politik, Ratulangi terlibat dalam pembentukan Partai Kemerdekaan Irian Indonesia yang dipimpin oleh Silas Papare dengan Ratulangi sebagai penasihat.[43]
Kembali dari pengasingan dan kematian
Pada 23 Maret 1948, setelah penandatanganan Perjanjian Renville, Belanda melepaskan Ratulangi dan rekan-rekannya.[40] Mereka dipindahkan ke Surabaya dan kemudian dikawal ke garis demarkasi dekat Mojokerto dan Jombang di mana mereka menuju ke ibu kota republik di Yogyakarta.[44] Mereka disambut dengan hangat oleh masyarakat di Yogyakarta dan sebuah acara penyambutan diadakan oleh Soekarno.[45] Ratulangi ditunjuk sebagai penasihat khusus untuk pemerintah Indonesia dan anggota delegasi Indonesia dalam negosiasi dengan Belanda. Dia juga mengunjungi pasukan di Jawa Timur dan menghadiri konferensi keuangan di Kaliurang.[28] Sekitar waktu ini, ia sudah mulai mengalami masalah dengan kesehatannya.[46]
Pada tanggal 10 November 1948, sebuah manifesto diumumkan oleh Radio Republik Indonesia yang mendesak rakyat Indonesia di bagian timur yang berada di bawah kendali Belanda untuk menjaga persatuan mereka dengan Republik Indonesia agar suatu hari Indonesia secara sepenuhnya akan menjadi merdeka. Manifesto ini disebut Manifes Ratulangie atau Manifes Djokja. Yang ikut menandatangani manifesto ini adalah TST. Diapari, I Gusti Ketut Pudja, Pangeran Muhammad Noor, WST. Pondaag, dan Sukarjo Wiryopranoto.[45] Titik pertama dari manifesto ini berbunyi:
Bahwa perjuangan yang dilakukan oleh Republik Indonesia tidak hanya mengenai kepentingan lahir dan batin bagi bangsa Indonesia, yang tergabung dalam Republik Indonesia, akan tetapi juga meliputi kemerdekaan dan kehormatan bangsa Indonesia seluruhnya, serta pengakuan hak dasar rakyat itu untuk hidup bebas dan merdeka atas bumi, bagian dari dunia ini yang dikaruniakan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa kepada mereka.[47]
Pada waktu Agresi Militer Belanda II, Yogyakarta dikuasai Belanda dan para pemimpin Indonesia termasuk Soekarno dan Hatta ditangkap dan diasingkan ke Bangka. Ratulangi ditangkap oleh Belanda pada tanggal 25 Desember 1948. Dia dipindahkan ke Jakarta pada tanggal 12 Januari 1949 untuk kemudian dipindahkan ke Bangka. Namun, karena masalah kesehatannya, ia diizinkan tinggal di Jakarta sebagai tahanan rumah.[48] Ratulangi meninggal pada tanggal 30 Juni 1949. Ratulangi dimakamkan sementara di Tanah Abang.[49] Pada tanggal 23 Juli 1949, jenazahnya diangkut ke Manado dengan kapal KPMSwartenhondt.[50] Kapal itu sampai di Manado pada tanggal 1 Agustus 1949. Pada hari berikutnya, jenazah Ratulangi dibawah dan dimakamkan di kampung halamannya di Tondano.[49]
Keluarga
Ratulangi menikah dua kali. Ia menikah dengan Emilie Suzanne Houtman dan memiliki dua anak, Corneille Jose Albert 'Odie' Ratulangi dan Emilia Augustina 'Zus' Ratulangi. Ratulangi dan Houtman bercerai pada tahun 1926. Ratulangi menikah dengan Maria Catharina Josephine 'Tjen' Tambajong pada tahun 1928. Mereka memiliki tiga anak, Milia Maria Matulanda 'Milly' Ratulangi, Everdina Augustina 'Lani' Ratulangi, dan Wularingan Manampira 'Uki' Ratulangi.[51]
