Sahandhap Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Pakubuwana Senapati ing Alaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Ingkang Jumeneng kaping Sewelas ing Nagari Surakarta Hadiningrat
Sri Susuhunan Pakubuwana XI (sering disingkat sebagai PB XI; 1 Februari 1886 – 1 Juni 1945) adalah susuhunanSurakarta yang memerintah pada tahun 1939 – 1945.
Riwayat Pemerintahan
Nama aslinya adalah Raden Mas Ontoseno, merupakan putra sulung Pakubuwana X dari istri selir KRAy. Mandayaretna. la dilahirkan pada Senin Kliwon, 1 Februari1886, dan setelah dewasa bergelar KGPH. Hangabehi. Ia naik takhta sebagai Pakubuwana XI pada tanggal 26 April1939.
Pengangkatan KGPH. Hangabehi menjadi Pakubuwana XI bukanlah tanpa konflik. Pasalnya, Pakubuwana X cenderung lebih memilih KGPH. Kusumayuda (GRM. Abimanyu), adik Hangabehi, untuk menggantikannya. Apalagi di mata Pemerintah Hindia Belanda, Kusumayuda dianggap merupakan bangsawan Jawa yang berkepribadian kuat, mandiri, serta tertarik pada persoalan keuangan dan administrasi keraton. Di sisi lain, posisi Hangabehi juga sangat kuat, terutama dukungan mayoritas elite keraton yang anti-Belanda. Pakubuwana X sendiri memiliki putra dan putri lebih dari 60 orang. Masalah yang mengganjal ialah bahwa Pakubuwana X tidak memperoleh putra dari kedua permaisurinya. Dua putra Pakubuwana X yang tertua, Hangabehi dan Kusumayuda, lahir dari selir. Sebenarnya pada tahun 1898 Pakubuwana X sudah berniat mengangkat Kusumayuda sebagai putra mahkota meski usianya 40 hari lebih muda dari Hangabehi. Sampai akhirnya keinginan Pakubuwana X itu diurungkan, dan ia lebih memilih Hangabehi untuk menjadi pewaris takhta.
Hangabehi kemudian diberikan sejumlah posisi penting, di antaranya menjabat sebagai Wedana Tengen (jabatan setingkat Pangageng Putra Sentana), serta memperoleh kepercayaan sesoeratman, sebagai Wakil Ketua Raad Nagari, sebuah dewan pertimbangan kerajaan. Hangabehi juga diutus Pakubuwana X untuk menghadiri undangan peringatan 40 tahun kenaikan takhta Ratu Wilhelmina di Belanda.
Pada akhir bulan November1938, Pakubuwana X sakit keras dan akhirnya wafat pada Februari1939. Atas nasihat Den Haag, Gubernur JenderalA.W.L. Tjarda van Starkenborgh Stachouwer memilih KGPH. Hangabehi untuk menggantikan ayahnya sebagai Pakubuwana XI. Pengangkatan Hangabehi disertai dengan kontrak politik yang menurunkan kewibawaan susuhunan. Dalam kontrak politik itu disebutkan bahwa Hangabehi bisa diturunkan dari kedudukannya jika ternyata tidak dapat memenuhi kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam kontrak politik plus pemotongan anggaran belanja keraton secara drastis.
Pemerintahan Pakubuwana XI terjadi pada masa sulit, yaitu bertepatan dengan meletusnya Perang Dunia Kedua. Ia juga mengalami pergantian pemerintah penjajahan dari tangan Belanda kepada Jepang sejak tahun 1942. Pihak Jepang menyebut Kasunanan Surakarta dengan nama Solo Koo. Pada masa pendudukan Jepang terjadi inflasi yang mengakibatkan keuangan keraton dan para bangsawan amat menderita. Jepang juga merampas sebagian besar kekayaan keraton dan aset-aset Kasunanan Surakarta, hingga akhirnya Pakubuwana XI jatuh sakit. Pakubuwana XI kemudian wafat pada 1 Juni1945, ia digantikan oleh putranya yang masih berusia sangat muda sebagai Pakubuwana XII.
Pakubuwana XI sering mengemukakan falsafah hidup yang disebutnya Tiji-Tibeh. Falsafah ini merupakan kepanjangan dari pernyataan mati siji mati kabeh, mukti siji mukti kabeh. Pernyataan ini berarti mati satu mati semua, kaya satu kaya semua. Falsafah ini berkaitan dengan nilai kebersamaan yang diterapkannya dalam Kesunanan Surakarta Hadiningrat.[1]
Referensi
Catatan kaki
^Jati, B. M. E., dan Pryambodo, T. K. (2015). Maya, ed. Kewirausahaan: Technopreneurship untuk Mahasiswa Ilmu-ilmu Eksakta. Yogyakarta: Penerbit ANDI Yogyakarta. hlm. 11. ISBN978-979-29-5138-7.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
Daftar pustaka
Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu