Artikel ini perlu diwikifikasi agar memenuhi standar kualitas Wikipedia. Anda dapat memberikan bantuan berupa penambahan pranala dalam, atau dengan merapikan tata letak dari artikel ini.
Untuk keterangan lebih lanjut, klik [tampil] di bagian kanan.
Tambahkan pranala wiki. Bila dirasa perlu, buatlah pautan ke artikel wiki lainnya dengan cara menambahkan "[[" dan "]]" pada kata yang bersangkutan (lihat WP:LINK untuk keterangan lebih lanjut). Mohon jangan memasang pranala pada kata yang sudah diketahui secara umum oleh para pembaca, seperti profesi, istilah geografi umum, dan perkakas sehari-hari.
Sunting bagian pembuka. Buat atau kembangkan bagian pembuka dari artikel ini.
Moewardi adalah seorang dokter lulusan STOVIA. Setelah lulus, ia melanjutkan pendidikan Spesialisasi Telinga Hidung Tenggorokan (THT). Selain itu ia adalah ketua Barisan Pelopor tahun 1945 di Kota Surakarta, dan terlibat dalam peristiwa proklamasi 17 Agustus 1945. Dalam acara tersebut, ia juga turut memberikan sambutan setelah Soewirjo, wakil wali kota Jakarta saat itu.
Di Surakarta, dr. Muwardi mendirikan sekolah kedokteran dan membentuk gerakan rakyat untuk melawan aksi-aksi PKI. Pada peristiwa Madiun, dia adalah salah satu tokoh yang dikabarkan hilang dan diduga dibunuh oleh pemberontak selain Gubernur Soeryo.
Putera Seorang Guru dari Jakenan
Muwardi dilahirkan di Desa Randukuning, Pati, Jawa Tengah, Rebo Pahing 30 Januari 1907 jam 10.15 malam 15 Besar tahun Jawa 1836. Sebagai putera ke-7 dari Mas Sastrowardojo dan Roepeni, seorang mantri guru. Sebuah kedudukan yang sangat berwibawa pada zaman itu. Muwardi adalah ber-13-saudara, laki-laki dan perempuan. Dari keturunan Sastrowardojo yang hidup ada yang menjadi pegawai Pamong Praja, ada juga tetap menjadi wiraswasta saja. Diantaranya menjadi seorang analis kesehatan yaitu Supardi, Pemimpin Laboratorium Kesehatan Daerah Jogjakarta sekitar tahun 1940-1950 yang merupakan kakak dari Muwardi. Analis kesehatan yang lainnya adalah adik Muwardi yaitu Darsono.
Menurut silsilah, dari pihak ayah Muwardi masih keturunan langsung dari "Panembahan Landhoh" Raden Saridin Sunan Landoh atau Syech Jangkung sedangkan dari pihak Ibu Muwardi masih keturunan Ario Damar (Bupati Palembang). Namun dari ke tiga belas bersaudara ini ada tiga yang meninggal saat masih kecil yaitu: Soenardi, Tarnadi dan Soedewi. Karena sebab itulah Muwardi lebih sering bermain dan dengan kedua kakaknya yaitu Soepadi dan Soenarto (Kepala DPU Jateng era 1970-an) seperti pada umumnya kakak beradik mereka bertiga ini sering sekali berbuat kenakalan dan berantem di antara mereka sendiri. Muwardi sangat beruntung lahir dari golongan ningrat sehingga tak heran, Muwardi dan kakak adiknya dapat menikmati berbagai fasilitas yang tidak semua masyarakat Indonesia pada saaat itu (bahkan hingga saat ini), salah satunya adalah pendidikan yang layak dan bermutu.
Pada tahun 1913 Bapak Sastrowardojo pindah ke Desa Jakenan untuk mengajar di Sekolah Rakyat Bumi Putera, karena kepintarannya Muwardi dipindahkan ke HIS (Hollandsch Inlandsche School) di Kudus yaitu sekolah dasar dengan bahasa pengantar bahasa Belanda. Sebagai seorang pendidik, Sastrowardojo ingin agar putra-putrinya menjadi orang yang lebih pandai dan memiliki kedudukan lebih tinggi daripada dirinya. Melihat kepandaian Muwardi dan rasa sayang jika anaknya sekolah terlalu jauh dari rumah Sastrowardojo memindahkan Moewardi ke Europesche Lagere School di Pati.
STOVIA
Setamat dari ELS tahun 1921 ayahnya meminta Dr. Umar di Cilacap (Ayah angkat dari Mayjen Ernest Julius Magenda, Direktur Intelejen ABRI era 1960-an) memberi rekomendasi agar Moewardi dapat masuk ke STOVIA (School Tot Opleiding Voor Inlandshe Aartsen) atau Sekolah Dokyang dapat mengantarkan seseorang untuk menikmati pendidikan namun diperlukan juga rekomendasi dari seseorang yang terpandang. Hampir 12 tahun waktu yang diperlukan oleh Muwardi untuk dapat mendapatkan ijazah dokternya, bukan karena bodoh.
Keaktifannya di dunia mahasiswa dan kepanduanlah yang menyebabkan Muwardi harus menunda-nunda kelulusannya. Meski dirasa berat dan membutuhkan waktu yang cukup lama (baru lulus 1 Desember 1933), namun seharusnya ijazah tersebut sudah dua tahun terdahulu (1931) diberikan kepada Muwardi. Kecerdasan Moewardi masih diingat oleh para gurunya di STOVIA. Seorang gurunya bahkan menawarkan jabatan sebagai Beroeps-Assistant atau Asisten Profesor pada Geneeskundige Hoge School (Sekolah Tinggi Kedokteran bagian Hidung, Kerongkongan dan Telinga).