Kedua saudara perempuan Ratulangi, Wulan Kayes Rachel Wilhelmina Ratulangi dan Wulan Rachel Wilhelmina Maria Ratulangi, mencapai prestasi tinggi. Wulan Kayes adalah wanita Indonesia pertama yang lulus ujian klein-ambtenaars untuk pekerjaan pemerintah tingkat rendah pada tahun 1898. Nilai ujiannya lebih tinggi daripada laki-laki yang mengikuti ujian yang sama. Wulan Rachel adalah wanita Indonesia pertama yang menerima sertifikat dasar hulpacte untuk pendidikan dasar di Belanda pada tahun 1912.[3]
Ratulangi sangat terkenal di Minahasa. Jalan-jalan besar atau utama di semua kota di Minahasa (Bitung, Manado, Tomohon, dan Tondano) diberi nama Jalan Sam Ratulangi. Namanya juga dipakai untuk bandar udara internasional Manado seperti halnya universitas negeri di Manado. Patung-patung tentang Ratulangi terdapat di persimpangan antara Jalan Sam Ratulangi dan Jalan Bethesda di Manado, di kampus Universitas Sam Ratulangi, di samping makam Ratulangi di Tondano, di Jakarta dan Serui, dan bahkan di sebuah taman kota di Davao[54] (Filipina) yang terletak di utara pulau Sulawesi. Pada tahun 2016, Kementerian Keuangan mengeluarkan uang baru seri 2016 di mana pecahan Rp. 20.000 menggambarkan Ratulangi di bagian depan.[55]
Catatan
^Beberapa sumber mengidentifikasikan universitas sebagai Universitas Amsterdam (Universiteit van Amsterdam). Sumber-sumber yang lain mengidentifikasikan universitas sebagai VU University Amsterdam (Vrije Universiteit Amsterdam).
^Mr. Abendanon diberi gelar "Sahabat Hindia" oleh orang Indonesia yang mengenalnya.
Abdullah, Taufik (2009). Indonesia: Towards Democracy [Indonesia: Menuju Demokrasi] (dalam bahasa Inggris). Singapore: Institute of Southeast Asian Studies. ISBN978-981-230-366-0.
Abeyasekere, Susan (April 1973). "The Soetardjo Petition" [Petisi Soetardjo]. Indonesia (dalam bahasa Inggris). 15: 81–107.
Andoko, Ediyami; Asmuni, Suharningsih; Muchri (1975). Asal-usul Nama-nama Kapal Perang TNI-AL: Unsur Strategis. Jakarta: Dinas Sejarah TNI-AL.
Basa, Mick (17 August 2017). "In Davao, a Park 'Quietly' Honors Indonesian Hero" [Di Davao, Sebuah Taman Diam-Diam Menghargai Pahlawan Indonesia] (dalam bahasa Inggris). Davao Today. Diakses tanggal 21 May 2018.
DR. GSSJ. Ratulangi dan Yayasan KRIS. Jakarta: Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta. 1978.
Elson, Robert (2008). The Idea of Indonesia: A History [Ide tentang Indonesia: Sebuah Sejarah] (dalam bahasa Inggris). Cambridge: Cambridge Press. ISBN978-0-521-87648-3.
"Plechtige uitvaart dr. Ratulangi" [Pemakaman Hikmat Dr. Ratulangi] (dalam bahasa Belanda). Het Dagblad: uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia. 23 July 1949.
Ide Anak Agung Gde Agung (1996). From The Formation of the State of East Indonesia Towards the Establishment of the United State of Indonesia [Dari Pembentukan Negara Indonesia Timur Sampai Negara Republik Indonesia Serikat] (dalam bahasa Inggris). Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Kanahele, George (1967) (dalam bahasa Inggris). The Japanese Occupation of Indonesia: Prelude to Independence (Tesis PhD). Cornell University.
Künkler, Miryam (2017). "Constitutionalism, Islamic Law, and Religious Freedom in Postindependence Indonesia". Dalam Bâli, Aslı; Lerner, Hanna. Constitution Writing, Religion and Democracy [Penulisan Undang-Undang Dasar, Agama dan Demokrasi] (dalam bahasa Inggris). Cambridge: Cambridge University Press. ISBN978-110-707-051-6.
