Selama masa kekuasaannya, Mahmud Syah III selaku sultan didampingi oleh empat orang Yang di-Pertuan Muda (YDM), yakni secara berturut-turut YDM Daeng Kemboja (1745-1777), YDM Raja Haji Fisabilillah (1777-1784), YDM Raja Ali (1784-1805), dan YDM Raja Jaafar (1805-1831).[2]
Raja Hamidah (Tengku Putri, 1764-5 Agustus 1844) binti Raja Haji Fisabilillah, menikah di Riau tahun 1804 dengan Pulau Penyengat sebagai mas kawinnya.[5] Dari pernikahan ini lahir seorang anak perempuan.
Awal pemerintahan
Mahmud Syah III naik takhta pada usia sekitar 14 tahun menggantikan kakaknya, Ahmad Riayat Syah (1752-1770, naik takhta pada bulan Februari 1761 saat berusia 9 tahun).[1] Pelantikan Mahmud Syah III sebagai sultan digambarkan dalam Tuhfat al-Nafis dengan suasana yang sangat meriah. Ia digendong menuju kursi kebesaran Kesultanan Johor-Pahang-Riau-Lingga oleh seorang Bugis yang bernama To Kubu.[3] Pada saat pelantikan itu, pihak Bugis dan Melayu sepakat untuk mengakui Mahmud Syah III sebagai Raja Johor-Riau-Lingga yang harus disegani.[6]
Pada bulan Agustus 1784, tentara Belanda mulai menyerang pusat pemerintahan Johor di Hulu Riau. Kemudian pada Oktober 1784, kapal Utrecht dan 6 buah kapal perang yang dipimpin oleh laksamana Jacob Pieter van Braam datang menyerang Riau. Pertempuran meletus antara Johor dan Belanda di Hulu Riau yang berakhir dengan kemenangan Belanda atas Johor. Yamtuan Muda Raja Ali (pengganti Raja Haji Fisabilillah yang syahid di Teluk Ketapang) kemudian meninggalkan Pulau Bintan ke Sukadana.[8] Sultan Mahmud yang berada di Riau kemudian menandatangani perjanjian dengan VOC di kapal Utrecht pada tanggal 10 November 1784.[9]
Di antara isi perjanjian tersebut mencatatkan bahwa pelabuhan Riau menjadi milik Belanda,[8] menyerukan berakhirnya monopoli Bugis di atas kantor Yamtuan Muda, hingga melarang orang Bugis lainnya untuk memegang jabatan di pemerintahan Johor.[9]
Gerilya laut
Pada bulan Juni 1785, Belanda mengirim David Ruhde ke Hulu Riau untuk memegang jabatan Residen Belanda. Kehadiran Belanda di Riau-Lingga tersebut tidak disenangi oleh Sultan Mahmud.[8]
Sultan Mahmud Syah III kemudian secara diam-diam mengirim utusannya, Encik Talib, ke Tempasuk di Sabah, Borneo Utara. Ia minta bantuan kepada Raja Tempasuk, Raja Ismail asal Johor untuk memerangi Belanda di Riau-Lingga. Raja Tempasuk mengirim tiga anaknya (Raja Tebuk, Raja Alam, dan Raja Muda Umak) serta Datuk Sikolo, dengan Raja Ismail sebagai panglima besarnya.[2]
Pada tanggal 13 Mei 1787, pasukan Sultan Mahmud (beserta pasukan Raja Ismail dari Tempasuk) menyusup ke selatan Terusan Riau melalui Penyengat dan Senggarang. Saat malam tiba, pasukan Sultan mulai menampakan diri dari benteng kecil di bukit, kemudian maju dari arah gunung merapat ke kapal besar yang mengangkut barang dagangan sehingga pertempuran tidak terelakkan lagi.[10][11] Mereka menggempur dan menghabisi satu garnisun Belanda di Hulu Riau. Bantuan ini berhasil mengalahkan Belanda di Riau-Lingga pada bulan Mei 1787.
Akibat dari serangan itu banyak pasukan Belanda yang melarikan diri. Bahkan, seorang residen Belanda di Hulu Riau, David Ruhde, melarikan diri ke Melaka.[11] Tentang peristiwa tersebut, Raja Ali Haji menguncinya di dalam Tuhfat al-Nafis:[12]
Seekor Holanda pun tiada lagi tinggal dalam Negeri Riau setelah diserang pasukan Sultan Mahmud Riayat Syah itu.
Penghargaan
Berkat peran dan perjuangannya bagi negara, Joko Widodo selaku Presiden Indonesia kemudian menganugerahi gelar Pahlawan Nasional Indonesia kepada Sultan Mahmud Riayat Syah (Sultan Mahmud Syah III). Upacara penganugerahan tersebut dilakukan di Istana Negara pada tanggal 9 November 2017. Penganugerahan ini diputuskan melalui Kepres RI No 115/TK/tahun 2017 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan. Keputusan ini diambil setelah sebelumnya Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan bersidang pada Oktober 2017 lalu.[13]
^Terdapat beberapa versi terkait tahun kematiannya, di antaranya adalah menurut catatan Christopher Buyers di halaman website RoyalArk-nya menuliskan Sultan Mahmud Syah III wafat pada tanggal 12 Januari 1811. Sedangkan C.H. Wake dalam Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society yang berjudul Raffles and the Rajas: the Founding of Singapore in Malaysian and British Colonial History menuliskan bahwa sultan Mahmud III mangkat pada tanggal 12 Januari 1812.
^ abcSwastiwi, Anastasia Wiwik (2015-02-10). "Mengenal Lebih Dekat Sultan Mahmud Syah III". website resmi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-01-22. Diakses tanggal 2017-11-09.
Trcocki, Carl A. (2007). Prince of Pirates : The Temenggongs and the Developments of Johor and Singapore. Singapura: NUS Press. ISBN9789971693763.
Hooker, Virginia Matheson (1991). Tuhfat al-Nafis: Sejarah Melayu-Islam (dalam bahasa Melayu). Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pendidikan Malaysia. ISBN9789836221230. OCLC33086575.
Ghazali, Abdullah Zakaria (2011). "Johor dan Kepulauan Riau: Berlainan Negara Tetapi Bersaudara". Malaysia Dari Segi Sejarah. Kuala Lumpur: Persatuan Sejarah Malaysia. 39 (4): 82–90. ISSN1675-0594.
Netscher, E. (1870). De Nederlanders in Djohor en Siak. 1602 tot 1865 (dalam bahasa Belanda). Batavia: Bruining. OCLC609451933.