Sahandhap Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Pakubuwana Senapati ing Ngalaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping II in ngari Surakarta Hadiningrat
Sri Susuhunan Pakubuwana II (bahasa Jawa: ꦥꦏꦸꦧꦸꦮꦤ꧇꧒꧇, translit. Pakubuwana Kapindho, har.'Pakubuwana Dua', dikenal juga sebagai Sunan Kombul yang lahir pada 08 Desember 1711 – 20 Desember 1749) adalah Susuhunan Mataram kesembilan yang memerintah tahun 1726–1742 dan menjadi Susuhunan pertama Surakarta yang memerintah tahun 1745–1749, setelah pemberontakan Amangkurat V. Ia juga merupakan kakak dari Pangeran Mangkubumi (kemudian bergelar Hamengkubuwana I) dan paman dari Pangeran Sambernyawa (kemudian bergelar Mangkunagara I).
Silsilah
Sunan Pakubuwana II atau Sunan Kumbul memiliki nama asli Raden Mas Prabasuyasa, ia merupakan putra Amangkurat IV dan Ratu Amangkurat (GKR. Kencana) atau Ratu Mas Kadipaten, seorang permaisuri keturunan Sunan Kudus. Ia dilahirkan pada tanggal 8 Desember1711.
Raden Mas Prabasuyasa naik takhta sebagai Pakubuwana II pada tanggal 15 Agustus1726 pada usia 15 tahun. Karena masih sangat muda, beberapa tokoh istana bersaing untuk mempengaruhinya. Para pejabat keraton pun terbagi menjadi dua kubu, yaitu golongan yang bersahabat dengan VOC dipelopori Ratu Amangkurat (ibu suri) dan golongan anti-VOC dipelopori Patih Cakrajaya.
Pemerintahan
Terusir dari Kartasura
Cakraningrat IV, bupati Madura Barat, adalah ipar Pakubuwana II, tetapi membenci pemerintahannya yang dianggapnya bobrok. Ia menawarkan diri membantu VOC asalkan dibantu lepas dari Mataram. VOC jelas menerima tawaran menggiurkan itu.
Keadaan pun berbalik. Para pemberontak Tionghoa pimpinan Sunan Kuning dipukul mundur. Pakubuwana II menyesal telah memusuhi VOC yang kini unggul setelah dibantu Madura. Perdamaian pun dijalin. Kapten Baron von Hohendorff tiba di Kartasura bulan Maret 1742 sebagai wakil VOC menandatangani perjanjian damai dengan Pakubuwana II.
Perdamaian ini membuat para pemberontak sakit hati. Mereka mengangkat raja baru, yaitu Raden Mas Garendi sebagai Amangkurat V (juga disebut Sunan Kuning karena memimpin kaum berkulit kuning), Amangkurat V adalah seorang cucu dari Amangkurat III yang masih berusia muda. Mayoritas pemberontak kini bukan lagi kaum Tionghoa, melainkan juga pribumi Jawa yang anti VOC, semakin banyak bergabung.
Pada 18 Juni 1742 Patih Natakusuma ditangkap oleh VOC atas keinginan Pakubuwana II. Patih Natakusuma ditangkap karena diduga secara diam-diam bersekongkol dengan pasukan pemberontak pimpinan Sunan Kuning. Kemudian oleh VOC ia diasingkan ke Sri Lanka. Hal ini memamncing kemarahan para pemberontak yang akhirnya melakukan penyerangan ke Kartasura.[1]
Mengungsi ke Ponorogo
Pada 30 Juni 1742, tentara Jawa-Tionghoa yang dipimpin Raden Mas Garendi telah mengalahkan pasukan Pakubuwono II secara total dan langsung menuju ke Kartasura. Sang raja berhasil melarikan diri dan hanya dikawal oleh segelintir orang yang setia dan petugas VOC. Ia kemudian pergi ke Madiun untuk mengumpulkan para pendukungnya dan dari sana melakukan upaya yang sia-sia untuk mendapatkan kembali mahkotanya yang hilang. Putus asa karena bertumpuk-tumpuk kesengsaraan, ia tetap tinggal di sana untuk sementara waktu. Ia kemudian pergi ke Ponorogo untuk bertemu Kiai Ageng Muhammad Besari di Tegalsari atas saran kawan-kawannya.[2]
Di Tegalsari, Pakubuwono II memohon pada Kiai Ageng untuk menjadi perantara antara dirinya dan Allah serta berdoa supaya ia mendapatkan kembali takhtanya. Raja juga bersumpah bahwa seumpamanya ia dipulihkan martabatnya sebagai raja, ia akan menjadikan Tegalsari sebagai tempat rujukan belajar Islam di kerajaannya dan menganugerahkan pengaturan desa kepada Kiai Ageng dan keturunannya, serta mengangkat desa itu sebagai desa perdikan, yaitu desa yang dibebaskan dari pajak, pengiriman upeti, dan kewajiban pelayanan kepada kerajaan.[3]
Pada November 1742, Cakraningrat IV dari Bangkalan bersama pasukannya berhasil mengusir Mas Garendi dari Kartasura. Kompeni kemudian mengangkat kembali Pakubuwono II sebagai raja. Ia pun menepati janjinya pada Kiai Ageng, dengan syarat sang kiai tetap mengajar ajaran Nabi Muhammad.[4]
Mendirikan Surakarta
Berawal dari peristiwa Geger Pacinan yang melibatkan orang Tionghoa membentuk perlawanan untuk mempertahankan diri, semakin lama pasukan mereka menjadi kuat karena mendapat dukungan dari para bupati pesisir serta mengangkat Sunan Kuning sebagai raja Mataram dan berhasil menguasai Keraton Kartasura dengan gelar Amangkurat V.
