Marthen Indey
Mayor TNI Marthen Indey (16 Maret 1912 – 17 Juli 1986) merupakan putra Papua yang ditetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia sebagai pahlawan Nasional Indonesia berdasar SK Presiden No.077 /TK/ 1993 tertanggal 14 September 1993 bersama dengan dua putra Papua lainnya yaitu Frans Kaisiepo dan Silas Papare.[1] Marthen Indey memahami nasionalisme ketika ia ditugaskan di Tanah Merah (Digul). Kelompok Marthen Indey menyiapkan pemberontakan melawan Belanda di Irian Barat (sekarang Papua) pada akhir Desember 1945. Kemudian, Marthen menjadi anggota Komite Indonesia Merdeka pada bulan Oktober 1946. Pada tahun 1962, Marthen Indey merumuskan kekuatan gerilya dan membantu menyelamatkan anggota RPKAD di Irian Barat selama Operasi Trikora.[2] Marthen Indey berangkat ke New York sebagai delegasi Indonesia pada bulan Desember 1962. Karier Marthen menanjak ketika ia dipilih sebagai anggota MPRS mewakili Irian Jaya pada tahun 1963–1968. Marthen Indey juga menjabat sebagai mayor tituler dan kontrolir yang diperbantukan di Residen Jayapura. Marthen Indey wafat pada tanggal 17 Juli 1986. Kehidupan awalMarthen Indey lahir di Doromena, Jayapura, Nugini Belanda pada tanggal 16 Maret 1912 dengan nama Soroway Indey, sedangkan Marthen adalah nama baptisnya. Ayahnya adalah seorang Ondoafi dengan nama Indey sebelum dibaptis dengan nama Habel.[3] Masa kecilnya sangat dipengaruhi oleh Johanes Bremer, seorang misionaris Ambon asal Kampung Calalar. Marthen Indey, bersama anak-anak lain seperti Karel Indey, Ruban Mentanawai, Inkas Abisai, dan Naomi Apiserai menghabiskan masa kecil mereka di Ambon untuk menjalankan pendidikan bersama keluarga Bremer, setelah posisi Bremer digantikan dengan A. Nanuilata.[4] Marthen menambah kemampuannya berbahasa Indonesia (melayu) selama pendidikan dasarnya di Volkschool. Anak kecil pada masa itu memulai pendidikan dasar ketika jari telunjuk pada tangan kanan sudah bisa mencapai telinga kiri jika diletakkam di atas kepala. Pada masa itu kemampuan berbahasa tersebut jarang diluar pulau Sumatra dan Jawa.[5] Tidak seperti sepupunya Karel Indey yang melanjutkan pendidikan di Depok dan ODO (Opleiding Voor Dorpzonderwijzen) di Miei, Wandormen dan menjadi guru di Hollandia, Marthen terkenal sebagai anak yang nakal dan berjiwa petualang, tidak bisa belajar di dalam ruang kelas. Dia juga kurang menyukai penekanan pada pendidikan agama dalam pendidikan membaca, menulis dan bernyanyi. Walaupun begitu ia lulus dari sekolah distrik tahun 1926, dan melanjutkan pendidikan di Makassar di sekolah perkapalan Kweekschool voor Indische Schepelingen (KTS), dan ia lulus pada tahun 1932.[5] Tetapi setelah menjalankan ekspedisi pertama di kapal 'Zevet Provincien', dia memilih untuk melanjutkan pendidikan menjadi anggota kepolisian. Maka pada tahun 1934, Marthen mulai menjalankan pendidikan polisi di Sukabumi; yang ia selsaikan pada tahun 1935. Pada akhir tahun yang sama, ia dikirim dalam detasemen kepolisian asal Ambon di tempat kelahirannya di Pulau Papua.[6] Selama menjadi Polisi di Papua, Marthen terlibat pada banyak upaya Belanda dalam meredam pemberontakan. Satu keterlibatan adalah dalam meredam pemberontakan suku Ayam yang beranggotakan 2000 orang saat itu, bagian dari Suku Asmat yang menyerang posisi Belanda di Mimika berkali-kali. Indey menyelsaikan masalah ini dengan bertelanjang untuk masuk ke dalam hutan dan berunding dengan tetua suku Ayam; dimana mereka setuju untuk tidak menyerang posisi Belanda di Kokonao, Mimika.[6] Atas kesuksesan di Mimika, ia dikirim ke Manokwari pada Desember 1935. Marthen terlibat pasa usaha pembukaan kampung di Waropen Atas, Mamberamo Tengah dan Waropenkai (Demba).