Sebagai dokter
Muwardi menjadi asisten dari Dr. Hendarmin hingga saat ia meninggalkan kota Jakarta. Muwardi akhirnya mendapat brevet yang mengakui keahliannya. Selama lima tahun Muwardi bekerja sebagai dokter swasta. Muwardi pernah tinggal di Kebon Sirih, di mana istrinya yang pertama (Soeprapti) meninggal dunia. Dengan meninggalkan seorang puteri (Tjitjik) dan seorang putera (Adi) yang masih bayi. Muwardi juga pernah berdiam di Tanahabang, dekat jalan Kebayoran atau Palmerah.
Ditengah-tengah masyarakat gembel, yang menyebabkan dia mendapat julukan Dokter Gembel dari kawan-kawan seprofesi nya, julukan ini terdengar merendahkan namun sebenarnya menyiratkan kekaguman. Karena tak semua orang berani dan rela melakukannya, bukan ?!. Merintis kepanduan Indonesia Pada masa belajar di STOVIA, Muwardi, menunjukkan minat yang besar terhadap pergerakan pemuda. Ia masuk Jong Java dan giat dalam kegiatan kepanduan. Pada masa-masa awal belajar di STOVIA Muwardi pernah menjadi anggota Nederlansch Indiche Padvinder Vereneging (NIPV).
Kepanduan
Organisasi pandu yang dimulai oleh adanya cabang Nederlandse Padvinders Organisatie (NPO) pada tahun 1912, yang pada saat pecahnya Perang Dunia I memiliki kwartir besar tersendiri kemudian berganti nama menjadiNederlands Indische Padvinders Vereeniging (NIPV) pada tahun 1916. Keanggotaan NIPV terdiri dari anak-anak Belanda dan Bumi Putera. Dalam organisasi tersebut juga terdapat NIPC (Nederlands Indische Padvinders Club) organisasi kepanduan untuk usia anak-anak, tercatat Sri Sultan Hamengkubuwana IX pada saat kelas 3 Eerste Europese Lagere Schoolpernah bergabung dengan organisasi ini.
Muwardi adalah seorang pandu yang aktif dan disiplin. Karena kecakapannya, Muwardi sampai dipilih menjadi Assistant Troep atau Ploeg-leider atau Kepala Pasukan Pandu. Tingkat tersebut pada NIPV adalah tingkatan Pandu kelas I. Padahal tingkatan tersebut adalah tingkatan yang jarang dicapai oleh seorang pandu bumi putera yang bernaung di bawah panji-panji NIPV. Namun, Muwardi tak lama menjadi anggota NIPV, rasa nasionalisme lah yang membuat Muwardi memilih untuk pergi meninggalkan NIPV untuk selama-lamanya.
Pada waktu dia hendak diangkat menjadi kepala pasukan kepanduan dia menolak mengucapkan sumpah setia terhadap Raja Belanda. Peristiwa keluar dari NIPV itu terjadi tahun 1925. Selain aktif di gerakan kepanduan Muwardi juga aktif dalam Jong Java, karena kecerdasannya dan kecintaanya pada dunia jurnalistik pada tahun 1922 Muwardi mendapat kepercayaan untuk memimpin Redaksi Majalah Jong-Java bersama adiknya, yaitu Sutojo. Kemudian tahun 1925 Muwardi dipercaya sebagai Ketua Jong-Java Cabang Jakarta. Dan terpilih sebagai salah satu utusan Jong Java pada Kongres Pemuda Nasional di Jakarta. Muwardi termasuk yang ikut mengikrarkan Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928.
Karena sumpah itu maka Jong Java dalam kongresnya pada bulan Desember 1928 dapat menerima fusi atau peleburan dengan organisasi kepemudaan lainnya. Peleburan Jong Java bersama dengan perkumpulan-perkumpulan pemuda lain di Indonesia, seperti Jong Sumatra, Jong Ambon, Jong Minahasa, Sekar Rukun (Sunda), Sangkoro Mudo (Jawa) menjadi Indonesia Muda (I.M) yang berdasarkan kebangsaan.
Jong Java mempunyai organisasi kepanduan yang bernama Jong Java Padvinderij (JJP), Muwardi adalah pemimpin dari JJP dan memimpin Redaksi Majalah Pandu, hingga akhirnya pada tahun 1925 Muwardi berinisiatif untuk mengubah nama Jong Java Padvinderij menjadi Pandu Kebangsaan. Yang sangat membuat kagum adalah inisiatif pribadi Muwardi untuk mengubah nama Padvinderij menjadi Kepanduan adalah jauh sebelum Bapak Haji Agus Salim menganjurkan pemakaian istilah “Pandu” dan “Kepanduan” untuk menggantikan kata “Padvinder” dan “Padvinderij”, sebab istilah tersebut dilarang oleh N.I.P.V. yang merasa sebagai organisasi resmi kepanduan pada masa itu. Pada tahun 1926
Muwardi menjabat sebagai Komisaris Besar, memimpin Kwartir Besar Kepanduan-kepanduan Jong Java Padvinderij. Didorong oleh semangat persatuan yang memuncak di kalangan pemuda waktu itu, maka pada 23 Mei 1928 dilangsungkan pertemuan antara wakil kepanduan se-Indonesia di Jakarta, yang dihadiri oleh Pandu Kebangsaan, NATIPIJ (Nationale Islamietishe Padvinderij) dari Jong Islamieten Bond, INPO (Indonesische Nationaal Padvinders Organisatie) dari Pemuda Indonesia, sedangkan S.I.A.P. (Syarikat Islam Afdeling Padvinderij) dari Syarikat Islam, dan “Padvinder Muhammadiyah” yang pada 1920 berganti nama menjadi H.W (Hizbullah Wathon) dari Muhammadiah yang tidak hadir karena berhalangan. Pertemuan itu menghasilkan terbentuknya PAPI (Persatuan Antara Pandu Indonesia).
