Sahandhap Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Pakubuwana Senapati ing Alaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Ingkang Jumeneng kaping Enem ing Nagari Surakarta Hadiningrat
Sri Susuhunan Pakubuwana VI (sering disingkat PB VI; 26 April 1807 – 2 Juni 1849) adalah susuhunanSurakarta kelima yang memerintah tahun 1823 – 1830. Ia dijuluki pula dengan nama Sinuhun Bangun Tapa karena kegemarannya melakukan tapa brata.
Nama aslinya adalah Raden Mas Sapardan, putra Pakubuwana V, anak lelaki ke-11 yang lahir dari istri KRAy. Sasrakusuma, keturunan Ki Juru Martani, patih pertama dalam sejarah Kesultanan Mataram, dari garis darah ibunya. Raden Mas Sapardan dilahirkan pada 26 April 1807. Pakubuwana VI naik tahta tanggal 15 September 1823, selang sepuluh hari setelah kematian ayahnya, pada usia menginjak 16 tahun.[1]
Hubungan dengan Diponegoro
Pakubuwana VI adalah pendukung perjuangan Pangeran Diponegoro, yang memberontak terhadap Kesultanan Yogyakarta dan pemerintah Hindia Belanda sejak tahun 1825. Namun, sebagai seorang raja yang terikat perjanjian dengan Belanda, Pakubuwana VI berusaha menutupi persekutuannya itu.
Agar pertemuan antara Pakubuwana VI dengan Pangeran Diponegoro tidak diketahui oleh Belanda maka dibuatlah siasat-siasat yang hanya diketahui oleh mereka. Beberapa siasat-siasat yang pernah digunakan seperti siasat mimis kencana, sebuah siasat dimana mereka berpura-pura saling berperang agar pihak Belanda mengira mereka saling bermusuhan. Selain itu ada siasat candradimuka, sebuah siasat yang penamaanya bersumber dari cerita wayang gatotkaca. Siasat ini digunakan untuk membicarakan tentang jalannya perang melawan Belanda.[2]
Pangeran Diponegoro juga pernah menyusup ke dalam keraton Surakarta untuk berunding dengan Pakubuwana VI seputar sikap Mangkunegaran dan Madura. Ketika Belanda tiba, mereka pura-pura bertikai dan saling menyerang yang diakiri dengan Diponegoro yang melarikan diri dari istana.[1]
Dalam perang melawan Pangeran Diponegoro, Pakubuwana VI menjalankan aksi ganda. Di samping memberikan bantuan dan dukungan, ia juga mengirim pasukan untuk pura-pura membantu Belanda. Pujangga besar Ranggawarsita mengaku semasa muda dirinya pernah ikut serta dalam pasukan sandiwara tersebut.
Penangkapan oleh Belanda
Belanda akhirnya berhasil menangkap Pangeran Diponegoro pada tanggal 28 Maret 1830. Sasaran berikutnya ialah Pakubuwana VI. Kecurigaan Belanda dilatarbelakangi oleh penolakan Pakubuwana VI atas penyerahan beberapa wilayah Surakarta kepada Belanda.
Belanda berusaha mencari bukti untuk menangkap Pakubuwana VI. Juru tulis keraton yang bernama Mas Pajangswara (ayah Ranggawarsita) ditangkap untuk dimintai keterangan. Sebagai anggota keluarga Yasadipura yang anti Belanda, Pajangswara menolak membocorkan hubungan rahasia Pakubuwana VI dengan Pangeran Diponegoro. Ia akhirnya meninggal setelah disiksa secara kejam. Oleh Belanda, mayatnya dibuang ke tengah laut.[1] Pada tanggal 8 Juni 1830 Pakubuwana VI ditangkap di Mancingan oleh Residen Yogyakarka Van Nes dan Letnan Kolonel B. Sollewijn. Belanda memutuskan untuk mengasingkan Pakubuwana VI ke luar Jawa karena ditakutkan akan melakukan pemberontakan. Pakubuwana VI dibuang ke Ambon pada 8 Juli 1830.[2]
Fitnah yang dilancarkan pihak Belanda ini kelak berakibat buruk pada hubungan antara putra Pakubuwana VI, yaitu Pakubuwana IX dengan putra Mas Pajangswara, yaitu Ranggawarsita. Pakubuwana IX sendiri masih berada dalam kandungan ketika Pakubuwana VI berangkat ke Ambon. Takhta Surakarta kemudian jatuh kepada paman Pakubuwana VI, yang bergelar Pakubuwana VII.[2]
Misteri kematian
Pakubuwana VI meninggal dunia di Ambon pada tanggal 2 Juni 1849. Menurut laporan resmi Belanda, ia meninggal karena kecelakaan saat berpesiar di laut.
Pada tahun 1957 jasad Pakubuwana VI dipindahkan dari Ambon ke Astana Imogiri, yaitu kompleks pemakaman keluarga raja keturunan Mataram. Pada saat makamnya digali, ditemukan bukti bahwa tengkorak Pakubuwana VI berlubang di bagian dahi. Menurut analisis Jenderal GPH. Jatikusumo (salah satu putra Pakubuwana X), lubang tersebut seukuran peluru senapan baker.
Ditinjau dari letak lubang, Pakubuwana VI jelas tidak wafat karena bunuh diri, apalagi kecelakaan saat berpesiar. Raja Surakarta yang anti penjajahan ini diperkirakan wafat dibunuh dengan cara ditembak pada bagian dahi.