[6] Pada masa ini Marthen bertemu dengan istrinya Agustina Heumasse, asal Negeri Kamarian di Pulau Seram. Pernikahan mereka dilaksanakan di Manokwari. Pada tanggal 10 Januari 1937 dia dipindahkan ke Serui, dimana ia ikut terlibat dalam pembukaan Bivak Pionier Memberamo dengan kapal Reger Patrouville, pembukaan kampung ini berlanjut sampai April 1938. Pada tahun 1938-1949 dia terlibat dalam tiga ekspedisi dari pesisir utara di Napan (dekat Nabire) hingga pesisir selatan dekat Mimika. Ekspedisi pertama dilaksanakan tahun 1938 bersama J.P.K. Van Eechoed, sebagai penghargaan atas ekspedisi 8 bulan ini ia dianugrahi Trouw en Verdienste dari pemerintah Belanda. Ekspedisi kedua dilakukan bersama Komisioner Polisi Van Krieken dan C.A Harzen. Ekspedisi ketiga dilakukan pada awak tahun 1940 tentang studi kelayakan pembangunan jalan dari pedalaman Paniai dari sungai Seruwo sampai danau Wisselmer (Paniai) bersama insinyur Belanda asal Makassar.[7] Masa Perang Dunia II dan perlawanan menghadapi BelandaPada tahun 1940 dam 1941, Marthen Indey merupakan anggota polisi Belanda dalam mengawasi para agen Jepang di Kabupaten Manokwari yang menyamar sebagai nelayan dan pekerja perkebunan kapas. Para nelayan ini ditemukan di sekitar Pulau Room, Meoswar, dan Rumberpon. Sedangkan para pekerja perkebunan kapas ini bekerja pada perusahaan Nanyo Kohatsu Kabushiki Kaisha (NKKK) di Ransiki Manokwari, Nabire, dan semenanjung Wandamen. Dalam pengawasan ini ternyata di tengah perkebunan NKKK ada landasan pacu, para agen Jepang ini juga mengubur seragam, amunisi, granat, meriam kecil dan senapan mesin pada malam hari.[8] Pada tahun 1941, Marthen Indey dipindahkan ke Ambon lalu Tanah Merah, Digul sebagai polisi lapangan, Vedpolitie. Ia bekerja disana sampai Perang Dunia II dimulai, dimana jabatannya saat itu adalah wakil komandan polisi Tweede Posthuiscommandant. Pemerintah Belanda menarik pasukan dari Digul karena mereka ingin mengkonsentrasikan pasukan mereka di Ambon untuk menghadapi Jepang, karena itulah penjara Digul dipimpin oleh vedpolitie. Pada masa inilah Marthen Indey bertemu dengan para pejuang Indonesia dan ikut memperjuangkan Indonesia.[9] Sebagai bagian dari polisi kolonial yang dipercaya, Marthen Indey bergerak cukup bebas dibanding orang non-eropa lainnya dalam berinteraksi dengan tawanan.[10] Beberapa tawanan yang menjadi temannya adalah Sukardjo, Sugoro Atmoprasodjo (guru Taman Siswa), dan Hamid Siregar (Panggoncang Alam). Marthen juga mengubur beberapa senjata yang diambil dari pasukan Jepang pada saat ini [8] yang akan digunakan nantinya dalam perjuangan kemerdekaan. Dia juga memulai rencana untuk menculik orang Belanda yang ada saat itu seperti Kontrolir Wagner dan Pastor Belanda, bersamaan dengan pergerakan pasukan Belanda ke Selatan setelah mengambil alih Fakfak pada tanggal 1 April 1942. Walaupun rencana ini berhasil digagalkan dan Marthen diasingkan bersama istri dan anaknya di hutan Anida di Pesnamnam, saerah yang terkena dengan suku yang masih kanibal saat itu dari Jair dan Mandobo. Selama 8 bulan, ia hidup secara nomaden sampai bertemu dengan pendeta Katolik asal Maluku Tenggara. Dia kemudian dipanggil lagi oleh otoritas Belanda untuk memata-matai pergerakan pasukan Jepang di daerah Asmat.[11] Walaupun Marthen Indey sudah diketahui memiliki pandangan politiknya yang mendukung Indonesia. Marthen mengikuti pengasingan pemerintah Hindia Belanda di Australia.[9] Pada Bulan Juli 1943, ia beserta 32 orang pegawai negara Hindia Belanda menaiki kapal dari Tanah Merah menuju Brisbane dan Cairns. Di Australia, Marthen bersama beberapa anggota lain menjalankan pelatihan pasukan terjun payung, dan menjadi bagian dari pasukan sekutu, setelah menyelsaikan pelatihan ini, ia diberi gelar Kopral.