Mahmud Syah III dari Johor
Paduka Sri al-Wakil al-Imam Sultan Mahmud Riayat Syah Zilullah fil-Alam Khalifat ul-Muminin ibni al-Marhum Sultan Abdul Jalil Syah atau lebih dikenal dengan Sultan Mahmud Syah III (24 Maret 1756 – 12 Januari 1811[catatan 1]) adalah Sultan dan Yang di-Pertuan Besar Johor-Pahang-Riau-Lingga ke-15 yang memerintah dari tahun 1770 sampai 1811.[1] Selama masa kekuasaannya, Mahmud Syah III selaku sultan didampingi oleh empat orang Yang di-Pertuan Muda (YDM), yakni secara berturut-turut YDM Daeng Kemboja (1745-1777), YDM Raja Haji Fisabilillah (1777-1784), YDM Raja Ali (1784-1805), dan YDM Raja Jaafar (1805-1831).[2] BiografiKehidupan awalLahir pada tanggal 24 Maret 1756, Mahmud Syah III adalah anak bungsu dari sultan Johor ke-13, Abdul Jalil Muazzam Syah dengan istri keduanya, Tengku Puteh binti Daeng Chelak.[1] Mahmud Syah III adalah adik sultan Johor ke-14, Ahmad Riayat Syah (berkuasa dari tahun 1761-1770).[3] KeluargaSelama hidupnya, Mahmud Syah III menikahi beberapa perempuan, di antaranya:[1]
Awal pemerintahanMahmud Syah III naik takhta pada usia sekitar 14 tahun menggantikan kakaknya, Ahmad Riayat Syah (1752-1770, naik takhta pada bulan Februari 1761 saat berusia 9 tahun).[1] Pelantikan Mahmud Syah III sebagai sultan digambarkan dalam Tuhfat al-Nafis dengan suasana yang sangat meriah. Ia digendong menuju kursi kebesaran Kesultanan Johor-Pahang-Riau-Lingga oleh seorang Bugis yang bernama To Kubu.[3] Pada saat pelantikan itu, pihak Bugis dan Melayu sepakat untuk mengakui Mahmud Syah III sebagai Raja Johor-Riau-Lingga yang harus disegani.[6] Pada awal masa pemerintahannya, jabatan Yang Dipertuan Muda dipegang oleh kepala suku Bugis yang kuat, Daeng Kemboja (menjabat 1745-1777).[7] Baru pada tahun 1777 jabatannya digantikan oleh Raja Haji Fisabilillah (menjabat 1777-1784).[3] Peran dan perjuanganPerjanjian dengan BelandaPada bulan Agustus 1784, tentara Belanda mulai menyerang pusat pemerintahan Johor di Hulu Riau. Kemudian pada Oktober 1784, kapal Utrecht dan 6 buah kapal perang yang dipimpin oleh laksamana Jacob Pieter van Braam datang menyerang Riau. Pertempuran meletus antara Johor dan Belanda di Hulu Riau yang berakhir dengan kemenangan Belanda atas Johor. Yamtuan Muda Raja Ali (pengganti Raja Haji Fisabilillah yang syahid di Teluk Ketapang) kemudian meninggalkan Pulau Bintan ke Sukadana.[8] Sultan Mahmud yang berada di Riau kemudian menandatangani perjanjian dengan VOC di kapal Utrecht pada tanggal 10 November 1784.[9] Di antara isi perjanjian tersebut mencatatkan bahwa pelabuhan Riau menjadi milik Belanda,[8] menyerukan berakhirnya monopoli Bugis di atas kantor Yamtuan Muda, hingga melarang orang Bugis lainnya untuk memegang jabatan di pemerintahan Johor.[9] Gerilya lautPada bulan Juni 1785, Belanda mengirim David Ruhde ke Hulu Riau untuk memegang jabatan Residen Belanda. Kehadiran Belanda di Riau-Lingga tersebut tidak disenangi oleh Sultan Mahmud.[8] Sultan Mahmud Syah III kemudian secara diam-diam mengirim utusannya, Encik Talib, ke Tempasuk di Sabah, Borneo Utara. Ia minta bantuan kepada Raja Tempasuk, Raja Ismail asal Johor untuk memerangi Belanda di Riau-Lingga. Raja Tempasuk mengirim tiga anaknya (Raja Tebuk, Raja Alam, dan Raja Muda Umak) serta Datuk Sikolo, dengan Raja Ismail sebagai panglima besarnya.[2] Pada tanggal 13 Mei 1787, pasukan Sultan Mahmud (beserta pasukan Raja Ismail dari Tempasuk) menyusup ke selatan Terusan Riau melalui Penyengat dan Senggarang. Saat malam tiba, pasukan Sultan mulai menampakan diri dari benteng kecil di bukit, kemudian maju dari arah gunung merapat ke kapal besar yang mengangkut barang dagangan sehingga pertempuran tidak terelakkan lagi.[10][11] Mereka menggempur dan menghabisi satu garnisun Belanda di Hulu Riau. Bantuan ini berhasil mengalahkan Belanda di Riau-Lingga pada bulan Mei 1787. Akibat dari serangan itu banyak pasukan Belanda yang melarikan diri. Bahkan, seorang residen Belanda di Hulu Riau, David Ruhde, melarikan diri ke Melaka.[11] Tentang peristiwa tersebut, Raja Ali Haji menguncinya di dalam Tuhfat al-Nafis:[12]
PenghargaanBerkat peran dan perjuangannya bagi negara, Joko Widodo selaku Presiden Indonesia kemudian menganugerahi gelar Pahlawan Nasional Indonesia kepada Sultan Mahmud Riayat Syah (Sultan Mahmud Syah III). Upacara penganugerahan tersebut dilakukan di Istana Negara pada tanggal 9 November 2017. Penganugerahan ini diputuskan melalui Kepres RI No 115/TK/tahun 2017 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan. Keputusan ini diambil setelah sebelumnya Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan bersidang pada Oktober 2017 lalu.[13] Bersamaan dengan Sultan Mahmud III, gelar pahlawan nasional juga dianugerahkan kepada tiga tokoh lainnya, yaitu Muhammad Zainuddin Abdul Madjid (pendiri Nahdlatul Wathan), Lafran Pane (pendiri Himpunan Mahasiswa Islam), dan Malahayati (pejuang dari Kesultanan Aceh).[14] Dalam budaya populer
Catatan
ReferensiCatatan kaki
Bibliografi
Pranala luar |