Di lain tempat misalnya di Yogyakarta, Surabaya, Semarang, di mana terdapat lebih dari satu kepanduan didirikan PAPI setempat. Di Solo badan itu bernama Badan Persatuan Kepanduan Surakarta, di Yogyakarta bernama: Badan Persatuan Kepanduan Mataram, namun dengan maksud dan tujuan yang sama. Setahun kemudian pada 15 Desember 1929 PAPI mengadakan pertemuan ke II di Jakarta, dalam pertemuan Pandu Kebangsaan (PK) melalui Muwardi mengusulkan supaya diadakan peleburan (fusi) bagi semua organisasi kepanduan untuk dibentuk menjadi Satu Organisasi Kepanduan Indonesia (SOKI). Dalam konfrensi itu tak terdapat kata sepakat yang bulat dari kepanduan yang berbeda asasnya khususnya kepanduan yang berasaskan agama untuk bersatu bersama-sama sesuai usul Muwardi.
Untuk menjaga keutuhan persaudaraan maka diambil jalan tengah dengan membentuk dua panitia, dengan tugas mempelajari penyelenggaraan dan rencana pelaksanaannya, bagi kepanduan yang berdasar pada asas kebangsaan semata-mata dan lainnya dengan yang mengutamakan dasar-dasar agama. Muwardi sebagai pimpinan Pandu Kebangsaan atau Jong Java Padvinderij saat berkemah dan berkongres di Solo (1929) menghendaki agar Pandu Kebangsaan dapat berfusi dengan organisasi kepanduan lainnya.
Gagasan itu berdasarkan prinsip Muwardi bahwa “pandu yang satu adalah saudara pandu yang lainnya. Oleh karena itu, seluruh pandu harus menjadi satu.”. Setelah diadakan perundingan, dicapailah kesepakatan bahwa Pandu Kebangsaan, Pandu Sumatra (PPS), dan Indoneisch Nationale Padvinders Organisatie (INPO) untuk melebur menjadi satu organisasi kepanduan dengan nama Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI) pada 13 September 1930. Di organisasi tersebut Muwardi duduk sebagai Komisaris Besar Kepanduan Bangsa Indonesia.
Patut dicatat adalah Umar Wirahadikusuma adalah anggota KBI semasa sekolah di tingkat ELS, dan kebetulan pada 18 September 1948 menjabat sebagai Pimpinan Batalyon IV Divisi Siliwangi dari Brigade Sadikin bermarkas di Colomandu dan turut memberantas PKI saat itu. Setelah mengadakan kongresnya yang pertama di Ambarwinangun, Yogyakarta pada akhir Desember 1930. Pucuk pimpinan dijabat oleh Soewardjo Tirtosoepono dan Muwardi, masing-masing sebagai Ketua Pengurus Besar dan Komisaris Besar. Kongres itu juga terkenal sebagai Jambore Nasional KBI I dikunjungi oleh 2/3 dari 57 cabang yang tersebar di Jawa, Bali, Madura dan Sumatra.
Pembicaraan dalam kongres itu dititik beratkan pada perumusan yang sudah ada berasal dari ketiga kepanduan yang telah menjadi satu untuk dipakai pedoman kerja KBI sampai ada ketetapan dari kongres. Menjelang berakhirnya Jambore tiba-tiba pada waktu itu, di sekitar daerah Muntilan dekat Yogyakarta ditimpa bencana alam dengan meletusnya Gunung Merapi.
Pandu KBI yang sedang berjambore dikerahkan serentak untuk ikut serta membaktikan tenaganya untuk mengurangi penderitaan para korban bencana alam. Dalam kepercayaan Jawa, jika pada suatu keadaan penting terjadi peristiwa besar maka keadaan penting tersebut akan menjadi besar dan abadi.
Sepertinya, alam pun turut memberikan tanda bahwa KBI akan menjadi organisasi yang besar dan dikenang. Pada bulan Juni 1931 KBI melangsungkan Pertemuan Pemimpin I di Purworejo. Pertemuan ini besar sekali artinya bagi jalannya sejarah KBI selanjutnya. Sebab di situlah permulaan dasar-dasar KBI bahkan Pramuka antara lain: Menetapkan warna “merah-putih” sebagi warna setangan-leher dan bendera KBI sesuai dengan asas kebangsaan Indonesia.
Selain menghasilkan keputusan penting bagi sejarah kepanduan Indonesia juga mensinyalir berdirinya satu kepanduan baru yang memakai nama singkatan: KDI (Kepanduan Di Indonesia) bentukan NIPV. Setahun kemudian (1932), KBI mengadakan Jambore Nasional II di Banyak, Malang. Perkemahan itu dipimpin langsung oleh Komisaris Besar Muwardi sendiri sesuai dengan rencana yang ditetapkan. Di samping perkemahan biasa juga diadakan pertemuan tersendiri bagi para pemimpin untuk merundingkan soal organisasi dan pemimpin teknis mengenai kepanduannya. Hasil pertemuan Pemimpin di Banyak itu menunjukkan langkah kearah konsolidasi kedalam dan keluar.
Jambore yang dilangsungkan 19-21 Juli 1932 dikunjungi oleh wakil dari 69 cabang KBI, putusan terpenting antara lain mengenai: Upacara Pelantikan Pandu dan Upacara Pengibaran Bendera. Jambore Nasional ke III diadakan di Solo pada 20-24 Juni 1934. Dalam pertemuan Pemimpin itu diambil putusan seperti: Mencetak Buku AD/ART, Petunjuk Permainan, Peraturan Mendirikan Cabang dan sebagainya.
Sementara Pertemuan itu menetapkan Soeratno Sastroamijodjo menjadi Ketua Pengurus Besar menggantikan Soewarjo Tirtosoepomo yang sejak pertengahan tahun 1932 pindah ke Cilacap. Tak lama kemudian Muwardi meminta cuti karena harus menghadapai ujian akhir sebagai dokter dan keperluan persiapan menikah dengan istri pertamanya. Sebagai penggantinya dipilih Abdulrachim dari Bandung. Dengan sendirinya kedudukan Kwartir Besarpun ikut berpindah ke Bandung, Jawa Barat.