[12] Sebagai bagian dari pasukan sekutu, ia terlibat pada Pertempuran Wakde, Pertempuran Sansapor, Pertempuran Biak, Pertempuran Morotai dan Pertempuran Leyte. Pada Januari hingga Maret 1945, dia terlibat pada operasi pembersihan di Arso, Waris, dan Sarmi.[13] Pada bulan April 1944, ketika Jepang sudah mulai mengalami kekalahan, anggota NICA mulai kembali mendarat di Pulau Papua. Salah satu anggota NICA adalah Sugoro Atmoprasodjo yang merupakan mantan diguli, dan ajudannya Corinus Krey sebagai penasihat bidang pendidikan dan agama, dan pendirian sekolah bestuur juga Frans Kaisiepo dan Marcus Kaisiepo (sebelumnya anggota Kempeitai Jepang), dan Silas Papare. Beberapa guru di sekolah bestuur tersebut adalah Hamid Siregar, Aron Panggoncang Alam, dan Yusuf Nasution (anggota KNIL).[14] Sejak Januari 1945 hingga Januari 1947, Marthen Indey juga menjabat sebagai kepala distrik Arso, Yamasy, dan Waris selain terlibat dalam operasi pembersihan. Dalam operasi ini, Marthen Indey juga dibantu oleh beberapa orang Papua lain seperti Silas Papare, Corinus Krey, dan Samuel Damianus Kawab. Grup di dalam NICA ini simpatetis dengan pergerakan kemerdekaan Indonesia dari basis operasi di Kota Nica (Kampung Harapan) dan berupaya untuk menyerang Belanda pada 25 Desember 1945. Posisi Marthen Indey sebagai kepala distrik wilayah-wilayah ini menyebabkan otoritas Belanda mencurigai aktivitas Marthen Indey walaupun ia sendiri tidak ada di Kota Nica.[8][15] Akan tetapi rencana ini gagal akibat anggota batalyon Papua yang membangkang dan memberikan informasi kepada otoritas Belanda. Pertama-tama Sugoro Atmoprasodjo dan Corinus Krey ditangkap lalu Sutan Hamid Siregar walaupun Krey dilepaskan. Sugoro sendiri dipindahkan ke Merauke lalu berhasil kabur ke Jawa melalui Papua Nugini, sedangkan Siregar ditahan di Hollandia.[16] Mendengar ini otoritas Belanda berusaha memecah belah pemberontakan menurut garis agama.[17] JPK Van Eechoed menyebarkan isu bahwa orang Islam (yang kebanyakan tinggal di Kampung Harapan) akan melakukan pembantaian terhadap orang Kristen pada hari Natal 25 Desember 1945. Agitasi tersebut termakan oleh pasukan KNIL yang tinggal di kloofkamp dan kebanyakan beragama Kristen yang kemudian melakukan penyisiran yang berjarak 40 km dari tangsinya. Kebanyakan orang tersebut adalah orang Jawa dan Sumatra. Dalam peristiwa ini jatuh 9 orang korban, 8 orang dari luar Papua, dan 1 orang Papua yang merupakan anak didik Marthen Indey. Kematian anak didiknya ini menyulut kemarahan Marthen Indey yang kemudian datang dari Arso untuk terlibat lebih langsung dalam pemberontakan di Kampung Harapan.[17] Kemudian Panggoncang Alam dari Minangkabau memimpin pemberontakan pada saat Konferensi Malino untuk membebaskan Soegoro Atmoprasodjo dari tahanan Belanda, walaupun gerakan ini kemudian gagal, Indey dan Silas Papare dipindahkan opeh Belanda ke Serui supaya tidak berhubungan dengan pemberontakan ini. Pada Oktober 1946, Indey bergabung dengan organisasi Komite Indonesia Merdeka atau KIM, organisasi pendukung kemerdekaan Indonesia yang merupakan cabang dari organisasi di Melbourne.[18] Organisasi tersebut saat itu dipimpin oleh dokter perempuan, Dr. J.A. Gerungan yang kemudian dipindahkan Belanda dari Abepura sehingga pada Desember organisasi ini dipimpin oleh Marthen Indey.[19] Sedangkan Silas Papare di pengasingannya di Serui mendirikan Partai Kemerdekaan Indonesia Irian pada November 1946.[20] Karena Frans Kaisiepo menggunakan partisipasinya untuk mempopulerkan nama Irian untuk Papua, Belanda tidak mengirim perwakilan Papua seorangpun di Konferensi Denpasar pada tanggal 20–24 Desember 1946. Walaupun pada tanggal 12 Desember 1946, Indey, Corinus Krey, dan Nicolaas Jouwe memprotes keputusan ini dengan mengirimkan surat kepada van Mook di Denpasar untuk menolak pembentukan Negara Indonesia Timur karena Papua tidak termasuk didalamnya.