Tjoet Nyak Meutia (15 Februari 1870 – 24 Oktober 1910) adalah pahlawan nasional Indonesia dari daerah Aceh. Ia dimakamkan di Alue Kurieng, Aceh. Ia menjadi pahlawan nasional Indonesia berdasarkan Surat Keputusan Presiden Nomor 107/1964 pada tahun 1964.
Tjoet Nyak Meutia atau Cut Meutia merupakan , anak dari hasil perkawinan antara Teuku Ben Daud Pirak dengan Cut Jah. Dalam perkawinan tersebut mereka dikaruniai 5 orang anak. Cut Meutia merupakan putri satu-satunya di dalam keluarga tersebut, sedangkan keempat saudaranya adalah laki-laki. Saudara tertua bernama Cut Beurahim disusul kemudian Teuku Muhammadsyah, Teuku Cut Hasen dan Teuku Muhammad Ali Orang tua Tjoet Nyak Meutia merupakan keturunan asli Aceh seorang Uleebalang di desa Pirak yang berada dalam daerah Keuleebalangan Keureutoe. Awalnya Tjoet Meutia melakukan perlawanan terhadap Belanda bersama suaminya Teuku Muhammad atau Teuku Tjik Tunong. Namun pada bulan Maret 1905, Tjik Tunong berhasil ditangkap Belanda dan dihukum mati di tepi pantai Lhokseumawe. Sebelum meninggal, Teuku Tjik Tunong berpesan kepada sahabatnya Pang Nanggroe agar mau menikahi istrinya dan merawat anaknya Teuku Raja Sabi.
Tjoet Meutia kemudian menikah dengan Pang Nanggroe sesuai wasiat suaminya dan bergabung dengan pasukan lainnya di bawah pimpinan Teuku Muda Gantoe. Pada suatu pertempuran dengan Korps Marechausée di Paya Cicem, Tjoet Meutia dan para wanita melarikan diri ke dalam hutan. Pang Nagroe sendiri terus melakukan perlawanan hingga akhirnya tewas pada tanggal 26 September1910.
Tjoet Meutia kemudian bangkit dan terus melakukan perlawanan bersama sisa-sisa pasukannya. Ia menyerang dan merampas pos-pos kolonial sambil bergerak menuju Gayo melewati hutan belantara. Namun pada tanggal 24 Oktober1910, Tjoet Meutia bersama pasukannya bentrok dengan Marechausée di Alue Kurieng. Dalam pertempuran itu Tjoet Njak Meutia gugur.
Pada tanggal 19 Desember2016, atas jasa-jasanya, Pemerintah Republik Indonesia, mengabadikannya dalam pecahan uang kertas rupiah baru Republik Indonesia, pecahan Rp1.000.[1]
Pasukan Belanda menggencarkan pengejaran terhadap pasukan Cut Meutia pada bulan Oktober 1910. Hal itu membuat Cut Meutia memindahkan pasukannya dari gunung ke gunung untuk menghindari pengepungan yang dilakukan Belanda.
Hingga pada tanggal 24 Oktober 1910 di daerah Alue Kurieng, terjadi pertempuran sengit antara pasukan Belanda dan pasukan yang dipimpin Cut Meutia. Dalam pertempuran ini Cut Meutia gugur. Sebelum wafat, Cut Meutia menitipkan anaknya kepada Teuku Syech Buwah untuk dijaga.[2]