Jambore nasional pertama Pada waktu Chief-Scout Lord Baden Powell singgah di Jawa dalam perjalanan ke Australia pada awal 1934, pandu Indonesia di luar NIPV dilarang ikut menyambutnya. Muwardi sudah menduga kemungkinan kejadian seperti itu. Maka dalam putusan pertemuan di Solo pertengahan tahun 1934,
KBI mulai menyelenggarakan Jambore Daerah. Hampir bersamaan waktunya di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Jawa Barat diadakan Jambore Daerah masing-masing bertempat di Kali Urang, Gresik dan Sukabumi di bawah Komisaris Daerah Hertog, Mursito dan Dadi Cokrodipo dari Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat.
Jambore Daerah sangat menarik perhatian masyarakat, terbukti di Jawa Timur misalnya, Dr. Sutomo, Mr. Susanto Tirtoprodjo, Dr. Maas dan lain-lain ikut berjambore dan merasakan suka-duka hidup dalam perkemahan: tidur di atas kasur tanah berbantal saku-punggung (rugtas), mandi di sungai dengan WC model “plung-lap”. (begitu nyemplung-langsung hilang terbawa arus) Tahun 1935, pada perkemahan per-sa-mi (Perkemahan-Sabtu-Minggu) di Pasar Minggu (di Karang Teruna sekarang) di mana ikut para anggota Pengurus Besar dan Komisaris Besar.
Diadakan diskusi tentang bagaimana cara KBI untuk mengadakan “ALL INDONESIAN JAMBORE”. Satu Jambore untuk seluruh pandu Indonesia tanpa memandang pada golongan dan agama, asal bukan anggota NIPV (Nederlands Indische Padvinders Vereneging). Ide ternyata sambutan dari masyarakat, khususnya dari kalangan kepanduan lain Periode 1936-1940 dimulai dengan penyelenggaraan Jambore Nasional KBI ke IV di Kali Urang, Yogyakarta.
Perkemahan itu diadakan di lapangan Diponegoro, milik KBI Cabang Mataram (Yogyakarta) dan berlangsung dengan serba memuaskan di bawah pimpinan Komisaris Besar Muwarni. Pada pembukaan jambore di Kali Urang tahun 1936 Komisaris Besar Muwardi menyampaikan pidato yang sangat terkenal berjudul Jambore. Atas inisiatif Komisaris Besar KBI Muwardi pada 26 April 1938 di Solo diadakan pertemuan antara anggota Persatuan Antar Pandu Indonesia dengan mengudang beberapa Kwartir Besar Kepanduan lainnya untuk menjelaskan tentang cita-cita diadakannya All Indonesian Jambore.
Cita-cita ini dapat diterima oleh rapat. Kemudian diputuskan mendirikan Badan Pusat Persaudaraan Kepanduan Indonesia (BPPKI) yang berkedudukan di Solo. Susunan Pengurusnya terdiri dari wakil-wakil: KBI-Ketua, Kepanduan Asas Katholik Indonesia (KAKI)-Notulen, Nationale Islamietishe Padvinderij(NATIPIJ)-Bendahara, Syarikat Islam Afdeling Padvinderij (SIAP)-Urusan Bagian Teknik. Konfrensi BPPKI di Bandung pada pertengahan tahun 1939 memutuskan: Mengganti nama All Indonesian Jambore menjadi Perkemahan Kepanduan Indonesia Oemoem disingkat: PERKINO, dengan alasan supaya nama itu sesuai dengan cita-cita kebangsaan dan diselenggarakan di Solo pada Juli 1940
Akan tetapi putusan itu kemudian terpaksa ditunda sampai 1941 sehubunganan gentingnya suasana internasional akibat Perang Dunia I dan II karena itu Perkino ke I dipindah ke Mataram (Yogyakarta). Setelah diberikan jaminan bantuan dari para ketua Cabang dan Pengurus dari B.P.K.M (Badan Persaudaraan Kepanduan Mataram) segeralah dibentuk Panitia Perkindo yang diketuai oleh Dr. Martosoehodo.
Ternyata dari pihak masyarakat dan Sultan Hamengkubuwana IX juga sangat mendukung dan memperhatikan acara tersebut, dengan memberikan bantuan berupa moril maupun materil. Menurut rencana Perkino itu berlangsung 19-23 Juli 1941 bertempat di lapangan Gampingan. Dari berita 12 surat kabar Indonesia, Tionghoa, dan Belanda pada zaman itu menunjukkan bahwa Perkino ke I berhasil dengan memuaskan.
Sebagai bukti adalah kutipan berita dari Pemandangan (21 Juli 1941), Mata-Hari (22 Juli 1941), Djokja-Bode (21 Juli 1941) dan Majalah Mingguan “Gelanggang” (24 Juli 1941) Dari sini terlihat bahwa kepanduan Indonesia di bawah pimpinan Muwardi waktu itu sudah sampai pada taraf perkembangannya yang tinggi hingga akhirnya dibubarkan oleh pemerintah Jepang. Sesudah berlangsungnya Perkindo ke II di Jakarta 2-12 Februari 1943 organisasi KBI dibekukan pada tanggal 4, bulan 4, tahun 4 (2640 atau 1944), jam 4 sore, di lapangan KBI Gang Tengah Jakarta.