Legge, John (1988). Intellectuals and Nationalism in Indonesia: A Study of the Following Recruited by Sutan Sjahrir in Occupation Jakarta [Para Intelektual dan Nasionalis di Indonesia: Studi tentang Hal-Hal Berikut yang Direkrut oleh Sutan Sjahrir dalam Pendudukan Jakarta] (dalam bahasa Inggris). Ithaca, N.Y.: Cornell Modern Indonesia Project. ISBN0-8776-3034-8.
Leirissa, R.Z. (1997). Minahasa di Awal Perang Kemerdekaan Indonesia: Peristiwa Merah-Putih dan Sebab-musababnya. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan and Yayasan Malesung Rondor. ISBN9-7941-6465-8.
Lumintang, Onnie (1997). Biografi Pahlawan Nasional: Marthin Indey dan Silas Papare. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Wajah dan Sejarah Perjuangan Pahlawan Nasional. Jakarta: Departemen Sosial Republik Indonesia. 1994.
Masykuri (1985). Dr. GSSJ. Ratulangi. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Mirnawati (2012). Kumpulan Pahlawan Indonesia Terlengkap. Jakarta: Cerdas Interaktif. ISBN978-979-788-343-0.
Parengkuan, Fendy (1982). A.A. Maramis, SH. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Pawiloy, Sarita (1987). Sejarah Perjuangan Angkatan 45 di Sulawesi Selatan. Jakarta: Angkatan 45.
Poeze, Harry (2008). Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda, 1600-1950. Jakarta: KPG in association with KITLV-Jakarta.
Pondaag, W. S. T. (1966). Pahlawan Kemerdekaan Nasional Mahaputera Dr. G. S. S. J. Ratu Langie: Riwajat Hidup dan Perdjoangannja. Surabaja: Jajasan Penerbitan Dr. G. S. S. J. Ratu Langie.
Schouten, Mieke (1998). Leadership and Social Mobility in a Southeast Asian Society: Minahasa, 1677–1983 [Kepemimpinan dan Mobilitas Sosial dalam sebuah Masyarakat Asia Tenggara: Minahasa, 1677–1983] (dalam bahasa Inggris). Leiden: KITLV Press. ISBN9-0671-8109-9.
Sondakh, Adolf (2002). Siwu, Richard; Ointoe, Reiner, ed. Manusia Hidup untuk Memanusiakan Manusia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. ISBN9-7941-6757-6.
Straver, Hans (2018). Vaders en Dochters: Molukse Historie in de Nederlandse Literatuur van de Negentiende Eeuw en haar Weerklank in Indonesië [Ayah dan Anak Perempuan: Sejarah Maluku dalam Sastra Belanda Abad Kesembilan Belas dan Hasilnya di Indonesia] (dalam bahasa Belanda). Leiden: Verloren. ISBN978-908-704-702-3.
Suwondo, Bambang (1978). Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Sulawesi Utara. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Taroreh, Osvald (January 26, 2012). "Pionir Gereja dan Pahlawan Kemerdekaan dari Minahasa: Bernard Wilhelm Lapian". Bejana Advent Indonesia Timur.
Toer, Pramoedya Ananta; Toer, Koesalah Soebagyo; Kamil, Ediati, ed. (2003). Kronologi Revolusi Indonesia. 4. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. ISBN9-7990-2388-2.
Touwen-Bouwsma, Elly (2013). "Indonesian Nationalists and the Japanese". Dalam SarDesai, D.R. Southeast Asian History: Essential Readings [Sejarah Asia Tenggara: Bacaan Penting] (dalam bahasa Inggris). Boulder, Colorado: Westview Press.
Turner, Barry (2017). A.H. Nasution and Indonesia's Elites: "People's Resistance" in the War of Independence and Postwar Politics [A.H. Nasution dan Kaum Elit Indonesia: "Pertahanan Rakyat" dalam Perang Kemerdekaan dan Politik Pascaperang] (dalam bahasa Inggris). Lanham, Maryland: Lexington Books. ISBN978-149-856-011-5.