[21] Pada Januari 1947, Marthen Indey pergi ke Ambon untuk ikut dalam gerakan melawan Belanda disana. Tetapi pada bulan Maret, dia sudah ditangkap oleh Belanda dan dijatuhi hukuman penjara selama 4.5 tahun di Hollandia, melalui jalur Biak. Corinus Krey dan Petrus Wettebossy kemudian juga ditangkap karena mendirikan Partai Irian Dalam Republik Indonesia Serikat (PIDRIS), dimana Indey merupakan wakil ketua.[20] Walaupun dipenjara, dia tetap mendapat gelar pahlawan Het Bronzen Kruis karena partisipasinya di masa perang pada tahun 1949.[22] Masa setelah kemerdekaan IndonesiaSetelah Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia pada tahun 1949, isu mengenai Irian Barat masih menjadi sengketa bahi Indonesia dan Belanda. Sekitar akhir 1950an hingga 1960an, Indey tinggal di Hollandia dan dikenal sebagai pemimpin organisasi papua yang mendukung intregasi dengan Indonesia.[23][24] Pada 1 Mei 1950, Marthen Indey dan lainnya dibebaskan dari tahanan Belanda. Sehingga dia bersama Petrus Wettebossy menggunakan kesempatan ini untuk bertemu dengan J. Latuharhary and Mohammad Yamin untuk terus mendukung PIM. Ketika mengetahui Belanda tidak mengikuti kesepakatan tentang Irian di Konferensi Meja Bundar, Indey bersama J. Teppy mendirikan organisasi untuk melawan Belanda.[25] Pada tahun 1962, Indey terlibat pada infiltrasi terkenal oleh RPKAD ke Papua dalam Operasi Trikora.[19] Media internasional menduga Indey menyembunyikan pasukan Indonesia dan memberikan bantuan.[26] Pada saat itu Marthen Indey berhasil menyembunyikan 9 anggota RKPAD dari pasukan Belanda dan menyembunyikan mereka di hutan Sabron Dosai. Dia dan Elly Uyo juga berhasil berhubungan dengan pasukan kapal selam yang mendarat di Papua pada Operasi Lumba-Lumba.[27] Selain itu Indey berhasil menyembunyikan sekitar 400 orang pasukan Indonesia di gabron Dosai. Pada September 1962, Indey berhasil menyelundupkan Sujarwo Tjondronegoro, SR, K.J Teppy dan lainnya, yang merupakan tugas dari Dr. Soebandrio. Lalu Marthen Indey juga menjadi perwakilan diplomatik Indonesia di PBB pada December 1962 untuk memperpendek masa UNTEA, pada misi ini dia juga ditemani oleh Elly Uyo, E.Y. Bonay, Kaleb Hamadi, Daniel Heumasse dan Kelion Kriapan.[25] Lalu Indey juga berpartisipasi pada misi diplomatik yang melahirkan Perjanjian New York bersama Dr. Subandrio, J.A. Dimara, Albert Karubuy, Frits Kirihio, Silas Papare, dan Efraim Somisu.[19] pada tahun 1963, dia bersama Lucas Jouwe mencetak selebaran di Hollandia/Jayapura yang menyerukan Papua untuk bergabung dengan Indonesia dan mendukung pengakhiran masa PBB di Papua.[28] Selama 2 tahun sejak 1 Agustus 1963, Indey menjadi residen untuk Kotabaru dan asisten untuk Gubernur Papua. Pada 1963 hingga 1968, Indey dipilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat mewakili Irian Jaya.[9] Dia juga berpartisipasi di Konferensi Asia-Africa di Bandung pada tahun 1964.[25] Dia kemudian dipenjara sementara pada tahun 1965 karena terduga terlibat OPM, walaupun tuduhan ini terbukti salah. Dia meninggal pada 17 Juli 1986, di Jayapura.[9] Makamnya terletak di Sabron Yaru, Kampung Dosai, distrik Sentani Barat, Kabupaten Jayapura, dan diakui menjadi lokasi bersejarah.[29][30] Pada 14 September 1993, Marthen Indey diakui sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.[31] Rumah sakit tentara di Jayapura, yang sebelumnya bernama Rumah Sakit Dr. Aroyoko, diganti menjadi Rumah Sakit Marthen Indey 1998.[32] kota Jayapura juga memiliki monumen untuk Marthen Indey di tengah kota.[33] Referensi
|