Setelah Proklamasi Indonesia Merdeka tanggal 17 Agustus 1945, mulailah pintu terbuka kembali bagi pandu untuk bergerak. Kesempatan ini segera digunakan oleh Muwardi (setelah memimpin Barisan Pelopor di Jakarta untuk mengawal Proklamasi dan telah pindah ke Solo) bersama-sama kawan-kawan di KBI untuk menyusun pergerakan kepanduan Indonesia kembali. Pada bulan September 1945, Muwardi bersama kawan pandu yang lain berkumpul di Yogyakarta dan bersepakat untuk membentuk Panitia Kesatuan Kepanduan Indonesia (PKPI) sebagai suatu panitia kerja, menunjukkan pembentukan satu wadah organisasi kepramukaan untuk seluruh bangsa Indonesia dan segera mengadakan Kongres Kesatuan Kepanduan Indonesia.
Muwardi sadar keadaan di tanah air tidak mengizinkan organisasi pandu bekerja berpisah-pisah. Seluruh pandu harus bersatu untuk menghadapi musuh yang mengganggu kemerdekaan Indonesia. Sesuai dengan hasrat bangsa Indonesia pada waktu itu. Kongres yang dimaksud, dilaksanakan pada 27-29 Desember 1945 di Solo. Muwardi mengajak seluruh pandu dari berbagai organisasi menyatukan tekadnya.
Tujuh belas kepanduan menghentikan serentak organisasinya masing-masing untuk bersatu dalam Pandu Rakyat Indonesia (PRI) di kota Solo pada tanggal 28 Desember 1945. Ketua sementara PRI dijabat oleh Muwardi dan Komisaris Besarnya Hertog. Perkumpulan ini didukung oleh segenap pimpinan dan tokoh serta dikuatkan dengan “Janji Ikatan Sakti”, lalu pemerintah RI mengakui PRI sebagai satu-satunya organisasi kepramukaan yang ditetapkan dengan keputusan Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan No.93/Bag. A, tertanggal 1 Februari 1947.
Selama penjajahan Jepang
Pengawal Dwi Tunggal Tahun 1944 pemerintah Jepang membentuk Jawa Hokokai (Kebaktian Rakyat Indonesia) yang pimpinan organisasinya langsung berada di bawah komando pemerintah militer Jepang. Jawa Hokokai mempunyai barisan yang namanya Shuisintai atau Barisan Pelopor yang terdiri dari pemuda. Pemimpin umum Barisan Pelopor adalah Bung Karno, sedang Sudiro sebagai Pelaksana Pimpinan Pimpinan Harian dengan dibantu oleh para anggota pengurus, seperti Chaerul Saleh, Agus Karma, Asmara Hadi, Mashud, Sukarjo Wirjopranoto, dan Otto Iskandardinata.
Pada tiap-tiap karisidenan ada Barisan Pelopor yang dipimpin oleh seorang Syuurenotaicho (Komandan Barisan Pelopor Karisidenan). Muwardi adalah ketua Barisan Pelopor Daerah Jakarta Raya dan sekitarnya, wakilnya adalah Wilopo, S.H. Dari luar Barisan Pelopor terlihat hanyalah alat Jepang, tetapi dalam praktiknya menjadi wadah dan sarana perjuangan para pemuda. Sebagai pimpinan Barisan Pelopor Daerah Jakarta Raya, Muwardi membentuk Barisan Pelopor tingkat kecamatan. Kelak di kemudian hari sesudah Bung Karno dipilih menjadi Presiden, atas usul Sudiro, Bung Karno mengangkat Muwardi menjadi Ketua Umum Barisan Pelopor. Dengan “radio-radio gelap” para pemuda sudah tahu tentang kehancuran Jepang karena bom atom.
Berita tentang kekalahan Jepang dalam Perang Pasifik akhirnya tersebar luas. Salah satu rencana yang santer di kalangan para pemuda dan pemimpin-pemimpin pergerakan adalah proklamasi kemerdekaan Indonesia. Oleh karena itu, para pemuda membentuk Barisan Pelopor untuk mengamankan para pemimpin perjuangan, seperti Soekarno dan Hatta. Muwardi diserahi tugas untuk memimpin Barisan Pelopor di daerah Jakarta.
Sebagai markas Barisan Pelopor Jakarta adalah rumah milik pribadi Muwardi di jalan Cik Di Tiro No 9. Di rumah berkamar 11 buah tersebut, setiap hari rapat digelar untuk mempersiapkan strategi bagi kemerdekaan Indonesia. Di situ selalu hadir Chaerul Saleh, Sudiro, Suwiryo, Dr. Suharto dan Muwardi. Sering kali Muwardi menjual beberapa barang miliknya untuk membeli makanan untuk para pemuda itu. Dalam rapat akbar di Lapangan Ikada (sekarang Lapangan Banteng) sehari sebelum proklamasi, Barisan Pelopor bertugas untuk mengamankan lapangan itu dari kerusuhan dan ancaman balatentara Jepang.
Lapangan Ikada dijaga ketat oleh serdadu Jepang. Setiap serdadu Jepang yang berdekatan dengan rombongan Soekarno-Hatta diawasi oleh tiga orang pemuda. Para pemuda yang mengelilingi dan mengawasi gerak-gerik serdadu-serdadu Jepang itu adalah anak buah Muwardi, pada saat itu komandan lapangan Barisan Pelopor adalah Moeffreini Moe’min seorang bekasSyodancho dari Daidan I Jakarta.
Mereka adalah para pendekar pencak silat, bersenjatakan belati dan rencong. Mereka bertugas merampas senjata dari tangan serdadu Jepang bila situasi rapat umum menjadi gawat dan ternyata rapat itu berlangsung dengan lancar tanpa gangguan keamanan. Namun menjelang Hari Kemerdekaan, sebagai ketua Barisan Pelopor Jakarta Raya, yang dibantu oleh Soegandi, Sudiro (pernah menjabat Wali kota Jakarta Raya), Bendahara Kampung Duri Jakarta Masihono, dan Suratno.