Pakubuwana II beserta keluarganya melarikan diri ke Ponorogo dan meminta bantuan VOC untuk mengusir Amangkurat V dan para pengikutnya dari Keraton Kartasura dan VOC membantu permintaan dari Pakubuwana II untuk mengusir Amangkurat V, usaha ini pun berhasil Pakubuwana II kembali menduduki takhta Mataram.[5]
Menurut kepercayaan Jawa jika sebuah istana kerajaan telah rusak akibat peperangan dianggap sudah tidak memiliki wahyu keprabon lagi. Hal tersebut mengakibatkan Pakubuwana II ingin mendirikan istana baru ke daerah lain yang layak dihuni. Setelah dilakukan pencarian wilayah pengganti Keraton Kartasura akhirnya terpilih desa Sala sebagai lokasi keraton baru. Pada tanggal 17 Februari1745 keraton baru di desa Sala secara resmi digunakan sebagai pengganti keraton lama, kemudian diberi nama Surakarta.[6]
Pada periode selanjutnya di tahun 1755 pasca Perjanjian Giyanti yang disepakati oleh putra dan adik -nya, yaitu Pakubuwana III dengan Pangeran Mangkubumi, mengakibatkan terbelahnya Mataram menjadi dua kubu antara Pakubuwana III di Surakarta dan Pangeran Mangkubumi di Yogyakarta. Setelah perjanjian itu disepakati, Mataram yang semula memiliki pemerintahan tunggal dibawah Pakubuwana III, terbagi menjadi dua poros kerajaan. Peristiwa tersebut ditandai dengan istilah Palihan Nagari dan menandai berakhirnya kedaulatan Mataram.[7]
Sayembara
Posisi Cakraningrat IV makin kuat. Ia banyak merebut daerah-daerah di timur Jawa dalam penumpasan Geger Pacinan. Daerah-daerah tersebut ingin diambil alih olehnya, tetapi ditolak VOC.
Cakraningrat IV pun akhirnya memberontak. VOC secara resmi memerangi bekas sekutunya itu pada Februari1745. Beberapa bulan kemudian Cakraningrat IV terdesak dan melarikan diri ke Banjarmasin. Namun, sultan negeri itu justru menangkap dan menyerahkannya kepada VOC. Cakraningrat IV akhirnya dibuang ke Tanjung Harapan.[8]
Sisa-sisa pendukung pemberontakan Tionghoa yang masih bertahan adalah Pangeran Sambernyawa putra Pangeran Mangkunagara. Pakubuwana II mengumumkan sayembara berhadiah tanah Sukawati (sekarang Sragen), bagi siapa saja yang berhasil merebut daerah itu dari tangan Pangeran Sambernyawa.
Pangeran Mangkubumi adik dari Pakubuwana II memenangkan sayembara itu pada tahun 1746. Sebelumnya, ia juga pernah ikut terlibat mendukung pemberontakan Tionghoa, tetapi kembali ke Surakarta dan diterima Pakubuwana II. Namun, Patih Pringgalaya membujuk Pakubuwana II supaya tidak menyerahkan tanah Sukawati kepada Pangeran Mangkubumi.
VOC kembali muncul melakukan perannya, Baron van Imhoff memperkeruh suasana. Ia datang ke Surakarta mendesak Pakubuwana II agar menyewakan daerah pesisir kepada VOC dengan harga 20.000 real Spanyol tiap tahun. Pangeran Mangkubumi menentang hal itu. Terjadilah pertengkaran di mana Baron van Imhoff menghina Pangeran Mangkubumi di depan umum.
Pangeran Mangkubumi sakit hati dan kabur dari Surakarta dan memilih bergabung dengan pasukan Pangeran Sambernyawa sejak Mei1746.
Akhir pemerintahan
Pakubuwana II jatuh sakit pada akhir tahun 1749. Baron von Hohendorff, yang kini menjabat gubernur pesisir Jawa bagian timur, tiba menjenguknya di Surakarta sebagai saksi VOC atas jalannya pergantian raja (suksesi). Pakubuwana II bahkan terpaksa menyerahkan kedaulatan Mataram kepada von Hohendorff, akibat api pemberontakan yang tak kunjung padam. Perjanjian pun ditandatangani tanggal 11 Desember1749 sebagai titik awal hilangnya kedaulatan Mataram ke tangan Belanda.
^Ricklefs, M.C. (1998) The seen and unseen worlds in Java, 1726–49: History, literature and Islam in the court of Pakubuwana II. St. Leonards NSW: The Asian Studies Association of Australia in association with Allen and Unwin; Honolulu : The University of Hawai'i Press.
^Raffles, Sir Thomas Stamford (1817). The History of Java. 2. Printed for Black, Parbury, and Allen, Booksellers to the Hon. East-India Company ... and John Murray. hlm. 223.