Pada suatu ketika tentara Jepang sedang mencari pemimpin Barisan Pelopor. Bertepatan dengan kedatangan Masihono untuk mencari uang kas Pelopor. Pada waktu itu Muwardi disembunyikan di kolong tempat tidur Masihono. Bila pada detik itu Muwardi diketemukan oleh tentara Jepang tentu pada saat itu pula Muwardi habis ajalnya. Seperti nasib pemimpin lain tetapi, Tuhan masih melindunginya dan Muwardi selamat. Dalam peristiwa mengamankan Sukarno dan Hatta ke Rengasdengklok, Muwardi mendapat tugas dari para pemuda bersama Sayuti Melik untuk membangunkan Bung Karno. Pada 17 Agustus 1945 bertepatan dengan bulan Ramadhan di rumah kediaman Bung Karno di Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta ramai dikunjungi orang Muwardi menjamin keadaan aman kepada Dokter Soeharto, dokter pribadi Bung Karno: “masih tidur semua, semua beres”. Muwardi menunjuk kepada kelompok orang di belakang rumah sambil berkata “Itu barisan berani mati yang saya pimpin”. Sudah diputuskan, pembacaan Proklamasi akan dilangsungkan pagi itu, tetapi saatnya masih akan ditentukan oleh Bung Karno. Ia baru masuk kamar tidur menjelang subuh sekembalinya dari rapat di rumah (Laksamana) Maeda. Di depan rumah Bung Karno sudah kelihatan ada mikrofon berdiri dengan standardnya. Karena instruksi Sudiro, Barisan Pelopor terus berdatangan ke Pegangsaan Timur 56. Waktu sudah mendekati pukul 10.00 tetapi Bung Hatta belum juga datang. Muwardi yang tidak sabaran menunggu masuk ke kamar Bung Karno dan mendesak Bung Karno agar segera mengumumkan Proklamasi sendiri saja tanpa menunggu kedatangan Bung Hatta. Alasannya karena Bung Hatta sudah menandatangani teks Proklamasi. Pada mulanya Bung Karno menjawab dengan tenang saja, tetapi karena Muwardi mendesak dengan nada marah Bung Karno menjawab: “Saya tidak mau mengucapkan proklamasi kalau Hatta tidak ada, kalau Mas Muwardi tidak mau tunggu silahkan baca Proklamasi sendiri”. Dialog kedua tokoh ini disaksikan oleh Sudiro dan sesudah itu Muwardi tidak mendesak Bung Karno lagi. Sebetulnya Muwardi melakukan itu karena Sudiro melihat di sekitar jalan Pegangsaan terlihat seorang Jepang yang sedang bercakap-cakap dengan Sukardjo Wirjopranoto. Keduanya sebenarnya khawatir kalau Proklamasi belum dibacakan sudah di serbu Jepang, sehingga akhirnya Proklamasi gagal. Tetapi memang Bung Hatta adalah seorang yang selalu memegang teguh, sebelum pukul 10.00 dia tiba. Setelah masuk dalam kamar Bung Karno, tidak lama kemudian mereka berdua keluar dan keluar rumah menuju halaman depan di mana sudah tersedia mikrofon, tiang bendera dan para hadirin dan hadirin yang akan menjadi saksi pembacaan Proklamasi tepat pada pukul 10.00 pagi. Setelah pembacaan proklamasi dan upacaranya selesai, Bung Hatta dan pemimpin-pemimpin lainnya pulang. Muwardi masih tinggal untuk berunding dengan Sudiro memilih 6 orang dari Barisan Pelopor yang pendekar pencak untuk menjadi Barisan Pelopor Istimewa yang bertanggung jawab atas keamanan pribadi Bung Karno yang menjadi Presiden pertama RI sesudah proklamasi kemerdekaan. Pimpinan barisan khusus itu diserahkan kepada Sumantoyo, sedang petugas lainnya ialah antara lain Sukarto dan Tukimin. Keenam orang itu setiap saat menanggulangi segala serangan terhadap Presiden RI dengan segala kesediaan mengorbankan nyawa. Mengingat keadaan pada waktu itu, segala kemungkinan dapat terjadi, terutama tindakan keras dari pihak tentara Jepang. Dengan sangat detail Muwardi memikirkan keselamatan pemipin Bangsa Indonesia, Soekarno-Hatta. Sesudah 18 Agustus 1945 Bung Karno dipilih menjadi Presiden maka tidak mungkin lagi memimpin terus Barisan Pelopor. Pucuk pimpinan Barisan Pelopor diserahkan ke Muwardi. Nama Barisan Pelopor diubah menjadi Barisan Pelopor Republik Indonesia (BPRI). Meskipun pada 23 Agustus 1945 dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR), BPRI tetap berdiri sendiri. BKR mendirikan markas di jalan Cilacap no.5, (rumah milik kakek Jenderal Prabowo Subianto) untuk wilayah karisidenan Jakarta pada 27 Agustus 1945 dipimpin Moeffreini Moe’min yang tak lain anak buah Muwardi di Barisan Pelopor. Saat Bung Karno menjadi Presiden dan hendak menyusun Kabinet, Muwardi mendapat tawaran langsung dari Bung Karno untuk menjabat sebagai Menteri Pertahanan namun dia menolak karena hendak meneruskan kariernya sebagai dokter. Sehingga dalam sejarahnya jabatan itu diharapkan dapat dipegang oleh Supriyadi, yang ternyata pada kenyataanya ternyata hilang setelah melakukan pemberontakan Peta. Namun tindakan pejuang di dalam kota tidak semuanya bisa dikontrol. Tidak sedikit kaum petualang yang menyalahgunakan kesempatan mencari keuntungan sendiri. Tercatat BPRI diboncengi oleh “Barisan Usung-Usung”, barisan yang mengangkut barang milik rakyat untuk kepentingan pribadi hingga di sana-sini ada tuduhan BPRI adalah perampok, pencuri danpembunuh. Oleh karena itu, kepada Muwardi dianjurkan supaya kedudukan BPRI dipindahkan dari Jakarta. Waktu itu Pemerintah Republik Indonesia telah siap-siap hendak hijrah ke Yogyakarta mengingat kota Jakarta yang tidak aman. Setelah Pemerintah RI hijrah ke Yogyakarta tanggal 4 Januari 1946, pengurus BPRI mengadakan perunding untuk memindahkan markasnya ke Solo. BPRI pada bulan Desember 1945 mengadakan kongres di Gedung Habiproyo, Singosaren (sekarang Matahari Singosaren), Solo. Dalam kongres 15-16 Desember 1945 itu diputuskan untuk mengganti nama dari BPRI menjadi Barisan Banteng Republik Indonesia (BBRI). BBRI bermarkas di Solo dengan Muwardi sebagai Pemimpin Umum. Sesuai dengan keputusan rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 22 Agustus 1945 tentang pembentukan Partai Nasional Indonesia (PNI) sebagai partai tunggal. Menurut rencana Muwardi akan ditunjuk sebagai pemimpin partai tunggal tersebut, tetapi dengan adanya maklumat Pemerintah tanggal 16 Oktober 1945 tentang pemberian hak-hak legislatif kepada Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP) yang dapat menentukan Garis-Garis Besar Haluan Politik Negara/Pemerintah. Kabinet tidak lagi bertanggung jawab kepada Presiden melainkan bertanggung jawab pada Komite Nasional Indonesia Pusat. Orang-orang yang duduk dalam KNIP dan Badan Pekerja KNIP merupakan wakil-wakil dari partai-partai. Pada 30 Oktober 1945, ketika Soekarno, Hatta dan Amir Syarifuddin berada di Surabaya untuk menenangkan keadaan, maka KNIP bersidang dan mengambil keputusan membuka kesempatan kepada masyarakat untuk mendirikan partai-partai dengan berbagai pertimbangan. Sutan Syahrir dan Amir Syarifudin mendirikan Partai Sosial Indonesia; Iwa Kusumasumantri mendirikan Partai Buruh, Dr. Sukiman mendirikan Partai Masyumi, Mangunsarkoro dengan Partai Nasionalis Indonesia, Sukarni mendirikan Partai Murba (Muwardi sempat terlibat aktif di dalamnya) dan partai-partai lain didirikan. Kabinet pertama, kabinet presidensiil dijatuhkan oleh KNIP sebagai Badan Legislatif. Syahrir kemudian menjadi Perdana Menteri merangkap Menteri Luar Negeri dan Menteri Dalam Negeri. Sedangkan Amir Syariffudin selain memegang jabatan Menteri Keamanan Rakyat juga merangkap sebagai Menteri Penerangan. Kalau kabinet pertama dianggap dekat dengan politik “kolaborasi dengan Jepang” maka kabinet kedua dekat dengan politik “kolaborasi dengan Belanda”. Karena politik kabinet Syahrir adalah politik “berunding dengan Belanda” mengakibatkan oposisi terhadap kabinet meningkat pada awal tahun 1946. Pada tanggal 5 Januari 1946 di Purwokerto diadakan pertemuan oleh partai-partai dan badan-badan perjuangan yang tidak sehaluan dengan “politik” Kabinet Syahrir untuk membentuk Persatuan Perjuangan (PP). Sementara itu Muwardi segera meluaskan sayap Barisan Banteng dengan menyusun cabang-cabang di tiap-tiap Karisidenan, ranting-ranting di Kabupaten, dan anak ranting di Kawedanaan. Bersama dengan Sudiro, Mulyadi Joyomartono. Banyak berkeliling mengadakan inspeksi ke daerah Jawa Barat, Bandung, Purwakarta, Leles, hingga ke Jawa Timur, Bojonegoro, dan Malang. Khusus di Solo dibentuk Divisi Laskar Banteng di bawah pimpinan Anwar Santoso yang membawahi 5 resimen, berkedudukan di Kartasura, Solo, Wonogiri dan Sragen. Di dalam Pimpinan Barisan Banteng diadakan pembagian pekerjaan. Sudiro dan Imam Sutadjo memimpin bagian politik yang berhasil menerbitkan harian Pasific dan majalah Banteng. Karena kegiatan menjalankan inspeksi ke Bandung menyebabkan Muwardi terlibat dalam peristiwa “Bandung Lautan Api” 23 Maret 1946 bersama-sama tokoh-tokoh Barisan Banteng, Toha, A.H. Nasution dan Suprayogi. Meskipun sibuk memimpin Barisan Banteng, Muwardi tidak sedikit menyumbangkan pikiran-pikiran perjuangan termasuk strategi militer kepada pimpinan Angkatan Perang, khususnya Jenderal Sudirman dan Jenderal Urip Sumohardjo, Urip tak lain masih sesaudara ipar dengannya. Ditarik ke dunia Politik Pengaruh, kecakapan dan kesanggupan Muwardi dalam memimpin perjuangan diakui oleh kalangan luas di samping perhatiannya yang besar terhadap masalah politik sehingga kaum politisi berhasrat menariknya ke dalam perjuangan politik. Pendekatan kaum politisi kepada Muwardi mendapat jalan setelah diketahui Muwardi, Sudirman, Urip Sumohardjo dan Tan Malaka tak menyetujui Perjanjian Linggarjati yang ditandatangani tanggal 25 Maret 1947. Perjanjian ini berakhir usai Agresi Belanda I tanggal 1 Juli 1947, Kemudian diadakan gencatan senjata dan diadakan perundingan Indonesia-Belanda di kapal Amerika, Renville di bawah pengawasan Komisi Jasa-Jasa Baik dari PBB tanggal 17 Januari 1948 yang berakhir dengan ditandatanganinya Persetujuan Renville. Persetujuan Renville pada hakikatnya mendapat banyak tentangan mengakibatkan pembentukan Kabinet Presidensil dengan Bung Hatta sebagai Perdana Menteri. PKI lewat Partai Sosialis Amir Syarifuddin menuntut kursi Menteri Pertahanan, tetapi ditolak dan kursi itu dirangkap oleh Bung Hatta sendiri. Amir Syarifuddin tidak tinggal diam dan bertindak mendirikan FDR (front Demokrasi Rakyat) tanggal 26 Februari 1948 yang beranggotakan PKI, PS-Amir Syarifuddin, PIB (Partai Buruh Indonesia), SOBSI (Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia) dan Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia). Hampir bersamaan dengan itu BBRI mengadakan kongres di Sarwakan, Solo (sekarang Jl. Honggopranoto) untuk menentang perundingan dengan Belanda yang dilakukan Pemerintah Syahrir. Kongres itu dihadiri oleh Presiden Sukarno untuk mencegah agar jangan sampai Muwardi dengan Barisan Banteng-nya terlibat perselisihan politik dengan pihak pemerintah. Karena kedua sikap politiknya itu, yaitu anti perundingan dengan Belanda dan Anti Swapraja, maka Muwardi bersama Mulyadi Joyomartono ditangkap atas perintah Menteri Dalam Negeri Dr. Soedarsono. Tetapi akhirnya dilepaskan kembali untuk menghindarkan tindak kekerasan dari BBRI dan simpatisannya kalau sampai Muwardi tidak dibebaskan. Selain itu ada juga campur tangan Sudirman dan Urip Sumohardjo, menyebabkan pemerintah berpikir banyak jika menahan Muwardi. Sejak PKI berdiri kembali tanggal 25 Oktober 1945, sejak pertengahan tahun 1946, di Solo mulai tampak partai dan badan perjuangan yang menjurus ke paham Sosialis Kiri dan Komunis. Diantaranya garis dan golongan Sosialis menjurus ke Komunis (Partai Sosialis, Partai Buruh, Partai Komunis Indonesia, Pesindo) dan golongan Nasionalis (PNI, Masyumi, BPRI, Barisan Banteng). Polarisasi partai-partai dan golongan itu terlihat pada peritiwa perebutan kedudukan Residen Solo. Indikasi Solo dalam keadaan gawat adalah peristiwa diculiknya Perdana Menteri Syahrir tanggal 27 Juni 1946, sehingga kekuatan negara sepenuhnya ada ditangan Presiden Sukarno. Namun peristiwa penculikan tersebut hanya berlangsung sehari semalam. Kejadian tersebut berlanjut dengan kudeta militer yang dilakukan oleh Jenderal Mayor Soedarsono tanggal 3 Juli 1946 beruntung kudeta tersebut dapat digagalkan untuk mengatasi keadaan yang rawan di Solo sekitar pertengahan tahun 1946. Pemerintah Pusat berlandaskan Penetapan Pemerintah Tahun 1946 No. 16/SD mengangkat Mr. Iskak Tjokroadisurjo dan Sudiro masing-masing sebagai Residen dan Wakil Residen Surakarta. Keduanya berasal dari golongan Nasionalis (PNI dan Barisan Banteng). Tetapi pengangkatan itu ditentang oleh Golongan Komunis dengan mengajukan resolusi tanggal 8 Oktober 1946. Karena tentangan itu, Pemerintah Pusat sampai mengeluarkan Ketetapan Pemerintah lagi pada tanggal 22 Oktober 1946 No. 21/ SD. Isi ketetapan itu memerintahkan agar kedua pejabat tersebut kembali ke pos-nya untuk menjalankan tugas pekerjaannya. Namun, Mr Iskak Tjokroadisujo dan Sudiro tidak dapat menjalankan pekerjaan karena pada tanggal 9 November 1946 malahan diculik oleh golongan tertentu. Dan golongan tertentu itu mengangkat Soejas dan Dasuki masing-masing menjadi Residen dan Wakil Residen Surakarta. Golongan tertentu itu adalah golongan Sosialis yang menjurus ke Komunis, karena Soejas dan Dasuki termasuk di dalamnya. Pertentangan antara dua golongan itu terus memuncak akibat adanya Perjanjian Linggarjati pada tanggal 15 November 1946 yang berbentuk “Pro” dan “Kontra” perjanjian tersebut. Kemudian golongan yang pro ini membentuk front ” Sayap Kiri” dan terdiri dari Partai Sosialis, PBI, PKI, Pesindo. Sedang yang Kontra juga membentuk front yang bernama “Benteng Republik” dan terdiri dari PNI, Masyumi, BPRI, Barisan Banteng RI. Perjanjian Linggarjati itu akhirnya mendapat tentangan dari anggota partainya sendiri, yaitu Syahrir sendiri. Akibatnya timbul perpecahan dalam Partai Sosialis. Syahrir mendirikan Partai Sosialis Indonesia (Ada yang menyebut SOSKA-Sosialis Kanan) dan Amir Syarifuddin tetap dengan Partai Sosialinya yang nantinya bergabung dengan FDR/PKI. Karena itulah maka jatuhlah Kabinet Syahrir (yang ketiga) pada tanggal 26 Juli 1947. Setelah itu dibentuk Kabinet baru di mana Perdana Menterinya adalah Amir Syarifuddin (merangkap Menteri Pertahanan). Kabinet ini melanjutkan perundingan-perundingan dengan Belanda yang menghasilkan suatu persetujuan yang nilainya dapat dipandang sebagai lebih merugikan Indonesia kalau dibandingkan dengan perjanjian Linggarjati, adalah yang disebut Persetujuan Renville.
Namanya kini diabadikan sebagai nama Rumah Sakit Umum Daerah Surakarta. Namanya juga diabadikan sebagai sebuah nama jalan di Jakarta.